Kondisi Megan semakin parah sehingga harus mendapat perawatan khusus. Tentu saja Rose semakin khawatir dengan kondisi Megan, apalagi suaminya yang membutuhkan perawatan khusus. Rose tentu saja sangat terpukul dengan hal ini. Rose menatap sedih ke arah Megan yang terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit. Rose benci situasi seperti ini. Rose membelai lembut surai Megan yang masih tertutup. Steven? Pria itu tentu saja ada di kantor. Bukannya dia tidak peduli dengan Megan, tapi dia memang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Beruntung ada Claire yang membantu Steven sehingga pekerjaan suaminya tidak terlalu berat. Rose merasa sangat sedih, entah kenapa ujian yang menimpanya begitu berat dan ada saja. Pak Dion tahu kalau perusahaan yang dipimpin putranya sedang terpuruk, namun lelaki paruh baya itu tak mau ikut campur, sepertinya lelaki itu membenci Rose. Tepatnya kedua mertuanya. Sampai di titik
Duka Tak terasa sudah satu bulan Megan dirawat di rumah sakit, namun kondisi sang anak masih sama, bahkan saat ini kondisi Megan semakin parah. Segala cara pengobatan dan terapi sudah dilakukan, namun hasilnya tetap sama, kondisi gadis kecil itu semakin melemah. Sementara itu, Steven dan Rose terus mendoakan kesembuhan putri mereka. "Steven, aku tidak bisa membayangkan jika apa yang dikatakan dokter sebulan yang lalu itu benar," ucap Rose cemas. Saat ini pasangan suami istri tersebut berada di bangsal Megan, sedangkan Megan lemas dengan mata tertutup. Tentunya dengan bantuan alat kesehatan. Rose tak kuasa melihat bahwa hidup Megan kini bergantung pada alat kesehatan tersebut, jika alat tersebut dilepas entah apa yang akan terjadi pada anak tersebut. Steven yang melihat wajah Rose yang gelisah segera menarik Rose ke dalam pelukannya. Pria itu melontarkan beberapa kecupan di puncak kepala istrinya
Setelah membaca surat dari Megan, Rose, dan Steven mencoba mencari jalan keluar. Tentu saja hal ini sangat mengejutkan mereka, apalagi Megan yang mengatakan ingin mendonorkan ginjalnya untuk Steven. Bagaimana mungkin anak sekecil Megan bisa berpikiran seperti itu? Keadaan seperti apa yang dialami Megan sebelum ia mampu berpikir matang di usianya yang masih terbilang muda? Steven menghela napas lelah, lalu pria itu menatap Rose dengan tatapan lembut. "Tenangkan dirimu, Rose. Aku tahu ini berat, tapi jangan biarkan ini mengganggumu," ucap Steven sambil menyeka air mata Rose dengan ibu jarinya. Rose memantapkan Steven dengan tatapan penuh luka, rasa kehilangan tentu saja mendominasi keduanya. Tapi apa yang bisa mereka lakukan ketika takdir sudah berkata? Jawabannya adalah, tidak ada! Kami hanya bisa menerima semua yang terjadi. Tidak ada pilihan lain, ingin melarikan diri adalah hal ya
Saat ini, Rose sedang hamil 9 bulan. Mereka hanya menunggu Rose melahirkan karena dokter sudah memperkirakan Rose akan lahir bulan ini. Steven dan Rose tentu saja berbahagia karena si kembar yang mereka tunggu-tunggu akan segera lahir. Mereka tidak sabar menunggu momen itu tiba. Saat ini Rose sedang duduk di ruang tamu ditemani Steven. Hari ini Steven tidak berangkat kerja menemani Rose, takut Rose berbuat salah. Karena kandungan Rose juga sudah membesar, ia harus merawat Rose dengan lebih baik. “Sangat besar, apakah sakit?” tanya Steven sambil mengelus perut buncit Rose. "Cukup sakit," jawab Rose sambil menyandarkan punggungnya di sofa. Punggung Rose sering sakit, karena perutnya yang lebih besar dibandingkan ibu hamil lainnya. Pasalnya, anak yang dikandungnya adalah anak kembar. Rose kesulitan berjalan karena kandungannya yang sudah besar, terlebih lagi ia mengandung anak kembar yang membuat kandungannya lebih besar d
Ini hari ke 3 Rose di rumah sakit. Kini Rose dan Steven bersiap-siap untuk pulang. Steven membereskan pakaian mereka untuk dimasukkan ke dalam koper. "Lihat, Andrew hari demi hari mirip denganmu," ucap Rose sambil menatap wajah Andrew yang tertidur di sebelah Andrea. Bahkan saat tidur Andrew terlihat sangat manis. Andrew lebih tenang dibandingkan Andrea yang sering cerewet. “Tentu saja mirip, dia anakku,” kata Steven yang sedang memasukkan pakaian ke dalam koper. Rose memandang Steven dengan sinis. "Bukan itu maksudku," ucap Rose dengan geram. Dia kesal dengan jawaban yang diberikan Steven. "Apa maksudmu?" tanya Steven sambil berusaha menutup kopernya, namun tidak bisa. Karena sulit, Steven mencoba menekan koper tersebut agar bisa ditutup. Melihat itu Rose langsung ingin membantu Steven membereskan pakaiannya. “Jangan dipaksa, nanti pecah. Sini, biar aku tutup
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dan Rose juga sudah terbiasa mengurus anak kembarnya seorang diri tanpa bantuan Babysitter. Tentu saja Steven juga akan membantu Rose merawat si kembar sepulang kerja. "Apakah kamu merindukan Ayahmu?" Rose bertanya pada Andrew yang selalu ngobrol memanggil nama 'Ayah' Rose tersenyum. Setelah melewati tahun-tahun yang berat, Rose akhirnya bisa merasakan kebahagiaan bersama kedua saudara kembarnya, tepatnya keluarga kecilnya. Fokus Rose buyar saat mendengar ketukan di pintu, ibu dengan dua orang anaknya itu melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Apakah itu suaminya? Namun suaminya baru saja pergi beberapa jam yang lalu, tidak mungkin Steven akan kembali dengan cepat. Apakah ada yang tersisa? Rose memastikan anaknya selamat terlebih dahulu, setelah merasa aman Rose meninggalkan anaknya untuk membukakan pintu. Saat dia membu
Pagi ini Rose dan kedua anak kembarnya sedang bermain di halaman belakang, melihat Steven berpikir untuk mengajak mereka jalan-jalan, akhir-akhir ini masalah datang silih berganti terutama masalah kantor dan itu tentu saja membuat mereka membutuhkan sedikit hiburan."Bagaimana kalau kita jalan-jalan hari ini?" tanya Steven sambil tersenyum lebar Rose mendongak ke arah Steven, mendengar ajakan itu Rose sedikit berpikir “Jalan-jalan kemana?” Steven juga bingung, biasanya mereka merencanakan sesuatu, namun kini Steven menanyakannya dengan sangat tiba-tiba. "Aku hanya akan mengikuti saranmu," dia memutuskan Sejenak Rose menatap kedua anak kembarnya yang sedang berbaring di Rolling, ditemani mainan jerapah di tangan Andrea. Anaknya yang baru berumur satu bulan tentu saja sudah bisa bermain dan mengoceh, membuat Rose heboh. "Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang?" saran Rose.
“Akhirnya sampai di rumah juga, badanku terasa kaku,” ucap Charlotte sambil masuk ke dalam rumah, tak melupakan Andrew yang ada di pelukannya. Sedangkan Steven, pria itu sedang menggendong putrinya. "Rose, aku akan masuk ke kamar bersama Andrew, biarkan si kecil ini tidur di kamarku," ucap Charlotte meminta izin pada Rose. "Kalau nanti dia menangis, bagaimana?" Steven bertanya pada adik iparnya. “Tenang, aku akan memberinya susu. Aku pandai merawat mereka,” kata Charlotte bangga. Akhirnya Rose setuju dengan Charlotte bahwa dia akan membawa salah satu anaknya ke kamarnya untuk beristirahat. Setelah mendapat ijin dari Rose, Charlotte segera masuk ke dalam kamarnya, Charlotte tak henti-hentinya berbicara dengan Andrew yang sedang istirahat. Melihat hal itu, Rose tersenyum tipis. "Ayo sayang. Ayo ke kamar," ajak Steven lirih. Rose yang
Andrew telah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah operasi dua hari lalu. Sebelumnya, si kecil harus dirawat di ICU selama dua malam. Steven dan Rose pun tidur di kursi ruang tunggu selama dua malam, hal itu dikarenakan Rose sama sekali enggan meninggalkan Andrew. Padahal harus mengorbankan punggungnya dan Steven yang sudah sangat kaku karena duduk semalaman. Itu terjadi dua malam berturut-turut. Bagaimana lagi, kalau bukan di sini Rose juga tidak akan tenang. Dia akan gelisah sepanjang malam memikirkan putranya. Pagi-pagi sekali perawat memindahkan Andrew ke ruang rawat inap VVIP sesuai permintaan Steven. Steven dan Rose cukup lega karena Andrew sudah memasuki masa pemulihan. Setidaknya Andrew menjadi lebih baik. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Andrew juga telah menunjukkan tanda-tanda sadar. Dengan menggerakkan jarinya beberapa kali, dia pun mulai mengigau. Ponsel Steven berbunyi, ia lalu menjawab panggilan masuk itu. Karena
Hari ini adalah hari pertama Rose bekerja. Dia akan tiba di kantor sepuluh menit sebelum bel berbunyi, dia tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya. Dia diantar ke mejanya oleh orang yang mewawancarainya kemarin. Ketika dia ditunjukkan tempat duduknya, dia terkejut karena orang yang duduk di sebelahnya adalah Claire. Dulunya pegawai suaminya, kini satu kantor lagi. “Rose, perkenalkan. Ini Claire, asistenmu, dan Claire adalah manajer baru kita," kata wanita itu. "Halo, Rose?" Claire juga terkejut. "Kalian saling kenal?" "Iya bu, dia adalah istri dari mantan bos saya di perusahaan sebelumnya," ucap Claire. "Wah? Benarkah? Bagus sekali, tidak meminta pekerjaan pada suamimu." "Hanya mencari suasana baru, Bu." Rose tersenyum canggung. “Padahal seingatku, perusahaan tempat Claire bekerja dulu itu besar lho. Kamu pasti bosan, makan, dan ingin bekerja.” “Jangan panggil aku ibu, panggil saja namaku. Bukankah kamu asisten CEO? Seharusnya aku yang memangg
Sesampainya di rumah, Luna dan Rose langsung berpelukan bak saudara kembar yang sudah lama berpisah. Keduanya banyak mencarter bersama, bahkan lucunya Luna banyak memasak hari ini. Entah kenapa, dia ingin sekali memasak, dan ternyata tuan rumah dan nyonya rumah pulang setelah satu tahun. Padahal keduanya baru saling kenal setahun lalu. Tak satu pun dari mereka tahu apa pun tentang latar belakang satu sama lain. Tapi mereka berteman dan saling mencintai. Bisa dibilang saudara kandung yang baru bertemu saat dewasa. Tidak berhubungan tetapi searah. "Apakah Andrew dan Andrea nakal, Luna?" dia bertanya. Dia ingin tahu apakah anak-anaknya mengganggu Luna atau tidak. Bukankah buruk jika kedua anaknya menyusahkan Luna? Mungkin orang yang mendengar ini akan merasa aneh, bagaimana bisa seorang tuan merasa tidak enak karena telah merepotkan pelayannya? Karena menurut Rose, pembantu juga manusia, dan derajat manusia pun sama. Jika kita ingin dihormati maka kita harus belajar me
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada t
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada tiga gelas. "Kenapa hanya tiga?" dia bertanya. “Bukankah hanya kamu dan si kembar? Apakah
Pagi ini Rose akan menjalani beberapa terapi di rumah sakit. Steven tidak berangkat ke kantor dan memilih menemani Rose. Wanita itu sedikit gugup karena ini adalah yang pertamanya. Tentu saja, bukan? Seperti sebelumnya, Rose menggunakan pakaian tertutup serta masker dan topi. Wanita tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya. “Rose, kita hampir sampai. Jangan gugup, lakukan yang terbaik, aku bersamamu,” kata Steven. Pria itu menatap mata manik istrinya. Rose terdiam, wanita itu lalu mengikuti langkah perawat itu hingga menemui dokter yang akan membantunya dalam terapi. "Hai! Bagaimana kabar Rose?" tanya seorang dokter wanita muda. Ya, dokter tersebut adalah dokter yang mendiagnosis Rose mengalami gangguan kecemasan umum. "Hei, apa yang akan kita lakukan?" tanya Rose sedikit gugup. Dokter muda itu memandang sekelilingnya, dan dia mengert
Andrew tiba-tiba terbangun dan melihat ibunya sedang melamun. Andrew lalu berdiri dan memeluk Rose dari belakang. Rose melemparkan Andrew ke tanah, untung Andrew terjatuh di tempat tidur. Supaya tidak berdarah atau terluka, mungkin hanya sedikit syok saja. Tangisan Andrew menyadarkan Rose dan Steven pun terbangun. Steven berlari menghampiri Andrew yang menangis dengan wajah memerah. Steven memeluk Andrew dengan erat, berusaha menenangkan putranya. “Aku baru saja ingin memeluk Ibu, tapi Ibu malah dilempar,” kata Andrew sambil menangis. Rose merebut Andrew dari Steven lalu memeluk erat putranya itu. Rose terus menangis sambil terus menggumamkan kata maaf. Andrew memeluk Rose dengan erat, sangat erat. Ketika Andrew menyadari bahwa dia membuat ibunya menangis, anak berusia tujuh tahun itu langsung berhenti menangis. Dia menyeka air mata ibunya. Andrew tak ingin ada air mata di antara mereka. Yang ada hanya senyuman, semoga selamanya. "Hentikan Ibu! Jangan menangis, A
Setelah orang tuanya kembali, Rose langsung menuju kamarnya, wanita itu terdiam di dalam kamar, dan Rose masih berkata bagaimana jika ada sesuatu yang sangat penting, padahal tadi wanita itu bisa saja? Tentu saja hal itu membuat Steven khawatir, Steven langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ingin memeriksa apakah Rose baik-baik saja. Sesampainya di kamar, pria itu mendapati istrinya sedang duduk kosong. Akhir-akhir ini ia sering menatap Rose sambil melamun sendirian dalam waktu yang lama. Semua ini karena teror gila yang dikirimkan Helen. Dia mendekati istrinya dan menariknya untuk bersandar di dadanya. Rose masih menatap satu titik dengan tatapan kosong, padahal tubuhnya sudah berada dalam pelukan Steven. “Sekarang kamu tidak perlu khawatir, kami sudah pergi menemui Helen. Dia sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Steven berusaha menenangkan istrinya. Ia berharap perkataannya cukup menenangkan istrinya.
Penjelasan “Rose, kenapa kamu masih duduk disana? Ayo berangkat!” ajak Nyonya Vega. Mereka sudah bersiap berangkat ke rumah Helen, namun tidak bersama Rose. Ia merasa enggan untuk bertemu dengan Helen, apalagi mengingat teror yang mengerikan. "Aku tunggu di rumah saja, aku tidak akan pergi," ucap Rose dengan tidak nyaman. "Ada apa Rose? semuanya akan baik-baik saja, ayo kita jelaskan semua yang terjadi pada Helen," ucap nyonya Vega. Namun Rose tetap menggelengkan kepalanya, mengingat ia tak ingin bertemu dengan wanita yang menerornya. Rose sepertinya tidak bisa menerima kelakuan Helen yang diberikan padanya. Saat mengangkat pun kata Andrea hanya Rose yang selalu berusaha menghindari wanita itu. Lalu bagaimana ceritanya jika kali ini Rose harus ke rumahnya? Temui dia secara terbuka? "Ada apa sayang? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Steven bertanya dengan lembut."A-aku, aku tunggu sa