Tak terasa usia Andrew dan Andrea kini sudah menginjak 1 tahun, kedua bidadari kecil itu sudah bisa berceloteh riang meski terkadang masih belum begitu jelas. Senang? Tentu saja! Apalagi saat ini perusahaan Steven yang sempat kolaps kini bangkit kembali, karyawannya pun cukup banyak, sudah ada ratusan karyawan yang bekerja di kantornya, meski belum sesukses dahulu yang memiliki ribuan karyawan, itu tidak menjadi masalah bagi Rose maupun Steven, yang terpenting perubahan pada bisnisnya sudah lebih dari cukup. Steven memang pandai mengelola perusahaan, pria itu bisa menarik investor untuk bekerja sama dengannya. "Ayah, Ayah," kata Andrea sambil merangkak ke arah Steven yang sedang duduk di ruang tamu dengan beberapa berkas kantor dan laptopnya. Pria itu memang sedang bekerja menjaga anaknya karena Rose saat ini sedang berada di dapur menyiapkan makan malam untuk mereka. Steven yang merasa d
Rose menghampiri pintu itu dan segera membukanya, namun senyum wanita itu memudar begitu melihat siapa yang sudah berdiri di depan pintu. Rose mendudukkan kepalanya, takut menatap mata sepasang tamu yang berkunjung. “Rose y-” "Siapa yang datang, sayang?" tanya Steven yang memotong pembicaraan tamu itu dengan langkah pasti ke arah istrinya. Saat sudah berada di depan pintu, Steven tak kalah terkejutnya saat melihat ibu dan ayahnya berada tepat di hadapannya. Apa lagi yang mereka inginkan? Steven menatap tajam kedua orang tuanya, apa maksudnya? Mengapa datang ke sini? Ketika Steven membutuhkan dorongan semangat, ketika dia terbaring lemah di rumah sakit, dan ketika para pria berada dalam kondisi terburuknya, di manakah mereka? Lalu kenapa orang tua Steven baru menampakkan wajahnya sekarang? Tentu saja, siapa pun yang menebaknya pasti mengira ada motif tersembunyi datang ke sini. "Ap
Kebahagiaan merasuki hati Steven dan Rose. Steven bersyukur karena orangtuanya sudah berubah menjadi lebih baik, begitu pula Rose, setidaknya keinginannya untuk memiliki mertua yang baik bisa terwujud. "Bu, bolehkah aku meminta bantuanmu sebentar?" Rose bertanya pada Bu Vega siapa yang merawat anak kembarnya. "Baiklah, tolong apa? Katakan padaku!" Tentu saja Bu Vega dengan senang hati membantu, ia merasa kasihan sekali pada Rose dan Steven. Dia terlalu menentang hubungan mereka, sehingga menimbulkan banyak risiko. "Saya akan memasak untuk makan malam, percayakan pada Andrew dan Andrea ya, Bu!" "Ibu bantu ya? Biar ibu tidak terlalu capek biar bapak dan Steven yang mengurus anak-anaknya dan mereka tidak menganggur," kata Bu Vega. Rose mengangguk, dia tidak keberatan. Dia senang karena dia akan memasak bersama mertuanya, ini adalah hal yang selalu ingin dia lakukan. “Ayah, Steven, jag
Jebakan Pagi telah tiba, jam menunjukkan pukul 5 pagi. Steven sudah bangun dan bersiap untuk pergi ke kantor. Setelah selesai bersiap-siap Steven pergi membangunkan Rose, untuk berpamitan. Steven menepuk pundak Rose lembut, "Sayang, aku ke kantor dulu ya, ada investor terbesar di kantor yang akan datang," ucap Steven. “Apakah orang itu akan datang saat fajar seperti ini? Bahkan sekarang ini baru jam 5 pagi, Steven,” ucap Rose sambil melirik jam dinding kamarnya. "Iya sayang, dia akan sampai jam 6 pagi, jadi aku harus berangkat sekarang agar tidak terlambat, jaga anak kita ya, kalau sudah selesai aku akan segera pulang, sekarang lanjutkan tidurmu dulu ," kata Steven menjelaskan. Rose mengangguk paham dan memilih menemani Steven sampai ke gerbang. Rose membetulkan dasi suaminya yang sedikit kusut agar rapi, setelah selesai sang pria mencium puncak kepala Rose. Setelah mobil Steven melaju keluar rumah
Akhir-akhir ini Rose merasa aneh dengan Steven. Steven tidak lebih sering pulang dibandingkan dirinya, padahal sebelumnya Steven tidak sesibuk itu dan masih bisa bermain dengan anak-anak. Namun kini Steven sangat sibuk sehingga jarang pulang ke rumah. Sekarang sudah jam 11 malam, dan kedua anak itu sudah tidur. Rose menunggu Steven pulang di ruang tamu. Namun tak ada tanda-tanda Steven akan pulang. Karena hari sudah larut, Rose mengambil ponselnya untuk menelepon Steven. Rose mengerutkan kening ketika teleponnya tidak dijawab. "Apakah Steven begitu sibuk sehingga dia tidak menjawab teleponku?" gumam Rose heran. Akhirnya dia mencoba menelepon Steven lagi berkali-kali hingga akhirnya teleponnya dijawab. “Steven, kenapa kamu belum pulang? Apakah kamu bekerja lembur?” tanya Rose bertubi-tubi saat telepon sudah tersambung. “Ah iya, maaf aku tidak memberitahumu. Aku tidak pulang hari in
Rose semakin penasaran kenapa Steven tidak pernah pulang, bahkan terkadang ia pulang satu atau dua kali dalam seminggu, dengan alasan sedang berada di luar kota. Hatinya terus berkata bahwa ada sesuatu yang Steven sembunyikan, seolah selalu melekat di pikirannya. Apalagi akhir-akhir ini sikap Steven sangat mencurigakan, ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar dibandingkan di rumah, dan ia bisa memahami bahwa entah kenapa, hatinya tidak. "Sepertinya aku harus menyelidiki ini," ucapnya sambil terus berjalan mondar-mandir dengan gilanya Dia teringat seseorang yang dia kenal, dia segera merogoh sakunya untuk menghubungi seseorang itu. "Claire mengangkatnya," bisiknya, tangannya gemetar hebat. Panggilan tersambung, dan Rose tersenyum bahagia. "Claire, apakah kamu sibuk?" tanya Rose spontan di telepon. "Tidak, ada apa?" tanya Claire penasaran. "Bisakah kamu membant
"Aku sudah menjelaskan semuanya," ucap Steven, nampaknya dia sangat menyesal melihat dari raut wajahnya. Baru tadi malam dia dan Rose bertengkar, dan pagi ini pertarungan besar kembali terjadi. Detak jantungnya seakan berhenti sejenak, apakah ini mimpi? Ini bukan mimpi. Ini nyata dan kenyataan yang harus diterima oleh wanita! Tidak ada seorang pun yang luput dari kebohongan, perasaan seorang istri selalu benar. Hening beberapa saat, butiran bening terus keluar dari mata indah Rose, bahkan ia tak mampu membendung rasa sakit yang menusuk hatinya. Kejadian ini mengejutkannya. Akankah pernikahan ini berakhir seperti ini? "Aku KEcewa Dengan MU!" mengkritik Rose “Apa yang aku takutkan selama ini telah terjadi, dan sayangnya kamu menyembunyikannya di belakangku?” Rose masih tak percaya, rasanya hari itu dunianya hancur seketika. "Saya tidak pernah mengira ini akan terjadi, itu kecelakaan!
"Rose, aku ingin bicara denganmu," kata Steven. Claire yang mengetahui situasinya tidak baik, segera menggendongnya di si kembar untuk menjauh dari pasangan suami istri yang sedang bertengkar itu. Sementara itu, sudah lebih dari sehari Rose berusaha menenangkan diri, namun saat kembali, luka di hatinya kembali terasa. Rose menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa Steven mengkhianati dirinya sendiri, padahal mereka baru saja merasakan kebahagiaan? Namun, Steven menghancurkannya dengan mudah. Rose berpikir, setelah ini dia akan bahagia. Namun masih ada masalah yang membuat mereka bertengkar hebat. “Kenapa kamu tega mengkhianatiku? Apa aku berbuat salah padamu?” Rose bertanya pada Steven dengan nada pelan. Rose tidak ingin bertengkar lagi, tapi bagaimanapun juga, ini adalah rumahnya, dan dia tidak bisa menghindari kenyataan yang memilukan ini dan bahkan menghindarinya. Steven berusaha menenangkan Rose agar mend
Andrew telah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah operasi dua hari lalu. Sebelumnya, si kecil harus dirawat di ICU selama dua malam. Steven dan Rose pun tidur di kursi ruang tunggu selama dua malam, hal itu dikarenakan Rose sama sekali enggan meninggalkan Andrew. Padahal harus mengorbankan punggungnya dan Steven yang sudah sangat kaku karena duduk semalaman. Itu terjadi dua malam berturut-turut. Bagaimana lagi, kalau bukan di sini Rose juga tidak akan tenang. Dia akan gelisah sepanjang malam memikirkan putranya. Pagi-pagi sekali perawat memindahkan Andrew ke ruang rawat inap VVIP sesuai permintaan Steven. Steven dan Rose cukup lega karena Andrew sudah memasuki masa pemulihan. Setidaknya Andrew menjadi lebih baik. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Andrew juga telah menunjukkan tanda-tanda sadar. Dengan menggerakkan jarinya beberapa kali, dia pun mulai mengigau. Ponsel Steven berbunyi, ia lalu menjawab panggilan masuk itu. Karena
Hari ini adalah hari pertama Rose bekerja. Dia akan tiba di kantor sepuluh menit sebelum bel berbunyi, dia tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya. Dia diantar ke mejanya oleh orang yang mewawancarainya kemarin. Ketika dia ditunjukkan tempat duduknya, dia terkejut karena orang yang duduk di sebelahnya adalah Claire. Dulunya pegawai suaminya, kini satu kantor lagi. “Rose, perkenalkan. Ini Claire, asistenmu, dan Claire adalah manajer baru kita," kata wanita itu. "Halo, Rose?" Claire juga terkejut. "Kalian saling kenal?" "Iya bu, dia adalah istri dari mantan bos saya di perusahaan sebelumnya," ucap Claire. "Wah? Benarkah? Bagus sekali, tidak meminta pekerjaan pada suamimu." "Hanya mencari suasana baru, Bu." Rose tersenyum canggung. “Padahal seingatku, perusahaan tempat Claire bekerja dulu itu besar lho. Kamu pasti bosan, makan, dan ingin bekerja.” “Jangan panggil aku ibu, panggil saja namaku. Bukankah kamu asisten CEO? Seharusnya aku yang memangg
Sesampainya di rumah, Luna dan Rose langsung berpelukan bak saudara kembar yang sudah lama berpisah. Keduanya banyak mencarter bersama, bahkan lucunya Luna banyak memasak hari ini. Entah kenapa, dia ingin sekali memasak, dan ternyata tuan rumah dan nyonya rumah pulang setelah satu tahun. Padahal keduanya baru saling kenal setahun lalu. Tak satu pun dari mereka tahu apa pun tentang latar belakang satu sama lain. Tapi mereka berteman dan saling mencintai. Bisa dibilang saudara kandung yang baru bertemu saat dewasa. Tidak berhubungan tetapi searah. "Apakah Andrew dan Andrea nakal, Luna?" dia bertanya. Dia ingin tahu apakah anak-anaknya mengganggu Luna atau tidak. Bukankah buruk jika kedua anaknya menyusahkan Luna? Mungkin orang yang mendengar ini akan merasa aneh, bagaimana bisa seorang tuan merasa tidak enak karena telah merepotkan pelayannya? Karena menurut Rose, pembantu juga manusia, dan derajat manusia pun sama. Jika kita ingin dihormati maka kita harus belajar me
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada t
Saat malam tiba, Rose dan Luna sedang menemani si kembar menonton film kartun di ruang tamu. Rose sudah memerintahkan Luna untuk menyuruh semua orang ke kamar masing-masing. Agar Rose bisa menonton dengan tenang. Tak kenal takut karena para pelayan dan pengawal. “Tadi Ibu menyuruh pembantu untuk membuatkan brownies, coklat, dan rasa strawberry,” kata Rose. Dia berbicara tentang brownies yang disajikan di atas meja di ruang tamu. Terima kasih, Ibu!” Seru Andrew, lelaki kecil itu segera memakan brownies yang sudah disiapkan Ibu. “Ibu, Andrea mau susu,” kata Andrea sambil menatap Rose dengan mata menggemaskan. Mata anak anjing? Mungkin itu namanya. Biarkan aku mengambilnya, oke? Tawaran Luna dijawab Andrea dengan anggukan antusias. Luna lalu pergi membuatkan susu untuk si kembar. Dia juga membuatkan jus untuk Rose. Saat menyajikan minuman, Rose merasa aneh karena hanya ada tiga gelas. "Kenapa hanya tiga?" dia bertanya. “Bukankah hanya kamu dan si kembar? Apakah
Pagi ini Rose akan menjalani beberapa terapi di rumah sakit. Steven tidak berangkat ke kantor dan memilih menemani Rose. Wanita itu sedikit gugup karena ini adalah yang pertamanya. Tentu saja, bukan? Seperti sebelumnya, Rose menggunakan pakaian tertutup serta masker dan topi. Wanita tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya. “Rose, kita hampir sampai. Jangan gugup, lakukan yang terbaik, aku bersamamu,” kata Steven. Pria itu menatap mata manik istrinya. Rose terdiam, wanita itu lalu mengikuti langkah perawat itu hingga menemui dokter yang akan membantunya dalam terapi. "Hai! Bagaimana kabar Rose?" tanya seorang dokter wanita muda. Ya, dokter tersebut adalah dokter yang mendiagnosis Rose mengalami gangguan kecemasan umum. "Hei, apa yang akan kita lakukan?" tanya Rose sedikit gugup. Dokter muda itu memandang sekelilingnya, dan dia mengert
Andrew tiba-tiba terbangun dan melihat ibunya sedang melamun. Andrew lalu berdiri dan memeluk Rose dari belakang. Rose melemparkan Andrew ke tanah, untung Andrew terjatuh di tempat tidur. Supaya tidak berdarah atau terluka, mungkin hanya sedikit syok saja. Tangisan Andrew menyadarkan Rose dan Steven pun terbangun. Steven berlari menghampiri Andrew yang menangis dengan wajah memerah. Steven memeluk Andrew dengan erat, berusaha menenangkan putranya. “Aku baru saja ingin memeluk Ibu, tapi Ibu malah dilempar,” kata Andrew sambil menangis. Rose merebut Andrew dari Steven lalu memeluk erat putranya itu. Rose terus menangis sambil terus menggumamkan kata maaf. Andrew memeluk Rose dengan erat, sangat erat. Ketika Andrew menyadari bahwa dia membuat ibunya menangis, anak berusia tujuh tahun itu langsung berhenti menangis. Dia menyeka air mata ibunya. Andrew tak ingin ada air mata di antara mereka. Yang ada hanya senyuman, semoga selamanya. "Hentikan Ibu! Jangan menangis, A
Setelah orang tuanya kembali, Rose langsung menuju kamarnya, wanita itu terdiam di dalam kamar, dan Rose masih berkata bagaimana jika ada sesuatu yang sangat penting, padahal tadi wanita itu bisa saja? Tentu saja hal itu membuat Steven khawatir, Steven langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ingin memeriksa apakah Rose baik-baik saja. Sesampainya di kamar, pria itu mendapati istrinya sedang duduk kosong. Akhir-akhir ini ia sering menatap Rose sambil melamun sendirian dalam waktu yang lama. Semua ini karena teror gila yang dikirimkan Helen. Dia mendekati istrinya dan menariknya untuk bersandar di dadanya. Rose masih menatap satu titik dengan tatapan kosong, padahal tubuhnya sudah berada dalam pelukan Steven. “Sekarang kamu tidak perlu khawatir, kami sudah pergi menemui Helen. Dia sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama," ucap Steven berusaha menenangkan istrinya. Ia berharap perkataannya cukup menenangkan istrinya.
Penjelasan “Rose, kenapa kamu masih duduk disana? Ayo berangkat!” ajak Nyonya Vega. Mereka sudah bersiap berangkat ke rumah Helen, namun tidak bersama Rose. Ia merasa enggan untuk bertemu dengan Helen, apalagi mengingat teror yang mengerikan. "Aku tunggu di rumah saja, aku tidak akan pergi," ucap Rose dengan tidak nyaman. "Ada apa Rose? semuanya akan baik-baik saja, ayo kita jelaskan semua yang terjadi pada Helen," ucap nyonya Vega. Namun Rose tetap menggelengkan kepalanya, mengingat ia tak ingin bertemu dengan wanita yang menerornya. Rose sepertinya tidak bisa menerima kelakuan Helen yang diberikan padanya. Saat mengangkat pun kata Andrea hanya Rose yang selalu berusaha menghindari wanita itu. Lalu bagaimana ceritanya jika kali ini Rose harus ke rumahnya? Temui dia secara terbuka? "Ada apa sayang? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Steven bertanya dengan lembut."A-aku, aku tunggu sa