“Joshua,” bisik Karina. Seketika ketakutan itu menggerogoti dirinya. Ia tidak pernah menyangka kalau Joshua bisa menemukannya secepat ini. Bibir Joshua melukis sebuah senyum. Senyuman itu membuat tubuh Karina merinding. Pria ini seperti ingin memakannya hidup-hidup. “Apa kamu tidak mau menawarkan ku untuk masuk? Apa kita akan bicara di depan pintu seperti ini? Tidak enak dilihat tetangga. Izinkan aku masuk, Karina.” Suaranya dingin, mendominasi dan kejam. Karina semakin takut, takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. “M-M-Masuklah!” Karina mundur beberapa langkah. Membuka akses masuk untuk Joshua. Matanya tidak berhenti mengawasi setiap gerak gerik pria itu. Ia takut setengah mati sekarang. Apa yang akan Joshua lakukan padanya. Mengingat, kepergiannya merupakan pelanggaran aturan yang sudah Joshua buat. Ingatan waktu itu tiba-tiba menghantuinya. “Indah, rumahmu terlihat nyaman sekali. Aku jadi ingin tinggal lebih lama lagi di sini.” Joshua masih mengamati interior rumah Karina.
“Bisa saya terima pesanan saya, Nona?” DK tampak acuh dengan ekspresi Vivian yang saat ini memandangnya tajam. Vivian menghela napas pelan. Ia kemudian memberikan tanda terimanya pada DK. Ia menyerahkan pesanan itu dengan perasaan yang aneh. “Uang sisanya sudah saya transfer. Terima kasih atas kerja samanya,” ucap DK. Ia sudah menyelesaikan semua urusan tanda terima dan pembayaran. “Apa maksudnya semua ini?” Vivian bertanya. Bagaimana pun dia berpikir positif. Dia tetap merasa ini ganjil. “Maksud apa?” DK balik bertanya. Raut wajahnya tetap dingin dan tegas. Vivian menghela napas pelan. “Apa belum puas dengan semua teror yang Anda lakukan selama ini? Saya sudah sangat bersabar dengan tingkah kalian. Jangan membuat saya melewati batas.” Ia tampak marah, namun masih bisa ditahan. DK menyilang kedua tangan di dadanya. Mata tajam itu menatap bola mata cokelat gelap milik Vivian. “Saya tidak ada maksud apa-apa, Nona. Saya memesan minuman dari kafe Anda karena memang karyawan saya me
DK menyeringai melihat tingkah Vivian yang sama sekali tidak takut dengan dirinya. Seolah seperti tertantang dengan situasi ini. DK ingin melanjutkannya sampai wanita itu lelah lalu menyerah. “Bisakah Anda pergi? Saya harus menutup kafe. Ini sudah larut malam. Besok saya ada kelas,” usir Vivian terang-terangan. Ia sudah selesai dengan kasirnya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Vivian harus kembali ke rumah untuk tugas-tugas kuliah dan istirahat. “Tidak bisakah Anda bersikap lebih ramah? Saya datang dengan niat yang baik,” cibir DK. Vivian menumpu kedua tangannya di atas meja. Matanya menatap DK tidak suka. “Jawabannya, tidak bisa. Saya sudah benar-benar jengah dengan Anda dan bos Anda yang tidak tau malu itu.” Vivian berucap tegas. DK tidak tersulut sama sekali. Ia terlihat tenang namun ada indikasi bahaya dalam sorot matanya. Vivian tidak menyadari itu. Dia melangkah ringan menjauh dari meja kasir. Saat dia hendak melangkah menuju pintu. Tangan DK men
Wajah Vivian seperti topeng kemarahan, panasnya memancar secara bergelombang. Matanya menyipit, dan tinjunya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya tampak putih. Ia mendidih dengan amarah, seakan-akan setiap serat tubuhnya bergetar oleh amarah.Kakinya yang kuat itu menendang perut DK sampai pria itu menjauh darinya. Vivian benar-benar marah dengan perlakuan kurang ajar ini. “Kau benar-benar kurang ajar,” marahnya. Punggung tangannya mengusap bibir yang basah karena ciuman panas yang DK berikan padanya. “Tidak pernah belajar sopan santun, ya? Apa semua anggota mafia bertingkah kurang ajar dan seenaknya sepertimu?” Kata-katanya penuh dengan sarkasme, telunjuknya tertuju pada pria itu. Sangat marah dan benci. DK mengusap bagian bawah bibirnya. Ia tersenyum tipis melihat bagaimana Vivian menolaknya secara mentah-mentah. Sungguh membuat adrenalin semakin membara. Dia wanita pertama yang melawan ciuman dari laki-laki tampan ber-bibir seksi seperti DK. “Semakin menarik, Nona. Sa
2 bulan kemudian…Ruangan itu disapu oleh cahaya keemasan matahari pagi. Burung-burung berkicau pelan di luar, menambahkan melodi yang tenang pada suasana yang hening. Selimut lembut kabut menyelimuti lembah di bawahnya, udara yang hening dan diselimuti embun. Angin sepoi-sepoi menyapu tempat tidur, mengangkat tirai dan menari-nari di atas kulitnya.Aroma ruangan yang manis dan lembab. Pemandangan yang sedikit menyita perhatian. Dua cairan putih dan kuning itu terlihat sudah terlalu lama bertengger menuggu habis dan digantikan dengan yang baru.Perlahan mata yang sudah lama terpejam itu terbuka, penglihatannya masih kabur dan kepalanya berputar. Ia melihat sekeliling ruangan yang asing, mencoba memahami keadaan sekelilingnya.“Ini di mana?” bibir tipisnya bergumam. Netranya masih menganalisa seluruh ruangan tempatnya berada sekarang. Dia mencoba yang terbaik untuk mendapatkan arahnya, pikirannya berkecamuk dan jantungnya berdebar-debar. Matanya menangkap sesuatu yang sangat asing. Ad
5 tahun kemudian… Pemandangan pada pagi yang cerah, diawali dengan suara kicauan burung yang merdu, seakan-akan mereka sedang merayakan dimulainya hari yang baru. Langit tampak biru jernih, memancarkan cahaya keemasan pada dunia. Udara terasa segar dan menyejukkan, seakan-akan menjadi pengingat akan berbagai kemungkinan yang terbentang di depan.Suasana rumah yang begitu nyaman. Suara tawa bahagia terdengar dengan cukup nyaring. Sosok pria dan seorang putri kecil tengah bermain menikmati pagi yang indah. Karina tersenyum manis melihat putrinya yang sedang berada di dalam dekapan suaminya. Gadis mungilnya terlihat bahagia saat tertidur pulas di peluk sang ayah setelah bermain cukup lama. Setiap kali melihat putrinya, Karina terkadang berpikir bagaiamana anak itu akan menghadapi dunia saat dia siap dengan segala konsekuensi buruk dalam hidupnya karena terlahir kurang sempurna. Ya, Bella, putrinya terkena Asperger Syndrome. Karina merasa dunianya runtuh saat tau akan hal itu. Ia tid
Sore hari yang terlihat sedikit mendung. Sepertinya hari ini akan turun hujan. Bella, gadis kecil itu berlari keluar dari mansion menuju kolam berenang yang ada di halaman belakang. Maid yang bertanggung jawab untuk menjaga Bella hari itu kesusahan untuk mengejar gadis kecil itu. Semua orang dibuat kewalahan olehnya hari ini. Tingkah Bella terkadang membuat orang-orang menyerah untuk menjaganya. “Aaaaaa!” Bella teriak saat tubuh kecilnya ditangkap oleh kepala pelayan karena dia ingin menceburkan diri ke dalam kolam renang. Semua orang panik. Gadis kecil itu meronta-ronta minta untuk dilepaskan. Tapi mereka tidak melepaskannya, karena takut Bella akan melompat ke dalam kolam. Karina berhambur berlari ke arah halaman belakang seusai mendengar Bella yang berteriak tantrum. Anak kecil itu meronta-ronta di dalam dekapan sang kepala pelayan. Gadis itu bahkan menjambak rambutnya karena perubahan suasa hati yang drastis. “Yaampun, Bella. Apa yang sudah terjadi?!” tanya Karina dengan raut
Kamar tertutup rapat dalam gelap gulita, hanya sedikit cahaya bulan yang merayap masuk melalui celah-celah tirai yang terbuka. Udara terasa tegang dan dingin, menciptakan suasana yang penuh kecemasan dan ketidak-pastian.Karina terbaring di tempat tidur dengan wajah tegang dan mata terpejam. Kamar gelap dan sunyi, hanya terang rembulan yang menerangi ruangan dengan cahaya pucat. Napasnya terengah-engah, dan keningnya berkerut karena ketegangan.Saat matanya terbuka, napasnya terengah tidak karuan, seperti ada yang mencekik lehernya. Semua gambaran di dalam kepala terlihat jelas. Karina segera bangkit dari posisinya, menyorot setiap sudur ruangan. Lalu pandangannya bergulir ke sisi kiri di mana Joshua terlelap di dalam tidurnya.“Mimpi itu lagi,” bisik Karina di tengah napasnya yang tidak beraturan. Peluh membanjiri tubuhnya. Karina belum bisa mengatur napasnya dengan baik.Pergerakan Joshua menginterupsi konsentrasi Karina, ia menoleh ke arah Suaminya itu dengan mata penuh rasa takut.