"Mama ...?" Maya kaget melihat Mama Widya berada di dalam ruang Bram.
"Kok Mama ada di sini? Ngapain?"Maya heran karena tidak biasanya ibu tirinya itu datang ke kantor. Widya memang salah satu pemegang saham di perusahaan tapi bukan tipe yang suka mencampuri urusan pekerjaan.Justru cenderung malas berurusan dengan seluk beluk perusahaan. Dia hanya datang ketika ada rapat pemegang saham saja. Selebihnya semua urusan pekerjaan dia serahkan ke staf-stafnya. Jadi agak mengherankan ketika tiba-tiba mama tirinya itu berada di kantor sepagi ini.Semenjak ditemukan fakta bahwa obatnya mengandung racun, Maya memang mulai berhati-hati dengan siapapun. Biarpun itu keluarganya sendiri. Maka tidak salah jika sekarang Maya juga menaruh curiga terhadap mama tirinya.Entah apa yang sedang direncanakan oleh Widya dan suaminya, yang jelas saat ini Maya harus waspada."Oo ini Mama lagi ada perlu sebentar sama Bram. Tadi Mama nyari di rumah nggak ada, kata Bi Munah suamimu ini berangkat pagi, jadi Mama nyusul ke sini deh," Mama Widya pasang muka paling manis yang dibuat-buat.Apakah Maya percaya begitu saja? Tentu tidak. Dia masih ingat kata Kevin tadi pagi. Waspada dengan mereka berdua katanya."Tumben sekali, Ma. Apakah ada sesuatu yang penting? Biasanya kan staf Mama yang ngurus segala sesuatunya.""Oo ... bukan sesuatu yang penting kok, Sayang. Mama hanya minta pendapatku aja soal gaun yang mau dipakai nanti pas acara Gathering. Ya kan, Ma?"Kali ini Bram yang bicara namun agak terbata. Dari nada bicaranya Maya tahu kalau Bram berbohong.Gaun? Ini makin aneh saja. Beli gaun tapi minta pendapat Bram? Maya mengerenyitkan dahi. Benar-benar aneh."Aaahh iya, bener. Mama nanya ke Bram soal gaun yang mau mama pakai nanti. Soalnya kan hanya Bram satu-satunya lelaki yang ada di rumah kita. Saran Andini sih sebenernya ini, Sayang. Katanya Bram tahu selera dia."Apalagi ini? Belum habis kebingungannya soal gaun Mama ini malah nama Andini dibawa-bawa. Dengar nama Andini, Maya ingat kejadian tadi Pagi."Nah iya, mumpung Mama sebut nama Andini, aku mau bilang sama Mama. Minta tolong bilangin tuh sama dia. Suruh sopan sama kakaknya. Dan satu lagi, suruh hormat juga sama Bik Munah. Dia itu meskipun hanya seorang pembantu, tapi Bik Munah sudah seperti saudara, sudah lama ikut kita, Ma. Mama sama Andini belum datang ke rumah, Bik Munah sudah kerja di rumah kita. Jadi tolong hormat dikit sama dia," kata Maya."Ooh itu, iya, Sayang. Nanti mama bilangin sama dia. Kamu juga sedikit maklumlah sama Andini ya. Dia itu kan memang dari kecil terbiasa manja, jadi keterusan deh sampai sekarang""Justru itu, Ma. Harus diajari sopan santun, harus bisa mandiri juga. Kan dia bukan anak kecil lagi. Jangan bisanya sosialita aja. Penampilan aja top, tapi attitude nol."Maya sebenernya sangat menyayangi Mama Widya dan Andini. Karena bagaimanapun juga hanya mereka keluarga yang dia punyai saat ini. Namun sepertinya mama dan adik tirinya itu hanya menganggap Maya sebagai penghalang untuk menguasai harta keluarga.Sering sekali Maya mendapati pandangan sinis dari Andini. Banyak hal yang tidak disukai dari Maya. Entah sengaja atau tidak bahkan untuk hal-hal remeh sekalipun, Andini bisa naik pitam.Widya menahan gemuruh di dadanya, giginya gemerutuk. Bagaimanapun, dia tidak rela anak gadis kesayangannya dijelekkan oleh Maya. 'Baiklah Maya, kuikuti saja katamu, tapi tunggu pembalasanku' katanya dalam hati.Tapi Widya sadar, sebelum rencana untuk menjatuhkan Maya terlaksana, dia harus bermuka manis dulu di hadapan gadis itu."Iya iya nanti Mama bilang sama dia ya. Mama tahu, Andini itu sebenernya anaknya baik. Dia begitu karena merasa tidak terima kamu merebut semuanya dari dia. Begitu kamu kembali ke Indonesia, apa yang jadi miliknya berpindah tangan jadi milikmu. Papanya, rumahnya, dan mungkin perusahaan ini. Kalau kamu nggak pulang ke Indonesia mungkin Papa akan mewariskannya pada Andini."Loh ... Loh ... sebentar, ini tidak salah? Mata Maya membulat mendengar kata-kata Widya. Halus tapi tajam dirasakan. Kenapa jadi terbalik begini?"Apa Mama bilang barusan? Aku ngrebut semuanya dari Andini? Tunggu ... ini nggak salah?"Maya masih berusaha tenang. Bagaimanapun dia masih menghormati Widya sebagai orang tuanya. "Kok Mama bisa bilang begitu? Mama lupa ya kalau aku pulang ke Indonesia atas permintaan Papa? Mungkin Mama juga lupa dengan surat wasiat yang Papa buat, bahwa apa yang dimiliki Andini dulu, itu adalah hak aku. Seeemuuanya .... Jangan lupa itu."Sepertinya berkata tegas kali ini tidak mengapa. Hanya untuk meluruskan biar mama tirinya itu terbuka matanya.Maya tersenyum miring kali ini. Mamanya ini sepertinya sesekali harus diberi pelajaran juga biar tidak sembarangan bicara.Benar saja, muka Widya merah padam. Mungkin iya Maya terlihat lemah. Namun, yang tidak Widya ketahui adalah sikap lemah Maya itu hanya karena dia hormat kepada Widya sebagai Ibu. Tapi jika dirasa kelewat batas, Maya tahu harus bersikap bagaimana."Dan satu lagi, Ma. Apakah Mama lupa? Rumah yang kalian tempati itu juga hak milikku? Beruntung aku mengijinkan kalian untuk tinggal. Karena apa, Ma? Karena aku menganggap kalian keluarga. Tapi kalau kalian tidak bisa menghargai aku, ya maaf mungkin aku akan mengusir kalian."Waduh, sepertinya Widya salah ngomong. Maya jadi panas mendengar kata-katanya. Alih-alih Maya melembut hatinya, ini malah jadi tersulut emosi. Widya menarik nafas lalu coba memujuk Maya. "Eh ... he ... he iya , Sayang. Mama minta maaf, sabar ya. Maaf sepertinya Mama salah bicara. Ya sudah kalau begitu, nanti sampai rumah Mama bilangin Andini ya. Kalau begitu Mama pamit. Urusan Mama di sini sudah selesai."Sebelum emosi Maya memuncak, Widya buru-buru menyambar tasnya kemudian pamit pulang.Setelah widya keluar ruangan, Maya duduk di depan Bram. Dia mengatur nafasnya untuk menetralisir emosi akibat kata-kata mamanya tadi."Ada perlu apa sih Mama kesini, Mas? Nggak mungkin deh kalau cuma soal baju""Ooh itu, ya nanyain agenda kita itu loh.""Gathering perusahaan kita?""Iya, kan acara besar itu, May. Jadi Mama mau acaranya spektakuker. Maklum, di acara itu nanti semua pemegang saham berkumpul dan tentunya banyak tamu-tamu terhormat akan hadir.""Bukannya semua udah diurusin sama EO ya?""Ya kan kamu tau sendiri Mama itu orangnya kayak apa. Dia maunya semua perfect. Apalagi ini bawa nama perusahaan katanya." Bram tidak berani menatap Maya langsung.Bohong lagi. Maya tahu Bram berbohong. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan."Mas, beneran kamu nggak lagi macem-macem kan?""Macem-macem gimana maksudnya? Ihh kamu ini ada-ada aja deh."Maya menatap mata suaminya lekat-lekat. Bram teelihat salah tingkah dan makin gugup. Aura mengintimidasi yang Maya tunjukkan seolah memojokkan dirinya.'Mereka tadi membicarakan tentang Gathering Perusahaan yang akan diadakan sebentar lagi. Mungkinkah mereka merencanakan sesuatu?' terkanya dalam hati.Maya tahu persis soal itu. Kehadiran mamanya barusan membuat kecurigaanya menemukan titik terang. Semenjak dijelaskan oleh dr. Wira bahwa racun itu bekerja dalam jangka waktu tiga bulan, Maya sudah mengira bahwa target dari musuhnya adalah acara besar itu.Tiba-tiba Maya baru tersadar maksud kedatangannya ke ruangan Bram."O iya, Mas. Aku kesini karena ini nih, berkas kerjasama dengan Pak Kevin. Tolong kamu teliti lagi ya, aku tunggu hasilnya paling lambat besok."Maya meletakkan berkas yang tadi dibawanya di hadapan Bram. Seketika muka Bram menjadi pias. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan jari-jarinya.'Wah, gawat ini. Kalau sampai Maya tahu laporan keuangan yang sebenarnya,' katanya dalam hati dengan tangan yang semakin gemetaran.Bersambung ....Pagi ini Reynand berkunjung ke rumah sakit menemui dr. Wira. Selain menanyakan keadaan Maya, ada sesuatu yang harus dia kerjakan di ruangan ayah angkatnya itu."Tumben kesini nggak ngabari, Rey. Apa ada sesuatu yang mendesak?" tanya Dokter Wira."Oo ... iya ini, Om. Cuma mampir bentar kok. Rey bawa bunga Sansivera ini, katanya sih bagus. Bisa untuk penyegar ruangan. Saya taruh di rak kecil itu aja ya, Om. Yang deket lemari," kata Reynand bangkit lalu meletakkan satu pot kecil tanaman Sansivera disebuah rak menghadap meja Dokter Wira.Pot yang sama dengan yang dia taruh di kamar Maya tempo hari. Tanpa Dokter Wira ketahui, ada sesuatu dalam pot Sansivera mini itu."Mau nanya kondisi, Nona Maya sih sebeneenya ,Om. Kemarin siang badannya gemetaran lagi, padahal obat dari Om sudah diminum.""Ya seperti racunnya Rey, obat penetralisir itu juga bekerja bertahap. Kamu bantu kontrol aja. Makan harus teratur, istirahat yang cukup, jangan terlalu capek, dan situasi hatinya harus benar-benar dijag
Kevin pamit pulang dengan meninggalkan tanya di hati Maya. Dia pamit tepat lima menit sebelum meeting dimulai.Maya berfikir untuk menanyakan kepada Kevin setelah urusan kantornya selesai. Meeting kali ini banyak menguras emosi karena Bram tidak hadir."Maaf, Bu Maya. Pak Bram tidak bisa hadir," lapor Karin, sekretaris Maya."Pak Bram kemana memangnya, Karin?""Kurang tahu, Bu. Tasya yang meminta ijin bahwa Pak Bram tidak bisa hadir.""Ya sudah, kita lanjut saja. Nanti biar saya yang ngubungi Pak Bram."Entah kemana keberadaan suaminya itu. Maya coba menelfon tapi jawaban mengecewakan yang dia dapatkan."Halo, Mas. Lagi di mana? Ini meeting sebentar lagi loh," ucap Maya ketika sambungan telfon terhubung."Aduuh, Maya. Kan aku udah pesen sama Tasya aku nggak bisa hadir, lagi ada acara.""Acara apa sih, Mas. Reynand bilang Mas sering banget keluar kantor untuk urusan yang nggak jelas.""Ah Reynand lagi Reynand lagi, sok tahu dia itu.""Tapi ini penting, Mas.""Ah sudahlah! Aku sibuk, May
Maya bergidik sendiri, tidak pernah menyangka Andini akan berbuat kotor seperti itu. Dia ragu antara mau mendekat atau membiarkan saja, karena itu adalah kehidupan pribadi Andini.Tapi tunggu ... sepertinya Maya tidak asing dengan suara lelaki yang bersama Andini. Dadanya bergemuruh, suara itu mirip suara Mas Bram.Tapi, rasanya tidak mungkin. Benarkah Mas Bram yang sedang bersama Andini?Gemuruh di dadanya mendorong Maya untuk mendekat ke kamar Andini. Dia berjalan pelan agar tidak terdengar. Maya memejamkan mata untuk mengumpulkan kekuatan ketika sampai di depan kamar.Maya sudah memegang knop pintu ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik Maya untuk menjauh dari kamar Andini. Maya membalikkan badan."Bik Munah?!" kata Maya setelah tahu siapa yang menarik tangannya."Ssssst ... jangan keras-keras, Non. Nanti ketahuan," kata Bi Munah sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuk sebagai isyarat agar Maya tidak terlalu berbicara keras."Bik ... apa-apaan ini Bik? Bik Munah tahu siapa
"Oh ini ... bukan apa-apa, Nona. Hanya kalung biasa," jawab Reynand sambil memasukkan kalung itu ke dalam kaos putihnya."Tapi aku sepertinya tidak asing dengan kalung itu, boleh aku lihat, Rey?" Maya masih penasaran dengan kalung itu."Pastilah tidak asing. Kalung seperti ini di pasar kan banyak, Nona.""Bukan di pasar malam. Tapi beneran deh aku sepertinya pernah lihat. Kenapa sih disembunyikan?""Mmmhhh ... sebenarnya ini kalung dari ...." jawab Reynand ragu."Ooo aku tau, itu kalung dari Ijah ya?""Nah i-iya, Nona. Betul dari Ijah, buat pengobat rindu katanya he he ...," jawab Reynand cengengesan seperti menemukan alasan yang tepat.Maya terlihat masam dan Reynand tersenyum tanpa Maya sadari.Mereka melangkah lagi menyusuri pantai, tapi pikiran Maya masih tertuju pada kalung Reynand. Masalah dengan Bram justru bisa sedikit teralihkan.Maya menghentikan langkah dan menghadap Reynand."Tunggu ... itu tadi pakai liontin bintang kan ya?"Reynand mendengus kasar. Niat hati ingin mengali
Maya mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir deguban jantungnya yang semakin kencang. Reynand meringis kesakitan terkena patahan kayu dari bangku yang roboh tadi."Ups ... M-maaf, maaf ..." Maya lalu bangun dan membersihkan pasir-pasir yang menempel di bajunya.Reynand ikut berdiri lalu mengibaskan tangan untuk membersihkan pasir di celana dan jaketnya. Tapi tangannya tidak bisa menjangkau bagian punggung."Sini, aku bantu." Tanpa menunggu persetujuan Maya membersihkan punggung Reynand. Dia masih diam. Rupanya kejadian tiba-tiba ini lumayan mengacaukan perasaannya juga.Reynand mebalikkan badan dan kini berhadapan dengan Maya. Sesaat lamanya mata mereka bertemu lagi. Keduanya saling diam dan hanya perasaan saja yang bicara.Reynand perlahan memegang pipi Maya, menelusupkan jari ke sela-sela rambutnya yang panjang terurai. Lalu dengan pelan dia mulai mendekatkan wajahnya.Maya semakin gemetaran. 'Tuhan ... apa yang akan dia lakukan? Ah tidak, ini tidak benar. Namun, hatiku en
Lewat jam sebelas malam mereka sampai di rumah. Reynand memarkikan mobil lalu kembali ke kamarnya, sedangkan Maya berjalan sendiri memasuki rumah yang sudah dalam keadaan gelap.Lelah jiwa raga yang dia rasakan cukup membuat kepalanya sedikit berdenyut. Mata indahnya sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.Tiba-tiba lampu dinyalakan dari lantai atas. Tampak Andini menuruni tangga dengan mengenakan baju tidur model kimono."Wah ada Nona Muda rupanya, sang Ratu Wijaya Corporation. Dari mana saja jam segini baru pulang?"Maya hanya diam, sesuai arahan Reynand mulai sekarang dia harus pandai mengontrol emosi. Daripada buang-buang energi menanggapi Andini lebih baik digunakan untuk mencari bukti perselingkuhan mereka, lalu membawanya ke pengadilan.Ya Maya sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan Bram. Tapi tidak sekarang, Bram harus bertanggung jawab dulu karena sudah menggelapkan dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar."Mbak, udah ketularan Bik Munah ya ditanyain n
Delapan Tahun Yang LaluWiratama Hartadi segera melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit Waras Wiris begitu mendengar kabar bahwa kendaraan yang membawa keluarga Santora Dinata mengalami kecelakaan.Dia terpaksa membunyikan klakson berkali-kali untuk memecah kemacetan yang ada di depannya. Sahabatnya sangat membutuhkannya sekarang. Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu harus segera sampai ke rumah sakit, karena keluarga Santora Dinata membutuhkan tanda tangannya untuk tindakan operasi.Mobil yang dikendarai keluarga Santora mengalami kecelakaan tunggal, mobil itu menabrak pembatas jalan ketika mereka sekeluarga kembali dari Jogja. Kabar terakhir yang dia terima sahabatnya itu dalam keadaan kritis. Membayangkan hal buruk terjadi, Wira semakin menambah kecepatan laju kendaraannya. Mobil Alphard berwarna hitam itu membelok melewati gang sempit untuk menghindari kemacetan.Dokter Wira menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk sampai di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil dia segera be
Saat ini Reynand sedang berada di Grand Residence Apartment. Sebuah apartemen dengan desain eksklusif dan fasilitas premium di kawasan Kebayoran Lama.Bukan tanpa alasan Reynand sampai ke apartemen mewah tersebut. Reynand ingin menyelidiki keberadaan Bram terkait dengan penyelewengan dana 12 miliar. Pasalnya Direktur Utama itu selalu mangkir jika Maya mencarinya untuk minta penjelasan.Semenjak pertemuannya dengan Dokter Wira tempo hari, makin banyak hal-hal ganjil yang ia temui.Hari ini Reynand membuntuti kemana Bram pergi. Itupun atas saran Kevin yang lebih dulu mencurigai ada yang tidak beres dengan Bram. Dan akhirnya perjalanannya membawa Reynand ke apartemen mewah ini.Sengaja dia tidak memakai seragam agar Bram tidak menyadari keberadaannya. Kali ini dia memakai jaket kulit berwarna hitam, topi, dan kacamata baca.Reynand duduk di salah satu kursi di sudut lobi sambil membaca koran. Dari tempatnya berada dia dapat dengan leluasa mengamati orang-orang yang keluar masuk ke dalam a
Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
Setelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar
Tok .. tok ... tok Reynand mengetuk pintu sedkit agak ragu. Ah semarah-marahnya Maya masak iya sih nggak akan reda. "Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci."Pintu dibuka dengan sangat pelan. Sambil menyiapkan hati jikalau tiba-tiba Nonanya marah lagi. Entahlah, nanti pikir nanti. Yang penting dia ketemu dulu sama Maya. Sudah tiga hari Reynand tak melihat wajah ayu miliknya. Rindu ...."Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu, boleh saya masuk?"Maya kaget, bukan Bik Mumah seperti sangkanya, tetapi Reynand sang asisten yang selama tiga hari ini menghiasai angannya. Sejenak jantungnya berdegup lebih kencang karena desiran aneh yang selalu datang.Maya terpaku memandamg asistennya. Wajah itu, senyum itu, seakan berabad rasanya tak bertemu. Ada rindu yang menuntut untuk diluahkan. Jikalau tak memandang gengsi ingin rasanya Maya menghambur ke dalam pelukan Reynand.Ah tidak, dia tidak boleh menunjukkan per
"Nggak bisa gitu dong, Om. Aku nggak setuju kalau begini caranya," kata Reynand yang saat ini sudah berada di rumah Dokter Wira.Mereka terlibat dalam sebuah perbincangan tentang bagaimana bisa menangkap Widya dan anak buahnya."Tapi, Reynand, Om juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tolonglah mengerti, semua memang salah Om. Seperti yang sudah kuatakan, Om terjebak dalam lingkaran yang di buat Nyonya Widya. Om buntu, Rey, dan Om butuh seseorang untuk mendukung.""Mendukung untuk membunuh Maya? Tidak, Om. Ini gila ... mana mungkin aku melukai gadis yang sangat aku cintai. Om Wira juga tahu perasaanku seperti apa ke Maya."Reynand frustasi, sedang Dokter Wira hanya terdiam. Dia tahu yang dilakukan terhadap Maya adalah salah. Bagaimanapun nyawa Maya bisa tetancam.Reynand berdiri, dia berjalan mondar mandir, berusaha mencerna pengakuan Dokter Wira. Dan bagaimana bisa ide konyol itu muncul, dan su
Dalam layar tampak Maya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih sebatas dada. Reynand terpesona dengan apa yang dilihatnya. Berdosakah sekarang jika dia mengagumi gadis pujaannya itu? Pemandangan itu terlalu indah untuk dilewatkan.Maya berhenti membelakangi kamera seperti mencari sesuatu. Tapi tidak ketemu. Dengan posisi Maya seperti itu, Reynand dapat dengan jelas melihat kaki Maya yang putih mulus karena handuk yang dikenakan Maya berada di atas lutut.Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Jiwa kelakiannya terusik ketika melihat keadaan Maya yang nyaris tanpa busana. Tampak Maya berjalan ke kiri lalu hilang dari layar monitor.Syukurlah ... Reynand mengelus dada. Sedikit merasakan kelegaan akhirnya Maya menghilang dari pandangan. Karena jika terus disuguhi pemandanhan seperti itu Reynand bisa gila dibuatnya. Dia menghela nafas dalam. Sesak di dadanya kini sedikit menghilang.Tapi