Lewat jam sebelas malam mereka sampai di rumah. Reynand memarkikan mobil lalu kembali ke kamarnya, sedangkan Maya berjalan sendiri memasuki rumah yang sudah dalam keadaan gelap.Lelah jiwa raga yang dia rasakan cukup membuat kepalanya sedikit berdenyut. Mata indahnya sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.Tiba-tiba lampu dinyalakan dari lantai atas. Tampak Andini menuruni tangga dengan mengenakan baju tidur model kimono."Wah ada Nona Muda rupanya, sang Ratu Wijaya Corporation. Dari mana saja jam segini baru pulang?"Maya hanya diam, sesuai arahan Reynand mulai sekarang dia harus pandai mengontrol emosi. Daripada buang-buang energi menanggapi Andini lebih baik digunakan untuk mencari bukti perselingkuhan mereka, lalu membawanya ke pengadilan.Ya Maya sudah memantapkan hati untuk berpisah dengan Bram. Tapi tidak sekarang, Bram harus bertanggung jawab dulu karena sudah menggelapkan dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar."Mbak, udah ketularan Bik Munah ya ditanyain n
Delapan Tahun Yang LaluWiratama Hartadi segera melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit Waras Wiris begitu mendengar kabar bahwa kendaraan yang membawa keluarga Santora Dinata mengalami kecelakaan.Dia terpaksa membunyikan klakson berkali-kali untuk memecah kemacetan yang ada di depannya. Sahabatnya sangat membutuhkannya sekarang. Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu harus segera sampai ke rumah sakit, karena keluarga Santora Dinata membutuhkan tanda tangannya untuk tindakan operasi.Mobil yang dikendarai keluarga Santora mengalami kecelakaan tunggal, mobil itu menabrak pembatas jalan ketika mereka sekeluarga kembali dari Jogja. Kabar terakhir yang dia terima sahabatnya itu dalam keadaan kritis. Membayangkan hal buruk terjadi, Wira semakin menambah kecepatan laju kendaraannya. Mobil Alphard berwarna hitam itu membelok melewati gang sempit untuk menghindari kemacetan.Dokter Wira menghabiskan waktu selama hampir satu jam untuk sampai di rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil dia segera be
Saat ini Reynand sedang berada di Grand Residence Apartment. Sebuah apartemen dengan desain eksklusif dan fasilitas premium di kawasan Kebayoran Lama.Bukan tanpa alasan Reynand sampai ke apartemen mewah tersebut. Reynand ingin menyelidiki keberadaan Bram terkait dengan penyelewengan dana 12 miliar. Pasalnya Direktur Utama itu selalu mangkir jika Maya mencarinya untuk minta penjelasan.Semenjak pertemuannya dengan Dokter Wira tempo hari, makin banyak hal-hal ganjil yang ia temui.Hari ini Reynand membuntuti kemana Bram pergi. Itupun atas saran Kevin yang lebih dulu mencurigai ada yang tidak beres dengan Bram. Dan akhirnya perjalanannya membawa Reynand ke apartemen mewah ini.Sengaja dia tidak memakai seragam agar Bram tidak menyadari keberadaannya. Kali ini dia memakai jaket kulit berwarna hitam, topi, dan kacamata baca.Reynand duduk di salah satu kursi di sudut lobi sambil membaca koran. Dari tempatnya berada dia dapat dengan leluasa mengamati orang-orang yang keluar masuk ke dalam a
Reynand sampai di kantor ketika Maya sedang menandatangani berkas-berkas di mejanya."Selamat pagi, Nona.""Siang, Rey. Ini sudah jam berapa." Jawab Maya tetap fokus pada pekerjaannya.Sikap diam Reynand membuat Maya menoleh."Apa ada masalah?""Mmmhhh ... iya. Eh tapi kalau Nona sibuk, nanti aja."Maya menutup berkas dan meletakkan pena pada tempatnya lalu bersandar di kursi."Sekarang aku nggak sibuk. Kamu bisa duduk dan ceritakan ada masalah apa.""Kita ke ruang meeting saja."Maya heran tapi akhirnya berdiri mengikuti Reynand yang telah berjalan terlebih dahulu. Tampak dia berbicara pada Karin."Karin, kami ada meeting dadakan. Batalkan semua agenda Ibu Maya atau tunda sampai siang setelah jam dua.""Karin, berkas yang saya tanda tangani sudah selesai. Kamu bisa ambil di meja saya."Karin melongo melihat kedua atasannya berkata sambil berlalu menuju ruang meeting.Di ruang meeting mereka duduk berhadapan. Kemudian Reynand mengeluarkan sebuah amplop coklat seukuran folio."Apa ini?"
Pukul empat sore Maya sudah sampai di rumah. Dia masuk ke paviliun melalui gerbang samping. Mang Darto yang diminta untuk parkir di depan paviliun sepertinya sudah paham, pasti Bi Munah sudah menceritakannya.Entahlah, sejak dia memergoki Bram dengan Andini dia agak jengah berada dalam rumah itu. 'Tunggulah waktu yang tepat, dan kalian semua akan keluar dari rumahku,' pikir Maya dalam hati yang masih terasa nyeri jika mengingat hal itu.Sampai di kamar hal pertama yang Maya lakukan adalah menghubungi Reynand. Ditekannya tombol memanggil, tapi berkali-kali Reynand dihubungi tidak ada tanda panggilannya terhubung. Maya mencoba mengirim pesan melalui aplikasi berwarna hijau tapi hanya centang satu."Duh kemana lah si Reynand ini. Lagi dibutuhkan malah nggak bisa dihubungi," Maya akhirnya mengalah, " ah nanti sajalah aku hubungi lagi.Lebih baik aku mandi dan bersiap - siap,” katanya kemudian melempar ponsepnya asal
Setengah jam kemudian mereka sampai di sebuah restoran mewah dengan desain Eropa Klasik. Bangunan depan restoran tersebut menjulang tinggi dengan lampu-lampu besar menghiasi setiap sudutnya. Tiang-tiang kokoh terbuat dari marmer dengan warna perpaduan putih gading dan emas semakin membuat kesan mewah pada restoran tersebut.Kedatangan mereka disambut oleh dua orang pelayan di depan pintu masuk. Maya menggandeng lengan Kevin dan melangkah anggun menuju meja yang telah direservasi Kevin terlebih dahulu.Di sebelah kanan kiri mereka terdapat hiasan rangkaian bunga warna warni membuat suasana malam itu benar-benar romantis.Berbagai macam hidangan telah tersaji di meja. Begitulah Kevin, tidak suka menunggu. Sore tadi dia sudah membuat reservasi meja berikut menu makannya. Jadi begitu mereka datang tidak perlu lagi menunggu pesanan datang.Beberapa kali bertemu membuat Maya bisa lebih santai berbincang dengan Kevin. Dia orangnya coo
"Pagi, Cantik."Tiba-tiba Kevin muncul di pintu. Pagi ini sesuai rencana Kevin datang ke kantor Maya untuk membicarakan situasi perusahaan."Hai ... pagi, rajin amat. Jadwal kita jam 10 kan, Vin?""Iya sih, kangen aja buru-buru pengen ketemu kamu." Kevin tertawa ciri khas pemuda tampan itu. Tak ketinggalan buket mawar pink yang selalu dia bawa untuk Maya."Vin, jangan kasih bunga terus lah. Aku nggak enak. Aku harap kamu nggak lupa dengan kata-kataku semalam.""Ah santai ajalah, May. Anggap saja bunga ini sebagai tanda persahabatan kita. Tenang aja, aman. Aku nggak akan maksa kamu kok." Kevin berkata serius."Oke, baiklah. Kalau gitu aku terima."Maya bangkit melangkah mendekati Kevin yang masih berdiri untuk mengambil buket itu. Tapi malang saat hendak melangkah sepatunya sedikit menyenggol salah satu kaki meja membuat dia terhuyung.Kevin menangkap tubuh Maya agar tidak
"Kevin, Reynand, ada apa ini?" Maya menatap mereka tajam meminta penjelasan."Ooh ... nggak papa kok, May. Cuma main-main aja. Ya kan, Rey? Yuk kita mulai meeting-nya."Kevin melepaskan cengkeraman tangan Reynand dan tersenyum sedikit gelagapan. Lalu keluar setelah menepuk-nepuk pundak Reynand dan menuju ruang meeting. Sedang Reynand mendengus kesal. Dia menunduk tidak berani memandang Maya."Mari, Nona. Kita mulai meeting-nya."Maya tak bergeming membuat Reynand terpaksa menatapnya. Mata mereka bertemu. Ada sesak yang menguasai perasaan keduanya."Kamu berhutang penjelasan sama aku, Rey."Kata Maya lirih namun tegas lalu meninggalkan Reynand dan menyusul Kevin menuju ruang meeting. Reynand kemudian menyusul mereka dengan perasaan yang sulit diartikan.Setahun bekerja bersama Maya baru kali ini dia merasakan sesuatu yang sangat mengganggu. Apakah dia cemburu seperti yang Kevin katakan t
Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
Setelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar
Tok .. tok ... tok Reynand mengetuk pintu sedkit agak ragu. Ah semarah-marahnya Maya masak iya sih nggak akan reda. "Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci."Pintu dibuka dengan sangat pelan. Sambil menyiapkan hati jikalau tiba-tiba Nonanya marah lagi. Entahlah, nanti pikir nanti. Yang penting dia ketemu dulu sama Maya. Sudah tiga hari Reynand tak melihat wajah ayu miliknya. Rindu ...."Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu, boleh saya masuk?"Maya kaget, bukan Bik Mumah seperti sangkanya, tetapi Reynand sang asisten yang selama tiga hari ini menghiasai angannya. Sejenak jantungnya berdegup lebih kencang karena desiran aneh yang selalu datang.Maya terpaku memandamg asistennya. Wajah itu, senyum itu, seakan berabad rasanya tak bertemu. Ada rindu yang menuntut untuk diluahkan. Jikalau tak memandang gengsi ingin rasanya Maya menghambur ke dalam pelukan Reynand.Ah tidak, dia tidak boleh menunjukkan per
"Nggak bisa gitu dong, Om. Aku nggak setuju kalau begini caranya," kata Reynand yang saat ini sudah berada di rumah Dokter Wira.Mereka terlibat dalam sebuah perbincangan tentang bagaimana bisa menangkap Widya dan anak buahnya."Tapi, Reynand, Om juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tolonglah mengerti, semua memang salah Om. Seperti yang sudah kuatakan, Om terjebak dalam lingkaran yang di buat Nyonya Widya. Om buntu, Rey, dan Om butuh seseorang untuk mendukung.""Mendukung untuk membunuh Maya? Tidak, Om. Ini gila ... mana mungkin aku melukai gadis yang sangat aku cintai. Om Wira juga tahu perasaanku seperti apa ke Maya."Reynand frustasi, sedang Dokter Wira hanya terdiam. Dia tahu yang dilakukan terhadap Maya adalah salah. Bagaimanapun nyawa Maya bisa tetancam.Reynand berdiri, dia berjalan mondar mandir, berusaha mencerna pengakuan Dokter Wira. Dan bagaimana bisa ide konyol itu muncul, dan su
Dalam layar tampak Maya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih sebatas dada. Reynand terpesona dengan apa yang dilihatnya. Berdosakah sekarang jika dia mengagumi gadis pujaannya itu? Pemandangan itu terlalu indah untuk dilewatkan.Maya berhenti membelakangi kamera seperti mencari sesuatu. Tapi tidak ketemu. Dengan posisi Maya seperti itu, Reynand dapat dengan jelas melihat kaki Maya yang putih mulus karena handuk yang dikenakan Maya berada di atas lutut.Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Jiwa kelakiannya terusik ketika melihat keadaan Maya yang nyaris tanpa busana. Tampak Maya berjalan ke kiri lalu hilang dari layar monitor.Syukurlah ... Reynand mengelus dada. Sedikit merasakan kelegaan akhirnya Maya menghilang dari pandangan. Karena jika terus disuguhi pemandanhan seperti itu Reynand bisa gila dibuatnya. Dia menghela nafas dalam. Sesak di dadanya kini sedikit menghilang.Tapi