Tok .. tok ... tok Reynand mengetuk pintu sedkit agak ragu. Ah semarah-marahnya Maya masak iya sih nggak akan reda.
"Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci."Pintu dibuka dengan sangat pelan. Sambil menyiapkan hati jikalau tiba-tiba Nonanya marah lagi. Entahlah, nanti pikir nanti. Yang penting dia ketemu dulu sama Maya. Sudah tiga hari Reynand tak melihat wajah ayu miliknya. Rindu ...."Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu, boleh saya masuk?"Maya kaget, bukan Bik Mumah seperti sangkanya, tetapi Reynand sang asisten yang selama tiga hari ini menghiasai angannya. Sejenak jantungnya berdegup lebih kencang karena desiran aneh yang selalu datang.Maya terpaku memandamg asistennya. Wajah itu, senyum itu, seakan berabad rasanya tak bertemu. Ada rindu yang menuntut untuk diluahkan. Jikalau tak memandang gengsi ingin rasanya Maya menghambur ke dalam pelukan Reynand.Ah tidak, dia tidak boleh menunjukkan perSetelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
"Maaf kalau Om harus menyampaikan hal ini, Maya. Tapi hasil lab memang mengatakan demikian. Memang ada racun dalam obat yang kamu konsumsi selama ini," jelas Dokter Wira setelah menerima hasil uji lab obat yang dikonsumsi Maya.Dokter Wira adalah dokter keluarga Maya sekaligus sahabat almarhum papanya."Tapi siapa, Om? Siapa orang yang tega melakukan hal ini?" Maya berkata lemah. Saat ini Maya tengah berada di ruang Dokter Wira, menunggu dijemput untuk pulang setelah tiga hari dirawat di rumah sakit.Butiran air mata nampak meleleh di kedua pipinya. Maya tak menyangka ada orang yang tega meracuni dirinya. Disaat dia berjuang melawan penyakit autoimun yang dideritanya, justru dia dihadapkan pada kenyataan pahit. Ada orang yang menginginkan dia mati.Maya coba mengingat siapa kira-kira yang tega berbuat jahat kepadanya. Obat itu diantarkan suaminya ke kamar setiap pagi. Ditaruh dalam sebuah piring kecil dan diletakkan di meja dekat jendela kamarnya. Tidak mungkin rasanya kalau Mas Bram y
"Saya ... " kata seseorang yang baru masuk ke ruangan itu."Reynand ...? Jadi kamu yang meminta Om Wira untuk uji lab?" tanya Maya. Reynand adalah asisten pribadi Maya dan sudah satu tahun bekerja padanya."Iya, Nona. Maaf jika saya tidak meminta ijin terlebih dahulu," jawab asisten pribadinya itu sambil duduk di kursi samping Maya."Iya, dengan sedikit memaksa juga waktu itu kan, Rey?" kali ini Dokter Wira yang berbicara sambil tersenyum."Iya Om, maaf. Karena saya tahu kinerja Om Wira itu seperti apa. Selama masa terapi yang Nona Maya lakukan, sedikitpun tidak ada tanda-tanda kemajuan. Saya jadi curiga. Harusnya dua minggu menjalani terapi, Nona Maya sudah membaik. Tapi ini malah semakin drop."Reynand benar, siapa yang tidak kenal dengan Dokter Wiratama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu sangat terkenal di dunia kedokteran. Mempunyai pasien paling banyak dan rata-rata semuanya puas dengan kinerja dokter berambut ikal yang sudah mulai ditumbuhi uban itu.Maya membenarkan kata Reyna
Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
Setelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar
Tok .. tok ... tok Reynand mengetuk pintu sedkit agak ragu. Ah semarah-marahnya Maya masak iya sih nggak akan reda. "Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci."Pintu dibuka dengan sangat pelan. Sambil menyiapkan hati jikalau tiba-tiba Nonanya marah lagi. Entahlah, nanti pikir nanti. Yang penting dia ketemu dulu sama Maya. Sudah tiga hari Reynand tak melihat wajah ayu miliknya. Rindu ...."Selamat malam, Nona. Maaf mengganggu, boleh saya masuk?"Maya kaget, bukan Bik Mumah seperti sangkanya, tetapi Reynand sang asisten yang selama tiga hari ini menghiasai angannya. Sejenak jantungnya berdegup lebih kencang karena desiran aneh yang selalu datang.Maya terpaku memandamg asistennya. Wajah itu, senyum itu, seakan berabad rasanya tak bertemu. Ada rindu yang menuntut untuk diluahkan. Jikalau tak memandang gengsi ingin rasanya Maya menghambur ke dalam pelukan Reynand.Ah tidak, dia tidak boleh menunjukkan per
"Nggak bisa gitu dong, Om. Aku nggak setuju kalau begini caranya," kata Reynand yang saat ini sudah berada di rumah Dokter Wira.Mereka terlibat dalam sebuah perbincangan tentang bagaimana bisa menangkap Widya dan anak buahnya."Tapi, Reynand, Om juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tolonglah mengerti, semua memang salah Om. Seperti yang sudah kuatakan, Om terjebak dalam lingkaran yang di buat Nyonya Widya. Om buntu, Rey, dan Om butuh seseorang untuk mendukung.""Mendukung untuk membunuh Maya? Tidak, Om. Ini gila ... mana mungkin aku melukai gadis yang sangat aku cintai. Om Wira juga tahu perasaanku seperti apa ke Maya."Reynand frustasi, sedang Dokter Wira hanya terdiam. Dia tahu yang dilakukan terhadap Maya adalah salah. Bagaimanapun nyawa Maya bisa tetancam.Reynand berdiri, dia berjalan mondar mandir, berusaha mencerna pengakuan Dokter Wira. Dan bagaimana bisa ide konyol itu muncul, dan su
Dalam layar tampak Maya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih sebatas dada. Reynand terpesona dengan apa yang dilihatnya. Berdosakah sekarang jika dia mengagumi gadis pujaannya itu? Pemandangan itu terlalu indah untuk dilewatkan.Maya berhenti membelakangi kamera seperti mencari sesuatu. Tapi tidak ketemu. Dengan posisi Maya seperti itu, Reynand dapat dengan jelas melihat kaki Maya yang putih mulus karena handuk yang dikenakan Maya berada di atas lutut.Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Jiwa kelakiannya terusik ketika melihat keadaan Maya yang nyaris tanpa busana. Tampak Maya berjalan ke kiri lalu hilang dari layar monitor.Syukurlah ... Reynand mengelus dada. Sedikit merasakan kelegaan akhirnya Maya menghilang dari pandangan. Karena jika terus disuguhi pemandanhan seperti itu Reynand bisa gila dibuatnya. Dia menghela nafas dalam. Sesak di dadanya kini sedikit menghilang.Tapi