'Sesuatu yang membuat Kami harus di jalan yang berbeda.'Kalimat itu terus berdengung di pikiranku. Satu detik, satu menit, dan ... Mas Gibran tetap saja bungkam. Tidak ada lagi kelanjutan dari kalimatnya.Ah ... ya sudahlah! Kalau Mas Gibran tidak mau menceritakannya, mungkin dia merasa belum saatnya Aku tau. OK! Yang penting sekarang Aku segalanya 'kan bagi Mas Gibran? Jadi tetap lebih istimewa dari yang istimewa 'kan? Ya ... semoga saja. Amin!Aku memilih kembali melanjutkan menikmati sajian ice cream di hadapanku. Betul kata Mas Gibran, perempuan itu tidak akan pernah membenci ice cream, kecuali dia lagi diet, hehehe."Audrey ... Aku sulit mengungkapkan perasaanku pada seseorang. Tapi kalau sampai Aku berani menyatakan perasaan itu, artinya Aku sungguh-sungguh. Kamu bisa pegang omonganku," ujar Mas Gibran seraya menggenggam tanganku.Akupun mengangguk dan membalas genggamannya. Kutatap manik mata hitamnya. Mencoba mencari kebohongan di sana.Tapi ... entah lah, sorot mata Mas Gibr
Sepanjang perjalanan pulang dari kedai ice cream Bobby menuju rumah, aku terus saja berpikir tentang dugaan kak Mina tentang orientasi sexual Clara. Apalagi ditambah dengan keanehan Mas Gibran yang tiba-tiba memborbardirku dengan banyak pertanyaan mengenai perasaanku terhadap kedua sahabat gesrekku, Shabina dan Mentari. Seakan memastikan bahwa aku tidak memiliki ketertarikan ke sesama jenis.Sontak hal tersebut membuat sel-sel otakku berusaha merangkai puzzle yang ada untuk menemukan jawaban dari kekepoanku ini. Apa memang betul si Clara bisexual? Apa Mas Gibran mengetahui itu? Oleh karenanya hubungan mereka berakhir? Karena walau bagaimanapun rasanya aku belum menemukan alasan yang tepat mengapa mereka mengakhiri hubungan asmara.Seperti yang aku bilang, Clara itu bibit unggul, bobot excellent, dan bebet istimewa. Ditambah lagi cerita masa lalu mereka berdua. 12 tahun, gaes! 12 tahun jelas bukan waktu yang singkat bagi sepasang kekasih menjalin kisah kasih asmara. Pasti banyak kenang
Hari ini adalah hari terakhir Mas Gibran di London. Selama di sana, pria tampan itu selalu menyempatkan waktu itu melakukan facetime denganku walau hanya satu atau dua menit. Kecuali kemarin, Mas Gibran bilang, kemarin dia sedang super sibuk, sehingga tidak bisa walau hanya sekedar sekian detikpun facetime denganku.Okelah, sebagai kekasih yang pengertian, aku tidak mau banyak protes. Kasihan juga Mas Gibran pasti sudah lelah dengan urusan bisnisnya, jadi aku tidak mau menambah level kelelahannya hanya karena rengekan manjaku.Walau sejujurnya rasa rinduku sudah semakin memuncak. Ya namanya juga pasangan kekasih baru yang masih anget-anget kuku. Eh, malah harus berpisah 10 hari. Kemput-kemput rasanya hati ini 'kan!"8,5 dari 10 untuk kopi caramel ini," terdengar suara Shabina di salah satu sudut meja makan rumahku. Aku dan mama sedang mengundang dua komentator terbaik, Shabina dan Mentari, untuk menilai 2 menu kopi dan 1 menu cake terbaru kreasi mama dan Tim Alina Gump."9 dari 10 unt
Seperti biasa, soreku di hari Senin adalah mengajar Gea dan Luna. Dengan motor matik kesayanganku aku bergerak dari kampus ke rumah mewah keluarga kekasihku itu."Sore, Audrey," sapa Mama Elma ketika melihatku berjalan menuju kamar belajar Gea dan Luna."Sore, Ma.""Nanti makan malam di sini ya. Mama masak rendang kesukannmu. Gibran juga sebentar lagi pulang."Akupun mengangguk untuk mengiyakan permintaan Mama Elma. Walau sebenarnya aku masih malas bertemu Mas Gibran, tapi Aku tidak sampai hati menolak permintaan sang mama.Jujur, aku masih kesal mengingat tulisan di situs berita online kemarin terkait kebersamaannya dengan Clara. Apalagi mengingat foto-foto mesra mereka berdua, beh ... rasanya ingin aku cocolin sambal kecombrang buatan Mama ke wajah Mas Gobran dan mantan terindahnya itu!"Tante Audrey ... " terdengar suara cempreng khas anak-anak dari arah ruang belajar Gea dan Luna. Bisa dipastikan dua kakak beradik itu sudah tidak sabar bertemu denganku. Karena hari ini kami akan m
"Aku tidak tau jika Clara juga sedang di London. Tiba-tiba dia menghubungiku. Hari itu dia bilang sedang free dan tidak ada teman jadi dia memutuskan untuk menemaniku bekerja seharian."Jangan bilang Clara sengaja menyusul Mas Gibran ke London? Dan ... Kenapa juga dia harus menemani Mas Gibran seharian? Mau jadi baby sitter Mas Gibran? Huft!"Kebetulan hari itu jadwal pekerjaan Kami memang padat. Maka dari itu Aku tidak bisa menghubungimu."Oya? Sepadat itu?"Ooo ... karena jadwal pekerjaan yang padat ya? Bukan karena jadwal berdua bersama Mantan Terindah yang padat?""Audrey ... " lirih Mas Gibran. Matanya menatap manik coklat mataku dengan sangat lekat. "Saat itu Kami tidak hanya berdua. Ada Tian, Revan, dan asisten Revan."Aku coba selami tatapan Mas Gibran. Mencari titik kebohongan si sorot matanya. Namun tidak aku temukan sedikitpun titik itu.Akupun mengehela nafas panjang. Mencoba tetap berpikir sejernih mungkin. Tapi apa daya, visual foto-foto Clara dan Mas Gibran yang ditampi
Hujan deras mengguyur Jakarta pagi ini. Audrey yang baru saja akan menuju kampus segera menepi di sebuah halte untuk memakai jas hujannya. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata sedang mengawasi gerak geriknya.Dua pasang mata tersebut sedang berada di dalam sebuah mobil mewah yang terparkir 100 meter dari posisi Audrey. Keduanya adalah wanita. Yang satu berambut panjang, sedangkan satu lagi berambut pendek.Keduanya sudah mengikuti Audrey sejak dari rumahnya. Dengan sengaja mereka ingin melihat lebih dekat seperti apa rupa kekasih Gibran Maharsa Adinata itu.Keduanya menatap lekat setiap garis wajah Audrey. Memperhatikan setiap air muka Audrey ketika menggunkan jas hujannya. Ada kekaguman yang tersirat di ekspresi dua wanita itu."Dia memang cantik. Selera Gibran memang yang seperti ini. Wajah blasteran, dan ... cerdas. Seperti Marry, selingkuhan Gibran ketika aku mengandung anaknya," ujar salah satu dari dua orang di mobil itu, yaitu si wanita berambut panjang.Wanita itu menatap nan
Setibanya di kampus, aku bergegas ke Toilet, merapikan penampilanku yang sedikit acakadut karena menerjang hujan pagi ini. "Pagi, Mbak Audrey," sapa Pak Widi, salah satu satpam kampusku. Bukannya aku famous alias mahasiswa beken sampai satpam saja mengenaliku. Hanya saja istri pak Widi kebetulan salah satu pegawai Alina Gump. "Pagi, Pak. Bu Sinta sudah datang belum ya" "Baru saja datang, Mbak." Baguslah, aku bisa langsung menemuinya. Hari ini aku sudah membuat janji dengan dosen cantik kesayangan banyak mahasiswa itu. Kebetulan Bu Sinta adalah dosen pembimbing skripsiku. Rencananya hari ini aku akan bimbingan skripsi untuk yang terakhir, sebelum aku harus masuk ke proses sidang. Bismillah, semoga lancar, amin. Setelah itu ... Kawin! Eh, kerja maksduku, hehehe. 60 menit berselang, aku sudah keluar dari ruangan dosen pembimbingku. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Cuaca sudah mulai cerah, akupun menuju taman di kampusku. Rencananya aku akan menghabiskan waktu di taman yang begitu nyam
- FLASHBACK ON -"Audrey ... " terdengar suara panik Revan. Sepupu Gibran dan Clara itu tidak sengaja berada di sekitar daerah tempat Audrey kecelakaan. Saat itu Revan berencana akan makan siang dengan Mentari. Di perjalanan menuju rumah makan, mereka berpapasan dengan motor matic Audrey yang hancur tak berbentuk. Hanya plat nomernya yang masih dapat dikenali. Mentari yang hafal betul dengan plat nomor motor matik sahabatnya itu segera meminta Revan menepi.Seketika kaki Mentari terasa lemas tak bertulang. Di hadapannya tampak Audrey berlumur darah. Sahabatnya itu tidak sadarkan diri. Beberapa orang tampak berusaha menolongnya."A-Audrey ... " suara Mentari bergetar. Rasanya dadanya seperti terhimpit benda padat yang begitu kuat. Pikirannya kacau meilihat sahabatnya dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Apalagi Audrey tidak bereaksi sama sekali ketika dibangunkan. "Mas dan mbak kenal orang ini?" tanya salah satu warga yang hendak menolong Audrey."Ya, dia teman Kami."Revan segera me
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb
Malam harinya, resepsi pernikahan kami digelar. Masih di tempat yang sama namun dengan konsep acara yang berbeda.Pada akad nikah, kami menginginkan acara yang sakral dan hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Sedangkan pada resepsi pernikahan, kesan mewah, megah, dan meriah sangat tampak di konsep acara.Selain itu tamu undangan yang hadir juga jauh lebih banyak pada acara resepsi malam ini. Jika pada akad nikah hanya dihadiri keluarga, kerabat, dan sahabat, pada resepsi malam ini tamu yang hadir datang dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pengusaha kelas atas negeri ini, para sosialita teman-teman Mama Elma, sampai beberapa selebriti terkenal.Astaga, Kak Livy benar-benar all out dalam mempersiapkan acara resepsi malam ini.Aku dan Mas Gibran bak ratu dan raja dalam semalam. Gaun nerwarna bronze yang aku gunakan dipadukan dengan tiara di atas kepalaku, membuatku tampil seperti ratu di buku dongeng yang biasa aku baca semasa kecil dulu. Apalagi di sampingku berdiri seorang pria
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari pernikahanku dengan Om Tampanku, Gibran Maharsa Adinata.Pukul 05.30 Kami sudah berada di salah satu hotel keluarga Adinata. Di ballroom hotel inilah pernikahan kami akan digelar. Dimulai dengan akad nikah di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.Sejak pukul 06.00 pagi tadi, seorang makeup artis ternama ibukota sudah memoles wajah blasteranku. Menurutnya butuh waktu sekitar 2 jam untuk makeup dan hairdo. Sedangkan akad nikah sendiri dimulai pukul 08.00 wib dengan ijab qabul harus terlaksana pada pukul 08.30 wib.Setelah makeup dan tatanan rambut selesai dikerjakan, aku mulai dibantu untuk memakai kebaya cantik yang sudah dibuatkan khusus untukku oleh mama mertua Kak Livy."Cantik sekali!" puji Shabina dan Mentari yang sudah siap menjadi pengiringku menuju meja akad."Iya, cantik sekali Kamu, Audrey!" puji mama mertua Kak Livy."Berkat makeup dan hairdo kak Bonita, ditambah baju buatan Tante yang luar biasa indah," balasku
Malam sudah larut. Mas Gibran tadi juga sudah mengabari bahwa dia hendak pulang dari rumah sakit. Dia menugaskan Theo, salah satu bodyguardnya yang lain untuk menemani Clara. Sedangkan Jay diminta kembali ke rumahku untuk menjagaku dan Mama.Ada kelegaan di hatiku ketika tau Mas Gibran sudah pulang dari rumah sakit. To be honest aku tidak rela Mas Gibran kembali bertemu Clara, apalagi tidak ada aku di sampingnya. Tapi ya mau gimana lagi? Mas Gibran tadi sudah berjanji akan menyusul Clara ke Rumah Sakit, sedangkan aku tidak mungkin ikut ke sana.Selain untuk melihat kondisi Aurora, Mas Gibran ke rumah sakit juga untuk memperingati Clara. Kalau dia kembali nekat, Mas Gibran sudah tidak akan lagi memaafkannya. Ini sudah ketiga kalinya Clara hendak mencelakaiku. Rasanya sudah lebih dari cukup memberi kesempatan pada penyanyi cantik itu.Namun untuk memberi efek jera, Mas Gibran tetap akan memberi hukuman pada Clara. Memang bukan melaporkan ke pihak berwajib, tapi Mas Gibran akan menyampai