Hujan deras mengguyur Jakarta pagi ini. Audrey yang baru saja akan menuju kampus segera menepi di sebuah halte untuk memakai jas hujannya. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata sedang mengawasi gerak geriknya.Dua pasang mata tersebut sedang berada di dalam sebuah mobil mewah yang terparkir 100 meter dari posisi Audrey. Keduanya adalah wanita. Yang satu berambut panjang, sedangkan satu lagi berambut pendek.Keduanya sudah mengikuti Audrey sejak dari rumahnya. Dengan sengaja mereka ingin melihat lebih dekat seperti apa rupa kekasih Gibran Maharsa Adinata itu.Keduanya menatap lekat setiap garis wajah Audrey. Memperhatikan setiap air muka Audrey ketika menggunkan jas hujannya. Ada kekaguman yang tersirat di ekspresi dua wanita itu."Dia memang cantik. Selera Gibran memang yang seperti ini. Wajah blasteran, dan ... cerdas. Seperti Marry, selingkuhan Gibran ketika aku mengandung anaknya," ujar salah satu dari dua orang di mobil itu, yaitu si wanita berambut panjang.Wanita itu menatap nan
Setibanya di kampus, aku bergegas ke Toilet, merapikan penampilanku yang sedikit acakadut karena menerjang hujan pagi ini. "Pagi, Mbak Audrey," sapa Pak Widi, salah satu satpam kampusku. Bukannya aku famous alias mahasiswa beken sampai satpam saja mengenaliku. Hanya saja istri pak Widi kebetulan salah satu pegawai Alina Gump. "Pagi, Pak. Bu Sinta sudah datang belum ya" "Baru saja datang, Mbak." Baguslah, aku bisa langsung menemuinya. Hari ini aku sudah membuat janji dengan dosen cantik kesayangan banyak mahasiswa itu. Kebetulan Bu Sinta adalah dosen pembimbing skripsiku. Rencananya hari ini aku akan bimbingan skripsi untuk yang terakhir, sebelum aku harus masuk ke proses sidang. Bismillah, semoga lancar, amin. Setelah itu ... Kawin! Eh, kerja maksduku, hehehe. 60 menit berselang, aku sudah keluar dari ruangan dosen pembimbingku. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Cuaca sudah mulai cerah, akupun menuju taman di kampusku. Rencananya aku akan menghabiskan waktu di taman yang begitu nyam
- FLASHBACK ON -"Audrey ... " terdengar suara panik Revan. Sepupu Gibran dan Clara itu tidak sengaja berada di sekitar daerah tempat Audrey kecelakaan. Saat itu Revan berencana akan makan siang dengan Mentari. Di perjalanan menuju rumah makan, mereka berpapasan dengan motor matic Audrey yang hancur tak berbentuk. Hanya plat nomernya yang masih dapat dikenali. Mentari yang hafal betul dengan plat nomor motor matik sahabatnya itu segera meminta Revan menepi.Seketika kaki Mentari terasa lemas tak bertulang. Di hadapannya tampak Audrey berlumur darah. Sahabatnya itu tidak sadarkan diri. Beberapa orang tampak berusaha menolongnya."A-Audrey ... " suara Mentari bergetar. Rasanya dadanya seperti terhimpit benda padat yang begitu kuat. Pikirannya kacau meilihat sahabatnya dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Apalagi Audrey tidak bereaksi sama sekali ketika dibangunkan. "Mas dan mbak kenal orang ini?" tanya salah satu warga yang hendak menolong Audrey."Ya, dia teman Kami."Revan segera me
"Sayang ... " terdengar suara mama. Sangat lembut, nyaman, dan menenangkan.Dimana Aku? Apa ini alam kubur? Kenapa bentuknya mirip kamar tempatku di rawat?"Sayang ... " terdengar lagi suara mama. Aku menoleh ke arah datangnya suara itu.Mama? Di alam kubur aku masih bisa melihat mama?Satu detik, dua detik, tiga detik, dan ... aku masih terpaku memandangi wajah cantik mama."Audrey ... " kini giliran suara Mas Gibran yang terdengar di runguku.Wah ... di alam kubur aku juga bisa mendengar suara kekasihku?"Audrey ... " kembali runguku menangkap suara bariton yang sangat aku kagumi itu.Akupun menoleh ke arah datanganya suara tersebut. Wah ... di alam kubur ternyata aku juga masih bisa bertemu Mas Gibran. Ah, tampannya kekasihku.Tak lama tampak tiga orang menggunakan baju rumah sakit berjalan ke arahku.Lah? Di alam kubur juga ada dokter dan perawat? Bukannya di alam kubur isinya manusia yang sudah meninggal? Lalu untuk apa ada dokter dan perawat? Orang yang meninggal masih bisa mera
Dua bulan sudah Gibran tidak pulang ke rumahnya. Selama Audrey dirawat di rumah sakit, Gibran memang hanya mengenal kantor dan rumah sakit sebagai tempat kesehariannya menghabiskan waktu. Kini Audrey sudah semakin membaik. Perdarahan dan cidera di dalam tubuhnya sudah berangsur sembuh, tangan kirinya sudah bisa berfungsi dengan baik. Bahkan gips di kakinya sudah dilepas, hanya saja kekuatan kakinya masih belum bisa kembali seperti sebelumnya. Dokter orthopedi yang merawatnya berpesan, Audrey harus sering latihan di rumah maupun di fisioterapi yang sudah ditunjuk orang tua Shabina untuk membantu mempercepat pemulihannya. Jika itu semua Audrey kerjakan, kemungkinan hanya butuh dua minggu lagi kekuatan kakinya sudah akan kembali normal. Melihat semua kemajuan yang ditunjukkan Audrey, tentu kelegaan dirasakan oleh semua orang yang menyayangi Audrey, terutama sang kekasih. Hanya saja, masih ada yang mengganjal di hati Gibran. Dia masih belum menemui otak di balik
Genap tiga bulan, Aku di rumah sakit. Sebenarnya sejak tiga minggu lalu, Aku sudah diizinkan pulang, namun Mas Gibran menolaknya. Kekasih tercintaku itu meminta agar aku tetap dirawat sampai kakiku benar-benar bisa kembali berfungsi normal."Akhirnya gue bisa keluar dari asrama ini," ujarku pada Mentari yang baru saja datang bersama Revan, kekasih barunya.Ah ... ternyata oh ternyata, mereka berdua sudah saling mengakui perasaan tepat satu bulan setelah kecelakaanku!Tatapan Revan yang tidak putus-putus padaku selama ulang tahun Luna ternyata bukan karena dia naksir Aku seperti yang dipikirkan Mas Gibran, melainkan dia ingin mendekatiku untuk membantunya mendapatkan hati Mentari."Terima kasih, Revan.""Terima kasih untuk apa?""Terima kasih untuk dua hal. Yang pertama terima kasih sudah menolong gue. Kalau saja saat itu Lo dan Mentari gak ada, pasti sekarang gue hanya tinggal nama.""Lalu yang kedua?""Yang kedua ... terima kasih sudah menutup sesi galau sahabat gue," ujar Audrey ser
Dengan diiringi lantunan irama saxophone yang begitu indah, Mas Gibran berjalan ke arahku. Pria yang saat ini menggunakan kemeja berwarna navy lengan panjang yang dia lipat hingga ke siku itu tampak sangat tampan. Apalagi dengan senyumnya yang terlihat begitu meneduhkan.Rasanya tiba-tiba duniaku berhenti. Hanya ada aku, Mas Gibran, dan tatapan kami yang saling bertaut. "Audrey ... " lirih Mas Gibran. Kemudian dia menggandeng tanganku dan menuntunku ke podium kecil di tengah taman belakang rumahku. Podium yang sangat cantik dengan banyak bunga berwarna pastel."Mas, Kita mau ngapain?" tanyaku gugup. Bagaimana tidak gugup. Kini semua mata tertuju pada kami berdua. "Mas ... " lirihku sambil terus mengikuti langkah Mas Gibran.Tak lama, terdengar alunan biola yang dipadukan saxophone yang begitu indah.Lah? Kenapa sekarang tiba-tiba juga muncul violinis (pemain biola)? Jangan bilang nanti juga tiba-tiba muncul pemain harpa?Seketika muncul cuplikan yang berisi foto-foto candidku di laya
"Yes!" jawabku sambil tersenyum secantik mungkin padanya."Yes?" Mas Gibran mencoba meyakinkan."Yes!" I give you a “Y,” give you an “E,” give you an “S", I give you YES."Seketika senyum terbit di wajah tampan Mas Gibran. Dia segera memasangkan cincin yang begitu indah itu di jari manisku. Kemudian CEO Adinata Group itu mencium keningku cukup lama."Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, My Audrey," ujar Mas Gibran seraya memelukku dengan sangat lembut.Rasanya masih seperti mimpi aku dilamar seorang Gibran Maharsa Adinata di depan orang-orang tersayang kami dengan cara yang begitu manis, ya ... walau ada bagian video memalukan yang dia putar. Tapi tetap saja aku sangat terharu dengan semua yang sudah dia persipakan.Mulai dari kebohongannya yang mengatakan sedang ada pekerjaan di luar kota eh ... ternyata dia sudah menyiapkan semuanya. Kemudian keberadaan pemain saxophone dan biola, dekorasi yang indah, dan seg
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb
Malam harinya, resepsi pernikahan kami digelar. Masih di tempat yang sama namun dengan konsep acara yang berbeda.Pada akad nikah, kami menginginkan acara yang sakral dan hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Sedangkan pada resepsi pernikahan, kesan mewah, megah, dan meriah sangat tampak di konsep acara.Selain itu tamu undangan yang hadir juga jauh lebih banyak pada acara resepsi malam ini. Jika pada akad nikah hanya dihadiri keluarga, kerabat, dan sahabat, pada resepsi malam ini tamu yang hadir datang dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pengusaha kelas atas negeri ini, para sosialita teman-teman Mama Elma, sampai beberapa selebriti terkenal.Astaga, Kak Livy benar-benar all out dalam mempersiapkan acara resepsi malam ini.Aku dan Mas Gibran bak ratu dan raja dalam semalam. Gaun nerwarna bronze yang aku gunakan dipadukan dengan tiara di atas kepalaku, membuatku tampil seperti ratu di buku dongeng yang biasa aku baca semasa kecil dulu. Apalagi di sampingku berdiri seorang pria
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari pernikahanku dengan Om Tampanku, Gibran Maharsa Adinata.Pukul 05.30 Kami sudah berada di salah satu hotel keluarga Adinata. Di ballroom hotel inilah pernikahan kami akan digelar. Dimulai dengan akad nikah di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.Sejak pukul 06.00 pagi tadi, seorang makeup artis ternama ibukota sudah memoles wajah blasteranku. Menurutnya butuh waktu sekitar 2 jam untuk makeup dan hairdo. Sedangkan akad nikah sendiri dimulai pukul 08.00 wib dengan ijab qabul harus terlaksana pada pukul 08.30 wib.Setelah makeup dan tatanan rambut selesai dikerjakan, aku mulai dibantu untuk memakai kebaya cantik yang sudah dibuatkan khusus untukku oleh mama mertua Kak Livy."Cantik sekali!" puji Shabina dan Mentari yang sudah siap menjadi pengiringku menuju meja akad."Iya, cantik sekali Kamu, Audrey!" puji mama mertua Kak Livy."Berkat makeup dan hairdo kak Bonita, ditambah baju buatan Tante yang luar biasa indah," balasku
Malam sudah larut. Mas Gibran tadi juga sudah mengabari bahwa dia hendak pulang dari rumah sakit. Dia menugaskan Theo, salah satu bodyguardnya yang lain untuk menemani Clara. Sedangkan Jay diminta kembali ke rumahku untuk menjagaku dan Mama.Ada kelegaan di hatiku ketika tau Mas Gibran sudah pulang dari rumah sakit. To be honest aku tidak rela Mas Gibran kembali bertemu Clara, apalagi tidak ada aku di sampingnya. Tapi ya mau gimana lagi? Mas Gibran tadi sudah berjanji akan menyusul Clara ke Rumah Sakit, sedangkan aku tidak mungkin ikut ke sana.Selain untuk melihat kondisi Aurora, Mas Gibran ke rumah sakit juga untuk memperingati Clara. Kalau dia kembali nekat, Mas Gibran sudah tidak akan lagi memaafkannya. Ini sudah ketiga kalinya Clara hendak mencelakaiku. Rasanya sudah lebih dari cukup memberi kesempatan pada penyanyi cantik itu.Namun untuk memberi efek jera, Mas Gibran tetap akan memberi hukuman pada Clara. Memang bukan melaporkan ke pihak berwajib, tapi Mas Gibran akan menyampai