"Tante, semalam kok nggak ikut ke rumah Rina?" tanya gadis kecil berusia delapan tahun itu sambil menikmati kentang yang baru aku goreng.
Aku yang sedang bersantai setelah dinas malam di depan ruang tivi sontak duduk di sofa."Lho, emang semalam ada apa di rumah kamu, Rin?" tanyaku sekali lagi seraya menatap ke arah Rina yang sedang bermain barbie dengan Windi, anakku."Lho, semalam dan juga beberapa malam, Om Herman sering ke rumah. Tapi aku sedih karena Windi dan Tante nggak ikut. Apalagi Om Herman pas datang ke rumah langsung masuk ke kamar mama," sahut Rina merapikan rambut barbie nya.Aku melongo. 'Kapan mas Herman ke rumah Dita, janda depan rumah yang merupakan ibu dari Rina? Apa saat aku sedang dinas malam? Astaga, apa benar yang dikatakan oleh Rina?' batinku.Aku melirik ke arah jam dinding yang menempel di tembok. Masih jam satu siang. Mas Herman masih lama pulang dari kantor dan Dita yang bekerja di rumah makan dekat kantor mas Herman juga masih bekerja di sana.Dita memang baru pindah ke kompleks perumahan ini sejak enam bulan lalu. Dan mas Herman lah yang mencarikan pekerjaan Dita di warung makan samping kantor nya. Padahal Dita tinggal di kompleks perumahan ini dengan ibunya yang juga janda, untuk menemani Rina saat pulang sekolah dan Dita masih di warung, jadi masa sih Dita memasukkan laki-laki ke rumah nya? Apalagi laki-laki itu adalah suamiku.Aku tidak bisa tinggal diam, aku harus mencari informasi selengkapnya pada Rina."Oh ya Rin, apa kamu pernah bertanya soal papanya Windi yang sering main ke rumah kamu pada Mama kamu?" tanya ku hati-hati.Rina mengangguk. Manik matanya menatap lurus ke arahku."Pernah, Tante.""Lalu apa jawab mama kamu?""Mama bilang sih itu permainan orang tua. Pokoknya aku nggak boleh tahu dan nggak boleh bilang siapa-siapa," sahut Rina polos.Aku menghela nafas berat. "Baiklah, Rin. Kamu jangan bilang mamamu kalau kamu sudah menceritakan rahasia ini ya. Tante juga nggak akan bilang siapapun termasuk mamamu."Rina mengangguk dan mengiyakannya.***Aku menunggu dengan sabar sampai terdengar suara dengkur halus dari mas Herman. Kulirik jam bulat yang menempel di tembok. Sudah jam satu malam.Dengan perlahan aku bangkit dari ranjang mendekati mas Herman. Kukibaskan tangan di depan wajahnya. Aman. Tak ada respon. Dia sudah terbawa mimpi lelap.Aku berjingkat meraih ponselnya di atas nakas. Ah, dikunci! Padahal biasanya tidak dikunci. Kami memang sudah lama tidak saling memperhatikan ponsel. Seakan sudah saling percaya satu sama lain, kami tidak saling kepoin ponsel pasangan.Fokus mencari rejeki dan quality time dengan keluarga saat liburan. Tapi ternyata apa yang kudapat? Aku kecolongan!Untung saja ponsel mas Herman terkunci dengan sensor sidik jari. Dengan membungkuk dan secara perlahan aku meraih jempol tangan kanannya dan menempelkannya ke layar ponsel miliknya.Aku menarik nafas dengan hati-hati. Walaupun aku tahu dia telah tidur lelap, tapi rasanya aku tidak mau ketahuan sedang menyelidikinya.Terbuka!Aku menggulir layar, jantungku berdebar kian kencang saat membuka galeri ponsel nya. Aman. Tidak ada sesuatu yang membahayakan.Jempolku beralih ke pesan w******p. Kubuka perlahan. Ada satu nama yang asing. Nama yang tidak pernah dibicarakan oleh mas Herman sebagai teman kerjanya.Dito office. Sudah bisa kutebak, siapa nama dibalik Dito office itu.[Merindukan saat berselimut denganmu, Mas!]Kubuka perlahan pesan dari Dito office. Hanya ada satu kalimat yang dikirimkan. Pasti mas Herman sudah menghapus semua pesan sebelum tidur.Kukirim nomor ponsel atas nama Dito ke ponsel ku. Aku beralih membuka ponselku dan melihat nomor ponsel yang baru kukirim. Kucocokkan dengan nomor Dita. Dan ternyata sama.Aku membuka w******p web di ponselku. Kuklik titik tiga pada bagian atas w******p web. Dan kupilih dekstop site. Lalu muncullah kode QR, selanjutnya aku membuka kode QR di ponsel mas Arif. Dan kuarahkan kamera ponsel mas Arif ke layar ponsel ku.Umpan telah ditebar dan sekarang saatnya aku bertindak sebagai istri sah.Mumpung mas Herman tidur, aku segera mengetik pesan ke nomor Dito.[Sayang sekali ya, semalam kita nggak mengabadikan foto saat kita bersama.]Aku menunggu dengan jantung berdebar kencang saat di layar ponsel mas Herman bertuliskan 'sedang mengetik'.[Wah, kamu ini amnesia ya? Aku kan sudah merekam video dan mengambil foto saat kita di ranjang?]Aku menelan ludah. Ini pahit. Tapi aku harus mengetahui hal ini.[Oh, iya aku lupa. Apa boleh aku minta foto kita lagi? Yang semalam terhapus. Aku rindu banget sama kamu.][Hm, katanya kamu sudah menyimpan foto-foto dan video kita di laptop kamu? Gimana sih kamu?][Oh iya. Aku lupa, mungkin karena aku mengantuk. Ya sudah, aku tidur dulu dari pada tidak fokus.][Iya Sayang. Jangan bercinta dengan istrimu dong! Aku cemburu!]Aku mendelik. Astaga, apa-apaan pelakor ini? Dia cemburu pada istri sah? Sudah buntu udel nya rupanya.Aku segera menghapus semua pesan dari Dita, lalu meletakkan ponsel mas Herman di tempat semula. Aku lalu berjalan ke arah ruang kerja mas Herman dan menuju ke arah laptop nya.Setelah menyala, kuamati satu persatu dokumen di laptop itu untuk mencari bukti foto dan video mes*m mereka.Selama ini aku selalu percaya pada mas Herman karena dia tidak menunjukkan gelagat aneh, sehingga kami tidak saling mengontrol hp dan laptop masing pasangan. Tapi ternyata setelah sukses, dia mulai bermain api. Awas saja kamu, Mas!"Ah, ketemu!"Aku ternganga saat melihat foto dan video ranjang suamiku dan Pelakor itu di file tempat sampah dokumen.Hatiku hancur, air mata berlelehan, dan badanku gemetar. Setega ini mas Herman padaku setelah aku memberikan semuanya untuk nya."Tunggu, Mas. Aku akan main cantik, dan mengganti nama rumah ini, BPKB mobil, serta sawah kita. Awas kamu!"Next?Aku mengamati foto dan video di hadapan ku walaupun hati menyuruh untuk segera mema tikannya. Tapi otak memberi aba-aba padaku untuk mempelajari foto dan video yang ada di hadapanku. Ya, aku harus tahu mulai kapan suamiku berselingkuh dengan janda itu. Aku menggulir lingkaran mungil di mouse dan mendapatkan foto pertama yang diposting oleh mas Herman. Sekitar dua bulan lalu. Kalau melihat ranjang dan ruangan sebagai latar mereka berfoto, sepertinya berganti-ganti. Seperti di hotel dan di kamar biasa. Tanganku terkepal. Selama ini aku yang hanya mendengarkan berita dan film tentang pelakor, sekarang dipaksa harus menerima kenyataan bahwa suamiku telah tergoda pelakor. Aku menghela nafas panjang. Melepaskan rasa sesak di dada, membayangkan anakku yang akan menjadi anak korban broken home. Tapi aku segera menenangkan hati, lebih baik Windi menjadi anak korban broken home daripada mempunyai ayah yang berzina dan membohongi ibunya. Akan lebih buruk untuk tumbuh kembang Windi jika dia tu
"Astaga, Mbak Dita! Kok bisa jatuh? Tangannya licin? Atau masih ada sabunnya?" tanya pura-pura berempati. Dita segera menggelengkan kepalanya. "Ma-maaf, Bu Dinda. Saya tadi melamun sebentar karena teringat suami saya saat ada main dengan perempuan lain. Oh ya, Bu Dinda belum menjawab pertanyaan saya," ujar Dita. Nada suara nya terdengar gugup tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Pertanyaan kamu yang mana, Mbak?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku berbalik dan mengambil sapu serta pengki lalu menyerahkannya ke arah Dita. "Mbak, karena mbak Dita yang sudah menjatuhkan dan memecahkan piring serta mengotori rumah saya, jadi mbak yang harus membersihkan nya. Tolong buang ke tempat sampah di luar sana, Mbak." Aku menunjuk tempat sampah dari bambu di luar rumah samping dapur. Dita tampak tercengang. "Saya yang harus membersihkan ini?""Iya. Karena mbak Dita yang mengotori rumah saya."Dita terlihat bersungut-sungut mengambil sapu dan pengki dari tanganku."Jadi kenapa Bu Dinda tega men
Aku baru saja menyimpan ponsel saat terdengar suara pintu depan diketuk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku segera ke ruang depan untuk membukakan pintu. "Pagi, Bu Dinda!""Pagi, Bi Inah, ayo masuk dulu."Aku mempersilahkan asisten rumah tanggaku untuk masuk kedalam rumah. Namanya bi Inah. Sudah berumur sekitar empat puluh lima tahun, sangat cekatan. Dia bekerja di sini mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Jadi kalau aku sedang dinas sore dan mas Herman belum pulang ke rumah, Windi ditemani oleh Bi Inah. "Sudah sarapan, Bi?" tanyaku saat bi Inah mulai meraih sapu dan pengki. "Sudah, Bu Dinda.""Oh, saya kita belum. Karena kalau belum sarapan, di meja makan ada lauk, Bi."Aku membuka tudung saji meja makan. Bi Inah melihat nya sekilas. "Wah, Bu Dinda mantap betul. Pagi-pagi sudah matang saja lauknya," ujar Bi Inah menatap ke arah tumis cumi pedas dan udang krispi. "Hm, itu bukan masakan saya, Bi. Jadi nanti kalau bi Inah pulang ke rumah, bawa saja ya semua lauk i
Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas. "Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik. Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga. "Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku. Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya. Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini. Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan. Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan. "Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" t
Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA. "Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo. Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas.""Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?""Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku. Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."Aku me
"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!""Saya dan beberapa ibu arisan akan membantu Bu Cici melabrak Dita. Bu Cici segera kesini saja."Panggilan telepon segera diakhiri setelah Bu Cici mengucap salam. "Bu Dinda, tadi baru saja telepon Bu Cici, istri nya pak Andre?" tanya Bi Inah dengan penuh rasa ingin tahu. Aku mengangguk dan tersenyum lalu mengirimkan pesan whatsapp ke seluruh anggota arisan geng kami yang berjumlah lima orang. Jadi total tujuh denganku dan Bu Cici.Aku mengirimkan foto pak Andre dan Dita yang sedang menurunkan beberapa tas dari dalam mobil ke seluruh anggota arisan. [Apa kalian sudah tahu kalau tetangga baru kita adalah pelakor? Sasarannya adalah pak Andre, suami Bu Cici. Ayo kita beri pelajaran berharga pelakor itu agar lebih pintar.]Terkirim dan langsung centang biru. Beberapa pesan balasan la
"Aawwww!" Dita menjerit kesakitan saat tangan kanan Bu Cici mendarat di pipinya. Sesaat mereka bertatap-tatapan. Dan kami semua tercengang dalam diam. Suasana hening sejenak. Tapi terasa memanas. Tangan Dita naik ke atas dan hendak memukul Bu Cici, saat pak Andre mendadak menangkap tangannya. "Sudah, Dit! Sudah!"Dita tercengang dan menurunkan tangannya dengan perasaan kesal. Sementara itu Bu Cici menatap ke arah Dita dengan senyum meledek. "Kenapa kau berbeda, Mas? Kamu takut dengan istrimu yang tua ini?" tanya Dita dengan mata melotot. "Heh, jaga ucapanmu ya? Tua kata kamu? Jangan seenaknya kalau bicara, pelakor!" seru Bu Cici tak kalah keras. Aku dan teman-teman lain sudah memasukkan semua papper bag dan kantung plastik berisi aneka baju dan sembako ke dalam mobil. Beberapa tetangga yang di kiri dan kanan rumahku yang biasanya cuek dan selalu menutup pintu pagar, kini keluar rumah dan menonton kami. Tak ketinggalan pula, Bi Inah terlihat mengintip dari balik pagar rumahku den
"Pak RT, saya tidak sudi kalau Dita tinggal di rumah pemberian orang tua saya! Saya mau Dita dan keluarganya pergi dari rumah ini sekarang juga!" seru Bu Cici berapi-api. "Apa? Nggak bisa gitu dong? Sewa rumah ini telah dibayar penuh pada bulan ini! Mana profesionalismenya, Bu!" geram Dita saat mendengar perkataan Bu Cici."Profesionalisme, profesionalisme, gundulmu kui! Saya kembalikan uang kamu bulan ini sekarang juga. Saya pemilik rumah ini dan saya berhak menentukan siapa yang akan menempati rumah ini dan siapa yang saya usir!" ujar Bu Cici tegas. "Yah, nggak bisa begitu dong, Bu! Nyari rumah kontrakan kan pakai proses. Emang bisa sim salabim! Lagipula kalau saya pindah, bagaimana dengan pekerjaan dan tempat sekolah anak saya? Nggak kasihan banget sih sama single mom! Mana empatinya pada sesama perempuan?!" ujar Dita. Wajahnya meringis menahan sakit. Bi Cici tertawa. Sementara itu semua anggota arisan juga tergelak. "Heh! Apa kamu bilang tadi? Empati?! Single mom? Kamu itu nge
Beberapa saat sebelumnya, Herman yang gagal mencari informasi tentang keberadaan anaknya, tidak putus asa. Lelaki yang telah membaca pesan ancaman dari Dita ke nomor handphone Dinda bergegas ke alun-alun kota kendati masih belum jam tujuh malam. Akhirnya Herman menemukan sosok yang mencurigakan sedang mondar mandir di sekitar bak sampah alun-alun kota. Herman memilih bersembunyi di sekitar tempat sampah itu dengan menyamar memakai topeng dan masker warna hitam. Beberapa saat berlalu, dan setelah Herman melihat Dinda memasukkan tas ransel ke dalam tempat sampah itu, Herman memergoki sesosok tubuh yang mengambil tas itu dan langsung pergi. Herman pun langsung mengikutinya dengan hati-hati.Setelah sampai di vila dan melihat sosok itu masuk ke dalam vila, Herman segera mengitari hutan yang ada di belakang vila. Beberapa saat kemudian dia berpikir untuk menyelamatkan Windi lebih dahulu daripada polisi, karena dia ingin merebut hak asuh anak dari Dinda. "Lebih baik, aku membuat jebakan
Beberapa saat sebelumnya,"Kita jadi membawa anak ini ke bekas vila yang kemarin bapak tunjukkan padaku?" tanya Dita saat mereka dalam perjalanan setelah membawa Windi. "Jadi! Bapak sudah membuat kunci duplikat nya. Kebetulan vila itu adalah bangunan rusak yang tidak pernah dijenguk lagi oleh Sulis. Yah, mungkin karena dia lelah mengurus terlalu banyak aset, sehingga salah satu vilaya ya yang terburuk dan dan terpencil tidak tersentuh.""Baiklah, aku nurut saja. Yang penting nanti dapat duit dan aman," sahut Dita seraya memegangi badan Windi. Sementara itu di depannya, Santosa sedang fokus mengemudi. Mereka tiba di vila yang dimaksud Santosa dan segera menggendong tubuh Windi ke salah satu kamar lalu memotret nya dan mengirim fotonya melalui nomor baru ke nomor Dinda lalu membuang nomor itu. "Nanti kalau kamu menghubungi nomor Dinda, kamu bisa menggunakan nomor lama yang diprivat, Dit. Kalau untuk mengirim foto dan pesan, pakai nomor baru itu kemudian buang ya," pesan Santosa, Dita
[Sediakan uang tiga ratus juta dan letakkan di tempat sampah alun - alun kota kalau ingin anakmu selamat!]Dinda tercengang membaca pesan whatsapp dari nomor yang belum tersimpan di ponsel nya itu. Belum sempat Dinda berpikir untuk mengambil keputusan, pesan terbaru masuk lagi ke ponsel nya. [Jangan coba-coba lapor polisi, atau anak kamu akan kami habisi!][Kamu harus meletakkan uang senilai tiga ratus juta dalam sebuah tas, malam ini jam tujuh di tempat sampah warna hijau yang ada di ujung taman alun-alun.][Tempat sampah itu bertuliskan nomor tiga. Anak kamu akan dikembalikan selamat setelah uang itu kamu letakkan di sana!]Dengan cepat dia menelepon bi Inah. Namun sayang sekali, nada dering tidak kunjung berubah menjadi suara bi Inah. Dinda semakin bingung. Dia menarik napas panjang dan berusaha untuk tetap tenang. Akhir nya dia teringat dengan Adinata. Dengan cepat, Dinda menekan nomor telepon Adinata. Tak perlu menunggu lama, suara nada tunggu di hp langsung berubah menjadi s
Adinata berlalu dari rumahnya menuju ke rumah Dinda. Dan tidak seperti biasanya, dia yang selalu langsung menekan bel pintu sekarang duduk terpekur sendirian di kursi teras rumah Dinda. "Hah, hatiku berantakan sekali gara-gara pertemuan dengan papa dan anak simpanan nya. Sebenarnya nggak tega melihat papa yang meminta modal usaha, tapi melihat papa yang telah mengkhianati mama dan ternyata sampai mempunyai anak segede aku, membuatku sakit hati," ujar Adinata. Lelaki itu menangkupkan kedua belah tangannya di muka seraya membuang napas berat. "Ya Allah ternyata melihat orang tua bercerai sangat menyakitkan. Apalagi melihat papa selingkuh dari mama. Hatiku sakit banget. Jadi seperti ini rasa nya. Pasti sakit hati yang dirasakan oleh Dinda lebih parah dari yang kurasakan," gumam Adinata. Mendadak pintu terbuka dari dalam. "Mama, aku mau beli buku tulis dulu. Eh, ada papa baru! Kok disini saja, Pa? Biasanya kan masuk ke rumah?" tanya Windi terkejut melihat Adinata yang terbengong-bengo
"Bu Sulis! Bu Sulis! Bagaimana denganku? Angkat aku sebagai karyawan Ibu! Bukankah saya sudah memberikan informasi yang berharga?" tanya Herman dengan penuh harap.Sulis menatap ke arah Herman lalu menghela napas panjang. "Baiklah. Kamu bisa bekerja denganku. Tapi sebagai satpam di perusahaan. Bagaimana? Apa kamu bisa menerima hal itu?" tanya Sulis menatap ke arah Herman. Herman tercengang. "Hah? Saya kan seorang sarjana. Saya tidak mungkin bekerja sebagai satpam, Bu! Tolong lah yang masuk akal jika memberikan pekerjaan."Sulis mengangkat sebelah alisnya. "Saya sudah memeriksa penyebab kamu dipecat dari perusahaan, dan kesalahan kamu adalah telah melakukan korupsi kan?" tanya Sulis dengan mendelik. Herman tertunduk. Matanya tampak menatap ke arah bawah. Menekuri kakinya."Saya minta maaf. Waktu itu saya khilaf. Saya melakukan korupsi karena saya gelap mata dan saya dipaksa oleh Dita. Saya sangat menyesalinya, Bu," ujar Herman lirih. "Hm, kalau begitu kamu harus bisa membuktikan pa
Beberapa saat sebelumnya, "Mang Udin, kamu harus menjaga rahasia tentang hari ini. Tentang apapun perkataan Herman, pokoknya kamu harus menyimpan rahasia jika kita bertemu dengan Herman. Jangan membicarakan tentang Istri simpanan bapak maupun anaknya pada bapak, maupun pada Adinata dan Adista. Apa kamu paham, mang Udin?" tanya Sulis saat mereka baru saja masuk melalui pintu gerbang rumah. Mang Udin dengan wajah bingung menatap Sulis dari kaca spion tengah mobil nya. Tapi akhirnya Mang Udin hanya bisa menurut dan mengangguk kan kepalanya. "Baik, Bu. Bu Sulis yang semangat ya. Sebaiknya ibu lebih bijak dalam menghadapi hal ini, jangan terburu mengambil kepuasan agar Bu Sulis tidak menyesal pada akhirnya," ujar Mang Udin. Sulis melirik ke arah Mang Udin yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu. "Mang, mang! Kamu tidak tahu rasa nya dikhianati. Andai kan saja istri kamu yang berkhianat setelah kalian menikah sekian tahun bahkan sampai mempunyai anak dengan lelaki lain, apa
Herman perlahan mendekat ke arah supir pribadi Sulis. "Heh, ngapain kamu dekat-dekat kami? Kamu mau minta ganti rugi? Ck, gimana minta ganti rugi, yang salah itu kamu! Kamu kan yang menyeberang jalan sembarangan dan nggak pakai noleh kanan dan kiri? Masa mau minta ganti rugi pada saya?" tanya sopir pribadi Sulis dengan nada tak terima. Herman menatap ke arah Sulis, membuat Sulis jengah. Dia segera mengalihkan pandangan nya ke arah sang supir. "Sudah lah, Mang. Biar saja saya bayar semua kerugian ini. Satu juta, dua juta tidak menjadi masalah untuk saya yang penting semuanya berakhir dengan damai," ujar Sulis lalu membuka tas tangan nya yang mungil dan cantik. "Ah, ibu terlalu baik sama tukang bakso ini. Wong saya tahu dengan pasti bahwa dia duluan yang menyeberang jalan tanpa melihat-lihat kanan dan kiri. Kalau ibu bertanggung jawab atas kesalahan tukang bakso ini bukan tidak mungkin kalau tukang bakso ini akan mengulangi perbuatannya lagi. Sengaja menabraknya kan dagangan nya yan
"Astaga! Itu kan Dita? Kurang ajar, Dita harus mengembalikan perhiasan mami!' gumam Herman seraya mendekati Dita dengan mempersiapkan tinjunya. "Dita! Sini kamu!" Dita yang hendak memasuki warung Padang mendadak berhenti dan tahu-tahu Herman sudah mencekal tangan Dita. Dita terkejut dan melongo saat melihat Herman sudah mendelik dengan wajah menahan marah di samping nya membuat Dita tidak bisa kabur lagi. Dita menggerak-gerakkan tangannya yang sedang dipegangi tangan Herman sekuat-kuatnya. "Lepaskan, aku! Atau aku akan berteriak kalau kamu adalah orang yang akan mencopet ku. Dan kamu akan dipukuli orang!"Herman melotot dan tertawa. "Kamu pikir aku bodoh? Aku bisa mengatakan yang sejujurnya pada orang-orang di sini kalau kamu itu istriku dan kamu telah mencuri uang dari lemari mami!" ujar Herman balik mengancam Dita. Dita tersenyum meledek untuk menutupi hatinya yang takut. "Hei Mas, mereka tidak akan percaya karena tampang gembel kayak kamu mana mungkin suamiku?" "Mereka akan
"Jadi kamu memang benar-benar anakku?"Dita menatap ke arah lelaki yang berumur hampir dari lima puluh tahun di hadapannya."Benar. Tentu saja. Ibuku adalah mantan pacar bapak. Dan karena cintanya pada bapak, ibuku tidak menggugurkan ku dalam kandungan. Ibu juga rela diusir oleh keluarga nya karena hamil di luar nikah."Sesaat wajah Santosa tampak gusar. Dia menatap Dita dengan ekspresi yang campur aduk. "Dita." Santosa menghela napas dan menatap ke arah anak gadisnya yang sudah disia-siakan nya selama ini. "Ya, Pak?""Jangan menganggu keluarga Bapak!"Wajah Dita berbinar karena mendengar bapaknya mengakui keberadaan dirinya. Tapi juga menjadi sedih karena seperti nya dia belum bisa menjadi bagian dari keluarga bapaknya. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggu keluarga bapak. Tapi dengan satu syarat...""Katakan berapa yang kamu inginkan?"Dita tersembunyi mendengar kata-kata dari bapaknya yang memotong pembicaraan nya. "Syukurlah bapak sudah paham dengan permintaanku. Karena itu aku