Proses penyidikan dan penyelidikan untuk kasus pemalsuan identitas dengan Gibran sebagai tersangka akhirnya ada titik terang. Dari sejumlah saksi dan bukti, Gibran terbukti tidak terlibat. Tentu saja semua atas peran Candra, pengacara yang disewa Gibran.Setelah lebih dari dua minggu ditahan, atas bantuan Candra, Gibran kemudian dibebaskan. Gibran pun langsung pulang bersama Candra. Ia ingin menemui Dewi untuk membicarakan perceraian mereka. Gibran masih bersikeras untuk tidak bercerai. Karena tanpa Dewi tentu ia menyadari akan kesulitan ekonomi. Sementara saat ini ia harus membayar Candra dan juga biaya-biaya lainnya.Namun, rumah dalam keadaan kosong saat Gibran dan Candra tiba. Pintu pagar masih dalam kondisi terkunci. "Kemana Dewi?" gumam Gibran. Ia melihat jam di tangan. "Sebentar lagi mahrib. Apa dia lembur?" gumamnya lagi."Gimana Pak? Kita kemana sekarang?" tanya Candra saat Gibran hanya tercenung menatap pagar tinggi rumahnya."Coba kita cari Dewi ke kantornya," usul Gibran.
"Mana Mama? Gimana Mama?" tanya Gibran begitu tiba di kontrakan Rindu. Ia sangat panik melihat Rindu bersimpuh di teras sembari menangis tersedu-sedu meski ada beberapa tetangga yang menyaksikannya."Mama dibawa ke kantor polisi, Mas," jawab Rindu sembari menghambur dalam pelukan Gibran. Ia puas-puaskan menangis di pelukan suaminya."Astaga," gumam Gibran sembari mengelus punggung istri keduanya. Ia lalu menatap Candra, menuntut penjelasan pada pengacaranya itu. Karena Candra memang belum memberitahunya perihal orang yang berada dibalik pemalsuan identitas itu.Saat Gibran dinyatakan tidak terbukti bersalah, ia pikir masalah telah selesai. Ia tidak tahu kalau polisi akan menyeret nama lain untuk dijadikan tersangka. Apalagi nama Asih. Dan Gibran sangat menyesalkan ketidaktahuannya itu."Ya udah, yuk, masuk dulu!" ajak Gibran. "Enggak enak diliatin tetangga."Rindu mengangguk. Kemudian dengan dipapah Gibran untuk memasuki rumah kontrakannya."Kamu tenang dulu," ucap Gibran sembari meng
"Terus Mama gimana, Mas? Aku enggak mau Mama sampai dipenjara, Mas ...." Rindu kembali menangis tergugu. Ia tidak tega membayangkan mamanya harus mendekam di penjara gara-gara memperjuangkan pernikahannya dengan Gibran.Rindu masih ingat betul perkataan mamanya saat itu. "Pokoknya kamu dan Gibran harus bisa nikah secara resmi! Tercatat di KUA. Jangan sampai nasib kamu seperti Mama. Terusir tanpa mendapatkan apa-apa."Karena memang dulu Asih hanya dinikahi secara siri oleh Pak Wisnu. Sehingga saat Pak Wisnu mengusirnya, Asih tidak bisa menuntut apa-apa. Dan demi Rindu bisa menikah secara resmi dengan Gibran, akhirnya Asih harus merasakan dinginnya tidur di lantai tahanan."Mama lakuin ini semua demi kita, Mas," ucap Rindu sembari terisak-isak. "Demi masa depan kita. Apa kamu tega kalau Mama sampai dipenjara?""Tapi aku enggak bisa apa-apa kalau bukan Dewi sendiri yang mencabut laporannya.""Temui Dewi, Mas! Temui Dewi! Meminta sama Dewi untuk mencabut laporan itu. Bilang sama Dewi kala
Gibran pulang membawa raga tanpa jiwa. Runtutan peristiwa tentang Dewi tersusun seperti puzzle di kepalanya. Mulai rumah mereka yang kosong dengan pintu pagar tergembok. Lalu Dewi keluar dari pekerjaan yang Gibran tahu sangat Dewi nomor satukan. Bahkan Gibran sampai merasa tidak akan ada yang mampu membuat Dewi keluar dari pekerjaannya. Namun, saat ini Dewi telah meninggalkan pekerjaan yang baginya sangat berarti itu. Kemudian barusan, rumah Bu Rasti telah terjual."Iya, dijual," gumam Gibran meyakinkan dirinya sendiri. Gibran tahu persis seberarti apa rumah itu bagi Bu Rasti. Ibu mertuanya itu bahkan menolak mentah-mentah saat Dewi meminta agar Bu Rasti ikut tinggal di rumahnya. Bu Rasti tidak mau meninggalkan rumah penuh sejarah perjuangan hidupnya selepas bercerai dengan Pak Wisnu. Namun, sekarang rumah yang bagi Bu Rasti sangat berarti itu pun sudah terjual."Kenapa sampai begitu, Wi? Kalian pergi kemana?" Pertanyaan itu memenuhi kepala Gibran. Membuat Gibran serasa tidak berada
Gibran langsung memeluk ibunya. Ia bahkan belum memikirkan hal sejauh itu karena selama ini hanya berpikir bagaimana caranya agar Dewi mengurungkan niatnya bercerai tanpa berpikir bagaimana kalau akhirnya ia dan Dewi benar-benar bercerai."Ibu tenang aja. Aku akan cari kerjaan lagi. Ibu enggak usah mikir yang berat-berat. Aku masih muda, Bu. Masih mampu sekadar mencukupi kebutuhan kalian."Bu Santi menangis cukup lama dalam pelukan putranya. Selama beberapa hari memendam semuanya, ini kali pertama Bu Santi bisa melampiaskan kesedihannya dengan lepas.Seharian itu Gibran berada di rumah ibunya. Ia bahkan sama sekali tidak mengecek ponselnya di tas. Ia hanya terus memikirkan Dewi, Dewi, Dewi, dan Dewi. Sampai ia melupakan Rindu yang sedang menunggunya untuk ke kantor polisi.Selesai makan siang bersama Bu Santi, Gibran menuju teras belakang rumah ibunya. Biasanya saat Dewi berada di rumah Bu Santi, wanita itu akan berlama-lama berada di sana di depan laptopnya. Gibran harap, kali ini pu
Bu Santi sebenarnya tidak tega melihat Rindu berderai air mata seperti itu, kecewa pada Gibran karena tidak mau mengantarnya. Hanya saja, Bu Santi pun tidak bisa memaksa Gibran. Kondisi Gibran pun saat ini sedang tidak baik-baik saja."Sudah, Rin. Kamu pesan taksi lagi aja, terus ke rumah sakit. Kondisi Gibran saat ini juga sedang tidak baik-baik saja." Bu Santi berusaha menengahi."Sedang enggak baik-baik aja Ibu bilang?" hardik Rindu. "Dia sehat begini, Bu! Alasannya aja enggak mau antar aku urusin Mama! Kamu marah sama Mama karena dia yang palsuin identitas itu? Iya?" bentak Rindu pada Gibran karena merasa begitu marah. "Asal kamu tau, Mas. Mama lakuin itu demi kebaikan kita! Demi masa depan kita! Demi status anak kita!"Kepala Gibran semakin pusing mendengar omelan Rindu. Sepulang dari penjara, sebenarnya kondisinya tidak baik-baik saja. Tubuhnya seperti orang masuk angin karena memang di dalam sel tidak senyaman di kamar tidur."Iya, Sayang aku tahu." Gibran berusaha menenangkan
"Istighfar, Nak, istighfar ...." Bu Santi mengelus lengan putranya. Ia sangat takut kalau Gibran sampai kehilangan kewarasannya karena memikirkan Dewi. "Tapi, tadi Gibran liat Dewi masak sama Ibu!" Gibran masih sangat yakin dengan apa yang tadi dilihatnya."Tidak ada Dewi di sini, Bran! Dewi tidak di sini!" tegas Bu Santi tak ingin membohongi putranya. Ketika Bu Santi membentaknya seperti itu, Gibran tertegun dan dadanya kembali teramat nyeri. Ia kembali menyadari kalau Dewi telah pergi. Bergegas Gibran keluar dari rumah ibunya. Ia kemudian mengunjungi rumahnya dengan Dewi. Ia ingin memastikan lagi kalau pernikahannya dengan Dewi benar-benar sedang berada di ujung tanduk dan tidak ada harapan untuk diperbaiki. Begitu melihat kondisi rumahnya masih sama dengan saat terakhir ia lihat, baru Gibran tersadar kalau Dewi memang tidak ada di rumah ibunya. "Aku harus nyari kamu kemana, Wi?" gumam Gibran sembari memandangi pagar rumahnya. Ingin sekali Gibran melihat sesuatu yang berubah
Gibran dan Bu Santi sangat terkejut saat di rumahnya kedatangan dua orang polisi. Mereka pikir, Gibran akan kembali ditangkap karena Asih sakit. Namun, kabar yang tak pernah mereka pikir, justru yang mereka dengar."Apa? Mama Asih meninggal?" Gibran mengulangi perkataan salah seorang polisi yang mendatanginya itu."Betul, Pak. Bu Rindu yang meminta kami untuk menyampaikan kabar ini kepada Pak Gibran.""I-iya, Pak. Makasih," ucap Gibran yang masih diliputi rasa tidak percaya."Kalau gitu, kami tunggu Bapak di rumah sakit untuk mengurus semuanya.""Ba-baik, Pak."Selepas kedua polisi itu pergi, Gibran tertegun. Ia benar-benar tidak percaya kalau sakit yang diderita mama mertuanya sampai separah itu hingga membawanya pada sebuah ajal. Gibran memang tidak tahu perihal Asih mengidap HIV AIDS. Yang ia tahu hanya kondisi Asih yang tidak terlalu sehat selama ini.Tiba-tiba Gibran terbayang wajah Rindu. Istrinya itu pasti saat ini sedang sangat berduka. Dan Rindu sendirian.Ribuan anak panah y
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana