"Dok, gimana putri saya?" tanya Bu Rasti begitu dokter selesai memeriksa Dewi."Sepertinya Bu Dewi kelelahan atau terlalu banyak pikiran, Bu, sehingga mengalami pendarahan. Tapi, beruntung janin Bu Dewi baik-baik saja."Penjelasan dokter sontak membuat Dewi terperangah. "Janin? Jadi saya ... hamil?"Dokter Hanung yang sebelumnya menghadap Bu Rasti langsung kembali menoleh ke arah Dewi. "Benar, Bu. Apa Bu Dewi belum mengetahuinya?"Dewi menggeleng lemah. Baginya saat ini bukan saat yang tepat untuk hamil. Apalagi hamil anak dari laki-laki seperti Gibran. "Enggak, enggak, ini enggak boleh terjadi," gumam Dewi."Dokter!" seru Dewi dengan panik."Iya, Bu?""Bisakah kandungan saya digugurkan saja sekarang?""Loh, Bu?""Wi!" tegur Bu Rasti sembari menggelengkan kepalanya dengan tegas."Dokter, kalau sudah selesai memeriksa putri saya, biarkan kami berbicara berdua!" pinta Bu Rasti."Baik, Bu. Setelah ini silakan diurus administrasinya, karena Bu Dewi harus rawat inap beberapa hari terlebih
Sehabis ashar Dewi dan Bu Rasti tiba di rumah. Dewi langsung Bu Rasti papah ke kamarnya. Setelahnya Dewi menelepon orang yang biasa ia mintai tolong untuk mengurus rumah beberapa hari sekali. Ia tidak mau ibunya kecapaian."Ibu istirahat dulu aja, habis ini Mbak Sumi ke sini buat beres-beres," ucap Dewi."Ya udah, Ibu di kamar depan, ya? Kalau kamu butuh apa-apa panggil Ibu aja!""Iya, Bu."Benar saja tak sampai setengah jam, wanita yang biasa mengurus rumah Dewi saat Dewi membutuhkan itu datang. Dengan cekatan Mbak Sumi memilah baju-baju kotor milik Dewi dan ibunya untuk dicuci. Tak lupa juga ia membersihkan rumah yang sudah beberapa hari ini kosong."Bu, kemarin Mbak Gina ke sini, aku liat dia berdiri di gerbang depan," adu Mbak Sumi."Iya," sahut Dewi. Ia bingung harus berkata apa. Adik iparnya itu kemarin memang menelepon tetapi tidak Dewi angkat dan pesannya pun Dewi abaikan. "Udah telpon Bu Dewi, ya?""Udah kemarin."Mbak Sumi tak banyak bicara lagi. Wanita itu kemudian menyapu
"Kamu usir kami dari rumah ini, Wi?" tantang Bu Santi. "Kamu lupa rumah ini rumah siapa? Rumah ini berdiri di atas tanah siapa?"Dewi menghela napas dan membuang muka. Ia ingat betul rumah ini memang berdiri di atas tanah almarhum ayah Gibran. Dulu ia sangat tidak setuju membangun rumah di tanah ini, tetapi Gibran dan keluarganya bersikeras untuk mendirikan rumah Gibran dan Dewi di sini."Harga tanah itu sekarang mahalnya luar biasa, Wi," bujuk Gibran saat itu. "Ini kita udah punya tanah gratis, tinggal bangun rumahnya, enggak perlu keluar uang ratusan juta lagi untuk beli tanah. Kamu mau nolak?""Bukan nolak, Mas, tapi aku mau bangun rumah di atas tanah hasil keringat kita!""Bukan keringat kita, tapi keringat kamu!" hardik Gibran saat itu. "Kamu sama sekali enggak ingin aku bisa sedikit aja memberi sumbangsih untuk keluarga kecil kita, kan, Wi? Ini tanah warisan dari ayahku! Aku tahu kamu mampu membeli tanah luas dan membangun rumah besar dan megah tanpa campur tanganku, Wi. Tapi ak
Salah satu yang dulu bisa meluluhkan hati Dewi adalah sikap Gibran yang lembut dan sangat menyayangi ibu dan adiknya. Karena Dewi pikir, kepadanya pun ia akan seperti itu."Kapan pulang?" tanya Gina lagi tanpa menjawab pertanyaan Gibran."Sekitar lima hari lagi, Dek. Kenapa? Ada apa? Ibu sehat, kan?"Gina tak langsung menjawab. Di dadanya serasa ada batu besar yang mengganjal. Ia sangat kesal kepada Dewi sampai sulit untuk berkata-kata. Ia ingin segera membuktikan pada Dewi kalau tanpa kakak iparnya, ia dan ibunya bisa mendapatkan uang yang ia mau."Hei? Kenapa diam?" tanya Gibran lagi karena Gina tidak kunjung bersuara."Aku sama Ibu ... bertengkar sama Mbak Dewi," adu Gina sembari menahan tangis yang sudah membuncah di dada. "Hah? Kenapa?" tanya Gibran sangat menyesalkan itu. Ia saja sedang berusaha memperbaiki hubungannya dengan Dewi. Mengapa adik dan ibunya malah bertengkar dengan istrinya itu?"Aku butuh uang dan Mbak Dewi enggak mau ngasih."Gibran yang sedang duduk di sofa kama
"Win, kamu ada kenalan pengacara bagus, enggak?" tanya Dewi saat makan siang bersama Wina. Setelah istirahat selama lima hari, Dewi memutuskan untuk kembali bekerja. Kepalanya sudah terlalu pusing dan penuh karena hanya berdiam diri di dalam rumah."Pengacara? Buat apaan?" tanya Wina dengan cueknya. Ia masih asyik menyantap nasi hangat, sambal terasi, ayam goreng, lengkap dengan lalapan.Wina memang belum mengetahui apa yang terjadi antara Dewi dan Gibran. Ia tahu kalau hubungan Dewi dan Gibran sedang ada masalah, tetapi Wina tidak mengetahui apa masalahnya dan tidak menyangka kalau masalah kedua temannya itu begitu besar."Aku ngajuin laporan ke polisi, tapi kayaknya kok, belum ada tindakan juga, ya?" Berbeda dengan Wina, Dewi sama sekali tidak selera makan. Ia hanya menusuk-nusuk ikan bakar di piringnya dengan garpu tanpa mencicipinya sejak tadi."Ngajuin laporan ke polisi? Ngeri amat? Siapa yang kamu laporin? Ada masalah apa emangnya sampai kamu lapor polisi? Kamu kemalingan? Atau
"Apa mungkin bukan Gibran yang memalsukan data dan identitas itu, Wi?" tanya Wina."Tau!" ketus Dewi."Bisa aja, kan, dari pihak Rindu?""Bisa jadi, tapi yang jelas data dan identitasku udah dipalsukan. Kamu bisa bayangin enggak, sih, gimana rasanya jadi aku? Aku enggak cuma dikhianati loh, Win, tapi aku udah dianggap mati! Mati!""Iya, sih, aku tahu kesalahan Gibran udah fatal.""Makanya itu, udah enggak usah berusaha nyari pembenaran buat dia. Mau dia yang malsuin atau siapapun, tetap dia yang pakai data palsu itu buat nikah lagi!""Iya, sih." Wina sangat menyayangkan apa yang dilakukan Gibran terhadap Dewi. Ia juga merasa bersalah karena dulu, dirinya paling bersemangat untuk menjodohkan Gibran dan Dewi. Keduanya terlihat saling mengisi di mata Wina. Dewi yang cuek dan ketus bersanding dengan Gibran yang lembut dan perhatian. Bagi Wina mereka berdua itu saling melengkapi. Ternyata Gibran justru menghancurkan segalanya.Setelah mengantar Wina ke rumahnya, Dewi langsung pulang. Badan
Bu Rasti memeluk Dewi usai mobil Rindu meninggalkan pekarangan rumah Dewi. "Makasih sudah kuat, Nak," ucap Bu Rasti. "Makasih udah buat mereka tidak bisa menguasai rumah ini. Maafin Ibu dulu .... Dulu Ibu tidak bisa bertahan. Dulu Ibu tidak sekuat kamu ....""Ibu enggak perlu minta maaf. Kondisi aku sekarang dengan Ibu dulu jauh berbeda. Aku bersyukur punya Ibu yang kuat. Tanpa Ibu aku enggak akan bisa seperti sekarang ini," ujar Dewi sembari membalas pelukan Bu Rasti."Iya, Nak. Ibu juga sangat bersyukur memiliki kamu. Tanpa kamu, mungkin Ibu tidak akan bisa bertahan hidup sampai detik ini. Ibu kuat untuk putri Ibu, jadi kamu juga harus kuat untuk Ibu, ya?""Iya, Bu. Aku janji bakal buat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan dulu. Mungkin dengan apa yang terjadi pada pernikahan Dewi, Tuhan sedang memberi kesempatan pada Dewi untuk memberi mereka pelajaran.""Ibu bangga sama kamu."Beberapa saat kemudian keduanya saling melerai pelukan."Ya udah, sana kamu mandi terus kita maka
"Kenapa kalian enggak tinggal di rumah Mbak Dewi aja? Rumah itu rumah Mas Gibran juga, kalian berhak tinggal di sana!" usul Gina."Sebelum ke sini kami sudah ke sana, Gin. Tapi, kamu tahu sendiri Dewi kayak gimana. Dia malah ancam kami buat dilaporin ke polisi," adu Rindu."Emang enggak waras orang satu itu!" umpat Gina. Ia sudah sangat kesal. Pulang kuliah harusnya ia bisa beristirahat dengan tenang ataupun mengerjakan tugas, tetapi malah harus mengurusi istri dan mertua kakaknya."Jadi enggak apa-apa, kan, sementara kami menempati kamarmu?" bujuk Rindu. "Cuma sementara, Gin. Nanti setelah Mas Gibran carikan kami tempat tinggal, kami langsung pindah, kok."Gina menekuk wajah dan memajukan bibirnya. Ia masih tidak mau mengalah untuk pergi dari kamarnya. "Kenapa kalian enggak nginap di penginapan aja, sih?" "Astaga, Gin. Kami punya keluarga. Kalian keluarga kami, masa kami harus nginap di penginapan kaya orang enggak punya sanak keluarga?""Iya, tapi, kan, rumah kami sempit!" Gina kem
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana