"Win, kamu ada kenalan pengacara bagus, enggak?" tanya Dewi saat makan siang bersama Wina. Setelah istirahat selama lima hari, Dewi memutuskan untuk kembali bekerja. Kepalanya sudah terlalu pusing dan penuh karena hanya berdiam diri di dalam rumah."Pengacara? Buat apaan?" tanya Wina dengan cueknya. Ia masih asyik menyantap nasi hangat, sambal terasi, ayam goreng, lengkap dengan lalapan.Wina memang belum mengetahui apa yang terjadi antara Dewi dan Gibran. Ia tahu kalau hubungan Dewi dan Gibran sedang ada masalah, tetapi Wina tidak mengetahui apa masalahnya dan tidak menyangka kalau masalah kedua temannya itu begitu besar."Aku ngajuin laporan ke polisi, tapi kayaknya kok, belum ada tindakan juga, ya?" Berbeda dengan Wina, Dewi sama sekali tidak selera makan. Ia hanya menusuk-nusuk ikan bakar di piringnya dengan garpu tanpa mencicipinya sejak tadi."Ngajuin laporan ke polisi? Ngeri amat? Siapa yang kamu laporin? Ada masalah apa emangnya sampai kamu lapor polisi? Kamu kemalingan? Atau
"Apa mungkin bukan Gibran yang memalsukan data dan identitas itu, Wi?" tanya Wina."Tau!" ketus Dewi."Bisa aja, kan, dari pihak Rindu?""Bisa jadi, tapi yang jelas data dan identitasku udah dipalsukan. Kamu bisa bayangin enggak, sih, gimana rasanya jadi aku? Aku enggak cuma dikhianati loh, Win, tapi aku udah dianggap mati! Mati!""Iya, sih, aku tahu kesalahan Gibran udah fatal.""Makanya itu, udah enggak usah berusaha nyari pembenaran buat dia. Mau dia yang malsuin atau siapapun, tetap dia yang pakai data palsu itu buat nikah lagi!""Iya, sih." Wina sangat menyayangkan apa yang dilakukan Gibran terhadap Dewi. Ia juga merasa bersalah karena dulu, dirinya paling bersemangat untuk menjodohkan Gibran dan Dewi. Keduanya terlihat saling mengisi di mata Wina. Dewi yang cuek dan ketus bersanding dengan Gibran yang lembut dan perhatian. Bagi Wina mereka berdua itu saling melengkapi. Ternyata Gibran justru menghancurkan segalanya.Setelah mengantar Wina ke rumahnya, Dewi langsung pulang. Badan
Bu Rasti memeluk Dewi usai mobil Rindu meninggalkan pekarangan rumah Dewi. "Makasih sudah kuat, Nak," ucap Bu Rasti. "Makasih udah buat mereka tidak bisa menguasai rumah ini. Maafin Ibu dulu .... Dulu Ibu tidak bisa bertahan. Dulu Ibu tidak sekuat kamu ....""Ibu enggak perlu minta maaf. Kondisi aku sekarang dengan Ibu dulu jauh berbeda. Aku bersyukur punya Ibu yang kuat. Tanpa Ibu aku enggak akan bisa seperti sekarang ini," ujar Dewi sembari membalas pelukan Bu Rasti."Iya, Nak. Ibu juga sangat bersyukur memiliki kamu. Tanpa kamu, mungkin Ibu tidak akan bisa bertahan hidup sampai detik ini. Ibu kuat untuk putri Ibu, jadi kamu juga harus kuat untuk Ibu, ya?""Iya, Bu. Aku janji bakal buat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan dulu. Mungkin dengan apa yang terjadi pada pernikahan Dewi, Tuhan sedang memberi kesempatan pada Dewi untuk memberi mereka pelajaran.""Ibu bangga sama kamu."Beberapa saat kemudian keduanya saling melerai pelukan."Ya udah, sana kamu mandi terus kita maka
"Kenapa kalian enggak tinggal di rumah Mbak Dewi aja? Rumah itu rumah Mas Gibran juga, kalian berhak tinggal di sana!" usul Gina."Sebelum ke sini kami sudah ke sana, Gin. Tapi, kamu tahu sendiri Dewi kayak gimana. Dia malah ancam kami buat dilaporin ke polisi," adu Rindu."Emang enggak waras orang satu itu!" umpat Gina. Ia sudah sangat kesal. Pulang kuliah harusnya ia bisa beristirahat dengan tenang ataupun mengerjakan tugas, tetapi malah harus mengurusi istri dan mertua kakaknya."Jadi enggak apa-apa, kan, sementara kami menempati kamarmu?" bujuk Rindu. "Cuma sementara, Gin. Nanti setelah Mas Gibran carikan kami tempat tinggal, kami langsung pindah, kok."Gina menekuk wajah dan memajukan bibirnya. Ia masih tidak mau mengalah untuk pergi dari kamarnya. "Kenapa kalian enggak nginap di penginapan aja, sih?" "Astaga, Gin. Kami punya keluarga. Kalian keluarga kami, masa kami harus nginap di penginapan kaya orang enggak punya sanak keluarga?""Iya, tapi, kan, rumah kami sempit!" Gina kem
"Mbak Dewi!"Dewi tertegun melihat siapa yang sudah ada di depan rumahnya sepagi ini. Gadis itu mendekat. Kini terlihat jelas wajah kusutnya. Bola matanya terlihat merah dengan tatapan sayu. Seperti orang yang semalaman tidak tidur. Wajah kusut itu ditekuk untuk menutupi rasa canggung, bersalah, dan menyesal atas apa yang telah ia lakukan kemarin."Mbak Dewi ...." Gina merengek manja. "Aku minta maaf atas kejadian kemarin."Dewi menaikkan sebelah alisnya. Tidak biasanya Gina yang berkarakter keras mirip dirinya mau meminta maaf seperti itu."Mbak," ucap Gina lagi. "Aku benar-benar menyesal udah kayak gitu kemarin."Dewi tak langsung menanggapi. Ia bisa menebak, Gina bersikap seperti itu karena Rindu dan Asih. "Mbak ...." Gina semakin mendekat."Kenapa?" tanya Dewi dengan ketus. "Bukannya kamu enggak sudi punya kakak ipar kayak aku?"Gina menggeleng. "Enggak, Mbak. Aku salah. Mbak Dewi yang terbaik. Aku dan Ibu udah tertipu."Dewi menarik sebelah bibirnya. Baginya apa yang dilakukan G
[Sayang, aku sudah bersiap pulang.]Gibran mengirim pesan kepada Dewi. Tanpa memperhatikan apakah pesannya terkirim atau tidak, lelaki berwajah mirip Irwansyah itu langsung memasukkan ponselnya ke tas. Ia tidak tahu kalau Dewi telah memblokir nomornya. Karena Gibran memang sengaja selama dinas di luar kota, ia membiarkan ada jeda antara dirinya dengan Dewi untuk saling berpikir. Jadi, selama beberapa hari ini Gibran sama sekali tidak menghubungi nomor Dewi.Besar harapan Gibran begitu tiba di rumah, suasana sudah tenang dan ia bisa memperbaiki hubungan dengan Dewi. Untuk sementara waktu, Gibran memang mengabaikan semua hal tentang Rindu. Ia tidak mengangkat telepon Rindu ataupun membaca dan membalas pesan istri keduanya itu. Toh, Rindu sudah aman di rumah ibunya.Saat ini di pikiran Gibran hanya ingin memperbaiki hubungannya dengan Dewi. Ia tidak mau melepas berlian demi kerikil yang tidak jelas asalnya. Urusan dengan Rindu akan ia selesaikan nanti setelah masalahnya dengan Dewi beres
Asih merebut surat panggilan polisi itu dari tangan Rindu. Sekilas ia bisa membaca isi surat itu. Setelahnya ia paham harus berbuat apa. "Ayo, kalau mau ke kantor polisi!" ucap Asih dengan berani. "Kami berdua akan buktikan kalau kami tidak tahu apa-apa."Rindu menoleh dan menatap mamanya tidak percaya. "Ta-tapi, Ma ...." Rindu takut kalau akhirnya ia atau mamanya akan terseret menjadi tersangka juga. Dan seumur-umur ia juga belum pernah berurusan dengan polisi."Ya udah, buruan ganti baju!" titah Gibran.Asih menyeret Rindu yang masih tertegun untuk berganti pakaian ke kamar."Ma, Mama yakin lakuin ini?" tanya Rindu ketakutan."Kenapa tidak. Bilang saja sama polisi kalau kita tidak tahu apa-apa. Bilang aja kalau Gibran yang mengurus semua persiapan untuk pernikahan kalian!""Tapi, Ma! Gimana kalau Mas Gibran dipenjara? Aku enggak mau jadi janda!""Tidak kamu tenang aja! Dia pasti membela diri."Setelah berganti pakaian, mereka berdua kembali keluar untuk bersama-sama ke kantor polisi
Seharian Bu Santi dan Gina menunggu kepulangan Dewi di teras rumah Dewi. Mereka sampai melupakan makan siang demi bisa bertemu dengan Dewi. Namun, sampai azan maghrib berkumandang Dewi tidak juga kunjung pulang."Bu, ayo kita pulang dulu!" ajak Gina yang tidak tega melihat ibunya. Wajahnya pucat, kusut, dan terlihat sekali banyak beban pikiran. Wanita yang duduk di sisinya itu menatap kosong ke arah halaman. Ibu mana yang tidak sedih melihat putra yang seharusnya menjadi kebanggaan dan pelindung menggantikan peran sang ayah malah harus mendekam di penjara. Dan Bu Santi sangat menyesal karena ia ikut berperan atas masuknya Gibran ke penjara. Ia telah ikut mendukung Gibran menikah lagi saat itu. Seandainya waktu bisa diputar, ia pasti akan menjadi orang paling lantang menentang keinginan Gibran dan Rindu untuk menikah. Namun, apa bisa dikata. Nasi telah menjadi bubur. Raut wajah Gibran yang sering terlihat tertekan dan murung semenjak menikah dengan Dewi, membuat Bu Santi tidak berpi