[Sayang, aku sudah bersiap pulang.]Gibran mengirim pesan kepada Dewi. Tanpa memperhatikan apakah pesannya terkirim atau tidak, lelaki berwajah mirip Irwansyah itu langsung memasukkan ponselnya ke tas. Ia tidak tahu kalau Dewi telah memblokir nomornya. Karena Gibran memang sengaja selama dinas di luar kota, ia membiarkan ada jeda antara dirinya dengan Dewi untuk saling berpikir. Jadi, selama beberapa hari ini Gibran sama sekali tidak menghubungi nomor Dewi.Besar harapan Gibran begitu tiba di rumah, suasana sudah tenang dan ia bisa memperbaiki hubungan dengan Dewi. Untuk sementara waktu, Gibran memang mengabaikan semua hal tentang Rindu. Ia tidak mengangkat telepon Rindu ataupun membaca dan membalas pesan istri keduanya itu. Toh, Rindu sudah aman di rumah ibunya.Saat ini di pikiran Gibran hanya ingin memperbaiki hubungannya dengan Dewi. Ia tidak mau melepas berlian demi kerikil yang tidak jelas asalnya. Urusan dengan Rindu akan ia selesaikan nanti setelah masalahnya dengan Dewi beres
Asih merebut surat panggilan polisi itu dari tangan Rindu. Sekilas ia bisa membaca isi surat itu. Setelahnya ia paham harus berbuat apa. "Ayo, kalau mau ke kantor polisi!" ucap Asih dengan berani. "Kami berdua akan buktikan kalau kami tidak tahu apa-apa."Rindu menoleh dan menatap mamanya tidak percaya. "Ta-tapi, Ma ...." Rindu takut kalau akhirnya ia atau mamanya akan terseret menjadi tersangka juga. Dan seumur-umur ia juga belum pernah berurusan dengan polisi."Ya udah, buruan ganti baju!" titah Gibran.Asih menyeret Rindu yang masih tertegun untuk berganti pakaian ke kamar."Ma, Mama yakin lakuin ini?" tanya Rindu ketakutan."Kenapa tidak. Bilang saja sama polisi kalau kita tidak tahu apa-apa. Bilang aja kalau Gibran yang mengurus semua persiapan untuk pernikahan kalian!""Tapi, Ma! Gimana kalau Mas Gibran dipenjara? Aku enggak mau jadi janda!""Tidak kamu tenang aja! Dia pasti membela diri."Setelah berganti pakaian, mereka berdua kembali keluar untuk bersama-sama ke kantor polisi
Seharian Bu Santi dan Gina menunggu kepulangan Dewi di teras rumah Dewi. Mereka sampai melupakan makan siang demi bisa bertemu dengan Dewi. Namun, sampai azan maghrib berkumandang Dewi tidak juga kunjung pulang."Bu, ayo kita pulang dulu!" ajak Gina yang tidak tega melihat ibunya. Wajahnya pucat, kusut, dan terlihat sekali banyak beban pikiran. Wanita yang duduk di sisinya itu menatap kosong ke arah halaman. Ibu mana yang tidak sedih melihat putra yang seharusnya menjadi kebanggaan dan pelindung menggantikan peran sang ayah malah harus mendekam di penjara. Dan Bu Santi sangat menyesal karena ia ikut berperan atas masuknya Gibran ke penjara. Ia telah ikut mendukung Gibran menikah lagi saat itu. Seandainya waktu bisa diputar, ia pasti akan menjadi orang paling lantang menentang keinginan Gibran dan Rindu untuk menikah. Namun, apa bisa dikata. Nasi telah menjadi bubur. Raut wajah Gibran yang sering terlihat tertekan dan murung semenjak menikah dengan Dewi, membuat Bu Santi tidak berpi
Azan Isya berkumandang, tetapi Dewi belum juga tiba di rumah. Pulang kantor, Dewi memang mengunjungi rumah ibunya dulu. Ia ingin memastikan kalau Mbak Marni benar-benar sudah tiba di rumah ibunya lagi dan semua baik-baik saja. Setelah shalat maghrib dan makan malam, baru Dewi pamit pulang."Benar tidak mau nginap saja, Wi?" tanya Bu Rasti untuk menahan putrinya. Ia tidak tega Dewi di rumah sebesar itu sendirian."Enggak, Bu. Gampang besok aku ke sini lagi.""Ya sudah, hati-hati di jalan, ya! Kalau sudah sampai rumah, langsung kasih kabar Ibu!""Siap!"Setelah mencium tangan dan memeluk ibunya, Dewi kemudian pulang. Sengaja ia mengemudikan mobilnya dengan santai. Ia ingin begitu tiba di rumah langsung mandi, shalat, dan tidur untuk menghalau rasa kesepian yang pasti akan menderanya.Biasanya kalau dia pulang lembur, Gibran akan menyambutnya dengan berbagai cerita. Dulu, Dewi sampai merasa kalau dia yang laki-laki dan Gibran yang perempuan karena memang kondisi mereka berdua seperti itu
Tiba di rumah Bu Santi langsung masuk ke kamar. Ia bahkan merasa tidak punya tenaga sekadar untuk mengusir Rindu dan Asih yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga seolah-olah tidak merasa bersalah sama sekali atas peristiwa yang menimpa Gibran. Energi Bu Santi serasa habis terkuras untuk memikirkan Gibran yang sudah tidak memiliki secuil kesempatan pun untuk kembali bersama Dewi.Seperti zombi dengan tatapan mata kosong, Bu Santi memasuki ruang kamarnya. Penyesalan demi penyesalan layaknya cambuk yang terus menghujam tanpa ampun. Seandainya .... Seandainya .... Dan ribuan kata seandainya lainnya memenuhi kepala Bu Santi sampai rasanya mau meledak. Sampai akhirnya wanita itu ambruk di tempat tidur."Bu, makan dulu, yuk!" ajak Gina yang sejak tadi mengikuti langkah ibunya. "Dari tadi ibu belum makan. Kalau ibu sakit aku gimana?"Namun, Bu Santi hanya menggeleng lemah tanpa mau membuka mata. Rasanya ia ingin segera tidur agar semua yang terjadi hari ini bisa segera ia lupaka
Setelah puas menangisi keadaan dan juga ibunya, Gina mencari tahu lewat ponsel pintarnya tentang cara mengompres orang demam. Setelahnya Gina mempraktekkan kepada ibunya. Ia harap panas ibunya bisa turun setelah ia kompres.Semalaman Gina tidak tidur untuk menjaga sang ibu dan juga terus menerus mengompresnya. Hal yang baru pertama kali ia lakukan setelah selama ini semua dilakukan oleh Dewi dan Gibran.Pagi harinya Bu Santi bangun dengan kondisi demamnya sudah mulai turun. Meski suhu tubuhnya masih panas, tetapi tidak sepanas semalam. Sementara Gina ketiduran dengan kepala di bibir ranjang ibunya."Gin, kenapa kamu di sini?" tanya Bu Santi. Ia kemudian meraba keningnya karena merasa ada sesuatu di atasnya. Bu Santi kemudian mengambil kain kompres itu dan merasa sangat terharu dengan apa yang telah dilakukan putrinya."Ibu udah bangun?" tanya Gina sembari mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih terasa berat."Udah, kamu semalaman tidur di sini?"Gina mengangguk. "Badan ibu panas sekal
"Awas aja kamu, Gina! Aku bersumpah kamu akan mengemis di kakiku!" ancam Rindu. "Lihat aja nanti! Kalian akan terusir dari rumah ini! Menangis darah pun, aku enggak akan kasih ampun sama kalian!"Gina tidak memedulikan ucapan istri baru kakaknya itu. Gadis itu langsung masuk dan membanting pintu sekeras ia mampu. Kemudian dikuncinya pintu itu agar tidak ada kesempatan lagi untuk Rindu dan Asih memasuki rumahnya.Tubuh Gina akhirnya luruh. Gadis itu tergugu dengan bersandar pintu. Sungguh, saat ini bagi Gina adalah masa terberat dalam hidupnya. Dulu saat ayahnya meninggal di sisinya masih ada Gibran dan ibunya. Namun, sekarang ia hanya bersama ibunya, itu pun sedang sakit dan usianya sudah cukup tua.Gina takut kalau pada akhirnya Gibran benar-benar masuk penjara. Siapa yang akan bertanggung jawab atas dirinya dan sang ibu? Jika harus berhenti kuliah dan bekerja, Gina merasa belum siap. Ia ingin meraih cita-citanya sebagai seorang perawat.Tangis Gina semakin pecah memikirkan masa depa
"Mana atasan kamu?" bentak Dewa pada Wina. "Atasanku?" Wina balik bertanya karena tidak biasanya Dewa bersikap seperti ini."Iya! Si Dewi!""Si Dewi?" ulang Wina. Bagaimana tidak merasa aneh sementara selama ini Dewa selalu bersikap sopan terhadap Dewi."Kemana dia?" tanya Dewa dengan tidak sabar. Amarah Dewa tersulut karena memang selama ini sering menjadi tempat berkeluh-kesah Gibran. Dan hari ini puncaknya ia mendapati Dewi sampai bertindak sejauh itu melaporkan Gibran ke polisi sampai Gibran ditahan."Ada di ruangan. Ada perlu apa?" Wina balik bersikap ketus."Bukan urusanmu!"Dewa melangkah lebar menuju ruangan Dewi. Dibuka dan ditutup dengan kasar pintu ruangan Dewi sampai Dewi yang sedang fokus dengan laptopnya sangat terkejut."Ada apa, Wa?" tanya Dewi melihat tingkah teman kerjanya itu tidak biasa."Luar biasa kamu emang, ya, Wi!" Dewa menyeringai."Maksud kamu?" Dewi masih tidak mengerti apa yang membuat teman yang sekaligus bawahannya itu bersikap demikian."Aku tahu, Wi,