Bu Rasti memeluk Dewi usai mobil Rindu meninggalkan pekarangan rumah Dewi. "Makasih sudah kuat, Nak," ucap Bu Rasti. "Makasih udah buat mereka tidak bisa menguasai rumah ini. Maafin Ibu dulu .... Dulu Ibu tidak bisa bertahan. Dulu Ibu tidak sekuat kamu ....""Ibu enggak perlu minta maaf. Kondisi aku sekarang dengan Ibu dulu jauh berbeda. Aku bersyukur punya Ibu yang kuat. Tanpa Ibu aku enggak akan bisa seperti sekarang ini," ujar Dewi sembari membalas pelukan Bu Rasti."Iya, Nak. Ibu juga sangat bersyukur memiliki kamu. Tanpa kamu, mungkin Ibu tidak akan bisa bertahan hidup sampai detik ini. Ibu kuat untuk putri Ibu, jadi kamu juga harus kuat untuk Ibu, ya?""Iya, Bu. Aku janji bakal buat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan dulu. Mungkin dengan apa yang terjadi pada pernikahan Dewi, Tuhan sedang memberi kesempatan pada Dewi untuk memberi mereka pelajaran.""Ibu bangga sama kamu."Beberapa saat kemudian keduanya saling melerai pelukan."Ya udah, sana kamu mandi terus kita maka
"Kenapa kalian enggak tinggal di rumah Mbak Dewi aja? Rumah itu rumah Mas Gibran juga, kalian berhak tinggal di sana!" usul Gina."Sebelum ke sini kami sudah ke sana, Gin. Tapi, kamu tahu sendiri Dewi kayak gimana. Dia malah ancam kami buat dilaporin ke polisi," adu Rindu."Emang enggak waras orang satu itu!" umpat Gina. Ia sudah sangat kesal. Pulang kuliah harusnya ia bisa beristirahat dengan tenang ataupun mengerjakan tugas, tetapi malah harus mengurusi istri dan mertua kakaknya."Jadi enggak apa-apa, kan, sementara kami menempati kamarmu?" bujuk Rindu. "Cuma sementara, Gin. Nanti setelah Mas Gibran carikan kami tempat tinggal, kami langsung pindah, kok."Gina menekuk wajah dan memajukan bibirnya. Ia masih tidak mau mengalah untuk pergi dari kamarnya. "Kenapa kalian enggak nginap di penginapan aja, sih?" "Astaga, Gin. Kami punya keluarga. Kalian keluarga kami, masa kami harus nginap di penginapan kaya orang enggak punya sanak keluarga?""Iya, tapi, kan, rumah kami sempit!" Gina kem
"Mbak Dewi!"Dewi tertegun melihat siapa yang sudah ada di depan rumahnya sepagi ini. Gadis itu mendekat. Kini terlihat jelas wajah kusutnya. Bola matanya terlihat merah dengan tatapan sayu. Seperti orang yang semalaman tidak tidur. Wajah kusut itu ditekuk untuk menutupi rasa canggung, bersalah, dan menyesal atas apa yang telah ia lakukan kemarin."Mbak Dewi ...." Gina merengek manja. "Aku minta maaf atas kejadian kemarin."Dewi menaikkan sebelah alisnya. Tidak biasanya Gina yang berkarakter keras mirip dirinya mau meminta maaf seperti itu."Mbak," ucap Gina lagi. "Aku benar-benar menyesal udah kayak gitu kemarin."Dewi tak langsung menanggapi. Ia bisa menebak, Gina bersikap seperti itu karena Rindu dan Asih. "Mbak ...." Gina semakin mendekat."Kenapa?" tanya Dewi dengan ketus. "Bukannya kamu enggak sudi punya kakak ipar kayak aku?"Gina menggeleng. "Enggak, Mbak. Aku salah. Mbak Dewi yang terbaik. Aku dan Ibu udah tertipu."Dewi menarik sebelah bibirnya. Baginya apa yang dilakukan G
[Sayang, aku sudah bersiap pulang.]Gibran mengirim pesan kepada Dewi. Tanpa memperhatikan apakah pesannya terkirim atau tidak, lelaki berwajah mirip Irwansyah itu langsung memasukkan ponselnya ke tas. Ia tidak tahu kalau Dewi telah memblokir nomornya. Karena Gibran memang sengaja selama dinas di luar kota, ia membiarkan ada jeda antara dirinya dengan Dewi untuk saling berpikir. Jadi, selama beberapa hari ini Gibran sama sekali tidak menghubungi nomor Dewi.Besar harapan Gibran begitu tiba di rumah, suasana sudah tenang dan ia bisa memperbaiki hubungan dengan Dewi. Untuk sementara waktu, Gibran memang mengabaikan semua hal tentang Rindu. Ia tidak mengangkat telepon Rindu ataupun membaca dan membalas pesan istri keduanya itu. Toh, Rindu sudah aman di rumah ibunya.Saat ini di pikiran Gibran hanya ingin memperbaiki hubungannya dengan Dewi. Ia tidak mau melepas berlian demi kerikil yang tidak jelas asalnya. Urusan dengan Rindu akan ia selesaikan nanti setelah masalahnya dengan Dewi beres
Asih merebut surat panggilan polisi itu dari tangan Rindu. Sekilas ia bisa membaca isi surat itu. Setelahnya ia paham harus berbuat apa. "Ayo, kalau mau ke kantor polisi!" ucap Asih dengan berani. "Kami berdua akan buktikan kalau kami tidak tahu apa-apa."Rindu menoleh dan menatap mamanya tidak percaya. "Ta-tapi, Ma ...." Rindu takut kalau akhirnya ia atau mamanya akan terseret menjadi tersangka juga. Dan seumur-umur ia juga belum pernah berurusan dengan polisi."Ya udah, buruan ganti baju!" titah Gibran.Asih menyeret Rindu yang masih tertegun untuk berganti pakaian ke kamar."Ma, Mama yakin lakuin ini?" tanya Rindu ketakutan."Kenapa tidak. Bilang saja sama polisi kalau kita tidak tahu apa-apa. Bilang aja kalau Gibran yang mengurus semua persiapan untuk pernikahan kalian!""Tapi, Ma! Gimana kalau Mas Gibran dipenjara? Aku enggak mau jadi janda!""Tidak kamu tenang aja! Dia pasti membela diri."Setelah berganti pakaian, mereka berdua kembali keluar untuk bersama-sama ke kantor polisi
Seharian Bu Santi dan Gina menunggu kepulangan Dewi di teras rumah Dewi. Mereka sampai melupakan makan siang demi bisa bertemu dengan Dewi. Namun, sampai azan maghrib berkumandang Dewi tidak juga kunjung pulang."Bu, ayo kita pulang dulu!" ajak Gina yang tidak tega melihat ibunya. Wajahnya pucat, kusut, dan terlihat sekali banyak beban pikiran. Wanita yang duduk di sisinya itu menatap kosong ke arah halaman. Ibu mana yang tidak sedih melihat putra yang seharusnya menjadi kebanggaan dan pelindung menggantikan peran sang ayah malah harus mendekam di penjara. Dan Bu Santi sangat menyesal karena ia ikut berperan atas masuknya Gibran ke penjara. Ia telah ikut mendukung Gibran menikah lagi saat itu. Seandainya waktu bisa diputar, ia pasti akan menjadi orang paling lantang menentang keinginan Gibran dan Rindu untuk menikah. Namun, apa bisa dikata. Nasi telah menjadi bubur. Raut wajah Gibran yang sering terlihat tertekan dan murung semenjak menikah dengan Dewi, membuat Bu Santi tidak berpi
Azan Isya berkumandang, tetapi Dewi belum juga tiba di rumah. Pulang kantor, Dewi memang mengunjungi rumah ibunya dulu. Ia ingin memastikan kalau Mbak Marni benar-benar sudah tiba di rumah ibunya lagi dan semua baik-baik saja. Setelah shalat maghrib dan makan malam, baru Dewi pamit pulang."Benar tidak mau nginap saja, Wi?" tanya Bu Rasti untuk menahan putrinya. Ia tidak tega Dewi di rumah sebesar itu sendirian."Enggak, Bu. Gampang besok aku ke sini lagi.""Ya sudah, hati-hati di jalan, ya! Kalau sudah sampai rumah, langsung kasih kabar Ibu!""Siap!"Setelah mencium tangan dan memeluk ibunya, Dewi kemudian pulang. Sengaja ia mengemudikan mobilnya dengan santai. Ia ingin begitu tiba di rumah langsung mandi, shalat, dan tidur untuk menghalau rasa kesepian yang pasti akan menderanya.Biasanya kalau dia pulang lembur, Gibran akan menyambutnya dengan berbagai cerita. Dulu, Dewi sampai merasa kalau dia yang laki-laki dan Gibran yang perempuan karena memang kondisi mereka berdua seperti itu
Tiba di rumah Bu Santi langsung masuk ke kamar. Ia bahkan merasa tidak punya tenaga sekadar untuk mengusir Rindu dan Asih yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga seolah-olah tidak merasa bersalah sama sekali atas peristiwa yang menimpa Gibran. Energi Bu Santi serasa habis terkuras untuk memikirkan Gibran yang sudah tidak memiliki secuil kesempatan pun untuk kembali bersama Dewi.Seperti zombi dengan tatapan mata kosong, Bu Santi memasuki ruang kamarnya. Penyesalan demi penyesalan layaknya cambuk yang terus menghujam tanpa ampun. Seandainya .... Seandainya .... Dan ribuan kata seandainya lainnya memenuhi kepala Bu Santi sampai rasanya mau meledak. Sampai akhirnya wanita itu ambruk di tempat tidur."Bu, makan dulu, yuk!" ajak Gina yang sejak tadi mengikuti langkah ibunya. "Dari tadi ibu belum makan. Kalau ibu sakit aku gimana?"Namun, Bu Santi hanya menggeleng lemah tanpa mau membuka mata. Rasanya ia ingin segera tidur agar semua yang terjadi hari ini bisa segera ia lupaka
Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
"Mbak Dewi baik, Mas. Tadi dia bilang di sini karena ada urusan kerjaan. Aku enggak sempat ngobrol banyak, soalnya dia harus meeting. Jadi aku cuma tanya soal kehamilannya.""Kamu enggak ketemu Cantika?" tanya Gibran dengan kecewa. Ia sangat berharap kalau Gina memiliki memotret Cantika seperti saat memotret Dewi.Gina menggeleng dengan penuh penyesalan. Ia tidak tega melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata kakaknya. "Aku cuma ketemu Mbak Dewi, Mas."Gibran menghela napas panjang. "Kamu enggak tanya dia tinggal di mana?"Gina menggeleng lemah. "Mbak Dewi langsung pergi. Aku enggak sempat tanya.""Ya udah, Gin. Seenggaknya aku udah tau kalau anakku udah lahir. Makasih, ya!""Mas Gibran ke sini cuma mau tanya ini?"Gibran menatap Gina beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Rindu ... berkali-kali menyebut-nyebut nama Dewi, Dek. Mas dan Ibu pikir, dengan membawa Dewi untuk ketemu Rindu, mungkin akan membuat Rindu bisa membuka mata lagi. Tapi ... gimana Mas mau
Setelah menutup telepon dari Gibran, Gina melihat kembali foto Dewi yang ia ambil secara diam-diam sebelum menyapa mantan istri kakaknya itu. Perintah Gibran untuk mencari tahu kabar bayi yang dikandung Dewi, membuat Gina tersadar kalau tadi ia lupa memperhatikan perut Dewi. Melihat perut Dewi yang sudah rata, napas Gina tercekat."Mbak Dewi sudah melahirkan?" gumamnya.Gina langsung menoleh ke arah dimana Dewi pergi. Gadis berambut panjang itu berlari kecil berusaha mengejar ibu dari keponakannya sembari terus bergumam, "Mbak Dewi, Mbak Dewi, jangan pergi dulu, aku mohon! Please, aku mohon, jangan pergi dulu!"Cukup jauh Gina berlari sampai akhirnya matanya berhasil menangkap sosok yang sedang ia cari.Dewi tampak baru saja meninggalkan kasir."Mbak Dewi! Tunggu!" seru Gina tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya tidak mau sampai kehilangan jejak Dewi lagi.Dewi yang mendengar panggilan Gina, berhenti sejenak, lalu kembali melangkah. Ia sudah tidak ingin lagi berurusan
"Mbak Dewi!"Dewi yang sedang fokus memilih belanjaan menoleh dan sangat terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Gina?" pekiknya melihat adik dari mantan suaminya berjalan mendekatinya. "Gimana kabar?" Dewi langsung memeluk lalu memegangi kedua bahu Gina dan menatap mantan adik iparnya itu."Baik, Mbak. Mbak Dewi sendiri gimana kabarnya?""Alhamdulillah, baik, Gin. Kamu ...." Dewi menggantung ucapannya karena bingung harus menggunakan kalimat yang seperti apa untuk bertanya mengapa Gina ada di kota tempat tinggalnya saat ini."Aku sekarang kerja di deket sini, Mbak," sambung Gina, ia mengerti apa yang hendak Dewi tanyakan."Oh, jadi sekarang kamu tinggal di sini? Sudah lama?""Lumayan, Mbak. Rumah ibu kan, udah dijual. Jadi ... ya ... aku ngekos sambil kerja."Dewi mengernyit."Iya, Mbak. Rumah ibu dijual untuk bayar biaya rumah sakit si Rindu. Pas Rindu melahirkan dia koma sampai sekarang belum sadar. Bayinya juga ada kelainan jantung dan harus operasi saat itu. Jadi ya ... gimana