Waktu menunjukkan pukul 10.20 dan Sakina masih dalam perjalanan menuju kafe. Ia sebenarnya sudah rapi sejak sebelum jam 10.00, tapi ia sengaja datang terlambat. Sakina tidak mau terlihat bersemangat atau terkesan berlebihan. Jadi, ia merasa perlu datang terakhir. Biarkan Erzha yang menunggunya. Untungnya, kafe tempat mereka bertemu masih satu kawasan dengan apartemen Sakina, sehingga ia hanya perlu berjalan kaki saja.
Sampai di kafe, Sakina tidak merasa sulit untuk menemukan keberadaan Erzha. Pria itu tampak menonjol dengan kaus merah cerah. Dari kejauhan saja, Sakina merasa Erzha sukses menjadi pusat perhatian. Terbukti beberapa pengunjung wanita tampak mencuri-curi pandang ke arah pria itu.
Sakina berjalan pelan, berusaha bersikap sewajarnya demi menghilangkan rasa gugup. Sedangkan Erzha tampak sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari kalau Sakina mulai mendekat. Wangi maskulin langsung tercium dan semakin terasa saat Sakina sudah ada di hadapan Erzha.
"Sori telat. Udah nunggu lama ya, Mas?" ucap Sakina seraya berpura-pura merasa bersalah atas keterlambatan ini.
"Oh, kamu udah datang," balas Erzha sambil meletakkan ponselnya di meja. "Kamu juga nggak usah minta maaf, ya. Harusnya aku yang minta maaf karena udah ganggu akhir pekan kamu," lanjutnya.
Sakina hanya tersenyum. Berhadapan dengan Erzha seperti ini malah membuatnya tidak tahu harus melakukan apa. Padahal ia benar-benar penasaran kenapa pria itu mengajaknya bertemu di sini.
"Kamu mau berdiri aja?" Suara Erzha membuat Sakina refleks mengambil posisi duduk di kursi tepat di hadapan Erzha.
"Jangan salah tingkah, Kina!" batin Sakina, ingin mengutuk diri sendiri.
"Jadi ada apa?" tanya Sakina kemudian, berusaha tidak gugup.
"Sebelumnya mau pesan apa?" Erzha menyodorkan buku menu. "Kamu lagi nggak buru-buru, kan?"
Sebenarnya Sakina memang tidak sedang buru-buru. Namun, jika dihadapkan dengan situasi seperti ini, rasanya ia ingin buru-buru pergi. Jika orang lain akan merasa senang saat bertemu cinta pertamanya, lain halnya dengan Sakina yang justru merasa tak karuan. Rasanya canggung. Terlebih Erzha sudah punya anak dan istri, jelas membuatnya merasa tak nyaman berduaan seperti ini.
Sakina pun menunjuk minuman yang diinginkan. "Minum aja cukup," ucapnya.
"Oh, oke," balas Erzha. Setelah memesan minuman, mereka sempat diam selama beberapa saat sampai pelayan membawakan pesanan mereka. Canggung sekali.
"Anaknya nggak ikut, Mas?" Sakina hanya ingin berbasa-basi demi mengusir kecanggungan, tapi entah kenapa ia merasa pertanyaannya cenderung janggal.
"Iya, dia nggak ikut, lagi les piano," jawab Erzha santai.
"Oh ya, kenapa Mas Erzha ngajak ketemu aku di sini?"
"Aku to the point aja ya, Sakina ... sepertinya kamu buru-buru," kata Erzha. "Kamu ingat lipstik yang kemarin?" tanyanya kemudian.
What? Sungguh, Sakina tidak menyangka hal seperti itulah yang akan dibahas. Sakina pun mengangguk. "Oh, itu ... iya, sebenarnya itu bukan punyaku. Kemarin juga mau bilang, tapi keburu anak Mas-nya manggil-manggil. Jadi nggak sempat, memangnya kenapa, Mas?"
"Oh, jadi beneran itu bukan milik kamu?" Erzha memastikan.
Sakina mengangguk. "Sebenarnya ada apa?"
"Kemarin pas mau pulang ada wanita yang nyamperin aku, dan bilang kalau aku ngambil lipstik miliknya yang jatuh. Hmm, kamu ingat wanita yang nyaris nabrak kita pas kita lagi ngobrol?"
Sakina tampak berpikir sejenak, berusaha mengingat-ingat. Saat Erzha menyapanya untuk pertama kali, memang benar ada orang yang sepertinya tidak sengaja nyaris menabrak mereka. Seingatnya juga, orang itu tampak membawa beberapa kantong belanjaan dan cenderung terlihat kesulitan sampai-sampai nyaris menabrak mereka. Beruntung tidak ada acara tabrak-menabrak, hanya sedikit menyenggol mereka saja.
"Ah iya. Aku ingat, Mas. Jadi itu lipstik punya dia?"
Kali ini Erzha yang mengangguk. "Iya, dia minta balikin."
"Kok dia tahu lipstiknya diambil sama Mas Erzha? Aneh." Sakina jelas merasa heran.
"Katanya, dia lihat sendiri aku ambil dan bawa lipstiknya yang semula di lantai."
What? Jelas ini makin aneh. Sakina makin kebingungan dengan hal ini. "Kalau dia tahu Mas Erzha ambil lipstiknya ... kenapa nggak nyamperin pas kejadian aja? Kenapa malah minta dibalikin pas lipstiknya udah dikasih ke aku," ujar Sakina. "Tunggu, tunggu, kalau dia lihat ... otomatis harusnya dia sadar betul lipstiknya jatuh. Kenapa ngebiarin diambil orang begitu aja? Giliran udah lenyap, malah nyari. Sumpah aneh banget," lanjutnya menggebu-gebu. Entah kenapa ia malah sewot sendiri.
"Aku juga bingung. Makanya aku ngajak kamu ketemuan dan ini susah kalau dijelasin via chat, ditambah lagi ponselku semalam lowbatt. Makanya aku nyuruh supaya kamu nggak balas, karena pasti ceklis satu," kata Erzha. "Kamu masih simpan lipstiknya, kan?"
Mata Sakina membelalak, untuk apa ia menyimpan sesuatu yang bukan miliknya? Tentu saja kemarin ia membiarkannya tergeletak begitu saja di meja. "Aku tinggalin di meja, Mas."
Wajah Erzha tampak kecewa. "Aku kira kamu bawa pulang."
"Emang se-penting itu, ya?"
"Orangnya marah-marah minta aku balikin, Sakina."
"Seharusnya Mas Erzha bilang nggak tahu. Beres, kan? Emangnya dia punya bukti Mas yang ambil?"
"Dia punya video-nya. Kamu tahu betapa ribetnya wanita, kan? Apalagi ibu-ibu," ujar Erzha.
"Serius dia punya video-nya? CCTV? Berarti dia emang niat buat jebak Mas Erzha dong. Ya ampun, nggak ada kerjaan banget!"
Seharusnya Sakina tidak heran terhadap hal ini. Sejak dulu Erzha memang memesona dan membuat banyak wanita tertarik sehingga kadang mereka melakukan apa saja untuk menarik perhatian pria itu.
Namun, Sakina tidak menyangka ada yang sampai se-ektrem ini. Konyol sekali. Hidupnya pasti penuh drama. Betapa tidak, orang normal mana yang terang-terangan menjatuhkan sesuatu agar pria yang menarik perhatian menghampirinya? Sungguh, ini benar-benar jebakan terniat.
"Sebentar aku tanya waitress dulu ya, Mas. Di kafe ini, biasanya kalau ada barang-barang pengunjung ketinggalan ... mereka simpan sampai pemiliknya datang mencari. Bahkan kalau mereka tahu alamatnya, dianterin loh." Sakina bergegas berdiri.
"Sebelum hubungin kamu, sebelumnya aku udah nyari ke sini. Tapi lipstiknya emang nggak ada, makanya aku pikir kamu yang bawa."
Sakina mengembuskan napasnya, kegugupan yang semula ia rasakan sudah melebur bersama rasa kesal. Ia kesal, kenapa senorak itu hanya untuk menarik perhatian suami orang?
"Gila emang!" umpat Sakina. "Eh, sori. Aku bukan lagi ngatain Mas Erzha. Aku cuma heran aja sama kejadian ini. Konyol," jelasnya setelah melihat raut wajah Erzha penuh kebingungan.
Erzha hanya tersenyum kemudian bertanya, "Kamu tahu mereknya, kan? Bisa antar aku ke toko kosmetik buat beli yang baru?"
Bicara soal merek, jangan tanya Sakina. Ia benar-benar tidak ingat detail lipstik itu. Warna atau nomornya tentu ia tidak tahu. Sakina hanya memegang sekilas lalu membiarkannya tergeletak begitu saja di meja. Terlebih lipstik yang kemarin dilihatnya itu benar-benar asing baginya.
"Jangan bilang nggak tahu," kata Erzha lagi.
"Tanya aja detailnya sama mbak-mbak yang punya. Bisa, kan?"
"Itu dia masalahnya. Dia nggak mau ngasih tahu," balas Erzha.
"Aneh banget. Maunya dia tuh apa, sih?" Sakina makin sewot. Sontak hal itu membuat Erzha menahan tawa. Ia merasa ekspresi Sakina benar-benar lucu.
"Kenapa Mas Erzha malah kayak mau ketawa?"
Erzha menggeleng. "Enggak apa-apa, kok."
"Terus jadinya sekarang gimana dong?" tanya Sakina.
"Diminum aja dulu es kopinya, biar lebih tenang. Setelah itu coba ingat-ingat lagi, siapa tahu aja tiba-tiba ingat detail lipstiknya," saran Erzha.
Kalau ditanya tentang judul novel dan siapa penulisnya, Sakina mungkin akan menjawabnya dengan cepat dan tepat. Namun, kalau ditanya tentang merek-merek kosmetik apalagi dengan detail yang tidak ia ingat, mana mungkin wanita itu tahu?
Sampai pada akhirnya, Sakina menemukan ide. Ya, sahabatnya pasti ingat, terlebih kemarin Fifi meneliti lipstik itu. Baiklah, sepertinya sekarang ia harus menghubungi Fifi.
"Ah iya, aku tanya Fifi dulu kalau begitu. Seharusnya dia tahu," kata Sakina.
Erzha tampak berpikir sejenak. "Teman kamu yang kemarin, kan?"
"Iya, aku telepon dia dulu, ya. Dia pasti ingat detail lipstiknya."
Ya, Fifi seharusnya tahu….
Sial. Fifi sama sekali tidak menjawab telepon Sakina. Tentu saja Sakina merasa kesal. Ia akhirnya memutuskan mendatangi tempat tinggal sahabatnya itu. Untungnya mereka tinggal di apartemen yang sama, sehingga tidak perlu membuang-buang waktu Sakina langsung berjalan kaki menuju apartemen Fifi.Setelah meminta Erzha menunggu di lobi, Sakina pun naik lift menuju lantai 15. Ia dan Fifi memang tinggal di apartemen yang sama, hanya berbeda lantai saja. Setelah sampai di depan pintu, Sakina tak sungkan untuk menekan bel. Cukup lama pintu tak kunjung dibuka, Sakina bahkan nyaris mengira sahabatnya itu tak ada di dalam. Namun, saat pintu akhirnya dibuka, Sakina bisa mengerti kenapa Fifi tak mengangkat teleponnya."Ya ampun, diteleponin nggak diangkat. Ternyata masih tidur dan sekarang baru bangun? Bagus," ujar Sakina seraya memperhatikan Fifi yang masih mengenakan piama, penampilannya pun acak-acakan khas orang baru bangun tidur."Ada apa sih, Na? Bukannya kita nggak ada acara, ya?" Suara Fif
Akhirnya, tugas Sakina sudah selesai. Lipstik sudah dibeli, dan kini ada di tangan Erzha. Sebaiknya sekarang Sakina pamit pergi. Ia tidak mau terus-terusan bersama pria itu. Lagi pula, Sakina sudah ada janji dengan Nita—mamanya. Ya, setiap hari Minggu, rutinitas Sakina yaitu mengunjungi rumah makan yang dikelola mamanya.Biasanya Sakina ke sana sore hari karena saat pagi sampai siang gravitasi kasurnya lebih kuat sehingga membuatnya lebih memilih 'hibernasi'. Namun, berhubung ia sudah rapi, lebih baik langsung ke sana sekarang. Jika kembali ke apartemen terlebih dahulu, ia bisa terserang mager kemudian tidak jadi menemui mamanya."Kamu ngapain pesan ojek online?" Suara Erzha mengalihkan fokus Sakina dari yang semula menatap ponsel, lalu beralih menatap Erzha. Sakina bahkan ingin bertanya, kenapa mata Erzha bisa sangat jeli?"Maaf, aku nggak sengaja lihat layar ponsel kamu," kata Erzha lagi.Sakina tidak langsung menjawab, ia kesal kenapa status pesanannya terus 'mencari driver' padaha
"Apa nama akun menulis kamu?" lanjut Erzha.Pertanyaan Erzha membuat Sakina menghela napas panjang. Tadinya, ia kira pria itu akan menanyakan sesuatu yang tidak-tidak. Syukurlah Erzha sekadar bertanya akun menulis."Kok diam?" tanya Erzha lagi."Kenapa nanyain akunku? Emang Mas Erzha suka baca juga?""Enggak suka baca, sih. Cuma mau tahu aja."Setelah berpikir selama beberapa saat, Sakina akhirnya menyebutkan user name-nya. Sebenarnya ia sempat ragu untuk memberi tahu Erzha nama akunnya, tapi jika tidak memberi tahu ... bukankah akan tampak mencurigakan? Apa alasan yang tepat untuk menolak memberi tahu? Malu ceritanya dibaca bukanlah alasan yang tepat, karena Erzha barusan mengatakan tidak suka membaca.Tak lama kemudian, Erzha tersenyum. Bukan, itu bukan ke arah Sakina, melainkan ke arah pintu mobil di samping Sakina. Tentu saja Sakina langsung menoleh, rupanya sang mama ada di luar pintu mobil Erzha. Tidak, jangan sampai mamanya salah paham!"Aku turun dulu, ya. Makasih udah antar s
Setelah Alfian pergi tanpa berkata apa-apa lagi, sekarang di sinilah Sakina berada, duduk di sofa ruang tamu bersama Erzha. Sumpah demi apa pun, keadaan seperti ini tak pernah sedikit pun masuk dalam daftar hal yang Sakina pikirkan."Maaf kedatanganku ke sini pasti bikin kamu bingung. Sebelumnya aku datang ke rumah makan Tante Nita buat antar ini." Erzha membuka pembicaraan seraya menyodorkan ponsel yang sejak tadi Sakina cari-cari. Jadi benar, ternyata ketinggalan di mobil Erzha.Sakina langsung cemas. Itu artinya Erzha bertemu lagi dengan Nita. Sakina berharap mamanya tidak menyinggung tentang sopir taksi online kepada Erzha. Ya Tuhan, andai tahu kejadiannya akan seperti ini, Sakina pasti tidak akan mengatakan bahwa Erzha adalah seorang sopir."Makasih ya, Mas Erzha," balas Sakina sedikit kikuk. "Ngomong-ngomong, mama tadi nggak bilang apa-apa, kan?""Apa-apa gimana maksudnya?" Erzha malah balik bertanya."Eng-enggak, kok." Sakina berusaha tersenyum. Tidak membahasnya adalah cara te
"Kamu ngapain ngajak nongkrong di sini, sih? Gebetannya kerja di sini apa gimana?" tanya Fifi yang tampak kesal."Kita cuma nggak ketemu tiga mingguan loh, kamu kok jadi berubah gini? Kamu tahu, Mas Heru kelabakan nyari tempat ini. Biasanya dia kalau bilang on the way jemput ... kurang dari setengah jam udah datang, nah sekarang mana?" tambah Fifi.Sudah satu jam ini Fifi mengeluhkan hal yang sama. Betapa tidak, ia dan Sakina biasanya menghabiskan waktu di kafe dekat tempat tinggal mereka, tapi kali ini Sakina malah mengajaknya ke kafe yang jauh. Alhasil, sepertinya suami Fifi kesulitan menemukan tempat ini. Padahal biasanya Heru tidak pernah se-terlambat ini untuk menjemputnya.Sampai saat ini, Fifi tidak pernah tahu kalau ini dilakukan Sakina demi menghindari Erzha. Ya, sudah hampir sebulan Sakina berhasil menghindari pria itu. Sakina khawatir akan bertemu Erzha di kafe biasa, sehingga memilih kafe yang jauh sehingga tidak ada kemungkinan Erzha akan muncul.Sejak pertemuan mereka di
Sakina yakin itu suara Erzha!Wanita itu tidak mungkin salah dengar. Perlahan Sakina menoleh ke arah belakang untuk memastikan dugaannya, dan ternyata benar Erzha sudah berdiri seraya tersenyum padanya. Senyuman sialan itu lagi."Ternyata benar, itu kamu. Kamu ngapain di sini?" tanya Erzha, yang kemudian mengambil posisi di kursi depan Sakina yang semula diduduki oleh Fifi.Jujur, Sakina masih syok. Ia seperti buronan yang tertangkap basah. Kenapa suami orang di hadapannya ini selalu ada di mana-mana? Apa Erzha jelmaan hantu?"Sakina? Kamu kok sepertinya kaget banget? Sebelumnya maaf, aku nggak bermaksud ngagetin."Setelah beberapa saat terdiam demi menetralkan degup jantungnya, Sakina balik bertanya, "Mas Erzha kenapa ada di sini?""Aku memang ada urusan di sini. Tadi pas mau keluar ... aku nggak sengaja lihat kamu. Awalnya sempat nggak yakin, sih, kalau itu kamu. Tapi setelah disamperin, ternyata beneran kamu. Lagi apa di sini? Sendirian aja?""Sebelumnya aku sama Fifi, cuma beberap
"Kalian belum kenalan, ya." Suara Erzha berhasil membuyarkan segala imajinasi gila Sakina."Persetan dengan kenalan! Sebenarnya apa tujuan Mas Erzha mempertemukan aku dengan istrinya?!" batin Sakina kesal."Nanti juga kenal, kok," balas wanita di samping Erzha. Wanita itu kemudian menoleh ke belakang untuk memperlihatkan senyuman manisnya pada Sakina. "Katanya, kamu penulis. Iya, kan?"Sakina hanya mengangguk. "Wah, kebetulan banget. Aku juga sering baca novel online. Jangan-jangan aku salah satu pembaca kamu," ucap wanita itu lagi, sangat antusias."Iya betul," timpal Erzha. "Meskipun udah jadi seorang istri, dia nggak pernah absen baca novel online. Bahkan, dia juga nggak mau pensiun dari pekerjaannya. Apa nggak kasihan sama suaminya?""Mas Erzha ... mulai deh. Perlu dicatat, ya. Aku jadi pembaca sekaligus pebisnis itu sebelum punya suami. Jadi sah-sah aja kalau sekarang masih bergelut di bidang yang sama. Menurutku, yang penting bisa bagi waktu dan tentunya keluargalah yang lebih u
"Itu Mas Biru," ucap Ujang pelan. "Dasar pria nakal, masih aja bawa minuman ke atas," lanjutnya yang pastinya tidak akan terdengar oleh orang yang ia bicarakan."Panjang umur juga, ya," timpal Sutaryo.Biru menoleh sejenak ke arah mereka, tapi tetap melangkah ke meja kerjanya untuk menyimpan cangkir. Sontak Sakina menjadi tahu pemilik meja super rapi itu ternyata Biru. Tak lama kemudian, Biru berjalan menghampiri empat orang itu."Kalian ngapain berdiri di sini?" tanya Biru, matanya kemudian menyadari kehadiran orang asing. Sakina. "Oh, ada tamu.""Ini penulis yang Mas Erzha bilang itu," jelas Elina.Biru kemudian mengangguk. "Suruh duduk, dong. Bikinin minum," ucapnya seraya menunjuk sofa yang ada di pojok ruangan."Sakina, kita duduk, yuk!" ajak Elina kemudian.Sakina pun mengangguk. Akhirnya ia dan Elina duduk di sofa, sedangkan Ujang, Sutaryo dan Biru kembali ke tempatnya masing-masing."Oh iya!" teriak Elina yang baru teringat perintah Erzha. "Ujang sama Tayo disuruh bantuin Mas