Sakina mengembuskan napas panjang setelah duduk di hadapan sahabatnya, Fifi. Fifi yang tengah meminum es kopi lantas menunjukkan ekspresi penuh tanya. Kenapa Sakina memberikan gelagat aneh yang tak biasanya wanita itu tampilkan? Pasti ada sesuatu.
"Na, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Fifi.
Sakina mengernyit. "Maksudnya?"
"Pasti ada sesuatu, kan? Hayoh, abis lihat apa barusan?" Fifi menyelidik.
Seperti biasa, menyembunyikan sesuatu dari Fifi tidaklah mudah. Mungkin karena Fifi terlalu mengenal Sakina sehingga hal sekecil apa pun tak akan pernah luput dari perhatiannya. Betapa tidak, mereka sudah bersahabat semenjak kelas satu SMA. Keduanya sudah sama-sama tahu asam garamnya persahabatan, dari saling bertengkar, saling membela, bahkan sampai menyukai pria yang sama. Mereka pernah alami. Untungnya, sekarang tidak ada lagi drama-drama memperebutkan pria karena mereka berdua sudah saling memiliki pasangan. Fifi sudah menikah, sedangkan Sakina 'mengaku' akan dinikahi oleh Park Seo-Joon.
"Ada Erzha," kata Sakina setengah berbisik.
Fifi tampak terkejut. "Hah? Erzha pacar pertama itu? Mana, mana? Mau lihat seganteng apa, sih?"
Sakina langsung melemparkan tisu ke arah Fifi. "Bisa pelan nggak, sih? Kalau orangnya dengar gimana?"
"Ya sori, emangnya kamu ketemu di mana, sih, Na?"
"Ya bukan di kafe ini, sih. Tapi alangkah lebih baik ngomongnya nggak usah kayak orang ngasih pengumuman dong, Fi. Lagian, ya ... please ingat, kalau perlu catat. Dia itu bukan pacar pertama aku. Titik. Tolong bedakan antara pacar pertama dan cinta pertama."
"Terserah deh kalau itu, Na. Sekarang yang jadi pertanyaanku ... kenapa ekspresi kamu begitu? Abis dibaperin?"
"Enak aja!" sanggah Sakina. "Gila, ya. Gila banget," lanjutnya.
"Na, kalau ngomong yang bener dong. Jangan muter-muter, pakai bahasa yang bisa dipahami manusia aja. Jadi ada apa?"
"Setelah bertahun-tahun nggak ketemu dia ... percaya nggak, sekarang dia udah punya anak," kata Sakina gemas. "Aku bahkan nggak tahu dia udah nikah," lanjutnya.
"Terus masalah? Kamu masih ngarep, ya?" Fifi malah sengaja menggoda.
"Ya masalah sih nggak, aku cuma kaget aja. Wajar, kan?"
Fifi menggeleng. "Enggak wajarlah. Kamu siapanya Erzha wahai Sakina Adriana?"
"Ya udah nggak usah nanya-nanya kalau responsnya begitu!" Sakina mulai sewot. Sontak Fifi langsung tertawa. "Ketawa aja sana sampai puas!"
"Kina, Kina ... dengan kayak gitu, kamu terlalu nunjukkin kalau masih ngarep bisa berjodoh sama Erzha. Jadi penasaran apa bagusnya dia, sampai-sampai seorang Sakina ngarep bertahun-tahun. Ah, bahkan belasan tahun kali, ya? Dari kalian SMP, kan?"
"Berisik! Enggak usah bahas dia lagi," kata Sakina yang masih cemberut. "Lagian aku bukan ngarep, aku cuma penasaran aja."
"Na, kamu aja nggak tahu dia nikah kapan, kan? Berarti kamu nggak diundang. Secara nggak langsung itu nunjukkin kalau dia sama sekali nggak ingat sama kamu. Dalam kata lain, kamu itu nggak penting buat dia," ujar Fifi sambil terkekeh.
"Kalau nggak ingat, ngapain tadi dia nyapa aku duluan?"
"Kamu punya utang kali, makanya refleks ingat pas ketemu."
"Capek deh ngomong sama kamu. Udah ya, udah ... pembahasannya stop sampai di sini," putus Sakina. Wanita itu kemudian menyeruput minuman di depannya, minuman yang sudah dipesan oleh Fifi sebelum Sakina datang.
"Sakina...."
Sumpah demi apa pun, Sakina nyaris menyemburkan minumannya saat mendengar suara berat menyebut namanya. Awalnya ia menyangka tengah berhalusinasi, tapi saat kepalanya mendongak, Sakina sadar betul kalau ini nyata. Ya, Erzha kini ada di hadapannya.
"I-iya?" Sakina sedikit terbata.
"Kebetulan banget kamu ada di sini. Hmm, tadi kayaknya kamu ngejatuhin ini deh," kata Erzha seraya menyerahkan sebuah lipstik pada Sakina.
Tentu saja Sakina terkejut. Kedatangan Erzha benar-benar tak pernah ia duga sebelumnya. Lalu, lipstik? Jelas itu bukan milik Sakina. "Maaf Mas, itu—"
"Papaaa!" teriak anak kecil yang spontan menghentikan ucapan Sakina.
Erzha pun menoleh pada sang anak. "Iya, Sayang? Sebentar, ya."
"Mau duduk, Papa!"
Erzha kemudian beralih menatap Sakina. "Aku ke sana dulu, ya."
Belum sempat Sakina menjawab, Erzha sudah bergegas ke meja paling ujung di mana seorang anak kecil berada. Bersamaan dengan itu, Fifi langsung pindah duduknya ke samping Sakina.
"Na, itu yang namanya Erzha?" bisik Fifi. Sakina pun mengangguk.
"Masih muda dan ganteng banget, ya? Gila, ini sih hot daddy! Beruntung banget yang jadi istrinya. Hmm, andai dia ke sini nggak sama anaknya, pasti aku bakal ngira dia masih lajang. Atau bahkan semua bakal berpikiran kayak aku," ucap Fifi menggebu-gebu.
"Jangan keras-keras, orangnya ada di sini, Fi."
Fifi nyengir kemudian menjawab, "Eh, niat banget ya sampai jatuhin lipstik biar disamperin lagi. Aku nggak nyangka kamu punya ide—"
"Sumpah itu bukan punya aku. Lagian kamu kayak nggak kenal aku aja, sejak kapan aku pakai lipstik begitu? Bukan aku banget. Aku bahkan baru tahu ada lipstik kayak gini."
"Bodo amatlah ini punya siapa, yang pasti aku nggak penasaran lagi wujud Erzha. Meskipun kamu pernah nunjukkin foto pas dia masih jadi kakak kelas kamu ... tapi tetep aja beda, gantengan sekarang."
"Udah, Fi, udah. Orangnya ada di sini," ulang Sakina.
"Kalau suaminya begini, udah pasti rawan pelakor. Andaikan dia nggak punya istri, aku pasti bakal—"
"Fi, aku laporin Mas Heru nih," potong Sakina. "Mas Heru nih ... istrinya jelalatan," lanjutnya seraya memperagakan nada orang yang tengah mangadu. Heru adalah nama suami Fifi.
"Dengar dulu dong. Aku mau bilang ... bakal bantuin kamu buat dapetin dia. Jangan nethink, huh!"
"Ya udah, yuk! Katanya kamu mau nyari sepatu," ajak Sakina yang tak bisa lebih lama di sini. Ia tak mau terlihat salah tingkah. Erzha adalah cinta pertamanya, meskipun pria itu tak mengetahui perihal ini. Namun, tetap saja Sakina merasa gugup dan salah tingkah saat berada di dekat pria itu. Terlebih berbicara dengannya, benar-benar membuat Sakina tak tahu harus bagaimana.
"Nanti dulu. Siapa tahu aja abis makan, dia nyamperin ke sini lagi," tolak Fifi.
"Astaga, Fi. Apa yang kamu harapkan dari pria beristri, sih?" Sakina otomatis menutup mulutnya dengan telapak tangan saat menyadari ternyata ia berbicara cukup keras. Untungnya Erzha berada di paling pojok sehingga tidak mendengar ucapan wanita itu.
Fifi malah tersenyum. "Berapa umurnya?"
Awalnya Sakina enggan menjawab, tapi kemudian ia pun berkata, "Tiga puluh tahun, puas?!"
"Wah, masih hafal aja. Jiwa ngarepnya udah meronta-ronta pasti, ya?" goda Fifi.
"Ya aku belum pikun, Fi. Ini bukan karena aku terus ngafalin atau inget-inget terus. Dia itu tiga tahun lebih tua dari aku, jadi gampang banget ngitungnya. Suer, aku nggak sama sekali sengaja ngafalin umurnya. Kurang kerjaan amat."
"Terima kasih klarifikasinya, Bu Sakina," kekeh Fifi. "Tapi ngomong-ngomong ... istrinya mana, ya? Kok berdua aja sama anaknya."
"Ya itu urusan dia kali, Fi. Mau istrinya di mana aja bodo amat, kan? Emang penting?"
"Enggak, sih. Penasaran aja, pasti cantik banget ya istrinya."
Sakina tidak lagi menanggapi obrolan Fifi, ia tidak mau pembahasan tentang Erzha jadi makin merambat ke mana-mana.
"Wah, bisa jadi istrinya lagi shopping atau lagi perawatan di salon bahkan klinik kecantikan mahal," tebak Fifi. "Lalu, sebagai suami yang baik ... dia jagain anaknya selama sang istri sibuk memanjakan tubuh."
"Ya ampun Fifi, mulai deh imajinasinya nggak bisa dikondisikan. Sekalian bikin cerita di D****e aja sana!"
"Idaman banget," kata Fifi lagi. "My God, dia bucin juga, ya? Rela jagain anak demi membahagiakan istri. Bucin tapi aku kok gemes."
"Fi, please udah. Kalau nggak, aku pergi nih. Terus laporin Mas Heru biar tahu kelakuan istrinya gimana," ancam Sakina.
Fifi pun diam, bukan karena Sakina mengancamnya. Melainkan karena saat ini Erzha tampak berjalan ke meja mereka. Fifi langsung menyikut lengan Sakina. "Tuh!"
Mau apa lagi? batin Sakina.
"Sakina," panggil Erzha.
"Penuh drama banget ya, padahal cuma ngasih nomor WA ke suami orang," kekeh Fifi.Saat ini Sakina dan Fifi sudah keluar dari kafe, mereka sedang dalam perjalanan ke toko sepatu ternama di sebuah mal. Eskalator terus berjalan, membawa mereka ke lantai tiga, dan di saat yang bersamaan Fifi tak henti-hentinya menggoda sahabatnya.Ya, tadi Erzha kembali memanggil Sakina untuk meminta nomor ponsel wanita itu. Awalnya Sakina ragu, ia tak tahu harus memberi atau menolak. Sampai akhirnya ia memutuskan mengetikkan nomornya di ponsel Erzha."Buruan cek, siapa tahu aja dia udah nge-chat," ledek Fifi.Sejak dulu, Fifi selalu heboh perihal pria. Mungkin karena Sakina tak kunjung menikah padahal Fifi sudah memutuskan berumah tangga sejak tiga tahun yang lalu. Namun, Sakina tak habis pikir, bagaimana mungkin Fifi seakan mendukung dirinya menjadi pelakor. Sungguh, berhubungan dalam bentuk apa pun dengan suami orang tentu membuat Sakina tak nyaman sekalipun via chat."Fi, aku wajarin ya kalau kamu jad
Waktu menunjukkan pukul 10.20 dan Sakina masih dalam perjalanan menuju kafe. Ia sebenarnya sudah rapi sejak sebelum jam 10.00, tapi ia sengaja datang terlambat. Sakina tidak mau terlihat bersemangat atau terkesan berlebihan. Jadi, ia merasa perlu datang terakhir. Biarkan Erzha yang menunggunya. Untungnya, kafe tempat mereka bertemu masih satu kawasan dengan apartemen Sakina, sehingga ia hanya perlu berjalan kaki saja.Sampai di kafe, Sakina tidak merasa sulit untuk menemukan keberadaan Erzha. Pria itu tampak menonjol dengan kaus merah cerah. Dari kejauhan saja, Sakina merasa Erzha sukses menjadi pusat perhatian. Terbukti beberapa pengunjung wanita tampak mencuri-curi pandang ke arah pria itu.Sakina berjalan pelan, berusaha bersikap sewajarnya demi menghilangkan rasa gugup. Sedangkan Erzha tampak sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari kalau Sakina mulai mendekat. Wangi maskulin langsung tercium dan semakin terasa saat Sakina sudah ada di hadapan Erzha."Sori telat. Udah nunggu lama y
Sial. Fifi sama sekali tidak menjawab telepon Sakina. Tentu saja Sakina merasa kesal. Ia akhirnya memutuskan mendatangi tempat tinggal sahabatnya itu. Untungnya mereka tinggal di apartemen yang sama, sehingga tidak perlu membuang-buang waktu Sakina langsung berjalan kaki menuju apartemen Fifi.Setelah meminta Erzha menunggu di lobi, Sakina pun naik lift menuju lantai 15. Ia dan Fifi memang tinggal di apartemen yang sama, hanya berbeda lantai saja. Setelah sampai di depan pintu, Sakina tak sungkan untuk menekan bel. Cukup lama pintu tak kunjung dibuka, Sakina bahkan nyaris mengira sahabatnya itu tak ada di dalam. Namun, saat pintu akhirnya dibuka, Sakina bisa mengerti kenapa Fifi tak mengangkat teleponnya."Ya ampun, diteleponin nggak diangkat. Ternyata masih tidur dan sekarang baru bangun? Bagus," ujar Sakina seraya memperhatikan Fifi yang masih mengenakan piama, penampilannya pun acak-acakan khas orang baru bangun tidur."Ada apa sih, Na? Bukannya kita nggak ada acara, ya?" Suara Fif
Akhirnya, tugas Sakina sudah selesai. Lipstik sudah dibeli, dan kini ada di tangan Erzha. Sebaiknya sekarang Sakina pamit pergi. Ia tidak mau terus-terusan bersama pria itu. Lagi pula, Sakina sudah ada janji dengan Nita—mamanya. Ya, setiap hari Minggu, rutinitas Sakina yaitu mengunjungi rumah makan yang dikelola mamanya.Biasanya Sakina ke sana sore hari karena saat pagi sampai siang gravitasi kasurnya lebih kuat sehingga membuatnya lebih memilih 'hibernasi'. Namun, berhubung ia sudah rapi, lebih baik langsung ke sana sekarang. Jika kembali ke apartemen terlebih dahulu, ia bisa terserang mager kemudian tidak jadi menemui mamanya."Kamu ngapain pesan ojek online?" Suara Erzha mengalihkan fokus Sakina dari yang semula menatap ponsel, lalu beralih menatap Erzha. Sakina bahkan ingin bertanya, kenapa mata Erzha bisa sangat jeli?"Maaf, aku nggak sengaja lihat layar ponsel kamu," kata Erzha lagi.Sakina tidak langsung menjawab, ia kesal kenapa status pesanannya terus 'mencari driver' padaha
"Apa nama akun menulis kamu?" lanjut Erzha.Pertanyaan Erzha membuat Sakina menghela napas panjang. Tadinya, ia kira pria itu akan menanyakan sesuatu yang tidak-tidak. Syukurlah Erzha sekadar bertanya akun menulis."Kok diam?" tanya Erzha lagi."Kenapa nanyain akunku? Emang Mas Erzha suka baca juga?""Enggak suka baca, sih. Cuma mau tahu aja."Setelah berpikir selama beberapa saat, Sakina akhirnya menyebutkan user name-nya. Sebenarnya ia sempat ragu untuk memberi tahu Erzha nama akunnya, tapi jika tidak memberi tahu ... bukankah akan tampak mencurigakan? Apa alasan yang tepat untuk menolak memberi tahu? Malu ceritanya dibaca bukanlah alasan yang tepat, karena Erzha barusan mengatakan tidak suka membaca.Tak lama kemudian, Erzha tersenyum. Bukan, itu bukan ke arah Sakina, melainkan ke arah pintu mobil di samping Sakina. Tentu saja Sakina langsung menoleh, rupanya sang mama ada di luar pintu mobil Erzha. Tidak, jangan sampai mamanya salah paham!"Aku turun dulu, ya. Makasih udah antar s
Setelah Alfian pergi tanpa berkata apa-apa lagi, sekarang di sinilah Sakina berada, duduk di sofa ruang tamu bersama Erzha. Sumpah demi apa pun, keadaan seperti ini tak pernah sedikit pun masuk dalam daftar hal yang Sakina pikirkan."Maaf kedatanganku ke sini pasti bikin kamu bingung. Sebelumnya aku datang ke rumah makan Tante Nita buat antar ini." Erzha membuka pembicaraan seraya menyodorkan ponsel yang sejak tadi Sakina cari-cari. Jadi benar, ternyata ketinggalan di mobil Erzha.Sakina langsung cemas. Itu artinya Erzha bertemu lagi dengan Nita. Sakina berharap mamanya tidak menyinggung tentang sopir taksi online kepada Erzha. Ya Tuhan, andai tahu kejadiannya akan seperti ini, Sakina pasti tidak akan mengatakan bahwa Erzha adalah seorang sopir."Makasih ya, Mas Erzha," balas Sakina sedikit kikuk. "Ngomong-ngomong, mama tadi nggak bilang apa-apa, kan?""Apa-apa gimana maksudnya?" Erzha malah balik bertanya."Eng-enggak, kok." Sakina berusaha tersenyum. Tidak membahasnya adalah cara te
"Kamu ngapain ngajak nongkrong di sini, sih? Gebetannya kerja di sini apa gimana?" tanya Fifi yang tampak kesal."Kita cuma nggak ketemu tiga mingguan loh, kamu kok jadi berubah gini? Kamu tahu, Mas Heru kelabakan nyari tempat ini. Biasanya dia kalau bilang on the way jemput ... kurang dari setengah jam udah datang, nah sekarang mana?" tambah Fifi.Sudah satu jam ini Fifi mengeluhkan hal yang sama. Betapa tidak, ia dan Sakina biasanya menghabiskan waktu di kafe dekat tempat tinggal mereka, tapi kali ini Sakina malah mengajaknya ke kafe yang jauh. Alhasil, sepertinya suami Fifi kesulitan menemukan tempat ini. Padahal biasanya Heru tidak pernah se-terlambat ini untuk menjemputnya.Sampai saat ini, Fifi tidak pernah tahu kalau ini dilakukan Sakina demi menghindari Erzha. Ya, sudah hampir sebulan Sakina berhasil menghindari pria itu. Sakina khawatir akan bertemu Erzha di kafe biasa, sehingga memilih kafe yang jauh sehingga tidak ada kemungkinan Erzha akan muncul.Sejak pertemuan mereka di
Sakina yakin itu suara Erzha!Wanita itu tidak mungkin salah dengar. Perlahan Sakina menoleh ke arah belakang untuk memastikan dugaannya, dan ternyata benar Erzha sudah berdiri seraya tersenyum padanya. Senyuman sialan itu lagi."Ternyata benar, itu kamu. Kamu ngapain di sini?" tanya Erzha, yang kemudian mengambil posisi di kursi depan Sakina yang semula diduduki oleh Fifi.Jujur, Sakina masih syok. Ia seperti buronan yang tertangkap basah. Kenapa suami orang di hadapannya ini selalu ada di mana-mana? Apa Erzha jelmaan hantu?"Sakina? Kamu kok sepertinya kaget banget? Sebelumnya maaf, aku nggak bermaksud ngagetin."Setelah beberapa saat terdiam demi menetralkan degup jantungnya, Sakina balik bertanya, "Mas Erzha kenapa ada di sini?""Aku memang ada urusan di sini. Tadi pas mau keluar ... aku nggak sengaja lihat kamu. Awalnya sempat nggak yakin, sih, kalau itu kamu. Tapi setelah disamperin, ternyata beneran kamu. Lagi apa di sini? Sendirian aja?""Sebelumnya aku sama Fifi, cuma beberap