Dessy masih akan melanjutkan ucapan ketika disadari bahwa Adri bersiap membuka mulut.
“Maaf. Seperti halnya kamu susah mengerti ucapanku, kita juga susah mengertikan ucapanmu. Kita, eh gue, eh aku.. agak susah mengerti kalau kamu mengomongkan dengan bahasa seperti itu.” Adri jeda sejenak. Otaknya berputar keras demi merangkai kata-kata yang mudah-mudahan bisa segera dipahami oleh Dessy. “Boleh pun, eh, bolehkah dirimu mengomongkan dengan lebih banyak bahasa Indonesia saja? Ucapan kamu ngebingungkan, sama halnya ucapan kita pun pasti ngebingungkan kamu.”
Kendati masih nampak letih, Dessy memaksa diri mengangguk sembari menebar senyum tulusnya.
‘Adri, Adri,’ katanya membatin. ‘Jenius di musik dan olahraga, tapi IQ jongkok dalam tata berbahasa.’
“Aku usahain, eh usahakan. Sekaligus juga mau minta maaf karena selama ini melecehkan kamu terus. Termasuk waktu mencela kamu saat tadi di kol
“Elo masih marah atas kenakalan-kenakalan gue selama ini, Dri? Kan gue udah minta maaf.”Mendengar celoteh puterinya, Ibu Dessy tak tahan untuk langsung melontar tuduhan. “Hayooo, kamu suka nyakitin dia?”“Nggak!” Dessy menjawab pasti.“Nggak apa?”“Nggak salah lagi.”Dessy menjerit kecil ketika ibunya mencubit pinggangnya. Adri yang melihat itu jadi tertawa dan itu membuka jalan untuk ia akhirnya mengalah serta ikut bergabung dengan Dessy dan keluarganya untuk makan malam bersama.*Tiga jam kemudian tatkala acara makan malam sudah berakhir, di teras, Dessy masih menemani Adri sebelum taksi yang mereka order tiba di depan rumah.“Tadi itu makan malam yang luar biasa. Terima kasih.”“Yang luar biasa apanya?”“Makanannya, orangtuamu. Itu luar biasa.”“Cuma makanan da
“Lu tau gak, lu udah berhasil bikin Papa dan Mama suka sama lu.”“Lu tau gak, gue itu udah….”Melihat Dessy tertawa, Adri menghentikan ucapan. “Apa yang lucu?”“Akhirnya gue denger juga lu mulai pake bahasa lu-gue. Biarpun acakadut. Dalam satu kalimat lu bisa pake lu, gue, aku, kamu. Nggak konsisten lu ah!”“Ah, kirain apaan. Masa’ hal gitu dipermasalahkan?”“Lanjut deh. Mau ngomong apa tadi.”“…..”“Koq diem? Ayo ngomong. Mau bicara apa sih tadi?”“Mmm…. lupa.”“Idih baru sebentar ngomong udah lupa.”“Ya itu kelemahanku.”“Kelemahan apa?”“Gampang lupa kalo ngomongnya sama gadis cantik.”Dessy terperangah. Untuk pertamakalinya ia mendengar sebuah kalimat rayuan keluar dari mulut si boc
“Tapi sebelum kamu pergi ada yang aku mau tanya.” cetus Dessy. “Ini soal dua ucapan kamu di kolam renang yang aku masih ingat jelas sampai sekarang.”“Dua ucapan? Mmm... yang mana?”Dessy lantas berkata hati-hati. Suaranya kini setengah berbisik. “Waktu kamu mengajarkan gerakkan kaki dan tangan di kolam, kamu bilang bahwa kamu sering melihat caraku berenang.”“Iya, memang.”“Selain itu kamu mengingatkan aku soal warming up. Kamu ternyata tahu bahwa aku sebetulnya belum melakukan itu sejak tiba di kolam renang.”"Memang." Adri mengangguk membenarkan. “Lantas?”“Apakah dua hal itu bukan berarti…” Dessy menatap tajam, “… kamu suka diam-diam memperhatikanku?”Adri sama sekali tak menyangka dengan munculnya pertanyaan itu. Tergagap-gagap, ia sekuat tenaga mencoba member
Decit ban terdengar keras menggetar gendang telinga. Adri menoleh dan melihat sebuah mobil berhenti semeter di belakangnya. Dari kaca yang kemudian terbuka, ia menemui sesosok wajah teman sekelasnya. Fitri.“Ikut gue yuk? Mumpung hari ini gue bawa mobil sendiri.”“Apakah perjalanan kita searah?”“Nggak perlu searah apa nggak. Yang jelas gue nawarin nganter elo untuk pulang,” katanya sebelum kemudian menyambung dengan nada genit.“Elo mau ke diskotik juga gue anterin.”Adri menolak halus. “Biar kita pulang sendiri. Sudah jo.”“Sudah aja? Tapi elo gak liat langit? Sebentar lagi hujan.”Ucapan Fitri benar. Awan tebal dan kehitaman sudah lama menggayuti langit Jakarta. Dan rintik tipis hujan sudah sejak tadi turun membasahi jalan. Dengan sedikit sungkan Adri membuka pintu mobil dan kemudian duduk di sisi Fitri.Ketika
Nathan hari ini tidak ikut aktifitas olahraga di lapangan. Kondisi pilek membuatnya mendekam di kelas dan sesekali ia harus membuang ingus dengan saputangan yang ia miliki. Kondisi yang parah membuat ia berulang-ulang harus memakai benda itu. Dari mulanya berada di kantung celana, tak lama kemudian sapu tangan ia geletakkan begitu saja di meja. Sebuah kecerobohan dilakukan Arjun saat masuk ke dalam kelas bersama dengan siswa-siswa lain. Ia yang masih dalam keadaan berkeringat main ambil saja sapu tangan milik Nathan yang memang adalah rekan sebangkunya. Dan ketika itu digunakan untuk menyeka wajah, bayangkan saja kehebohan yang terjadi. Peristiwa ini terasa lucu bagi mereka yang melihatnya. Bahkan sepertinya tidak ada siswa yang tergelak menyaksikan atau setidaknya mendengar peristiwa itu. Namun bagi Arjun ini peristiwa yang sangat memalukan. Dan entah kenapa ketika ia melihat bahwa Adri juga ikut tertawa, kemarahannya meledak dan ditujukan hanya pada Adri. Kebenciannya pada Adri pu
Dessy sekarang duduk di bangku panjang yang sama di samping Adri. Namun karena merasa jarak keduanya menjadi sangat dekat, Adri yang merasa jengah lantas menggeser tubuhnya untuk sedikit menjauhi."Dri, elo udah nolong di kolam renang. Apa salahnya kami balas kebaikan elo.""Maksudmu?" Adri kembali memainkan gitar."Gue kepengen banget ngebales budi. Beliin elo ponsel baru atau yang lain. Tadi gue denger elo pengen banget gitar ini. Kalo elo mau gue rela ngasih Epiphani Hummingbird untuk elo."Alis Adri terangkat."Bukannya gitar ini milik Arjun?""Minggu lalu dia kasih ke gue."Adri meng-ooo tanpa bersuara. Bermaksud menampik tawaran Dessy, ia secara cerdik mengganti topik pembicaraan. "Enak ya punya pacar orang kaya."Komentar itu membuat Dessy tergelak. Adri yang ikut-ikutan, mulai tertawa beberapa detik kemudian."O ya, jadi bagaimana kah?"Dessy yang mengerti maksud kalimat yang se
“Kalo pun iya, emang kenapa? Apakah bisa orang yang mau ditolong nggak disentuh secara fisik? Apakah bisa dokter nolong pasien tanpa nyentuh?” “Gue ngerti maksud lo. Tapi tetap aja dia jangan sentuh-sentuh gitu dong.” “Sentuh gimana?’ “Nyentuh buah dada.” “Siapa yang bilang gitu? Panggil dia, biar kita kroscek bareng.” “Pokoknya ada deh.” “Kalo nggak tau beritanya jangan ngada-ngada. Itu hoax namanya.” Sadar dirinya terpojok, Arjun menyerang dari sisi lain. “Koq elo jadi nyolot? Dan lihat sikap lu sekarang. Elo makin sering ketawa-ketiwi sama dia.” “Menurut elo dia itu kuman yang harus dijauhin?” “Kalo perlu.” “Elo jealous?" "Amit-amit." "Elo marah?” “Jelas dong, gue marah ke dia. Mangkanya gue sama tim gue, kreatif banget.” “Maksudnya kreatif?” “Terus-terusan bikin ulah yang bikin dia sengsara lah,” Arjun menyeringai. “Ngilan
“Mamah Tanti!” panggilnya dengan bertepuk-tepuk tangan, “Dessy ikut pulang pake mobil anter jemput!”Arjun masih berusaha menahan gadis itu. Tapi Dessy yang sudah terlanjur sebal mengabaikannya. Ia tetap mengambil keputusan untuk masuk ke dalam mobil jemputan.*Penolakan Dessy untuk tawaran antar, jemput, menonton, atau apapun dengan kendaraannya sendiri membuat kemarahan Arjun naik ke ubun-ubun. Sudah berkali-kali Dessy seperti enggan menemuinya. Mengobrol di sekolah makin jarang, menerima panggilan telpon pun sepertinya ia malas. Ia langsung menduga bahwa ini ada kaitannya dengan Adri. Kisah heroik yang Adri lakukan saat menolong Dessy, dan perangainya yang makin nyaman diajak bergaul benar-benar menjadi tak ubahnya sebuah kombinasi pukulan jab dan upper-cut yang menohok langsung ke ulu hati dan membuat Arjun terjengkang tak berdaya hingga Knock Out.
Dion yang baru saja bersiap pergi melihati sepasang ankle boots yang menutupi mata kaki dan bagian bawah kaki seorang wanita. Matanya menelusuri ke atas, mulai dari betisnya yang putih dan bunting padi, jins cabik, atasan model sabrina dengan bahu terbuka, dan akhirnya pemilik wajah itu. Dewi. Astaga, Dion sampai terpana. Wajah gadis itu kini berubah dewasa, lebih matang, dan amat cantik. Sangat berbeda dengan sembilan tahun lalu, Dewi kini tampil penuh pesona. Ia mengulurkan tangan ke arah Dion. “Mudah-mudahan kamu masih kenal aku.” Dion menyambut uluran tangan Dewi dan merasakan betapa lembutnya telapak tangan gadis yang kini tampil sangat matang itu. “Tentu. Bagaimana mungkin aku lupa.” Ia tidak enak juga karena mereka masih bersalaman dan adalah Dewi yang terus menggenggam tanpa melepas. Walau begitu banyak berubah, sikap kenesnya ternyata tidak. &nb
Hubungan dirinya dengan kekasihnya makin manis pasca menyusulnya Dion ke Jakarta. Bahagia itu mengharu-biru dan Dion sepertinya menjadi orang yang terpapar bahagia luar biasa. Di bandara Jakarta, ia bertemu kembali dengan orangtua Dessy yang menantinya di pintu keluar usai tuntas urusan di pengambilan bagasi. Pelukan Pak Aldo begitu hangat bak seorang ayah yang kehilangan anaknya sekian lama. Sebuah kejutan manis Dion dapatkan. Ia terpana melihat ibunda Dessy tengah menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahunan. Setelah memeluk bahu wanita itu yang masih tetap segar dibanding sembilan tahun sebelumnya, barulah Adri diberitahu bahwa bocah itu tak lain adalah adik kandung Dessy. Sempat tidak percaya, Adri lantas membalik badan dan menanyai Pak Aldo. “Betul, oom?” Pak Aldo tersenyum. “Akibat metode S-mu itu.” Seketika keduanya terbahak. Sepertinya ada sesuatu di masa lalu yang membuat keduanya tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar ‘metode S’ yang tentu saja D
“Iya. See? Aku menghargai pemberianmu. Kecuali kipas angin ponsel yang sudah lama aku buang karena sudah tak lagi berfungsi.” “Seperti syair lagumu, begitulah aku saat ini. Lelah didera rindu yang mencabik tanpa henti.” Sebuah sentuhan kecil terasakan. Dion menoleh dan melihat jemari Dessy menyentuh telapak tangannya. Betapa besar keinginan Dion untuk membalas. Namun pikiran lain menghalangi usahanya “Terima kasih untuk perhatianmu. Tapi aku tetap yakin tidak banyak yang bisa aku berikan untuk membahagiakanmu.” “Dengan kuatnya kemauan kamu pikir perbedaan tidak mampu teratasi?” “Kamu pernah punya pacar dari rakyat jelata?” “Jadi menurutmu uang adalah standar kebahagiaanku?” “Memangnya apa yang bisa kuberikan untukmu?” “Kamu tak merasa memiliki banyak nilai kemanusiaan yang bagus untuk dibagikan?” “Kamu tahu atau tidak sadar sih bahwa dirimu itu super nekad?” “Tidak jadi masalah bagimu kalau punya pacar seperti itu kan?” “Kenapa kalau kutanya kamu selalu balik bertanya?” Des
Tapi, ternyata ada gunanya juga Dessy selama ini suka menikmati tayangan Crime Scene Investigation. Berbagai seri yang ditonton ternyata membuatnya kritis menyikapi kasus ini yang melibatkan dirinya sendiri. Bantahan dari Jason yang coba didukung oleh Astrid jadi mentah seketika saat Dessy menunjukan rekaman CCTV yang tersimpan di ponselnya. Jason pun luluh. Kebusukannya terbongkar. * “Lagu yang tadi kamu nyanyiin di cafe, indah lho.” Kalimat itu memecah keheningan di dalam kabin taksi yang mengantar kepergian Dessy ke bandara dengan ditemani Dion. Di bangku belakang keduanya memang hanya diam sejak lima menit lalu taksi yang mereka tumpangi meninggalkan lobby hotel. “Lagu itu menurutmu indah?” “Iya. Indahnya pake banget. Judulnya apa sih?” Dion menoleh ke arah Dessy dan tersenyum lebar. “Thank God You’re Mine.” Dessy tersipu. “Lagu yang indah lebih mudah terci
Gimme your heart. Be with me forever. I’m gonna thank God when you’re mine. Penonton bertempik sorak akibat permainan musik dan vokal yang memanjakan telinga. Lengking siulan terdengar dari beberapa orang. Para pengunjung yang menonton pertunjukan Dion serentak melakukan penghormatan sembari berdiri, standing ovation. Dion kini turun panggung sambil menyerahkan gitar yang tadi dimainkan ke pemandu acara. Dengan canggung karena disalami serta ditepuki pundaknya oleh beberapa dari para pengunjung, Dion mendekati meja di mana Dessy sebelumnya duduk di sana. Helaan nafasnya terhenti seketika saat melihat tempat itu telah kosong. Tak ada lagi Dessy di sana. * Taksi air yang dikemudikan oom Allo membelah permukaan laut yang membiru. Hatinya riang karena sejauh ini pemasukan yang ia dapat melebihi daripada biasanya. Kegembiraan itu ia bagikan pada pa
Dessy terpekur. Apa yang hendak laki-laki itu lakukan dengan membuatnya pingsan? Ia bergidik memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seandainya ia tidak pergi dari café dan terbawa ke kampung tempat Dion. Kampung itu bukan tempat ideal memang. Tapi tanpa sadar peristiwa terdamparnya ia ke tempat itu justeru menyelamatkan dirinya dari cengkeraman dan rencana licik dari orang yang selama ini ia pikir adalah pendamping setianya. Dan siapa yang akan menyangka bahwa selain itu ia pun masih menelikung dirinya dengan menjalin hubungan dengan Astrid? Seusai dari kantor manajer café, Dessy kembali ke mejanya. Kue pesanannya masih utuh. Bedanya semua pesanan di atas meja itu kini tak lagi membangkitkan seleranya. Begitu pun live music di café yang tak lagi mampu memupus kegalauan. Dessy menyandarkan tubuh di bangkunya. Mendadak kelopak matanya memberat. Matanya sembab. Tak tahan dan tak menduga akan adanya pengkhianatan yang
Dessy merasa seolah-olah kembali ke peradaban ketika menginjakan kaki kembali di mall yang merangkap sebagai hotel tempatnya tinggal. Kendati tak ada lagi hawa beraroma kelembaban laut, ia lebih senang berada disana. Ia lebih menikmati seliweran kendaraan di sana-sini, deretan gedung, keramaian orang, dan sajian kuliner di resto atau cafe. Seolah merayakan kemerdekaannya, kakinya langsung ia ayunkan ke cafe yang sehari sebelumnya ia datangi bersama Jason. Setelah mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca segelas Vanilla Latte beserta tiga cupcakes dan brownies langsung ia pesan. Badannya terasa sedikit capek setelah perjalanan dengan kapal kayu. Rasanya tak salah sedikit memanja diri dan menambah energi dengan kudapan tadi. Penampilan live music seorang pengunjung yang secara mendadak mendaftarkan diri mencipta suasana yang semakin rileks. Dari posisi tempatnya duduk, Dessy m
"Kamu juga sih. Pingsan koq betah sampai hampir setengah jam." "Gue juga nggak ngerti. Pingsan itu kan normalnya cuma sebentar." Dion agak terkaget. "Kamu juga mengerti bahwa pingsan tak seharusnya begitu lama?" "Ya." “Lantas, kenapa kemarin saat jatuh di dermaga, kamu malah pingsannya lama sekali?” "Gue nggak tahu! Elo sendiri tahu penyebabnya?" Pertanyaan cerdas, kata Dion membatin. Ia mulai berpikir mengenai keanehan yang terjadi. “Betul juga ya. Memang apa yang kamu lakukan sesaat sebelum ke dermaga buat menyusulku?” “Setelah acara audisi?” “Ya.” Sambil keduanya tetap mengobrol di dermaga, Dessy berpikir sesaat sebelum memberi jawaban. “Ke cafe.” “Minum?” “Jelas.” “Dengan siapa kamu kesana?” “Koq elo tau sih kalo gue ke situ nggak sendirian?" “Sekedar insting. Aku yakin kamu tak sendirian ke café.”
Keakraban terajut kembali ketika keduanya tertawa bersama. Antara Dessy dengan Dion kini tak ada lagi sekat yang menghalangi kedekatan pergaulan mereka. Sementara keduanya berbagi cerita, di tengah alun ombak dan desau angin speedboat terus menyelusur. Melintasi alur penuh keelokan dari Taman Laut Bunaken. Kecepatan diatur sedang saja atas permintaan Dessy.* Hilangnya Dessy dari sejak kemarin sore tanpa meninggalkan kabar mulai mengherankan Astrid. Melalui telpon di kamar hotelnya, ia menghubungi Jason di kamar lain. "Kamar Dessy kosong ya? Dari kemarin gue telpon gak diangkat-angkat. Ponselnya juga tulalit melulu. Gue ketok-ketok pintu juga nggak ada tanggapan." "Mungkin, e... mungkin... anu... dia nginep di... itu lho....