Sesaat kemudian panggilan berakhir. Mas Andrian terdiam, tanpak sedang memikirkan sesuatu. Jelas sudah dia masih memikirkan wanita itu. Lalu untuk apa aku lama-lama berdiri disini. "Hana, tunggu." Mas Andrian menahan tanganku"Untuk apa? untuk melihat wajah cemas Mas, saat mendengar kabar kurang baik tentang wanita sunda* itu." Aku menjawab dengan luapan emosi meski terisak.Sempat bimbang beberapa menit yang lalu. Dan seketika berubah dengan cepat. Sorot mata cemas itu seketika menghancurkan harapan yang sesaat hadir. Yah, dia terlihat mencemaskan wanita itu.Aku segera beranjak, tak memperdulikan Mas Andrian yang memanggilku. Aku yakin tak salah tafsir, wajahnya seketika terlihat cemas. Apalagi yang aku harapkan dari hubungan ini? Sepertinya sudah tak ada."Kamu baik-baik saja?" tanya Awan padaku."Bagaimana Hana bisa baik-baik saja? Ini sangat buruk." Aku menjawab tanpa melihatnya."Agenda sidang selanjutanya gugatan, kalau kamu merasa tak nyaman, biar aku yang mengurusnya."
Area sekolahan masih cukup padat, bersamaan dengan orang tua siswa lainnya yang juga menjemput. Mas Bima memarkir sedikit jauh, kami turun dan berjalan kaki ke arah gerbang sekolah."Bunda," teriak El dari balik gerbang sekolah. Bibir mungil itu tersenyum lebar, terlihat manis sekali."Lah, Papanya disini nggak disebut," celetuk Mas Bima kemudian sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri, bibirnya terlihat manyun. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Mas Bima."Udah jangan cemburu," ucapku masih dengan tersenyum geli."Enggalah, masak sama Bundanya sendiri cemburu," balas Mas Bima. Sebuah perkataan yang membuatku akhirnya menoleh padanya. Dan pria itu hanya menahan senyum dan menoleh ke arahku."Ya … kan, Bundanya. Salah?" tanya Mas Bima lagi dengan sepasang alis terangkat. "Maksudnya El kan panggil kamu Bunda." Mendapati pandanganku yang terus mengarah padanya pria itu terlihat salah tingkah."Bunda." El langsung menubrukku."Papa disini." Mas Bima menunjuk dadanya. "Terus kenapa?" t
Aku menuruti saran Awan untuk menyerahkan sepenuhnya masalah perceraian ini padanya. Mas Andrian awalnya bersikukuh tak ingin mengakhiri pernikahannya denganku. Tapi, dengan bukti yang sangat mendukung akhirnya Hakim mengabulkan gugatan yang aku ajukan. Proses lebih lama dari yang ditargetkan sebelumnya. Hal itu karena dari pihak Mas Andrian yang tak ingin bercerai dengan alasan anak-anak. Tak ada pembagian harta gono-gini, pihak Mas Andrian tak mempermasalahkan harta dan juga hak asuh anak. Aku sendiri tak akan menghalangi apabila Mas Andrian ingin menemui Al dan Luna.Aku tak menuntut nafkah untuk anak-anak, tapi, Mas Andrian sendiri yang menyanggupinya. Tak aku ragukan tanggung jawabnya pada anak-anak. Hanya saja, keberadaan Raya yang sampai sekarang terus membayangi Mas Andrian membuatku yakin akan keputusan yang sudah aku ambil.Ketukan palu dari Hakim mengakhiri semuanya. Yah … kami, aku dan Mas Andrian yang sekarang duduk bersisian dan berjarak di depan Majelis Hakim. Sebuah
"Kalian ngomongin apa?" tanyaku pada Yola, setelah memasukkan kembali ponsel kedalam tas."Nggak ada," jawab Yola dengan senyum aneh. Bikin penasaran aja."Masak nggak sadar sih, kalau Mas Bima itu punya perhatian lebih sama kamu?" Yola melanjutkan."Sadar nggak sadar," jawabku."Sadar nggak sadar gimana?" "Ya, walau kadang nggak nggeh maksudnya. Aku sadar kalau Mas Bima punya perhatian lebih. Tapi, aku sadar posisiku sepenuhnya. Aku tak mau berpikiran terlalu jauh, apalagi sesuatu hal yang belum pantas aku pikirkan." Aku memberi penjelasan pada Yola."Terus, perasaan kamu sama dia, Say?" "Masih terlalu dini memikirkan hal selain anak-anak. Biarlah mengalir begitu saja," jawabku lagi."Bang Awan juga? Aku tau loh.""Sama saja, Ibarat kata luka dalam hati ini masih basah. Ada juga semacam trauma, akan sebuah hubungan. Entahlah, aku belum memikirkan apapun." Kembali aku memberi penjelasan."Aku paham, sekarang memang bukan saatnya. Tapi, ingat … jangan berlarut lama-lama. Kamu berhak b
Pembicaraan masalah hati antara aku dan Awan terhenti begitu saja. Kami bertiga membicarakan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat, Awan berpamitan terlebih dahulu karena dia ada janji dengan klien. Aku dan Yola masih di cafe untuk mengepaskan waktu jemput.[Foto][Cantik]Aku membuka ponsel yang tiba-tiba bergetar, menandakan kalau ada sebuah pesan masuk. Sebuah foto Awan kirimkan, dia mengambilnya diam-diam saat kami mengobrol tadi.[Abang curi-curi?]Balasku kemudian, Awan hanya mengirim emo tertawa sebagai balasan.[Abang kerja dulu, kasus besar. Doain abang ya]Pesan Awan kembali masuk.[Semangat selalu untuk Abang, semoga lancar kerjaannya]Kirimku sebagai balasan.[Pasti semangat kerjanya, sekarang tambah semangat]Aku hanya membalasnya dengan sebuah gambar jempol.Ada rasa takut dan semacam trauma, untuk menjalin sebuah kedekatan. Secara tidak sadar aku membatasi hatiku, meski aku tau Awan jelas-jelas menginginkan hubungan lebih dari sekarang. Yola benar, lajang, mapan dan t
"Mas bicara apa?" "Bicara tentang kita," jawab Mas Bima. "Aku tau belum pantas. Tapi, paling tidak kamu sudah tau apa yang aku rasakan."Aku mengangguk, sedari lama aku sudah menyadari semuanya. Aku bukanlah tidak peka, hanya memang belum memikirkannya. Dan, belum pantas memikirkannya."Masih terlalu dini, Hana belum berani terlalu jauh memikirkan hal itu. Kita jalani saja … seperti biasanya." Hanya itu yang bisa aku katakan sekarang. "Mas paham, mas ngerti. Maafkan atas kelancangan ini. Tapi, itulah perasaanku sebenarnya."Mas Bima lelaki baik, sosok yang dewasa dan bertanggung jawab. Aku mengakui segala kelebihan yang pria ini miliki.•Memulai dengan berusaha hidup normal, memberi penjelasan kepada anak-anak kenapa sudah tak bersama papanya. Tidak mudah, tapi, lambat laun mulai terbiasa. Meski banyak pertanyaan awalnya, dan aku harus benar-benar berhati-hati dalam memberi penjelasan. Meski tak selalu bersama, mereka tak kehilangan sosok papanya. Mas Andrian selalu memanfaatkan
Ya ampun, ish … kenapa juga sampai seperti ini aku menanggapinya. Wajahku terasa panas bukan lagi hangat. Entahlah, kenapa bisa seperti ini, aku menutup mulut dengan tangan dan melempar pandangan keluar jendela."Mas, serius. Dah dapet banget feelnya tadi." Mas Bima masih terus menggodaku."Apaan," balasku tanpa melihatnya, aku gigit bibir bawahku. Menahan rasa malu atas sikapku yang berlebihan barusan. Mas Bima masih saja terus tertawa."Bund … dah keluar tuh anaknya." Aku menoleh ke arah Mas Bima, dia menunjuk ke arah gerbang dengan dagunya. Aku masih terdiam tak membalas apapun."Bunda aja yang nyusul, takut digodain akunya … ntar ada yang ngambek lagi." Mataku membulat, Mas Bima tak henti-hentinya menggodaku. Aku segera turun, membiarkan pria itu dengan sisa tawanya. Tapi, kenapa lebay banget responku. Semakin senang dia, punya bahan sekarang. Entahlah semua keluar begitu saja."Bunda …." Dari dalam gerbang El sudah memanggilku. Aku berjalan cepat menuju gerbang sekolah. "Saya
"Sayang … banget." Aku menjawab dengan tersenyum, sambil melihat ke arah sosok kecil yang tengah tertawa itu."Kalau papanya?" tanya Mas Bima kemudian."Sayang juga." "Sayang?" suara Mas Bima seperti sebuah penegasan atas jawabanku.Aku langsung menoleh, bola mataku berputar. Aku bicara apa barusan. Itu jawaban yang spontan keluar dariku begitu saja."Apa?" tanyaku pura-pura tak sadar dengan yang aku katakan. Kan malu …"El sini!" Mas Bima kemudian memanggil El yang duduk di seberang meja bersama yang lainnya.El langsung berdiri dan berjalan ke arahku dan Mas Bima."El, papa mau tanya? El sayang Bunda nggak?" tanya Mas Bima pada anak laki-lakinya itu. Aku melihat kedua pria yang berbeda generasi itu dengan kening sedikit mengkerut."Sayang banget." El tersenyum melihatku seraya merapat tubuh kecilnya padaku."Pengen nggak jadiin Bundanya El beneran?" tanya Mas Bima lagi. Aku menoleh ke arah Mas Bima, tak mengira dia akan menanyakan hal itu pada anaknya. "Iya." El mengangguk dengan