Langkahku terhenti seketika, raga ini seolah tak bertenaga. Rasa sakit dengan cepat mengalir dan serasa membekap dada. Kehilangan cinta Hana telah membuat aku terpuruk. Tetapi, ini lebih buruk dari itu. Melihat Luna berada dalam gendongan pria itu, rasanya sakit sekali hatiku.Semua memang salahku, buah dari perbuatan bejatku, Yang telah menyia-nyiakan permata demi pecahan kaca. Bima benar tentang itu, tapi, apa dengan kehilangan cinta Hana belum cukup menjadi hukuman untukku. Apa aku juga harus kehilangan cinta anak-anakku."Liat apaan sampai segitunya?" tanya Hendra temanku sama-sama seorang kepala cabang hanya berbeda perusahaan. Beruntung tak ada yang mengenal Hana diantara teman-temanku hari ini. "Nggak papa, ditunggu dimana kita?" Aku mencoba mengalihkan perhatian. Ingin menghindar tidak mungkin malah akan menjadi pertanyaan. Hendra menunjuk sebuah saung dengan nomor 8A. Aku bergegas mengikuti langkahnya, tetap saja perhatianku masih fokus pana Hana dan anak-anak. Mereka terli
"Iya, ada masalah? Hana berhak bahagia, dan aku akan melakukan segalanya untuk itu." Bersamaan aku menoleh ke arah asal suara, entah sejak kapan Mas Bima mendengar pembicaraanku dengan Mas Andrian. Antara kaget dan malu, bahkan aku tadi tak memberi jawaban apa-apa atas pertanyaannya."Aku akan menikahi Hana, secepatnya," ucap Mas Bima lagi. Dengan yakin Mas Bima mengucapkan di depan Mas Andrian. Sudah kepalang basah, bukankah aku tadi yang mengawalinya. "Hana … pikirkan anak-anak. Maafkan mas, beri kesempatan sekali lagi. Mas yakin masih bisa memperbaiki semuanya. Kalau perlu kita pergi dari sini, kita mulai hidup baru di tempat yang baru," bujuk Mas Andrian padaku.Aku menggeleng pelan, apa yang Mas Andrian lakukan sudah sangat fatal dan keterlaluan. Maaf mungkin mudah untuk diberikan secara lisan. Tapi, luka hati dan trauma yang mendalam akan sulit dilupakan."Biarkan Hana bahagia denganku, cukup dengan cara itu luka Hana akibat pengkhianatanmu akan berusaha aku sembuhkan." Mas Bim
Sesuai dengan janjinya, malam ini Mas Bima mengutarakan keinginannya untuk segera menikahiku. Mama yang sudah tahu kami cukup dekat dan sudah mengenal Mas Bima, mengembalikan sepenuhnya keputusan padaku. Pada intinya dia menyukai Mas Bima dan menyetujui hubungan kami.Lampu hijau dari dua keluarga, izin dan dukungan juga sudah kami dapatkan. Hanya tinggal mengurus surat-surat alias berkas yang dibutuhkan nantinya. Janda dan duda, sama-sama memiliki anak. Semoga kami bisa saling belajar dari kegagalan pernikahan sebelumnya.Malam itu juga Mas Bima memperkenalkan aku pada teman-temannya. Dia tanpa ragu menyebutku Bundanya El. Tidak ada yang salah, El memang memanggilku demikian. Senyum tersungging sepanjang acara."Nanti giliran kita," ucap Mas Bima saat melihat sepasang pengantin yang terus saja mengumbar senyumnya di pelaminan."Hana mau yang sederhana. Di KUA aja selesai, lagi dah sama-sama tuanya kan?!""Yang penting, sah." Mas Bima menambahkan, aku mengangguk dan tersenyum. Hampir
"Wah … hati-hati, Say. Ntar taunya ngajak balikan Mas Bima alasannya anak. Tapi, Mas Bima keren … dia cukup bijaksana. Harusnya gitu memang, lagian siapa suruh ninggalin laki sekeren Mas Bima. Nurutin cinta buta … itulah dapatnya," respon Yola sesaat setelah mendengar ceritaku."Aku semakin yakin, nggak salah pilih. Mas Bima juga sayang sama anak-anak. Dan, anak-anak juga sayang sama Mas Bima." Aku menambahkan."El juga dah sayang banget sama Bundanya." Yola menimpali ucapanku. Aku tersenyum mendengarnya."Aku juga sayang sama El, semuanya akur. Happy banget kalau liat mereka lagi ngumpul," tambahku kemudian."Sampai Key bilang mau jadi anak Bunda Hana sama Papa Bima. Maksudnya apa coba?" Aku tertawa mendengar cerita Yola."Iya, kalau pas lagi bareng-bareng gitu. Disangkanya semua anakku … pada liatin semua. Pernah ada yang ngira Key sama Al kembar. Tingginya kan sama, gedenya juga." Aku teringat ucapan beberapa orang yang sering mengira Key anakku juga."Tandanya harus disegerakan i
El berdiri di depan teras, ini bukan sebuah pemandangan yang bisa dinikmati. Pertemuan antara seorang anak dengan Ibunya. Aku menarik napas,mengatur gejolak batin yang sedang aku rasakan sekarang. Aku tak dapat mengartikan tatapan El, hatiku sedang kacau untuk dapat membaca arti tatapan itu."El … mama rindu sayang." Tangan Mama El terentang, dengan berlinang air mata dia memanggil anak lelakinya tersebut.Aku membuang pandanganku, bagaimanapun mereka adalah ibu dan anak. Tak seharusnya aku merasa sakit, bila El ingin bersama mamanya. Tapi, aku tak bisa membohongi hati nurani. Meski El bukan anakku, tapi selama ini aku sudah menganggapnya begitu. Dia sama aeperti Al dan Luna. "El … sini sayang sama Nenek," panggil wanita baruh baya itu pada El cucunya.El sesaat terdiam dan kemudian melangkah, aku benar-benar sedang menyiapkan hatiku. Untuk pemandangan yang lebih mengharukan. Mas Bima menggengam erat tanganku, sepertinya dia mengerti apa yang aku rasakan."Bunda …." Aku kaget ketika E
"Den El pernah sangat rindu pada mamanya, sampai sakit. Akhirnya Pak Bima meminta tolong pada Bu Rima untuk menemui Den El. Tapi, Bu Rima minta Pak Bima mengantar Den El kerumahnya. Selama disana Den El cerita tidak diurus mamanya. Bu Rima sibuk mengurus suami barunya. Dan pernah dimarahi juga sama suaminya Bu Rima, dan Bu Rima malah ikut marah-marah. Den El hanya bercerita ke saya, bahkan Pak Bima tidak tau hal ini." Bi Nur bercerita panjang lebar. Aku syok mendengarnya."Tapi, El anak baik dan penurut, tega sekali." Ada rasa tak terima, berbulan-bulan mengenal dan mengurusnya aku tau betul sifat dan karakter El."Kamu belum jawab, ada apa?" tanya Mama lagi."Ada mamanya El datang bersama ibunya. Minta balikan lagi." Aku menjawab pertanyaan Mama."Saya nggak rela Bund, nggak Ikhlas." Bi Nur tiba-tiba menangis."Nggak Bi, Bi Nur kan dengar sendiri jawaban Mas Bima tadi." Aku mengusap lengan pengasuh El tersebut."Bukannya sudah nikah lagi?" tanya Mama kemudian."Iya Ma, tapi suaminya
Terdengar Mas Bima berbicara dengan mantan Ibu mertuanya yang masih terisak. Mas Bima terlihat mengeluarkan kembali lembaran-lembaran merah seratus ribuan dari dalam dompetnya dan memberikan kepada wanita paruh baya itu. Kami masih bergeming di tempat yang sama, sampai mobil menghilang dari pandangan. Aku menarik napas dalam, semoga tak ada kejadian seperti ini lagi. Aku hanya memikirkan perasaan El, dan tak ingin jiwa putih itu sampai terluka."Terima kasih," ucap Mas Bima, aku sedikit kaget karena dia tiba-tiba memelukku. "Aku kuat karenamu," ucapnya lagi."Hana juga, terima kasih telah menempatkan Hana di dasar hati terdalamnya Mas Bima." Apalagi yang lebih baik dari itu, aku merasa sangat berarti untuknya. Demikian halnya dirinya yang sangat berarti untukku."Aku merasa ini belum berakhir." Mas Bima melepas pelukannya. Kedua tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Perasaanku mengatakan mereka akan datang lagi.""Iya." Apa yang aku pikirkan ternyata sama dengan yang Mas Bim
"Biar Hana aja Mah, sama Bi Nur yang bereskan. Mama istirahat dulu … jangan capek-capek." Aku harus memaksa Mama untuk rehat, saking asyiknya kadang dia lupa kalau kondisinya tidak terlalu sehat."Mama nggak apa-apa, bisa kok." Mama bersikeras.Kami sedang membersihkan dan membereskan kamar untuk Kakak dan adikku yang akan datang lusa. Tidak mengundang banyak orang, acara memang dikhususkan hanya untuk keluarga saja. Ada Bude dan sepupu juga, tapi, mereka memilih untuk menginap di hotel.Tidak ada resepsi, hanya acara makan bersama keluarga selepas dari kantor KUA. Benar-benar sederhana yang penting sah di mata Agama dan juga Negara. Tak ada rencana bulan madu juga, kami punya anak-anak yang masih kecil. Dan, aku tak akan tega meninggalkan mereka. Walaupun liburan kami harus bersama-sama."Rendi besok berangkatnya, sama Budemu," ucap Mama sambil memasukkan bantal ke sarungnya. "Cahya lusa katanya." Mama menambahkan."Iya, udah kasih tau Hana juga." Aku membalas sambil mengeluarkan bedc
Pantai …Perjalan yang lumayan melelahkan terbayar dengan pemandangan pantai yang menakjubkan. Sebuah hotel yang langsung menghadap ke pantai Mas Bima pilihkan. Satu kamar deluxe dan satu vila sudah di pesan. Setelah menaruh barang bawaan semua langsung berlarian menuju ke pantai.Ini pengalaman baru untuk anak-anak pergi ke pantai. Dulu hanya mengisi liburan di dekat rumah saja. Tak ada cerita spesial di masa lalu tentang pantai. Sepertinya hari ini akan menjadi cerita spesial di waktu mendatang. Wajah-wajah ceria bersanding dengan birunya hamparan air laut. Kaki kecil mereka menapak tanpa alas di atas pasir. Ombak yang cukup tenang membuat anak-anak mulai berlarian menujunya tanpa rasa takut."Mama disini aja," ucap Mama memilih duduk di sebuah bangku yang menjadi bagian dari fasilitas hotel."Bima pesankan minum ya, Ma." Mas Bima yang masih berdiri di sampingku menawari mama minuman."Hana juga mau … es kelapa muda." Aku ikut menambahkan."Mama air dingin saja, jangan dingin-ding
"Tadi ketemu Raya di Swalayan depan, sepertinya dia bekerja disana," ceritaku pada Yola saat dia mengantar Kyla."Terus?""Ya … dia ketus gitu, masih bahas rumah. Terus nuduh aku sama Mas Bima selingkuh, sama bilang gara-gara aku sama Mas Bima Mas Andrian dipecat dari pekerjaannya.""Andrian dipecat?" tanya Yola."Kata Mas Bima enggak, cuma downgrade dan ditempatkan di Kalimantan," jelasku pada Yola."Kok Raya bilang dipecat?" tanya Yola bingung. Aku hanya mengangkat bahu kemudian menggeleng."Raya kerja di swalayan?" tanya Yola lagi."Iya." Aku mengangguk mengiyakan.Sesaat Yola terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Bagaimana juga mereka adalah bagian dari masa laluku. Hal tentang mereka terkadang masih mengundang rasa ingin tahuku juga."Apa … itu hanya alasan Andrian aja, bilang dipecat, biar bisa jauh dari Raya. Kalau dah nggak ada kerjaan kan nggak ada duit, maleslah si Raya itu mungkin. Perkiraan aku aja sih," ucap Yola kemudian."Masak gitu? Tapi, bisa juga sih … entahlah.
Selesai sarapan aku mempersiapkan semua keperluan untuk anak-anak dan juga diriku serta Mas Bima. Meski hanya tiga hari, bawaan kami sudah seperti orang yang akan pindahan saja. Maklum kami memang membawa pasukan bocil. Bahkan mereka membawa serta juga sekontainer kecil mainan."Mas … Hana mau swalayan depan, ada yang perlu Hana beli." Aku menghampiri Mas Bima yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Mas antar," ucap Mas Bima kemudian."Enggak usah … kan deket.""Aku ada juga yang mau dibeli," balas Mas Bima kemudian. Entah alasan atau memang ada keperluan aku tak tau. Lagian bukan hal yang perlu dipikirkan. Apapun itu intinya Mas Bima ingin pergi bersamaku. Aku langsung masuk ke dalam mobil begitu juga Mas Bima. Sebuah swalayan yang ada di dekat jalan masuk perumahan menjadi tujuan kami.Toko swalayan ini memang tidak terlalu besar. Tapi, cukup lengkap dan juga tidak jauh dari rumah. Keadaan tidak terlalu ramai saat aku dan Mas Bima masuk. Seorang karyawan yang duduk di
"Sayang … bangun."Ciuman bertubi-tubi aku rasakan meski belum sepenuhnya sadar. Pelan aku paksakan untuk membuka mata yang serasa dilem ini. Tampak Mas Bima yang tepat berada di atas wajahku sedang tersenyum. Ketika kesadaran hampir hilang kembali karena kantuk yang teramat berat, sebuah tarikan menyasar ke hidungku."Sayang … bangun, sudah adzan subuh." Aku kembali memaksa untuk membuka mata. Perasaaan baru saja aku tertidur, tau-tau sudah pagi. Iyah benar saja, seingatku aku tidur hampir jam tiga pagi. Harusnya aku yang bangun duluan tapi, justru Mas Bima yang terlebih dulu bangun. Bahkan dia terlihat sudah segar dan aroma wangi sabun menguar dari tubuhnya.Meski mengantuk aku memaksakan diri untuk bangun. Mas Bima menarik tanganku, sesaat aku masih terduduk di atas ranjang. Melebarkan mataku dan menunggu kesadaranku penuh."Mau digendong pa sekalian dimandiin?" Mas Bima mengangkat alis dengan senyum lebar di bibirnya. Aku hanya nyengir dan bergerak turun dari ranjang kemudian be
Baru saja dipikirkan sudah menjadi kenyataan, aku dan Mas Bima saling pandang dan kemudian sama-sama tertawa mendengar teriakan para bocil itu. Anak-anak benar-benar datang dan mengetuk pintu kamar."Dah … yuk, paling sudah ditungguin sama yang lain," ucapku kemudian."Iya." Mas Bima mengiyakan, tapi, dia malah memajukan kembali wajahnya dan menaut kembali bibirku."Mas, ada anak-anak." Aku mendorong tubuh Mas Bima pelan. "Iya," balas Mas Bima dengan tatapan sendu. Wajah Mas Bima mendekat, memangkas kembali jarak yang ada. Membungkam lembut saat aku hendak bicara. Aku kembali mendorong dada bidang pria yang tadi pagi sudah sah menjadi suamiku itu. Hanya saja sama sekali tak ada pergerakan. Diluar anak-anak masih terus gaduh memanggilku dan Mas Bima."I love you," ucap Mas Bima setelah melepaskan tautannya. Kening kami beradu, pelan Mas Bima menggesekkan hidung mancungnya di hidungku. Dadaku bergetar, wajahku menghangat, rasanya … entahlah susah untuk aku gambarkan. Sebuah kecupan
Sungguh hari yang benar-benar melelahkan untuk jiwa dan raga. Aku dan Mas Bima yang mengurus segalanya. Keluarga Rima tinggal diluar kota, satu kota denganku dan Mas Bima. Dan ternyata mereka berdua tidak mengatakan kejadian ini pada keluarganya yang lain. Pantas saja mereka hanya berdua menunggui bayi itu.Suami Rima juga tidak terlihat sama sekali. Padahal memurut Ibu Rima dia sudah memberi tahu pada menantunya. Tapi, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Berdasarkan keputusan keluarga. Bayi itu tidak dimakamkan disini, melainkan dibawa pulang ke kota Ibunya.Sekarang masih menunggu Ambulance yang tengah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk membawa pulang jenazah. Sedari tadi Mas Bima tak melepas genggamannya padaku. Aku tau itu hanya cara Mas Bima agar Rima tak mendekat padanya. Aku sampai mengabaikan keluarga di rumah. Padahal hari ini hari pernikahan kami, dan waktunya berkumpul dengan keluarga merayakan pernikahan ini. Baru menjelang magrib semuanya selesai. ••
"Ada Bu Rima datang." Bi Nur muncul di belakang anak-anak yang masih bergerombol."Bi, anak-anak bawa ke kamar atas saja," ucap Mas Bima. "Bim … " Ibu muncul dari belakang Bi Nur yang baru saja akan beranjak."Iya, Bu."Ibu sesaat terdiam sambil melihat anak-anak yang pergi bersama dengan Bi Nur. Setelah anak-anak menaiki tangga Ibu baru mendekat ke Mas Bima."Anak Rima harus operasi secepatnya, atau nyawanya tidak akan tertolong." Ibu bercerita dengan suara pelan. Mas Bima masih terdiam, tidak menjawab apapun."Mereka membutuhkan uang untuk operasi segera. Mereka berniat meminjam pada kita," cerita Ibu lagi.Aku hanya menyimak apa yang Ibu ceritakan, tentang kondisi Rima sekarang. Melihat Ibu yang masih begitu memikirkan Rima dan keluarganya, aku merasa hubungan keluarga ini bukan sekedar teman."Keluarga kita punya hutang budi pada keluarga mereka. Tapi, bukan hanya karena itu, Ibu kasihan melihat mereka. Kasihan pada bayi itu, ibu tidak tega." Kembali Ibu berbicara.Mas Bima melih
"Oh, mau sama Papa ya. Em … nanti kalau Papa Luna sudah nggak sibuk, pasti diajak jalan-jalan. Sekarang sama Papa Bima dulu ya?! Besok Papa Bima ajak semuanya ke pantai gimana?" Mas Bima merayu Luna yang masih manyun."Main pasir?" tanya Luna kemudian."Iyah … main pasir, Luna suka?" tanya Mas Bima kemudian."Suka …." Gadis kecilku itu tersenyum lebar, "Sama Abang Al, sama Abang El, sama Kak Kyla juga ya," ucapnya lagi."Boleh … papa Bima ajak semuanya. Tapi, Luna janji nggak boleh sedih-sedih. Harus senyum yang manis, mana papa Bima lihat senyumnya." Mendengar permintaan Mas Bima Luna tersenyum manis dan memeluk Papa Bimanya.Aku menggigit bibir melihat ketulusan dan kasih sayang yang Mas Bima berikan. "Cium dulu," ucap Mas Bima kemudian."Eh … keliru," Aku kaget saat sebuah kecupan mendarat di pipiku. Luna malah tertawa melihatnya."Hem … dasar modus, ntar dilihat yang lain," ucapku pelan. Untung semua terlihat sibuk sendiri-sendiri."Biarin … kan dah boleh. Ibadah …." Aku hanya nye
"Tanpa diminta pasti Hana lakukan." Aku menjawab pelan setelah mulai bisa mengatur hatiku."Mereka tanggung jawabku sekarang. Biarkan aku yang mengurus mereka." Mas Bima ikut menimpali."Aku percaya kamu bisa melakukannya. Tapi, hanya hal itu yang sekarang bisa aku lakukan. Biarkan aku melakukan tugas dan kewajibanku sebagai seorang ayah," pinta Mas Andrian kemudian."Tolong jaga mereka, bahagiakan mereka." Mas Andrian mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mas Bima. "Mereka akan bahagia bersamaku, tak perlu kwatir." Mas Bima kembali meyakinkan Mas Andrian."Mas selalu berdoa untukmu dan anak-anak," ucap Mas Andrian yang berjalan mendekat dan berdiri tepat di depanku."Jangan menangis, ini hari bahagiamu. Tak seharusnya aku datang, tapi, aku harus pergi sebentar lagi. Aku harus berpamitan pada kalian bukan." Mas Andrian memintaku tak menangis tapi, dia sendiri menangis. Begitu tak terduga segala hal yang menjadi takdir hidup setiap manusia. Sepasang anak manusia ini dulu