Area sekolahan masih cukup padat, bersamaan dengan orang tua siswa lainnya yang juga menjemput. Mas Bima memarkir sedikit jauh, kami turun dan berjalan kaki ke arah gerbang sekolah."Bunda," teriak El dari balik gerbang sekolah. Bibir mungil itu tersenyum lebar, terlihat manis sekali."Lah, Papanya disini nggak disebut," celetuk Mas Bima kemudian sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri, bibirnya terlihat manyun. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Mas Bima."Udah jangan cemburu," ucapku masih dengan tersenyum geli."Enggalah, masak sama Bundanya sendiri cemburu," balas Mas Bima. Sebuah perkataan yang membuatku akhirnya menoleh padanya. Dan pria itu hanya menahan senyum dan menoleh ke arahku."Ya … kan, Bundanya. Salah?" tanya Mas Bima lagi dengan sepasang alis terangkat. "Maksudnya El kan panggil kamu Bunda." Mendapati pandanganku yang terus mengarah padanya pria itu terlihat salah tingkah."Bunda." El langsung menubrukku."Papa disini." Mas Bima menunjuk dadanya. "Terus kenapa?" t
Aku menuruti saran Awan untuk menyerahkan sepenuhnya masalah perceraian ini padanya. Mas Andrian awalnya bersikukuh tak ingin mengakhiri pernikahannya denganku. Tapi, dengan bukti yang sangat mendukung akhirnya Hakim mengabulkan gugatan yang aku ajukan. Proses lebih lama dari yang ditargetkan sebelumnya. Hal itu karena dari pihak Mas Andrian yang tak ingin bercerai dengan alasan anak-anak. Tak ada pembagian harta gono-gini, pihak Mas Andrian tak mempermasalahkan harta dan juga hak asuh anak. Aku sendiri tak akan menghalangi apabila Mas Andrian ingin menemui Al dan Luna.Aku tak menuntut nafkah untuk anak-anak, tapi, Mas Andrian sendiri yang menyanggupinya. Tak aku ragukan tanggung jawabnya pada anak-anak. Hanya saja, keberadaan Raya yang sampai sekarang terus membayangi Mas Andrian membuatku yakin akan keputusan yang sudah aku ambil.Ketukan palu dari Hakim mengakhiri semuanya. Yah … kami, aku dan Mas Andrian yang sekarang duduk bersisian dan berjarak di depan Majelis Hakim. Sebuah
"Kalian ngomongin apa?" tanyaku pada Yola, setelah memasukkan kembali ponsel kedalam tas."Nggak ada," jawab Yola dengan senyum aneh. Bikin penasaran aja."Masak nggak sadar sih, kalau Mas Bima itu punya perhatian lebih sama kamu?" Yola melanjutkan."Sadar nggak sadar," jawabku."Sadar nggak sadar gimana?" "Ya, walau kadang nggak nggeh maksudnya. Aku sadar kalau Mas Bima punya perhatian lebih. Tapi, aku sadar posisiku sepenuhnya. Aku tak mau berpikiran terlalu jauh, apalagi sesuatu hal yang belum pantas aku pikirkan." Aku memberi penjelasan pada Yola."Terus, perasaan kamu sama dia, Say?" "Masih terlalu dini memikirkan hal selain anak-anak. Biarlah mengalir begitu saja," jawabku lagi."Bang Awan juga? Aku tau loh.""Sama saja, Ibarat kata luka dalam hati ini masih basah. Ada juga semacam trauma, akan sebuah hubungan. Entahlah, aku belum memikirkan apapun." Kembali aku memberi penjelasan."Aku paham, sekarang memang bukan saatnya. Tapi, ingat … jangan berlarut lama-lama. Kamu berhak b
Pembicaraan masalah hati antara aku dan Awan terhenti begitu saja. Kami bertiga membicarakan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat, Awan berpamitan terlebih dahulu karena dia ada janji dengan klien. Aku dan Yola masih di cafe untuk mengepaskan waktu jemput.[Foto][Cantik]Aku membuka ponsel yang tiba-tiba bergetar, menandakan kalau ada sebuah pesan masuk. Sebuah foto Awan kirimkan, dia mengambilnya diam-diam saat kami mengobrol tadi.[Abang curi-curi?]Balasku kemudian, Awan hanya mengirim emo tertawa sebagai balasan.[Abang kerja dulu, kasus besar. Doain abang ya]Pesan Awan kembali masuk.[Semangat selalu untuk Abang, semoga lancar kerjaannya]Kirimku sebagai balasan.[Pasti semangat kerjanya, sekarang tambah semangat]Aku hanya membalasnya dengan sebuah gambar jempol.Ada rasa takut dan semacam trauma, untuk menjalin sebuah kedekatan. Secara tidak sadar aku membatasi hatiku, meski aku tau Awan jelas-jelas menginginkan hubungan lebih dari sekarang. Yola benar, lajang, mapan dan t
"Mas bicara apa?" "Bicara tentang kita," jawab Mas Bima. "Aku tau belum pantas. Tapi, paling tidak kamu sudah tau apa yang aku rasakan."Aku mengangguk, sedari lama aku sudah menyadari semuanya. Aku bukanlah tidak peka, hanya memang belum memikirkannya. Dan, belum pantas memikirkannya."Masih terlalu dini, Hana belum berani terlalu jauh memikirkan hal itu. Kita jalani saja … seperti biasanya." Hanya itu yang bisa aku katakan sekarang. "Mas paham, mas ngerti. Maafkan atas kelancangan ini. Tapi, itulah perasaanku sebenarnya."Mas Bima lelaki baik, sosok yang dewasa dan bertanggung jawab. Aku mengakui segala kelebihan yang pria ini miliki.•Memulai dengan berusaha hidup normal, memberi penjelasan kepada anak-anak kenapa sudah tak bersama papanya. Tidak mudah, tapi, lambat laun mulai terbiasa. Meski banyak pertanyaan awalnya, dan aku harus benar-benar berhati-hati dalam memberi penjelasan. Meski tak selalu bersama, mereka tak kehilangan sosok papanya. Mas Andrian selalu memanfaatkan
Ya ampun, ish … kenapa juga sampai seperti ini aku menanggapinya. Wajahku terasa panas bukan lagi hangat. Entahlah, kenapa bisa seperti ini, aku menutup mulut dengan tangan dan melempar pandangan keluar jendela."Mas, serius. Dah dapet banget feelnya tadi." Mas Bima masih terus menggodaku."Apaan," balasku tanpa melihatnya, aku gigit bibir bawahku. Menahan rasa malu atas sikapku yang berlebihan barusan. Mas Bima masih saja terus tertawa."Bund … dah keluar tuh anaknya." Aku menoleh ke arah Mas Bima, dia menunjuk ke arah gerbang dengan dagunya. Aku masih terdiam tak membalas apapun."Bunda aja yang nyusul, takut digodain akunya … ntar ada yang ngambek lagi." Mataku membulat, Mas Bima tak henti-hentinya menggodaku. Aku segera turun, membiarkan pria itu dengan sisa tawanya. Tapi, kenapa lebay banget responku. Semakin senang dia, punya bahan sekarang. Entahlah semua keluar begitu saja."Bunda …." Dari dalam gerbang El sudah memanggilku. Aku berjalan cepat menuju gerbang sekolah. "Saya
"Sayang … banget." Aku menjawab dengan tersenyum, sambil melihat ke arah sosok kecil yang tengah tertawa itu."Kalau papanya?" tanya Mas Bima kemudian."Sayang juga." "Sayang?" suara Mas Bima seperti sebuah penegasan atas jawabanku.Aku langsung menoleh, bola mataku berputar. Aku bicara apa barusan. Itu jawaban yang spontan keluar dariku begitu saja."Apa?" tanyaku pura-pura tak sadar dengan yang aku katakan. Kan malu …"El sini!" Mas Bima kemudian memanggil El yang duduk di seberang meja bersama yang lainnya.El langsung berdiri dan berjalan ke arahku dan Mas Bima."El, papa mau tanya? El sayang Bunda nggak?" tanya Mas Bima pada anak laki-lakinya itu. Aku melihat kedua pria yang berbeda generasi itu dengan kening sedikit mengkerut."Sayang banget." El tersenyum melihatku seraya merapat tubuh kecilnya padaku."Pengen nggak jadiin Bundanya El beneran?" tanya Mas Bima lagi. Aku menoleh ke arah Mas Bima, tak mengira dia akan menanyakan hal itu pada anaknya. "Iya." El mengangguk dengan
Langkahku terhenti seketika, raga ini seolah tak bertenaga. Rasa sakit dengan cepat mengalir dan serasa membekap dada. Kehilangan cinta Hana telah membuat aku terpuruk. Tetapi, ini lebih buruk dari itu. Melihat Luna berada dalam gendongan pria itu, rasanya sakit sekali hatiku.Semua memang salahku, buah dari perbuatan bejatku, Yang telah menyia-nyiakan permata demi pecahan kaca. Bima benar tentang itu, tapi, apa dengan kehilangan cinta Hana belum cukup menjadi hukuman untukku. Apa aku juga harus kehilangan cinta anak-anakku."Liat apaan sampai segitunya?" tanya Hendra temanku sama-sama seorang kepala cabang hanya berbeda perusahaan. Beruntung tak ada yang mengenal Hana diantara teman-temanku hari ini. "Nggak papa, ditunggu dimana kita?" Aku mencoba mengalihkan perhatian. Ingin menghindar tidak mungkin malah akan menjadi pertanyaan. Hendra menunjuk sebuah saung dengan nomor 8A. Aku bergegas mengikuti langkahnya, tetap saja perhatianku masih fokus pana Hana dan anak-anak. Mereka terli
Pantai …Perjalan yang lumayan melelahkan terbayar dengan pemandangan pantai yang menakjubkan. Sebuah hotel yang langsung menghadap ke pantai Mas Bima pilihkan. Satu kamar deluxe dan satu vila sudah di pesan. Setelah menaruh barang bawaan semua langsung berlarian menuju ke pantai.Ini pengalaman baru untuk anak-anak pergi ke pantai. Dulu hanya mengisi liburan di dekat rumah saja. Tak ada cerita spesial di masa lalu tentang pantai. Sepertinya hari ini akan menjadi cerita spesial di waktu mendatang. Wajah-wajah ceria bersanding dengan birunya hamparan air laut. Kaki kecil mereka menapak tanpa alas di atas pasir. Ombak yang cukup tenang membuat anak-anak mulai berlarian menujunya tanpa rasa takut."Mama disini aja," ucap Mama memilih duduk di sebuah bangku yang menjadi bagian dari fasilitas hotel."Bima pesankan minum ya, Ma." Mas Bima yang masih berdiri di sampingku menawari mama minuman."Hana juga mau … es kelapa muda." Aku ikut menambahkan."Mama air dingin saja, jangan dingin-ding
"Tadi ketemu Raya di Swalayan depan, sepertinya dia bekerja disana," ceritaku pada Yola saat dia mengantar Kyla."Terus?""Ya … dia ketus gitu, masih bahas rumah. Terus nuduh aku sama Mas Bima selingkuh, sama bilang gara-gara aku sama Mas Bima Mas Andrian dipecat dari pekerjaannya.""Andrian dipecat?" tanya Yola."Kata Mas Bima enggak, cuma downgrade dan ditempatkan di Kalimantan," jelasku pada Yola."Kok Raya bilang dipecat?" tanya Yola bingung. Aku hanya mengangkat bahu kemudian menggeleng."Raya kerja di swalayan?" tanya Yola lagi."Iya." Aku mengangguk mengiyakan.Sesaat Yola terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Bagaimana juga mereka adalah bagian dari masa laluku. Hal tentang mereka terkadang masih mengundang rasa ingin tahuku juga."Apa … itu hanya alasan Andrian aja, bilang dipecat, biar bisa jauh dari Raya. Kalau dah nggak ada kerjaan kan nggak ada duit, maleslah si Raya itu mungkin. Perkiraan aku aja sih," ucap Yola kemudian."Masak gitu? Tapi, bisa juga sih … entahlah.
Selesai sarapan aku mempersiapkan semua keperluan untuk anak-anak dan juga diriku serta Mas Bima. Meski hanya tiga hari, bawaan kami sudah seperti orang yang akan pindahan saja. Maklum kami memang membawa pasukan bocil. Bahkan mereka membawa serta juga sekontainer kecil mainan."Mas … Hana mau swalayan depan, ada yang perlu Hana beli." Aku menghampiri Mas Bima yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Mas antar," ucap Mas Bima kemudian."Enggak usah … kan deket.""Aku ada juga yang mau dibeli," balas Mas Bima kemudian. Entah alasan atau memang ada keperluan aku tak tau. Lagian bukan hal yang perlu dipikirkan. Apapun itu intinya Mas Bima ingin pergi bersamaku. Aku langsung masuk ke dalam mobil begitu juga Mas Bima. Sebuah swalayan yang ada di dekat jalan masuk perumahan menjadi tujuan kami.Toko swalayan ini memang tidak terlalu besar. Tapi, cukup lengkap dan juga tidak jauh dari rumah. Keadaan tidak terlalu ramai saat aku dan Mas Bima masuk. Seorang karyawan yang duduk di
"Sayang … bangun."Ciuman bertubi-tubi aku rasakan meski belum sepenuhnya sadar. Pelan aku paksakan untuk membuka mata yang serasa dilem ini. Tampak Mas Bima yang tepat berada di atas wajahku sedang tersenyum. Ketika kesadaran hampir hilang kembali karena kantuk yang teramat berat, sebuah tarikan menyasar ke hidungku."Sayang … bangun, sudah adzan subuh." Aku kembali memaksa untuk membuka mata. Perasaaan baru saja aku tertidur, tau-tau sudah pagi. Iyah benar saja, seingatku aku tidur hampir jam tiga pagi. Harusnya aku yang bangun duluan tapi, justru Mas Bima yang terlebih dulu bangun. Bahkan dia terlihat sudah segar dan aroma wangi sabun menguar dari tubuhnya.Meski mengantuk aku memaksakan diri untuk bangun. Mas Bima menarik tanganku, sesaat aku masih terduduk di atas ranjang. Melebarkan mataku dan menunggu kesadaranku penuh."Mau digendong pa sekalian dimandiin?" Mas Bima mengangkat alis dengan senyum lebar di bibirnya. Aku hanya nyengir dan bergerak turun dari ranjang kemudian be
Baru saja dipikirkan sudah menjadi kenyataan, aku dan Mas Bima saling pandang dan kemudian sama-sama tertawa mendengar teriakan para bocil itu. Anak-anak benar-benar datang dan mengetuk pintu kamar."Dah … yuk, paling sudah ditungguin sama yang lain," ucapku kemudian."Iya." Mas Bima mengiyakan, tapi, dia malah memajukan kembali wajahnya dan menaut kembali bibirku."Mas, ada anak-anak." Aku mendorong tubuh Mas Bima pelan. "Iya," balas Mas Bima dengan tatapan sendu. Wajah Mas Bima mendekat, memangkas kembali jarak yang ada. Membungkam lembut saat aku hendak bicara. Aku kembali mendorong dada bidang pria yang tadi pagi sudah sah menjadi suamiku itu. Hanya saja sama sekali tak ada pergerakan. Diluar anak-anak masih terus gaduh memanggilku dan Mas Bima."I love you," ucap Mas Bima setelah melepaskan tautannya. Kening kami beradu, pelan Mas Bima menggesekkan hidung mancungnya di hidungku. Dadaku bergetar, wajahku menghangat, rasanya … entahlah susah untuk aku gambarkan. Sebuah kecupan
Sungguh hari yang benar-benar melelahkan untuk jiwa dan raga. Aku dan Mas Bima yang mengurus segalanya. Keluarga Rima tinggal diluar kota, satu kota denganku dan Mas Bima. Dan ternyata mereka berdua tidak mengatakan kejadian ini pada keluarganya yang lain. Pantas saja mereka hanya berdua menunggui bayi itu.Suami Rima juga tidak terlihat sama sekali. Padahal memurut Ibu Rima dia sudah memberi tahu pada menantunya. Tapi, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Berdasarkan keputusan keluarga. Bayi itu tidak dimakamkan disini, melainkan dibawa pulang ke kota Ibunya.Sekarang masih menunggu Ambulance yang tengah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk membawa pulang jenazah. Sedari tadi Mas Bima tak melepas genggamannya padaku. Aku tau itu hanya cara Mas Bima agar Rima tak mendekat padanya. Aku sampai mengabaikan keluarga di rumah. Padahal hari ini hari pernikahan kami, dan waktunya berkumpul dengan keluarga merayakan pernikahan ini. Baru menjelang magrib semuanya selesai. ••
"Ada Bu Rima datang." Bi Nur muncul di belakang anak-anak yang masih bergerombol."Bi, anak-anak bawa ke kamar atas saja," ucap Mas Bima. "Bim … " Ibu muncul dari belakang Bi Nur yang baru saja akan beranjak."Iya, Bu."Ibu sesaat terdiam sambil melihat anak-anak yang pergi bersama dengan Bi Nur. Setelah anak-anak menaiki tangga Ibu baru mendekat ke Mas Bima."Anak Rima harus operasi secepatnya, atau nyawanya tidak akan tertolong." Ibu bercerita dengan suara pelan. Mas Bima masih terdiam, tidak menjawab apapun."Mereka membutuhkan uang untuk operasi segera. Mereka berniat meminjam pada kita," cerita Ibu lagi.Aku hanya menyimak apa yang Ibu ceritakan, tentang kondisi Rima sekarang. Melihat Ibu yang masih begitu memikirkan Rima dan keluarganya, aku merasa hubungan keluarga ini bukan sekedar teman."Keluarga kita punya hutang budi pada keluarga mereka. Tapi, bukan hanya karena itu, Ibu kasihan melihat mereka. Kasihan pada bayi itu, ibu tidak tega." Kembali Ibu berbicara.Mas Bima melih
"Oh, mau sama Papa ya. Em … nanti kalau Papa Luna sudah nggak sibuk, pasti diajak jalan-jalan. Sekarang sama Papa Bima dulu ya?! Besok Papa Bima ajak semuanya ke pantai gimana?" Mas Bima merayu Luna yang masih manyun."Main pasir?" tanya Luna kemudian."Iyah … main pasir, Luna suka?" tanya Mas Bima kemudian."Suka …." Gadis kecilku itu tersenyum lebar, "Sama Abang Al, sama Abang El, sama Kak Kyla juga ya," ucapnya lagi."Boleh … papa Bima ajak semuanya. Tapi, Luna janji nggak boleh sedih-sedih. Harus senyum yang manis, mana papa Bima lihat senyumnya." Mendengar permintaan Mas Bima Luna tersenyum manis dan memeluk Papa Bimanya.Aku menggigit bibir melihat ketulusan dan kasih sayang yang Mas Bima berikan. "Cium dulu," ucap Mas Bima kemudian."Eh … keliru," Aku kaget saat sebuah kecupan mendarat di pipiku. Luna malah tertawa melihatnya."Hem … dasar modus, ntar dilihat yang lain," ucapku pelan. Untung semua terlihat sibuk sendiri-sendiri."Biarin … kan dah boleh. Ibadah …." Aku hanya nye
"Tanpa diminta pasti Hana lakukan." Aku menjawab pelan setelah mulai bisa mengatur hatiku."Mereka tanggung jawabku sekarang. Biarkan aku yang mengurus mereka." Mas Bima ikut menimpali."Aku percaya kamu bisa melakukannya. Tapi, hanya hal itu yang sekarang bisa aku lakukan. Biarkan aku melakukan tugas dan kewajibanku sebagai seorang ayah," pinta Mas Andrian kemudian."Tolong jaga mereka, bahagiakan mereka." Mas Andrian mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mas Bima. "Mereka akan bahagia bersamaku, tak perlu kwatir." Mas Bima kembali meyakinkan Mas Andrian."Mas selalu berdoa untukmu dan anak-anak," ucap Mas Andrian yang berjalan mendekat dan berdiri tepat di depanku."Jangan menangis, ini hari bahagiamu. Tak seharusnya aku datang, tapi, aku harus pergi sebentar lagi. Aku harus berpamitan pada kalian bukan." Mas Andrian memintaku tak menangis tapi, dia sendiri menangis. Begitu tak terduga segala hal yang menjadi takdir hidup setiap manusia. Sepasang anak manusia ini dulu