Buku yang ditemukan di atas meja altar berisi banyak hal. Ia tidak tahu apa saja isi buku itu karena yang ia butuhkan hanya formula sihir dan rapalan mantranya. Ia beruntung karena hanya dalam waktu 5 detik, ia menemukan sebuah sihir yang familiar: Sihir Lubang Hitam. O tidak tahu apakah sihir dasar berelemen kegelapan ini cukup untuk melawan Livor yang bisa jadi memiliki akses terhadap semua sihirnya. Akan tetapi, pilihan apa lagi yang dia punya?
Dan begitulah pertempuran mereka berlanjut. O yang hanya bisa menggunakan satu sihir segera dikalahkan oleh Livor yang dengan lihai mengombinasikan sihirnya. Saat tembok es yang menjulang itu rubuh di atasnya, O tahu nasihmya sudah di ujung tanduk.BUMM!Tembok es setebal 1 meter menimpa O dengan segenap bobotnya. Akan tetapi, pertarungan belum selesai. Tembok itu perlahan terangkat kembali sebelum akhirnya pecah menjadi bongkahan es yang lebih kecil dan meruap seperti udara.Sosok O muncul dari balik puLivor dan O duduk bersebrangan, berhadap-hadapan. Suasana terasa ganjil. Dua orang yang saling melempar serangan beberapa waktu yang lalu, kini duduk semeja. Setidaknya, begitu bagi Livor. Sementara O...O sibuk memilih minuman yang dari daftar menu diciptakannya. Begitu santai dan kasual, seperti tidak pernah ada huru hara apapun di antara mereka berdua."Kau ingin pesan apa, Livor?" tanya O. Wujudnya sekarang adalah seorang laki-laki berambut ikal. Itu wujudnya saat masih hidup sebagai Langit."Aku tidak bisa merasakan apapun," balas Livor. Wujudnya masih berupa Wraith. Wujud itu tidak punya organ pengecap, meskipun secara penampakan sangat mirip dengan manusia biasa. Ia mengira O sengaja mempermainkannya."Ah, ya. Maaf. Aku ingin mengubah wujudmu, tapi aku tidak bisa," kata O lagi. Ia kemudian menciptakan segelas jus melon dingin dari udara kosong.Livor tidak menanggapi kata-kata O lagi."Ah, aku baru tahu kita bisa melakukan
"Kristal intimu bahkan hanya sebesar ibu jari, tapi tubuhmu sempurna. Kau seorang penyihir, tapi gerakanmu tidak kalah lincah dengan Ksatria," ujar Livor, tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Kau ini sebenarnya apa?""Uh, aku sudah menjawabnya, Livor. Aku manusia biasa yang terlahir kembali secara acak dalam tubuh yang karakteristiknya paling cocok dengan tubuhku saat hidup," jawab O panjang lebar, "Yang aku tahu, kristal inti ini terbentuk saat jiwaku menyatu dengan mayat entah siapa di katakomba itu.""Ugh! Baiklah, kalau kau bersikeras menjeawab seperti itu."O menghela napas panjang. "Mari kita lanjutkan wawancaranya.""Hah, baiklah..."Wawancara berlanjut....O = OL = LivorO :"Kembali soal monster-monster tadi, Livor. Ke mana monster singa itu?"L :"Hmm? Kupikir kau membunuhnya."O :"Tentu saja tidak. Kenapa aku membunuhnya setelah menyelamatkannya?"L :"Yah, kau membunuh Cockatrice itu. Kenapa tidak?"O :"Hmm. Masuk akal."L :"Baguslah kalau kau belum membunuhnya. Itu monster
Raungan Jiwa. Sebuah kutukan yang pasti akan dialami oleh seorang Lich. Jiwa-jiwa korban yang terus hidup dalam kristal inti seorang Lich tidak akan membiarkan Lich itu tenang. Mereka akan menciptakan halusinasi, mimpi buruk, raungan, apapun itu yang mengganggu indera dari Lich tersebut. Pertanyaannya, bagaimana dengan O?Berdasarkan penjelasan Narator, kristal inti di dadanya terbentuk dari jiwanya sendiri. Lalu, bagaimana dengan Narator sendiri? Deskripsi yang diberikan oleh Livor tentang Raungan Jiwa begitu mirip dengan pengalamannya dengan Narator. Bagaimana jika Narator ternyata adalah jiwa yang berada dalam kristal intinya? Livor tidak menyanggah pernyataan O tentang Raungan Jiwa yang tidak mengganggu. Artinya, mungkin saja Narator benar-benar sebuah(?) jiwa yang terkurung dalam kristal intinya."Hei, kenapa kau bengong?" tanya Livor, menyadarkan O dari lamunan. "Kau masih punya pertanyaan untukku?""Ah, iya. Beberapa pertanyaan lagi," balas O. Ia memutuskan untuk menyisihkan per
Bintang es berbentuk ikosahedron meledak di kepala Livor. Tidak ada yang tersisa dari rahang bawah ke atas. Meski begitu, Livor masih bisa berdiri tegak."Livor!" O berteriak. Ia mencari sosok penyerang, tapi tak bisa menemukan apapun setelah menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru."Enam puluh detik, Livor. Enam puluh detik." Kata-kata itu terdengar dari mulut Livor, tetapi suaranya bukan suara Livor. "Kau tidak menjawab panggilanku selama tiga puli detik, lalu kau tidak menghubungiki setelah tiga puluh detik."Ada sebuah simbol yang berpendar di lidah Livor. O dapar melihatnya lewat kristal es yang kelam tapi sedikit transparan. Dari simbol itu suuara seorang perempuan mengalun, terdengar serak tetapi anehnya begitu renyah di telinganya. Seperti sebuaj musik yang indah dan memanjakan telinga. Jika saja O tidak melihat keadaan Livor yang menyedihkan, barangkali ia akan terpesona dengan suara itu. Namun, ia tahu, siapapun yang berada di balik simbol itu adalah orang yang meledakkan
Sebuah balai menjulang di tengah-tengah Kota Magna. Balai megah itu terbuat dari batu dengan arsitektur yang memukau. Patung-patung dan ukiran berseni menghiasi sekujur tubuh balai itu. Ratusan kaca di jendela terpampang, memantulkan sorot matahari ke berbagai arah sehingga tampak seperti kilau berlian dari kejauhan. Balai itu dulunya adalah salah satu kebanggaan Kota Magna, namun bertahun-tahun pengabaian telah membuatnya menjadi kusam dan kesepian. Meski begitu, bangunan itu tetap mencolok. Kemegahannya masih sangat kentara, menggoda penguasa dan penakluk dari manapun untuk mendudukinya.Balai itu kini dihuni oleh seorang penguasa. Di sebuah aula yang terletak di jantung balai, matriark itu duduk dengan santai di birai jendela yang lebarnya sepanjang empat lengan orang dewasa. Ia menengok keluar, memadang dengan malas pada bangunan-bangunan kesepian di luar sana. Tak jauh darinya, tiga orang bawahan setia menanti dengan penuh hormat. Seorang Demon, Harpy, dan Dullahan, ketiganya mena
Plaga adalah tangan dari Malus. Semua anggota di Empat Tungkai, yang hampir semuanya tewas, memahami dengan baik bagaimana Plaga bisa memjadi tangan kanan sang Matriark. Dari penampilannya saja, Plaga sungguh menawan. Gestur dan gerak-gerik tubuhnya anggun dan tertata. Orang-orang akan terhipnosis ketika melihat gerakannya yang ringkas dan elegan saat melakukan sesuatu. Sementara itu, kekuatan Plaga juga tidak diragukan lagi. Dia sendiri adalah seorang Demon, makhluk kegelapan yang terlahir dengan kapasitas fisik dan sihir yang melampaui seorang Ksatria sekalipun. Konon, hanya butuh satu jentikan jari bagi Plaga untuk membakar seluruh alun-alun Kota Magna yang diameternya beratus meter.Di sisi lain, ada Quaera, tangan kiri Malus. Seorang Lich yang tubuhnya hanya tinggal kerangka. Dibandingkan dengan Plaga yang elegan, Quaera seperti gembel urakan. Pakaiannya lusuh, tampak tidak pernah diganti atau dibersihkan. Bahkan, orang-orang bisa melihat lapisan debu yang melapisi ten
O terus memanggil Narator, tapi tak terhitung sudah ia mencoba, suara dalam kepalanya itu tak juga menjawab. O mencari-cari, menerka, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Jika Narator adalah sebuah sistem yang berasal dari luar, mungkin saja ada semacam sinyal yang terhalang. O keluar dari ruangan itu. Ia mencari tempat yang lapang, tempat tinggi, dan sebagainya. Seperti mencari sinyal untuk telepon genggam. Namun percuma, tidak ada kemajuan apapun. Mungkin saja Narator adalah sebuah sistem yang ditanamkam dalam kepalanya. Ada sesuatu, sebuah perlakuan, yang membuat sistem itu berhenti bekerja. Atau....'Raungan Jiwa'Dua kata itu terlintas di benak O. Apakah selama ini Narator adalah Raungan Jiwa yang berasal dari kristal intinya? Jika benar, siapa? Tidak. Tidak. Jika benar identitas Narator adalah Raungan Jiwa, maka yang penting sekarang adalah mencari Narator dalam dirinya sendiri. Selebihnya, ia bisa menanyakan langsung pada Narator.
O tidak pernah punya banyak teman. Ia mengenal banyak orang, tetapi yang punya peran sebagai teman bisa dihitung dengan sebelah tangan. Bagi O, seorang teman bukan sekedar orang-orang dengan tujuan sama. Bagi O, seseorang layak dikatakan sebagai ketika orang itu memperlakukan orang lain seperti dirinya sendiri. Standar O mungkin terlalu tinggi, tapi ia juga menerapkan standar itu pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia tetap memberi pilihan pada Livor meskipun ia bisa bersikap otoriter. Ia juga tidak pernah memaksa Narator untuk mengatakan hal-hal yang mungkin membuat suara dalam kepalanya itu terganggu. Misalnya, cerita di balik tubuh Lich ini dan asal usul Narator sendiri.Akan tetapi, bukan berarti O berhenti mencoba. Dia tidak memaksa, bukan berarti ia melupakannya sama sekali. Ia akan mencari momen yang tepat, dan tentunya, cara yang tepat pula."Hei, Narator. Ke mana saja kau?"""Saya selalu bersama Anda.""O tidak merasa geli lagi mendeng