Kerasukan, atau istilah kerennya, invasi mental, dilakukan dengan cara mengaburkan ingatan pemilik tubuh asli. Mereka, para Phantom, melakukan itu dengan cara melebur kesadaran dan ingatan mereka dengan kesadaran target mereka. Oleh karena itu, pada kasus Phantom Ronald dan Kreator a.k.a Victor, O terlebih dahulu mengalami ulasan ingatan sebagai Ronald dan Kreator. Kemudian, ketika ia bisa mendapatkan dan menguasai kesadarannya kembali, ia bisa balik menyerang phantom yang merasukinya. Misalnya dalam kasus Kreator, O semula merasakan dirinya sebagai Victor. Lalu, ketika ia bisa memisahkan identitas dirinya dan Victor, O menjadikan dirinya sebagai mayat korban, dan kemudian menjadi entitas yang sama sekali baru, yang tidak pernah ada dalam ingatan Victor. Saat itulah keadaan berubah 180 derajat. Phantom yang menginvasi kini balik diinvasi oleh kesadaran yang berusaha dienyahkannya.
Namun, dalam kasus Livor kali ini berbeda. Tak hanya tidak tersadar sebagai Livor, O juga sempBuku yang ditemukan di atas meja altar berisi banyak hal. Ia tidak tahu apa saja isi buku itu karena yang ia butuhkan hanya formula sihir dan rapalan mantranya. Ia beruntung karena hanya dalam waktu 5 detik, ia menemukan sebuah sihir yang familiar: Sihir Lubang Hitam. O tidak tahu apakah sihir dasar berelemen kegelapan ini cukup untuk melawan Livor yang bisa jadi memiliki akses terhadap semua sihirnya. Akan tetapi, pilihan apa lagi yang dia punya?Dan begitulah pertempuran mereka berlanjut. O yang hanya bisa menggunakan satu sihir segera dikalahkan oleh Livor yang dengan lihai mengombinasikan sihirnya. Saat tembok es yang menjulang itu rubuh di atasnya, O tahu nasihmya sudah di ujung tanduk.BUMM!Tembok es setebal 1 meter menimpa O dengan segenap bobotnya. Akan tetapi, pertarungan belum selesai. Tembok itu perlahan terangkat kembali sebelum akhirnya pecah menjadi bongkahan es yang lebih kecil dan meruap seperti udara.Sosok O muncul dari balik pu
Livor dan O duduk bersebrangan, berhadap-hadapan. Suasana terasa ganjil. Dua orang yang saling melempar serangan beberapa waktu yang lalu, kini duduk semeja. Setidaknya, begitu bagi Livor. Sementara O...O sibuk memilih minuman yang dari daftar menu diciptakannya. Begitu santai dan kasual, seperti tidak pernah ada huru hara apapun di antara mereka berdua."Kau ingin pesan apa, Livor?" tanya O. Wujudnya sekarang adalah seorang laki-laki berambut ikal. Itu wujudnya saat masih hidup sebagai Langit."Aku tidak bisa merasakan apapun," balas Livor. Wujudnya masih berupa Wraith. Wujud itu tidak punya organ pengecap, meskipun secara penampakan sangat mirip dengan manusia biasa. Ia mengira O sengaja mempermainkannya."Ah, ya. Maaf. Aku ingin mengubah wujudmu, tapi aku tidak bisa," kata O lagi. Ia kemudian menciptakan segelas jus melon dingin dari udara kosong.Livor tidak menanggapi kata-kata O lagi."Ah, aku baru tahu kita bisa melakukan
"Kristal intimu bahkan hanya sebesar ibu jari, tapi tubuhmu sempurna. Kau seorang penyihir, tapi gerakanmu tidak kalah lincah dengan Ksatria," ujar Livor, tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Kau ini sebenarnya apa?""Uh, aku sudah menjawabnya, Livor. Aku manusia biasa yang terlahir kembali secara acak dalam tubuh yang karakteristiknya paling cocok dengan tubuhku saat hidup," jawab O panjang lebar, "Yang aku tahu, kristal inti ini terbentuk saat jiwaku menyatu dengan mayat entah siapa di katakomba itu.""Ugh! Baiklah, kalau kau bersikeras menjeawab seperti itu."O menghela napas panjang. "Mari kita lanjutkan wawancaranya.""Hah, baiklah..."Wawancara berlanjut....O = OL = LivorO :"Kembali soal monster-monster tadi, Livor. Ke mana monster singa itu?"L :"Hmm? Kupikir kau membunuhnya."O :"Tentu saja tidak. Kenapa aku membunuhnya setelah menyelamatkannya?"L :"Yah, kau membunuh Cockatrice itu. Kenapa tidak?"O :"Hmm. Masuk akal."L :"Baguslah kalau kau belum membunuhnya. Itu monster
Raungan Jiwa. Sebuah kutukan yang pasti akan dialami oleh seorang Lich. Jiwa-jiwa korban yang terus hidup dalam kristal inti seorang Lich tidak akan membiarkan Lich itu tenang. Mereka akan menciptakan halusinasi, mimpi buruk, raungan, apapun itu yang mengganggu indera dari Lich tersebut. Pertanyaannya, bagaimana dengan O?Berdasarkan penjelasan Narator, kristal inti di dadanya terbentuk dari jiwanya sendiri. Lalu, bagaimana dengan Narator sendiri? Deskripsi yang diberikan oleh Livor tentang Raungan Jiwa begitu mirip dengan pengalamannya dengan Narator. Bagaimana jika Narator ternyata adalah jiwa yang berada dalam kristal intinya? Livor tidak menyanggah pernyataan O tentang Raungan Jiwa yang tidak mengganggu. Artinya, mungkin saja Narator benar-benar sebuah(?) jiwa yang terkurung dalam kristal intinya."Hei, kenapa kau bengong?" tanya Livor, menyadarkan O dari lamunan. "Kau masih punya pertanyaan untukku?""Ah, iya. Beberapa pertanyaan lagi," balas O. Ia memutuskan untuk menyisihkan per
Bintang es berbentuk ikosahedron meledak di kepala Livor. Tidak ada yang tersisa dari rahang bawah ke atas. Meski begitu, Livor masih bisa berdiri tegak."Livor!" O berteriak. Ia mencari sosok penyerang, tapi tak bisa menemukan apapun setelah menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru."Enam puluh detik, Livor. Enam puluh detik." Kata-kata itu terdengar dari mulut Livor, tetapi suaranya bukan suara Livor. "Kau tidak menjawab panggilanku selama tiga puli detik, lalu kau tidak menghubungiki setelah tiga puluh detik."Ada sebuah simbol yang berpendar di lidah Livor. O dapar melihatnya lewat kristal es yang kelam tapi sedikit transparan. Dari simbol itu suuara seorang perempuan mengalun, terdengar serak tetapi anehnya begitu renyah di telinganya. Seperti sebuaj musik yang indah dan memanjakan telinga. Jika saja O tidak melihat keadaan Livor yang menyedihkan, barangkali ia akan terpesona dengan suara itu. Namun, ia tahu, siapapun yang berada di balik simbol itu adalah orang yang meledakkan
Sebuah balai menjulang di tengah-tengah Kota Magna. Balai megah itu terbuat dari batu dengan arsitektur yang memukau. Patung-patung dan ukiran berseni menghiasi sekujur tubuh balai itu. Ratusan kaca di jendela terpampang, memantulkan sorot matahari ke berbagai arah sehingga tampak seperti kilau berlian dari kejauhan. Balai itu dulunya adalah salah satu kebanggaan Kota Magna, namun bertahun-tahun pengabaian telah membuatnya menjadi kusam dan kesepian. Meski begitu, bangunan itu tetap mencolok. Kemegahannya masih sangat kentara, menggoda penguasa dan penakluk dari manapun untuk mendudukinya.Balai itu kini dihuni oleh seorang penguasa. Di sebuah aula yang terletak di jantung balai, matriark itu duduk dengan santai di birai jendela yang lebarnya sepanjang empat lengan orang dewasa. Ia menengok keluar, memadang dengan malas pada bangunan-bangunan kesepian di luar sana. Tak jauh darinya, tiga orang bawahan setia menanti dengan penuh hormat. Seorang Demon, Harpy, dan Dullahan, ketiganya mena
Plaga adalah tangan dari Malus. Semua anggota di Empat Tungkai, yang hampir semuanya tewas, memahami dengan baik bagaimana Plaga bisa memjadi tangan kanan sang Matriark. Dari penampilannya saja, Plaga sungguh menawan. Gestur dan gerak-gerik tubuhnya anggun dan tertata. Orang-orang akan terhipnosis ketika melihat gerakannya yang ringkas dan elegan saat melakukan sesuatu. Sementara itu, kekuatan Plaga juga tidak diragukan lagi. Dia sendiri adalah seorang Demon, makhluk kegelapan yang terlahir dengan kapasitas fisik dan sihir yang melampaui seorang Ksatria sekalipun. Konon, hanya butuh satu jentikan jari bagi Plaga untuk membakar seluruh alun-alun Kota Magna yang diameternya beratus meter.Di sisi lain, ada Quaera, tangan kiri Malus. Seorang Lich yang tubuhnya hanya tinggal kerangka. Dibandingkan dengan Plaga yang elegan, Quaera seperti gembel urakan. Pakaiannya lusuh, tampak tidak pernah diganti atau dibersihkan. Bahkan, orang-orang bisa melihat lapisan debu yang melapisi ten
O terus memanggil Narator, tapi tak terhitung sudah ia mencoba, suara dalam kepalanya itu tak juga menjawab. O mencari-cari, menerka, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Jika Narator adalah sebuah sistem yang berasal dari luar, mungkin saja ada semacam sinyal yang terhalang. O keluar dari ruangan itu. Ia mencari tempat yang lapang, tempat tinggi, dan sebagainya. Seperti mencari sinyal untuk telepon genggam. Namun percuma, tidak ada kemajuan apapun. Mungkin saja Narator adalah sebuah sistem yang ditanamkam dalam kepalanya. Ada sesuatu, sebuah perlakuan, yang membuat sistem itu berhenti bekerja. Atau....'Raungan Jiwa'Dua kata itu terlintas di benak O. Apakah selama ini Narator adalah Raungan Jiwa yang berasal dari kristal intinya? Jika benar, siapa? Tidak. Tidak. Jika benar identitas Narator adalah Raungan Jiwa, maka yang penting sekarang adalah mencari Narator dalam dirinya sendiri. Selebihnya, ia bisa menanyakan langsung pada Narator.
O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,
O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli
O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan
Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda
"Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t
Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting
Plaga tersenyum puas mengagumi sihirnya yang indah: sebuah menara api yang menjulang ke langit, dengan lidah-lidah api berbentuk tangan yang mencengkram siapapun dan apapun mejadi arang. Udara panas di sekitar melenyapkan kelembaban, membuat tanah rekah dan rumput-rumput di sekitar mengering seperti dihadapkan dengan terik belasan matahari.Sang Demon menikmati tiap detik dari momen apresiasi itu, dan bahkan membuat sebait syair yang mendeskripsikan keindahannya. Ia begitu menyukai sihir, dan itulah alasan bagi Demon sekuat dirinya melayani Master Malus.Malus bukan sekedar tuan bagi Plaga. Bagi sang Demon, Malus adalah seorang Muse, sumber inspirasinya. Apalagi, dari Keempat Tungkai, hanya dirinyalah yang menggunakan sihir sebagai senjata utama. Mars, sang Dullahan, jelas-jelas tidak tahu apapun soal merapal sihir. Fames, sang Harpy, memiliki sihir elemen angin dan kegelapan yang sangat beragam, tapi sayangnya, otak burung Fames tidak mencukupi syarat untuk mengoptimalkan sihir-sihir
"Mua, ha, ha, ha!" tawa O pecah, menggema di udara. Di telinga orang yang tidak mengenal O, tawa itu mungkin terdengar lebih mengerikan dari teriakan seorang Banshee ... Sementara itu, belasan Banshee di kejauhan terendam lumpur tanpa pernah tahu siapa yang menyerang mereka. "" ... "" Narator tidak bisa berkata-kata lagi. O tidak menepati perkataannya untuk berhati-hati saat menggunakn Mana. Namun, di luar itu, Narator sebenarnya mengagumi kemampuan belajar O yang luar biasa. "Grauur!"Mithra menggeram dengan nada imut. Kerangka kucing itu menari-nari di bawah hujan lumpur, meloncat dan berguling sampai tulang putihnya menjadi hitam semua. Seperti O, ia terlihat girang dengan adanya lautan lumpur yang meledak dari perut bumi secara tiba-tiba. "Ugh! Kepalaku sedikit pusing ..."""Anda terlalu banyak menggunakan Mana, Tuan."""Hmm, aku pikir dengan menjadi Lich, kapasitasku meningkat drastis," sanggah O. Ia tidak ingin disalahkan.""Beruntung tidak ada musuh lagi di sini ...""Grrr!
O mengayunkan sabit besarnya dengan anggun. Seperti baling-baling mesin penghalus bumbu, O menebas semua mayat hidup yang merangsek ke arahnya. Tak cukup, O membuat standar tinggi, yaitu sabetan sabitnnya harus mengenai leher atau bagian kepala.SLASH! SLASH!Kepala melayang. Wajah jelek terbagi dua. Leher putus. Tubuh-tubuh mayat hidup itu bergeletakan ke tanah tanpa kepala. Sebagian mencair menjadi Nyx seluruhnya, sebagian lagi tidak menjadi apapun, tapi Nyx tetap merembes dari tubuhnya.Sabit O terus berputar dan berputar. Kepala berterbangan. Nyx berceceran. Kabut hitam mengudara dan berkumpul di kristal inti yang berada dalam rongga dada O. Kemampuan berpikir O memungkinkan semua itu terjadi secara bersamaan.Akhirnya, setelah beberapa menit berputar-putar, jumlah mayat hidup di tanah lapang itu tinggal segelintir saja."Fyuuh! Kenapa banyak sekali mayat hidup di sini?" seru O, "Apa sedang ada arisan?"O berjalan santai di antara potongan-potongan tubuh dan genangan Nyx. Sayangn