Ruangan itu mendadak terasa sunyi di tengah percakapan yang belum tuntas. Tatapan tajam kedua polisi yang berdiri di ambang pintu, membuat jantung Nyonya Valerie berdegup lebih cepat. Perasaan tidak nyaman menjalari seluruh tubuhnya, seperti firasat buruk yang menggantung di udara. “Kami datang untuk menanyakan keberadaan Diva Adinda,” ulang salah satu polisi dengan nada serius. Nyonya Valerie mengerutkan dahi. “Ada apa dengan Diva?” Salah satu polisi menatapnya dengan ekspresi datar. “Saudari Diva telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tabrak lari terhadap Romeo Albantara.” Wajah Nyonya Valerie menegang. Matanya membelalak lebar, mulutnya sedikit terbuka tetapi tidak ada suara yang keluar. Ia sampai harus berpegangan pada dinding untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.“I-ini tidak masuk akal,” lirih Nyonya Valerie hampir berbisik. Ia menggelengkan kepala, napasnya tercekat di tenggorokan. “Apa Anda tidak salah menyebut nama? Diva tidak mungkin melakukan hal seperti itu
Di rumah Suri dan Romeo, suasana pagi itu dipenuhi kesibukan. Para bodyguard berlalu lalang, mengawasi setiap sudut dengan penuh kewaspadaan. Sopir Romeo telah datang lebih awal, membawa satu mobil tambahan yang sarat dengan perlengkapan bayi—tempat tidur bayi, kotak mainan, stroller, serta koper-koper besar berisi pakaian. Mereka sudah memutuskan untuk pindah ke apartemen Romeo —tempat yang lebih aman, dengan penjagaan ketat.Suri berdiri di tengah ruang tamu. Matanya mengikuti pergerakan para pekerja yang sibuk membereskan barang-barangnya. Romeo, yang sedari tadi juga mengawasi, sesekali membantu, memastikan semuanya terkemas dengan rapi. Dengan penuh kehati-hatian, Suri menggendong Jeandra, membenamkan wajah sesaat di rambut lembut bayi perempuannya sebelum melangkah menuju mobil. Di sisi lain, Romeo mengambil Jevandro dari baby sitter dan menggendongnya dengan penuh kasih sayang. “Sudah siap?” tanya Romeo, menatap istrinya penuh perhatian. Suri mengangguk, matanya menyiratka
Romeo masih berdiri di dekat jendela, pikirannya melayang jauh. Hatinya terasa berat sejak menerima kabar dari Yonas. Entah mengapa bayangan wajah Aira yang tergolek lemah di rumah sakit terus mengganggu benaknya. Sementara itu, Suri masih duduk bersandar pada kepala ranjang sambil menyusui bayi kembarnya. Suara isapan kecil terdengar jelas di antara keheningan kamar. Ia sesekali membelai kepala kedua buah hatinya dengan penuh kasih sayang. Namun, Suri bisa merasakan bahwa sang suami tengah mencemaskan sesuatu. Tatapannya pun beralih, memperhatikan Romeo yang tampak gelisah. “Sayang, ada apa?"Suara Suri yang lembut membuat Romeo tersentak dari lamunan. Pria itu menekan bibirnya sebelum melangkah mendekati ranjang. Sorot matanya terlihat sendu, menyiratkan kesedihan yang tertahan. "Aira… sekarang berada di rumah sakit. Kondisinya kritis karena mengalami pendarahan," tutur Romeo lirih.Suri menghentikan gerakan jemarinya yang semula mengelus punggung Jeandra. Matanya melebar, det
Romeo melangkah tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Begitu melewati pintu utama, tatapannya langsung menyapu ruangan, mencari bagian informasi. "Permisi," suaranya terdengar tegas meski diselubungi ketegangan. "Saya mencari pasien atas nama Aira Albantara." Resepsionis, seorang wanita muda dengan seragam putih, segera meneliti layar komputer di hadapannya. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, sebelum akhirnya ia mengangkat kepala. “Pasien Aira Albantara sedang menjalani operasi di lantai tiga. Anda bisa menuju ke sana dengan lift di sebelah kanan.” Tanpa menunggu lebih lama, Romeo segera berbalik, melangkah lebar menuju lift. Jemarinya menekan tombol dengan gerakan cepat, lalu ia masuk begitu pintu logam itu terbuka. Hatinya semakin berdebar, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Saat angka di panel menunjukkan lantai tiga, pintu terbuka, dan ia bergegas melangkah keluar. Pandangannya segera menangkap sosok yang amat ia kenal. Di depan ruang operasi, nampak sang ibu
Kamar apartemen masih terasa hangat setelah sesi penuh gairah yang baru saja mereka lalui. Ivan berbaring dengan satu tangan di belakang kepala, sementara Patricia menyandarkan tubuhnya ke dada pria itu, jari-jarinya dengan manja menggambar pola tak beraturan di kulitnya. “Sayang,” rengeknya dengan nada menggoda. “Aku lapar. Pesankan sesuatu untukku dari Restoran Steak House. Aku ingin makan sesuatu yang enak.” Ivan menghela napas panjang. Pikirannya tengah kalut dengan banyak hal, tetapi Patricia justru memikirkan makanan mahal. Ia menoleh sekilas, sebelum menggeleng. “Tidak usah dari sana. Kita makan di warung mie ayam dekat sini,” sahutnya santai.Dahi Patricia mengernyit, lalu bibirnya membentuk seringai meremehkan. “Serius, Ivan? Aku tidak mau makan di pinggir jalan yang kotor. Kenapa kita tidak makan di restoran yang lebih layak?” Ivan mengalihkan pandangan ke langit-langit. Ia tahu Patricia akan bersikap seperti ini, tetapi mau tak mau perempuan itu harus mulai memahami
Lampu putih keperakan memancarkan sinarnya, menyelimuti suasana ruang observasi dengan kesan steril dan dingin. Romeo duduk di kursi dekat brankar. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, sementara pandangannya tak lepas dari tubuh adiknya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Di sebelahnya, Nyonya Valerie menangkupkan kedua tangan, jari-jari saling meremas dengan gelisah. Mata perempuan paruh baya itu terus mengawasi putrinya yang terlihat begitu pucat. Tiba-tiba, jemari Aira yang terkulai lemah itu bergerak sedikit.Romeo, yang sejak tadi penuh kewaspadaan, langsung menegakkan tubuhnya. “Aira bergerak, Ma.” Mata Nyonya Valerie membelalak. “Iya, Romeo. Cepat, panggil perawat!”Tanpa membuang waktu, Romeo segera menekan tombol panggil di sisi tempat tidur.Tak butuh waktu lama, seorang perawat bergegas masuk dan memeriksa kondisi Aira. Senter kecil diarahkan ke matanya, denyut nadinya dicek, sementara alat pemantau menunjukkan peningkatan respons.“Pasien sudah mulai menunjukkan tand
Tanpa ragu, Romeo mengangkat panggilan dari Suri di hadapan ibu dan adiknya."Halo, Sayang," ujar Romeo dengan lembut.Di seberang sana, suara Suri menyusup ke telinganya, tenang dan menyiratkan ketulusan. "Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan Aira. Apakah operasinya sudah selesai?" Sekilas, mata Romeo melirik ke arah adiknya yang masih berbaring dengan wajah pucat. Sementara itu, Nyonya Valerie yang duduk di sisi ranjang tetap dalam posisi yang sama, merasa enggan untuk mendengarkan percakapan yang terjadi. "Sudah selesai. Aira juga sudah siuman," jawab Romeo, singkat tetapi cukup untuk menggambarkan situasi."Syukurlah," ucap Suri lirih. "Kalau kamu masih ingin menemani Aira, aku tidak masalah, Sayang. Makan malam dengan Raysa dan Kenzo bisa ditunda besok. Aku akan menghubungi mereka." Romeo menggeleng pelan, tatapannya kini terarah ke jendela kamar rawat yang menampilkan pemandangan senja."Tidak usah. Aku akan pulang satu jam lagi. Tunggu aku di apartemen." "Baiklah. H
Suri terdiam, tidak mencoba melepaskan diri. Perlahan, tangannya ikut terangkat untuk membalas pelukan itu. “Aku di sini, Sayang. Aku tidak akan ke mana-mana.”Romeo semakin menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Suri. Menghirup aroma tubuh istrinya yang selalu memberi ketenangan."Hanya kamu yang bisa membuatku merasa tenang," ucap Romeo dengan suara yang lebih dalam, lebih jujur. Ada sesuatu yang terasa begitu rapuh dalam kalimat itu, membuat dada Suri terasa hangat sekaligus nyeri di waktu yang bersamaan. Kendati Romeo belum bicara secara jelas, dia bisa menebak bahwa kesedihan sang suami ada kaitannya dengan Aira."Romeo, apa yang terjadi di rumah sakit?" tanya Suri dengan hati-hati. Jemarinya yang kecil mengusap punggung sang suami, mencoba menenangkan.Hening beberapa saat. Laki-laki itu akhirnya mengendurkan pelukan, tetapi tidak sepenuhnya melepaskan. Kedua tangan Romeo masih bertumpu pada pinggang sang istri, menatapnya dengan mata yang sarat akan emosi. "Aira memang be
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak