“Aku dengar dari Tante Valerie, Kak Romeo akhir-akhir ini susah tidur,” ujar Diva sambil mengangkat kantong kertas yang dibawanya. “Jadi, aku bawakan teh lavender dan teh chamomile. Ini akan membantu Kak Romeo lebih rileks.”Romeo pun memilih diam, tak ingin memancing pertengkaran. Ia melihat Diva melangkah mendekat, lalu menuangkan teh itu ke dalam cangkir di atas meja kerjanya. “Cobalah. Aku yakin ini lebih baik daripada Kak Romeo meminum obat tidur.”Saat menyerahkan cangkir itu, perhatian Diva tertuju pada amplop emas yang mencolok di meja. Matanya berbinar saat membaca nama ‘Tuan Cahyadi Lesmana’ yang tertera di undangan itu. “Ini undangan ulang tahun Tuan Cahyadi? Acara bergengsi yang selalu dihadiri para pengusaha besar?” tanyanya sembari membuka undangan tersebut. Romeo mengangguk singkat sembari menyesap teh hangat dari cangkirnya, berharap Diva tidak memperpanjang pembicaraan. Namun, harapan tersebut pupus. Diva langsung merengek dengan nada manja, meminta agar Romeo meng
Setelah melewati pemeriksaan keamanan, Suri duduk di kursi ruang tunggu. Beberapa menit kemudian, panggilan untuk penumpang di penerbangannya terdengar. Ia bangkit, menarik kopernya, dan mulai berjalan menuju pintu keberangkatan.Saat pesawat telah mengudara, Suri memandangi langit dari jendela. Awan putih menghampar seperti kapas, memisahkannya dari segala beban yang ia tinggalkan di bawah sana. Masa kelam pernikahannya dengan Romeo kembali terlintas di benaknya. Begitu banyak air mata dan rasa sakit yang harus ia telan selama bertahun-tahun.Ia tidak pernah mengerti mengapa Romeo begitu keras kepala mempertahankannya, meskipun jelas pria itu tidak pernah mencintainya. Bahkan saat proses perceraian berjalan, Romeo masih mencoba menguasai dirinya. “Aku harus melupakannya,” bisik Suri pada dirinya sendiri. Ia memejamkan mata, menggenggam erat janji tersebut. Kali ini, ia akan fokus pada dirinya sendiri—kariernya sebagai arsitek, dan hobi lamanya melukis yang telah lama ia tinggalkan.
Setelah menyelesaikan makan siang di kafe, Raysa menatap Suri dengan penuh perhatian. “Sekarang kamu tinggal di mana? Apa kamu akan kembali ke rumah papamu?”“Rumah Papa sudah dijual oleh Tante Yasmin,” jawab Suri sedih. “Aku berencana menyewa rumah di pinggiran kota. Aku butuh tempat yang aman dan jauh dari jangkauan Romeo,” ujar Suri sembari mengenakan syal di lehernya.Raysa mengangguk mengerti. “Sebelum kamu mendapatkan rumah yang aman, tinggallah di apartemenku, Suri. Kita bisa mengobrol, bercanda, dan bernostalgia seperti dulu.”Mendengar tawaran yang tulus dari Raysa, Suri mengangguk setuju. “Terima kasih. Aku akan pikirkan itu. Sementara, aku akan menginap di hotel.”“Ck, tidak perlu. Malam ini dan malam berikutnya, kamu tidur di apartemenku. Aku jamin kamu akan betah,” ucap Raysa setengah memaksa. Tanpa menunggu jawaban dari Suri, Raysa langsung menarik tangan sahabatnya itu. Mereka pun meninggalkan kafe dan meluncur menuju apartemen Raysa. Begitu sampai, Raysa menunjukkan
Setelah puas mengumpati kakaknya dan Suri, Aira menarik napas panjang lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia meraih ponselnya, menekan tombol panggil untuk menghubungi salah satu temannya, Miska. Dalam hitungan detik, suara Miska terdengar di ujung sana. “Halo, Aira. Kamu sudah dalam perjalanan ke sini, kan? Pesta sebentar lagi dimulai!” Aira menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang makin mendalam. “Aku tidak bisa datang, Mis. Mama melarangku keluar.” Sejenak, Miska terdiam, mungkin bingung bagaimana merespons. “Oh… ya sudah, tidak apa-apa,” jawabnya. Namun, nada suara gadis itu terdengar canggung, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. “Kamu kenapa, Mis? Apa terjadi sesuatu di sana?” tanya Aira curiga. Miska menghela napas sejenak sebelum memberikan jawaban. “Aku bingung harus bagaimana mengatakannya padamu. Baru saja aku melihat Ivan ada di klub ini.”Aira langsung duduk tegak, rasa penasaran dan was-was menguasai dirinya. “Lalu? Memangnya kenapa kalau dia di s
Aroma semerbak telur dadar dan roti panggang memenuhi dapur kecil di apartemen. Suri dengan cekatan mengoleskan mentega di atas roti sambil sesekali melirik panci di atas kompor. Di meja, secangkir teh melati yang hangat sudah menunggu. Raysa, yang masih berada di kamar, bersiap untuk hari pertamanya bekerja di kantor Pradipta Grup. “Pagi, Suri,” sapa Raysa saat keluar dari kamar dengan blazer hitam yang membuatnya tampak profesional. Rambutnya diikat rapi, dan ada senyum antusias di wajahnya. “Pagi, Raysa. Sarapannya sudah siap,” jawab Suri sambil memindahkan telur dadar ke piring. Raysa duduk dan mulai menyantap makanannya. “Kamu memang andalan kalau urusan dapur. Oh ya, aku tadi sudah menghubungi pemilik ‘Belle Boutique’, namanya Nyonya Silvia. Dia teman mamaku. Aku memberitahunya kalau sahabatku akan ke butik untuk mencari gaun pesta.”“Terima kasih, Raysa,” ucap Suri sembari mencubit pelan pipi sahabatnya itu. “Tapi, aku akan melihat rumah dulu. Baru saja Paman Josua membe
Dengan cepat, Suri membayar gaun yang ia pilih di kasir sambil menunduk. Kemudian, ia mengenakan kacamata hitam yang ia bawa di tas untuk menyamarkan penampilan. Ia mencoba menghindari perhatian mereka dan segera menuju ke arah pintu keluar.Ketika melewati pintu, Suri masih mendengar Diva berbicara akrab dengan Nyonya Valerie. “Aku akan memilih gaun yang berwarna biru, Tante. Biru adalah warna kesukaan Kak Romeo.”Suri melangkah terburu-buru, menghindari sudut pandang Diva dan ibu mertuanya. Langkahnya terasa ringan di kaki, tetapi tidak di hati. Pedih, itulah yang ia rasakan. Pedih karena nama Romeo ternyata masih punya tempat di hatinya, meski ia tahu itu hanya akan menyakitinya lebih dalam.Setelah berhasil keluar dari butik, Suri memanggil taksi yang kebetulan lewat. Tanpa membuang waktu, Suri masuk ke taksi dan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia memandangi paperbag yang kini ada di pangkuannya.Gaun yang ia
Ketika Suri sudah duduk di meja kafe, pandangan mata dari orang-orang di sekitarnya masih mengikuti. Sungguh, situasi ini membuatnya seperti ikan di dalam akuarium. Untuk mengusir rasa tak nyaman, Suri menggenggam ponsel sambil menundukkan kepala. Ia berusaha fokus pada layar, tetapi tatapan para pengunjung tetap tertuju padanya. Mungkin mereka merasa heran sekaligus penasaran, karena ia berhasil mendapatkan meja yang nyaman di tengah antrean yang begitu panjang.Beberapa kali, Suri menoleh ke arah pintu, berharap Raysa segera datang untuk menyelamatkannya. Hingga tak lama berselang, sosok Raysa muncul, matanya menyapu ruangan dengan sedikit kebingungan. Melihat kedatangan Raysa, Suri melambaikan tangan ke arah sahabatnya itu. Raysa segera menghampiri, langkahnya dipercepat. “Suri, kamu hebat sekali bisa mendapatkan meja di sini,” puji Raysa begitu ia duduk. Wajahnya tampak cerah, senang bercampur heran. “Apa kamu kenal dengan pegawai atau supervisor kafe ini?”Suri tersenyum tipis
Mata Suri berbinar penuh semangat. Dengan tekad baru, ia mengarahkan sopir taksi untuk membawanya ke sebuah toko peralatan melukis yang dulu sering ia kunjungi. Tempat itu telah lama menjadi pelabuhan kreativitasnya sebelum ia terjebak dalam sangkar emas. Toko kecil di sudut jalan itu masih seperti yang ia ingat. Papan nama kayu dengan tulisan "Rumah Warna" terlihat usang tetapi tetap hangat, seolah menyambut siapa pun yang datang dengan harapan. Ketika bel di pintu berbunyi, seorang pria paruh baya keluar dari balik meja kasir. "Suri!" serunya dengan nada tak percaya. "Benarkah ini kamu?" Suri tertawa kecil, sedikit tersipu. "Benar, Pak Harun. Saya kembali." Pak Harun, pemilik toko itu, tersenyum lebar. "Sudah lama sekali! Saya pikir kamu sudah berhenti melukis." "Memang sempat berhenti," Suri mengakui, sambil menyusuri rak-rak penuh kuas, cat minyak, cat air, dan berbagai perlengkapan lainnya. "Tapi, sekarang saya merasa ingin mulai lagi." Pak Harun mengangguk paham. "Me
Pagi hari di rumah sakit terasa begitu muram bagi Aira. Sejak membuka mata, ia tidak mengeluarkan satu kata pun. Bahkan, ketika Nyonya Valerie menatap wajahnya dengan penuh kasih sayang, Aira tetap mematung, seakan suaranya telah hilang entah ke mana. Sorot matanya kosong, menatap lurus ke langit-langit kamar tanpa ekspresi. Nyonya Valerie mencoba mengajak Aira mengobrol tentang hal-hal kecil, berharap bisa membangkitkan semangat putrinya. Namun, Aira tetap diam, seolah jiwanya telah tercabut dari tubuhnya. Bibirnya tertutup rapat seperti seseorang yang telah bersumpah untuk tidak berbicara lagi. "Aira, Sayang, Mama di sini,” tutur Nyonya Valerie lirih.Tangannya terulur, mengusap punggung tangan Aira dengan penuh kelembutan. Namun, putrinya tetap bergeming, tidak menoleh, tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar. Aira seperti berada di dunia lain. Hati perempuan paruh baya itu semakin perih saat menyadari penyebab utama kebisuan Aira. Semalam, Aira mengetahui kenyataan pahit yang
Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan apartemen. Romeo keluar lebih dulu untuk membukakan pintu untuk Suri. “Mau kugendong lagi ke atas?” tanyanya setengah menggoda.Suri tertawa kecil. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja.” Sambil bergandengan tangan, keduanya berjalan berdampingan memasuki lobi. Begitu mereka sampai di unit apartemen, langkah Suri langsung tertuju ke kamar, hatinya berdebar penuh kerinduan. Di sana, dua bayi kembar mereka, Jevandro dan Jeandra, sedang menyusu dari botol yang berisi ASI perah. Mata mungil mereka yang jernih berkedip-kedip saat melihat ibunya datang. Dengan mata berkaca-kaca, Suri mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi lembut bayi-bayinya. Ia bersyukur karena telah kembali dengan selamat. Dan, yang terpenting, ia bisa berkumpul lagi dengan kedua buah hatinya. Romeo berdiri di samping Suri, tersenyum melihat pemandangan indah itu. Rasa bahagia terus mengalir dalam hatinya, bagai aliran sungai yang tak pernah surut. Sungguh, keluarga k
Meski Romeo tak menoleh sama sekali, Diva masih terus meronta-ronta. Suaranya melengking di antara pekikan sirene dan derap langkah para petugas yang mengawalnya. "Tolong, Pak, saya ingin bicara dengan Kak Romeo," serunya, sarat dengan emosi. "Sebentar saja." Para polisi saling bertukar pandang, ragu apakah akan mengabulkan permintaan tersangka yang jelas-jelas baru saja mencoba membunuh seseorang. Sementara itu, Romeo sudah mendudukkan Suri di dalam mobil. Namun, ketika pria itu hendak menutup pintu, Suri tiba-tiba mencegahnya. "Sayang, bicaralah pada Diva," tutur Suri lembut. "Untuk terakhir kali." Romeo mengerutkan kening, menoleh ke arah Suri, seolah ingin meyakinkan bahwa istrinya tidak salah bicara. Namun, tatapan Suri yang penuh pengertian dan ketulusan, membuat Romeo menemukan jawaban. "Mungkin, bila kamu yang menasihatinya, Diva akan lebih tenang," lanjut Suri.Romeo menarik napas dalam, lalu keluar dari mobilnya. Dengan sopan, pria itu meminta kepada polisi agar memb
Langkah Suri tetap tenang saat ia memasuki rumah itu, tetapi jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang yang bertalu tanpa henti. Jemarinya yang menggenggam gagang kereta bayi terasa dingin, sementara ponselnya bergetar berulang kali di dalam tas. Suri tahu siapa yang menghubunginya.Romeo. Pria itu pasti mengetahui bahwa ia telah sampai di titik lokasi, dan tengah berusaha memperingatkannya. Namun, Suri tidak ingin mundur. Ia sudah berada di titik ini, sudah setengah jalan, dan harus memastikan dengan matanya sendiri bahwa Diva benar-benar ada di dalam rumah. Begitu Suri melewati ambang pintu, Bastian mengikuti dari belakang. Pria itu lantas berjalan ke tangga dan memanggil istrinya dengan lantang.“Sayang, Ibu Suri sudah datang!” Suara Bastian menggema ke lantai atas, nyaris seperti pekikan.Lalu, tanpa memberi kesempatan bagi Suri untuk merespons, Bastian berkata dengan santai.“Silakan duduk, Bu Suri. Saya harus keluar sebentar untuk memeriksa barang yang tertinggal
Bukit Harapan. Nama itu terasa ironis bagi Suri. Tempat itu dikenal sebagai tempat yang damai, pelarian bagi mereka yang ingin melepas penat dari hiruk-pikuk kota. Namun, bagi Suri, tempat itu bukan lagi lambang ketenangan. Sebaliknya, di sanalah kemungkinan terburuk bisa terjadi. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan perubahan pemandangan di luar sana. Gedung-gedung tinggi mulai tergantikan oleh deretan rumah kecil yang berjajar rapi, kemudian berganti menjadi jalanan yang lebih sepi. Rasa dingin menjalari tubuhnya, bukan karena cuaca, melainkan karena kesadaran bahwa ia semakin dekat dengan titik penentuan. Suri merapatkan blazer yang ia kenakan. Hatinya berdegup cepat, tetapi ia menolak membiarkan ketegangan menguasainya. Mobil yang ditumpangi Suri akhirnya mencapai kawasan Bukit Harapan. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi, dikelilingi oleh pepohonan rindang yang menjulang tinggi di kedua sisi. Suasana di tempat ini cukup lengang, hanya sesekali terdengar suara burun
Pagi itu, Suri membuka tirai lebar-lebar agar cahaya matahari menghangatkan kamar tidurnya. Kemudian, ia duduk di kursi khusus, menyusui bayi kembarnya dengan penuh kelembutan. Jevandro dan Jeandra yang mungil tampak nyaman dalam dekapan ibunya. Jemari kecil mereka menggenggam baju Suri, seolah tidak ingin terpisah barang sedetik pun. Namun, di balik momen penuh kasih itu, kegelisahan perlahan merambat ke dalam hati Suri. Hari ini akan menjadi hari yang penting, hari di mana ia mempertaruhkan segalanya demi mengakhiri ancaman Diva. Jarum jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi Romeo belum juga pulang. Sejak pukul enam, pria itu sudah pergi untuk mengatur segala persiapan, memastikan rencana mereka berjalan sempurna. Selesai menyusui, Suri menyerahkan Jevandro dan Jeandra kepada pengasuh. Dengan hati-hati, ia mengusap pipi kedua bayinya sebelum beranjak ke depan cermin besar di sudut kamar. Tangannya meraih setelan blazer berwarna putih gading yang dipadukan dengan blu
Sejenak, keheningan menelan ruangan. Randy terpaku di tempatnya, wajahnya kehilangan warna. Ia berkedip beberapa kali, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja diucapkan Diva. "M—maksudmu rumah ini akan dibakar?" tanyanya dengan suara serak. “Bukankah ini hasil dari kerja kerasmu?”Diva mengangkat dagu, mata elangnya berkilat tajam. "Aku rela kehilangan rumah, asalkan bisa menghabisi Suri. Orang yang berani merebut milikku, harus dihukum." Randy menelan ludah, rasa dingin menjalari tengkuknya. "Tapi... ini.…" Pria feminim itu menggeleng, mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak menyangka kamu akan melakukan tindakan berbahaya, Diva. Ini seperti adegan film kriminal!" Diva tertawa. Tawanya renyah, tetapi mengandung sesuatu yang dingin dan beracun. Ia melangkah lebih dekat, jemarinya yang ramping menyentuh wajahnya sendiri, seolah ia sedang membayangkan dirinya berperan dalam suatu adegan epik. “Tentu saja,” tukas Diva, bibirnya membentuk senyum sinis.“Karena aku adalah seo
Mereka berdua kemudian naik ke tempat tidur, duduk berdampingan dalam keheningan. Waktu berjalan perlahan, setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya. Hingga akhirnya, suara notifikasi masuk terdengar dari ponsel Suri. Dengan cepat, Suri meraih ponselnya dan membuka email. Rekaman CCTV sudah diterima.Suri bergegas turun dari tempat tidur untuk mengambil laptop. Ia mulai mengunduh rekaman CCTV itu, sementara Romeo duduk lebih dekat untuk melihat layar bersama. Ketika rekaman mulai terputar, tampak suasana lobi kantor Pilar Interior Desain. Orang-orang berlalu lalang dan staf yang keluar masuk tampak di sana. Lalu, dalam beberapa detik, muncul sepasang pria dan wanita yang masuk ke dalam gedung. Suri langsung memperbesar tampilan. Pria itu masih muda, berpenampilan rapi dengan kemeja formal, sedangkan wanita di sebelahnya mengenakan setelan blazer hitam, rambutnya pendek, dan sebuah kacamata menghiasi wajahnya. Romeo menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas. “Aku
“Apakah saya perlu menghubungkan mereka dengan Anda, Bu?” tanya sang resepsionis dengan nada sedikit ragu. Romeo yang berdiri di sebelah Suri langsung menggeleng, ekspresinya jelas menunjukkan bahwa ia tidak setuju. Namun, Suri tetap mendekatkan ponselnya ke telinga. “Baiklah, hubungkan dengan saya.” Beberapa detik kemudian, suara bariton seorang pria terdengar dari seberang. Nada bicaranya terdengar ramah. “Selamat malam, Bu Suri. Perkenalkan, saya Henri. Saya mendengar bahwa Anda adalah salah satu arsitek terbaik di kota Velmora," jelas Henri penuh semangat."Kebetulan saya dan istri saya baru saja membeli rumah, dan kami ingin mendesain ulang. Kami berharap Anda sendiri yang menangani proyek ini.” Suri berusaha tetap tenang. “Terima kasih atas kepercayaan Anda, Pak Henri, tetapi saat ini saya sedang cuti untuk mengurus bayi saya.” “Ah, saya mengerti,” Henri menanggapi dengan nada pengertian, sebelum ia melanjutkan, “sebenarnya, itu bukan masalah. Jika perlu, Anda bisa me