Serin baru saja menyelesaikan tugas paginya—menyapu halaman, memastikan tak ada satu pun daun kering yang berserakan. Udara pagi begitu segar, tetapi ada sesuatu dalam rumah ini yang membuatnya tetap terasa pengap.Serin tidak peduli. Ia harus segera bersiap untuk mengantar Tristan ke sekolah. Sambil mengetukkan tongkat, Serin kembali ke kamar untuk mengganti baju dengan kemeja lengan panjang serta celana longgar. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai.Baru saja ia hendak meraih ponsel untuk memesan taksi, suara dingin menghentikan gerakannya. "Serin!"Suara itu berasal dari pintu kamarnya yang terbuka lebar. Berdiri di sana seorang wanita dengan wajah penuh keangkuhan, mengenakan daster sutra mahal. “Siapkan nasi goreng untuk Zico,” titah Nadya dengan nada melengking.Serin menoleh, wajahnya sedikit pucat. "Tapi, Ma … aku harus segera mengantar Tristan ke sekolah. Kalau terlambat, dia akan menangis." Nadya melipat tangan di depan dadanya, seolah tidak mau tahu. "Itu bukan urus
Perasaan haru langsung menggenangi dada Serin. Untuk sesaat, ia hampir tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Dengan kondisi fisiknya yang terbatas, ternyata sebuah perusahaan besar bersedia memberinya kesempatan wawancara. Mata Serin berkaca-kaca, tetapi ia segera menguatkan suaranya agar tetap terdengar profesional. "Tentu saja, Bu. Saya bisa hadir," jawab Serin penuh semangat. "Baik, Ibu Serin. Wawancara akan diadakan di kantor pusat kami, lantai dua, ruang HRD. Kami tunggu kehadirannya.""Terima kasih, Bu. Saya akan datang tepat waktu."Panggilan berakhir, tetapi debar jantung Serin masih terasa begitu kencang. Berulang kali ia mengusap layar ponselnya, seolah memastikan bahwa panggilan itu bukan mimpi. Peluang ini… Ini adalah kesempatan yang sudah lama ia nantikan. Setitik cahaya yang mungkin bisa membawanya keluar dari belenggu rumah itu, dari bayang-bayang Nadya dan Zico.Tiba-tiba, dunia tidak lagi terasa begitu suram. Serin mengangkat wajah, tersenyum untu
Jevandro menggelengkan kepalanya pelan. Pastilah ini hanya halusinasi semata. Mungkin karena ia kurang tidur semalam, pikirannya menjadi terlalu liar, menciptakan kesamaan yang seharusnya tidak ada. Gadis muda ini—dengan rambut panjang yang tergerai lembut dan wajah yang menyimpan keheningan mendalam—mungkin hanya sekadar orang asing. Tidak ada hubungannya dengan mimpinya. Jevandro menarik napas panjang, lalu dengan cepat melepaskan genggamannya dari lengan gadis itu. Ia harus kembali fokus. Urusan perusahaan jauh lebih penting daripada memikirkan hal yang tak masuk akal.Tanpa menoleh lagi, ia memanggil Mateo, asisten kepercayaannya. “Mateo, kemari!”Mateo segera melangkah mendekat dengan sigap, sedikit bingung dengan perubahan ekspresi bosnya. “Ya, Tuan Jevandro?”Jevandro mengarahkan dagunya ke arah gadis itu. “Tanyakan apa keperluannya di Verdant Group. Pastikan dia mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.”Mateo mengangguk, meski di dalam benaknya muncul berbagai pertanyaan. Men
"Silakan duduk," kata Bu Marisa, membimbing Serin dengan lembut ke kursi yang berhadapan dengannya."Apakah Anda membawa berkas lamaran?"Serin menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Saya langsung datang ke kantor tanpa sempat mampir ke rumah."Bu Marisa mengangguk mengerti. "Tidak masalah. Saya sudah membuka file lamaran Anda di laptop."Telinga Serin mendengar jari-jemari Bu Marisa yang mengetik di atas keyboard, disertai suara gesekan lembut mouse yang digerakkan. "Saya membaca di sini bahwa Anda adalah lulusan terbaik di SMA, dan menguasai tiga bahasa asing. Itu adalah pencapaian yang bagus.Serin menahan senyum. Ia jarang mendapatkan pujian, sebab sebagian besar orang lebih sering menyoroti keterbatasannya dibandingkan prestasinya.“Kenapa Anda tidak melanjutkan ke universitas?” tanya Bu Marisa ingin tahu.“Karena … saya mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatan, Bu. Saya sudah diterima di jurusan bisnis, tetapi saya mengundurkan diri,” ungkap Serin apa adanya. Bahu gadis itu s
Di ruang CEO, Kenan duduk di balik meja kerjanya yang tertata rapi. Tumpukan berkas laporan tersusun di satu sisi, sementara laptopnya terbuka, menampilkan angka-angka serta grafik yang menjadi bagian dari laporan keuangan proyek yang sedang ia periksa. Alis lelaki itu sedikit berkerut, matanya yang tajam menelusuri setiap detail laporan dengan penuh konsentrasi. Sesekali, jemari Kenan mengetuk pelan permukaan meja, sebuah kebiasaan yang sering muncul saat pikirannya sibuk menganalisis sesuatu. Saat itu, notifikasi email berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Kenan sekilas melirik layar laptopnya dan membaca subjek email yang baru saja ia terima: "Kandidat Sekretaris"Pesan itu dari Gavin. Namun, Kenan mengabaikannya.Ia masih tenggelam dalam pekerjaan, memeriksa laporan yang tak kunjung habis. Bagi Kenan, urusan sekretaris baru bukanlah prioritas utama saat ini. Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar di pintu ruangannya. Kenan tidak perlu bertanya siapa itu. Ia sudah
Serin duduk dengan tenang di dalam sebuah taksi yang melaju di antara hiruk-pikuk kota. Di sebelahnya, seorang bocah laki-laki duduk sambil memainkan botol air mineral, sesekali ia melihat ke luar jendela dengan tatapan polos. Tristan, keponakannya, baru saja dijemput dari sekolah setelah ia menyelesaikan wawancara di Verdant Group. Serin menoleh ke arah Tristan. Meski matanya tidak bisa melihat, ia bisa merasakan kehadiran bocah itu dengan sangat jelas—aroma khas anak-anak yang masih segar, suara napasnya yang tenang, dan gerakan kecil yang selalu membuatnya merasa nyaman. “Tristan, boleh Tante bertanya sesuatu?” tanya Serin memegang tangan kecil sang keponakan.Tristan menoleh, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu. “Apa, Tante?”Serin menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Jika suatu hari nanti… Tante mengajakmu pindah ke rumah yang lebih sederhana, apakah kamu mau?”Tristan terdiam sejenak, lalu tanpa ragu mengangguk. “Mau, Tante. Aku akan ikut
Jevandro tengah bersiap-siap di dalam kamarnya. Pagi ini, ia mengenakan kaus lengan panjang yang membalut tubuh tegapnya, dipadukan dengan celana jeans hitam. Ia terlihat sangat berbeda dari penampilannya yang biasa, ketika sedang menjadi CEO perusahaan. Setelah dirinya siap, Jevandro mengambil kunci mobil dan beranjak keluar dari kamar. Saat menuruni tangga menuju ruang makan, ia mendapati kedua orang tuanya baru saja keluar dari kamar. Langkah Suri terhenti begitu melihat putranya duduk lebih dahulu di meja makan. “Jevan, pagi-pagi begini kamu mau ke mana?” tanyanya dengan nada heran. “Aku sedang cuti, Ma. Aku akan mengantar Liora ke yayasan. Hari ini, dia akan berangkat bersama timnya ke luar kota," jawab Jevandro seraya menuang jus jeruk ke dalam gelas.Suri mengangguk paham, lalu tersenyum lembut. “Mama hampir lupa. Kalau begitu, tunggu sebentar. Mama sudah menyiapkan satu tas penuh kue untuk Liora dan teman-temannya.”“Terima kasih, Ma,” ucap Jevandro,Romeo, yang sejak tad
Jevandro berdiri sendirian di terminal kedatangan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara matanya terus mengawasi pintu otomatis yang sesekali terbuka, memperlihatkan para penumpang yang baru saja turun dari pesawat. Suasana bandara pagi ini cukup ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan koper mereka, beberapa di antaranya bertemu keluarga yang menyambut dengan pelukan hangat.Jevandro menghela napas perlahan. Sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali ia melihat adiknya, Rakyan. Waktu itu, mereka hanya bertemu sebentar ketika Rakyan kembali ke kota ini. untuk menghadiri ulang tahun pernikahan orang tua mereka. Ia melirik arlojinya. Setengah jam hampir berlalu, tetapi Rakyan belum juga muncul.Dan tepat pada saat itu, di antara kerumunan yang keluar dari pintu kedatangan, Jevandro menangkap sosok yang begitu familiar.Seorang pria muda tampan dengan jaket cokelat dan kacamata hitam, berjalan santai sambil mendorong koper hitam. Rambut tebalnya sedikit berantakan, teta
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak