Akankah Suri lolos dari rencana jahat Diva? Dan bagaimana nasib Suri selanjutnya? Yuk, berikan komen dan gems untuk mendukung Suri dan Romeo. Terima kasih.
Di dalam minimarket, ponsel Suri bergetar di dalam tasnya. Ia segera mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar—Romeo.Secepatnya, Suri mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Sayang, aku belum sampai di rumah.”“Suri, kamu di mana?” Suara Romeo terdengar lembut dan ceria.Suri mengernyit bingung. “Aku… sedang berbelanja di salah satu minimarket di Spring Season. Kenapa, Sayang?”“Aku ada di depan kantormu, tetapi security bilang kamu sudah pulang,” kata Romeo dengan nada sedikit menggoda.Suri terkejut mendengar perkataan Romeo yang terdengar ambigu. “Di depan kantorku? Maksudnya kamu sudah pulang dari luar negeri?”Romeo tertawa kecil. “Iya, Sayang, aku sudah kembali. Ini kejutan yang aku maksud.”Senyum merekah di wajah Suri. Tak pernah terpikir olehnya bahwa suaminya akan pulang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia pun merasa bahagia sekaligus sedikit bersalah, karena tidak ada di tempat saat Romeo datang mencarinya. “Aku kira kamu baru datang besok pagi. Tahu begini, ak
Lampu merah yang menyala, tak menjadi penghalang bagi mobil putih dengan tanda palang merah di bagian atapnya untuk terus melaju dengan kecepatan penuh. Di dalamnya, tubuh Romeo terbaring di atas tandu. Selang oksigen sudah terpasang di hidungnya.Seorang paramedis berusaha menekan luka di dada Romeo dengan kain kasa tebal untuk mengurangi pendarahan. Monitor kecil di sebelahnya memperlihatkan detak jantung yang masih berjalan, meskipun melemah.Suri duduk di samping tandu itu, menggenggam tangan Romeo yang mulai terasa dingin. Tangisnya tak kunjung reda, air mata terus mengalir membasahi wajahnya yang pucat. Sungguh, ia tak akan sanggup kehilangan suami, sesudah ia ditinggalkan oleh sang ayah untuk selamanya. “Kenapa … kamu mengorbankan diri demi aku?” tutur Suri dengan air mata yang mengalir deras.Ia meremas jemari Romeo lebih erat, berharap suaminya memberi respons, meskipun hanya sekadar gerakan kecil. Namun, Romeo tetap diam, tak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Andai saja bi
Setelah proses pengambilan darah selesai, Suri kembali ke ruang gawat darurat dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa lemas, bukan hanya karena kehilangan darah, tetapi juga akibat kelelahan emosional yang menguras energinya.Begitu tiba di depan ruang gawat darurat, Suri melihat perawat membawa kantong darah untuk transfusi. Ia pun bersandar di salah satu kursi di luar ruangan. Pikiran tentang Romeo yang belum juga sadar membuat Suri semakin takut. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan cairan bening yang sudah mengumpul di pelupuk mata.Sopir Romeo, yang sejak tadi setia menunggu, melihat keadaan Suri dan merasa iba. "Nyonya, Anda belum makan. Saya akan belikan makanan dan minuman sebentar," ucapnya dengan nada penuh perhatian.Suri menggeleng lemah. "Tidak perlu, Pak," jawabnya lirih."Setidaknya minum sesuatu, Nyonya. Anda butuh tenaga untuk menjaga Tuan Romeo," bujuk sang sopir.Suri akhirnya hanya mengangguk pasrah. Ia tahu tubuhnya mulai melemah, tetapi pikirannya terlal
Suri melangkah cepat menuju lantai tiga, tempat di mana Romeo sedang menjalani operasi. Begitu tiba, ia terkejut saat mendapati Axel masih mengikutinya dari belakang. Napas pria itu sedikit tersengal akibat berjalan terburu-buru."Aku ingin melihat kondisi Romeo, Suri. Mama masih tidur, aku bisa menyempatkan waktu sejenak," ucap Axel dengan nada lembut.Suri menggeleng cepat. "Tidak usah. Kembalilah ke Tante Yasmin.”Tanpa menunggu balasan, Suri melangkah lebih cepat menuju ruang operasi. Pintu ruangan itu tertutup rapat, dengan lampu indikator merah menyala terang, menandakan prosedur operasi masih berlangsung. Di depan ruang operasi, Nyonya Valerie duduk lemas di kursi tunggu. Matanya sembab dan wajahnya penuh kecemasan. Di sampingnya, Aira duduk dalam diam, berusaha memberi dukungan. Sedangkan Yonas tampak berdiri tak jauh dari sana, sibuk menelepon. Suara lelaki itu terdengar tegas dan profesional, mengurus banyak hal sekaligus—menghubungi para manajer perusahaan, menginformasik
Air mata perlahan menggenang di pelupuk mata Suri. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Antara bahagia, terharu, dan di sisi lain, kesedihan merayapi hatinya. Saat ia mengetahui kehamilan ini, Romeo justru sedang berjuang antara hidup dan mati.Ingin sekali ia berbagi kebahagiaan ini dengan suaminya, mengatakan bahwa impian mereka untuk menjadi orang tua akhirnya terwujud. Anak yang mereka nantikan telah hadir dalam dirinya. Namun, semuanya kini terasa getir. Betapa ironis, ketika keajaiban itu datang, Romeo justru tidak bisa mendengar kabar ini. Ia terbaring koma, tak sadar, seolah terputus dari dunia ini.Seandainya Romeo tahu, Suri yakin suaminya akan melompat kegirangan. Ia bisa membayangkan betapa Romeo akan mengusap perutnya dengan penuh kasih, berbisik pada bayi mereka, dan memeluknya dengan hangat. Namun, semua itu hanya angan-angan kosong.Dokter yang melihat ekspresi Suri segera menenangkannya. “Untuk saat ini, yang terpenting adalah kesehatan Anda dan janin di dalam kan
Pagi harinya, setelah memaksakan diri untuk makan sedikit dan meminum vitamin yang diberikan oleh dokter, Suri meminta bantuan seorang perawat untuk mengantarnya ke kamar rawat Romeo. Perawat itu dengan sabar menggandeng Suri, membawanya menaiki lift menuju lantai empat, tempat Romeo dirawat.Setibanya di depan kamar VIP tersebut, Suri menarik napas panjang sebelum mendorong pintu perlahan. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara lembut dari alat-alat medis yang terus bekerja menjaga kehidupan Romeo. Di atas ranjang rumah sakit, pria yang sangat ia cintai itu terbaring lemah dengan mata terpejam rapat. Selang oksigen menempel di hidungnya, sementara alat monitor detak jantung berdetak stabil di samping ranjang.Hati Suri terasa remuk redam. Romeo, yang selama ini selalu gagah dan penuh semangat, kini tak berdaya di bawah perawatan medis. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya yang dingin menyentuh pipi Romeo yang pucat. Sentuhan itu begitu lem
Suri menatap tajam ke arah Nyonya Valerie, matanya membara dengan keteguhan. Meski tubuhnya lemah dan tangannya dicekal oleh pria berbadan kekar, pantang baginya untuk tunduk pada ancaman sang ibu mertua.Sekuat tenaga, Suri menahan gemetar yang perlahan menjalari tubuhnya."Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu," ujar Suri tegas. "Jika Mama berani melakukan sesuatu, aku akan berteriak. Aku akan memanggil para perawat ke sini!"Nyonya Valerie menyilangkan tangannya di depan dada, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Silakan saja. Pintu ruangan ini tertutup, dan di luar sana ada bodyguard yang berjaga. Tidak ada seorang pun yang bisa masuk tanpa seizinku. Tidak akan ada yang bisa menolongmu."Suri merasakan hawa dingin menjalar ke tulang belakangnya, seiring dengan rasa takut yang mulai merayap. Ia tahu Nyonya Valerie bukan orang yang bisa dianggap remeh. Wanita itu telah mengambil alih kekuasaan di keluarga Albantara, dan ia memiliki pe
Sesudah Axel keluar dari kamarnya, Suri langsung mengambil ponsel dan menghubungi Tuan Josua. Saat ini, ia sangat membutuhkan nasihat dan dukungan dari pengacaranya itu. Suri menempelkan ponsel di telinganya dengan tangan gemetar. Begitu panggilan tersambung, ia menghela napas lega."Paman..."Di seberang, suara berat dan tenang milik Tuan Josua segera menyambutnya. "Suri, aku baru saja akan menghubungimu tentang kecelakaan yang dialami Romeo. Aku ingin tahu bagaimana kronologinya dan bagaimana keadaan kalian berdua sekarang?"Suri menelan ludah, mencoba meredam getaran di suaranya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semua rentetan peristiwa—tentang mobil yang nyaris menabraknya, Romeo yang tanpa ragu menyelamatkan hidupnya, hingga harus terbaring koma. Sementara, ia sekarang harus berhadapan dengan ancaman dari sang ibu mertua.Hening sesaat. Seolah Tuan Josua sedang mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan."Keterlaluan," gumam Tuan Josua, suaranya l
Langit malam di kota Belvantis tampak bertabur cahaya, seolah menyambut kedatangan Suri, Axel, dan Nyonya Yasmin. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di apartemen yang telah disewa oleh Axel.Sepanjang malam, hati Suri dilanda kegelisahan. Ia berbaring sendiri di ranjang sementara pikirannya masih melayang pada Romeo. Ia berharap, dalam beberapa hari ke depan kondisi kesehatannya akan membaik, sehingga ia bisa kembali ke kota Velmora. Pagi harinya, Suri terbangun karena suara getar ponsel di atas meja nakas. Dengan mata masih mengantuk, ia melihat nama yang tertera di layar : Sagara."Halo, Pak Sagara, selamat pagi," sapanya dengan suara serak."Suri, di mana kamu sekarang?" suara Sagara terdengar tegas, tetapi ada nada khawatir di dalamnya. "Aku mendengar tentang kecelakaan Romeo. Bagaimana keadaannya?"Suri menarik napas panjang. "Saya minta maaf, Pak Sagara, saya berada di luar negeri. Untuk sementara, saya tidak bisa melanjutkan proyek kota mandiri. S
Suri menatap tajam ke arah Axel, matanya yang masih sembab karena menangis menunjukkan keteguhan hatinya. "Tolong, Xel, bawa aku kembali," pintanya dengan suara bergetar. "Aku tidak mau pergi. Aku ingin tetap berada di sisi Romeo.”Axel menarik napas panjang, menatap Suri dengan kesabaran yang mulai menipis. "Suri, ini bukan tentang keinginanmu saja. Pikirkan keselamatan bayi di dalam rahimmu."Suaranya lebih lembut kali ini, penuh dengan kepedulian yang tulus. "Dokter bilang padaku, kandunganmu lemah. Jika kamu terus mengalami tekanan seperti ini, kamu berisiko mengalami keguguran. Bukankah kamu tidak ingin kehilangan anakmu?"Perlahan, Suri menggigit bibirnya. Hatinya terombang-ambing dalam dilema. Dia ingin tetap menemani Romeo, tetapi dia juga tak bisa mengabaikan kesehatan bayi yang sudah mereka nantikan dengan penuh perjuangan.Axel melanjutkan, "Jika kamu tetap berada di sekitar keluarga Romeo, terutama setelah kepergian Nyonya Miranda, kamu hanya akan dipersalahkan atas semu
Sesudah Axel keluar dari kamarnya, Suri langsung mengambil ponsel dan menghubungi Tuan Josua. Saat ini, ia sangat membutuhkan nasihat dan dukungan dari pengacaranya itu. Suri menempelkan ponsel di telinganya dengan tangan gemetar. Begitu panggilan tersambung, ia menghela napas lega."Paman..."Di seberang, suara berat dan tenang milik Tuan Josua segera menyambutnya. "Suri, aku baru saja akan menghubungimu tentang kecelakaan yang dialami Romeo. Aku ingin tahu bagaimana kronologinya dan bagaimana keadaan kalian berdua sekarang?"Suri menelan ludah, mencoba meredam getaran di suaranya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semua rentetan peristiwa—tentang mobil yang nyaris menabraknya, Romeo yang tanpa ragu menyelamatkan hidupnya, hingga harus terbaring koma. Sementara, ia sekarang harus berhadapan dengan ancaman dari sang ibu mertua.Hening sesaat. Seolah Tuan Josua sedang mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan."Keterlaluan," gumam Tuan Josua, suaranya l
Suri menatap tajam ke arah Nyonya Valerie, matanya membara dengan keteguhan. Meski tubuhnya lemah dan tangannya dicekal oleh pria berbadan kekar, pantang baginya untuk tunduk pada ancaman sang ibu mertua.Sekuat tenaga, Suri menahan gemetar yang perlahan menjalari tubuhnya."Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu," ujar Suri tegas. "Jika Mama berani melakukan sesuatu, aku akan berteriak. Aku akan memanggil para perawat ke sini!"Nyonya Valerie menyilangkan tangannya di depan dada, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Silakan saja. Pintu ruangan ini tertutup, dan di luar sana ada bodyguard yang berjaga. Tidak ada seorang pun yang bisa masuk tanpa seizinku. Tidak akan ada yang bisa menolongmu."Suri merasakan hawa dingin menjalar ke tulang belakangnya, seiring dengan rasa takut yang mulai merayap. Ia tahu Nyonya Valerie bukan orang yang bisa dianggap remeh. Wanita itu telah mengambil alih kekuasaan di keluarga Albantara, dan ia memiliki pe
Pagi harinya, setelah memaksakan diri untuk makan sedikit dan meminum vitamin yang diberikan oleh dokter, Suri meminta bantuan seorang perawat untuk mengantarnya ke kamar rawat Romeo. Perawat itu dengan sabar menggandeng Suri, membawanya menaiki lift menuju lantai empat, tempat Romeo dirawat.Setibanya di depan kamar VIP tersebut, Suri menarik napas panjang sebelum mendorong pintu perlahan. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara lembut dari alat-alat medis yang terus bekerja menjaga kehidupan Romeo. Di atas ranjang rumah sakit, pria yang sangat ia cintai itu terbaring lemah dengan mata terpejam rapat. Selang oksigen menempel di hidungnya, sementara alat monitor detak jantung berdetak stabil di samping ranjang.Hati Suri terasa remuk redam. Romeo, yang selama ini selalu gagah dan penuh semangat, kini tak berdaya di bawah perawatan medis. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya yang dingin menyentuh pipi Romeo yang pucat. Sentuhan itu begitu lem
Air mata perlahan menggenang di pelupuk mata Suri. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Antara bahagia, terharu, dan di sisi lain, kesedihan merayapi hatinya. Saat ia mengetahui kehamilan ini, Romeo justru sedang berjuang antara hidup dan mati.Ingin sekali ia berbagi kebahagiaan ini dengan suaminya, mengatakan bahwa impian mereka untuk menjadi orang tua akhirnya terwujud. Anak yang mereka nantikan telah hadir dalam dirinya. Namun, semuanya kini terasa getir. Betapa ironis, ketika keajaiban itu datang, Romeo justru tidak bisa mendengar kabar ini. Ia terbaring koma, tak sadar, seolah terputus dari dunia ini.Seandainya Romeo tahu, Suri yakin suaminya akan melompat kegirangan. Ia bisa membayangkan betapa Romeo akan mengusap perutnya dengan penuh kasih, berbisik pada bayi mereka, dan memeluknya dengan hangat. Namun, semua itu hanya angan-angan kosong.Dokter yang melihat ekspresi Suri segera menenangkannya. “Untuk saat ini, yang terpenting adalah kesehatan Anda dan janin di dalam kan
Suri melangkah cepat menuju lantai tiga, tempat di mana Romeo sedang menjalani operasi. Begitu tiba, ia terkejut saat mendapati Axel masih mengikutinya dari belakang. Napas pria itu sedikit tersengal akibat berjalan terburu-buru."Aku ingin melihat kondisi Romeo, Suri. Mama masih tidur, aku bisa menyempatkan waktu sejenak," ucap Axel dengan nada lembut.Suri menggeleng cepat. "Tidak usah. Kembalilah ke Tante Yasmin.”Tanpa menunggu balasan, Suri melangkah lebih cepat menuju ruang operasi. Pintu ruangan itu tertutup rapat, dengan lampu indikator merah menyala terang, menandakan prosedur operasi masih berlangsung. Di depan ruang operasi, Nyonya Valerie duduk lemas di kursi tunggu. Matanya sembab dan wajahnya penuh kecemasan. Di sampingnya, Aira duduk dalam diam, berusaha memberi dukungan. Sedangkan Yonas tampak berdiri tak jauh dari sana, sibuk menelepon. Suara lelaki itu terdengar tegas dan profesional, mengurus banyak hal sekaligus—menghubungi para manajer perusahaan, menginformasik
Setelah proses pengambilan darah selesai, Suri kembali ke ruang gawat darurat dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa lemas, bukan hanya karena kehilangan darah, tetapi juga akibat kelelahan emosional yang menguras energinya.Begitu tiba di depan ruang gawat darurat, Suri melihat perawat membawa kantong darah untuk transfusi. Ia pun bersandar di salah satu kursi di luar ruangan. Pikiran tentang Romeo yang belum juga sadar membuat Suri semakin takut. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan cairan bening yang sudah mengumpul di pelupuk mata.Sopir Romeo, yang sejak tadi setia menunggu, melihat keadaan Suri dan merasa iba. "Nyonya, Anda belum makan. Saya akan belikan makanan dan minuman sebentar," ucapnya dengan nada penuh perhatian.Suri menggeleng lemah. "Tidak perlu, Pak," jawabnya lirih."Setidaknya minum sesuatu, Nyonya. Anda butuh tenaga untuk menjaga Tuan Romeo," bujuk sang sopir.Suri akhirnya hanya mengangguk pasrah. Ia tahu tubuhnya mulai melemah, tetapi pikirannya terlal
Lampu merah yang menyala, tak menjadi penghalang bagi mobil putih dengan tanda palang merah di bagian atapnya untuk terus melaju dengan kecepatan penuh. Di dalamnya, tubuh Romeo terbaring di atas tandu. Selang oksigen sudah terpasang di hidungnya.Seorang paramedis berusaha menekan luka di dada Romeo dengan kain kasa tebal untuk mengurangi pendarahan. Monitor kecil di sebelahnya memperlihatkan detak jantung yang masih berjalan, meskipun melemah.Suri duduk di samping tandu itu, menggenggam tangan Romeo yang mulai terasa dingin. Tangisnya tak kunjung reda, air mata terus mengalir membasahi wajahnya yang pucat. Sungguh, ia tak akan sanggup kehilangan suami, sesudah ia ditinggalkan oleh sang ayah untuk selamanya. “Kenapa … kamu mengorbankan diri demi aku?” tutur Suri dengan air mata yang mengalir deras.Ia meremas jemari Romeo lebih erat, berharap suaminya memberi respons, meskipun hanya sekadar gerakan kecil. Namun, Romeo tetap diam, tak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Andai saja bi