Setelah proses pengambilan darah selesai, Suri kembali ke ruang gawat darurat dengan langkah gontai. Tubuhnya terasa lemas, bukan hanya karena kehilangan darah, tetapi juga akibat kelelahan emosional yang menguras energinya.Begitu tiba di depan ruang gawat darurat, Suri melihat perawat membawa kantong darah untuk transfusi. Ia pun bersandar di salah satu kursi di luar ruangan. Pikiran tentang Romeo yang belum juga sadar membuat Suri semakin takut. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan cairan bening yang sudah mengumpul di pelupuk mata.Sopir Romeo, yang sejak tadi setia menunggu, melihat keadaan Suri dan merasa iba. "Nyonya, Anda belum makan. Saya akan belikan makanan dan minuman sebentar," ucapnya dengan nada penuh perhatian.Suri menggeleng lemah. "Tidak perlu, Pak," jawabnya lirih."Setidaknya minum sesuatu, Nyonya. Anda butuh tenaga untuk menjaga Tuan Romeo," bujuk sang sopir.Suri akhirnya hanya mengangguk pasrah. Ia tahu tubuhnya mulai melemah, tetapi pikirannya terlal
Suri melangkah cepat menuju lantai tiga, tempat di mana Romeo sedang menjalani operasi. Begitu tiba, ia terkejut saat mendapati Axel masih mengikutinya dari belakang. Napas pria itu sedikit tersengal akibat berjalan terburu-buru."Aku ingin melihat kondisi Romeo, Suri. Mama masih tidur, aku bisa menyempatkan waktu sejenak," ucap Axel dengan nada lembut.Suri menggeleng cepat. "Tidak usah. Kembalilah ke Tante Yasmin.”Tanpa menunggu balasan, Suri melangkah lebih cepat menuju ruang operasi. Pintu ruangan itu tertutup rapat, dengan lampu indikator merah menyala terang, menandakan prosedur operasi masih berlangsung. Di depan ruang operasi, Nyonya Valerie duduk lemas di kursi tunggu. Matanya sembab dan wajahnya penuh kecemasan. Di sampingnya, Aira duduk dalam diam, berusaha memberi dukungan. Sedangkan Yonas tampak berdiri tak jauh dari sana, sibuk menelepon. Suara lelaki itu terdengar tegas dan profesional, mengurus banyak hal sekaligus—menghubungi para manajer perusahaan, menginformasik
Air mata perlahan menggenang di pelupuk mata Suri. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Antara bahagia, terharu, dan di sisi lain, kesedihan merayapi hatinya. Saat ia mengetahui kehamilan ini, Romeo justru sedang berjuang antara hidup dan mati.Ingin sekali ia berbagi kebahagiaan ini dengan suaminya, mengatakan bahwa impian mereka untuk menjadi orang tua akhirnya terwujud. Anak yang mereka nantikan telah hadir dalam dirinya. Namun, semuanya kini terasa getir. Betapa ironis, ketika keajaiban itu datang, Romeo justru tidak bisa mendengar kabar ini. Ia terbaring koma, tak sadar, seolah terputus dari dunia ini.Seandainya Romeo tahu, Suri yakin suaminya akan melompat kegirangan. Ia bisa membayangkan betapa Romeo akan mengusap perutnya dengan penuh kasih, berbisik pada bayi mereka, dan memeluknya dengan hangat. Namun, semua itu hanya angan-angan kosong.Dokter yang melihat ekspresi Suri segera menenangkannya. “Untuk saat ini, yang terpenting adalah kesehatan Anda dan janin di dalam kan
Pagi harinya, setelah memaksakan diri untuk makan sedikit dan meminum vitamin yang diberikan oleh dokter, Suri meminta bantuan seorang perawat untuk mengantarnya ke kamar rawat Romeo. Perawat itu dengan sabar menggandeng Suri, membawanya menaiki lift menuju lantai empat, tempat Romeo dirawat.Setibanya di depan kamar VIP tersebut, Suri menarik napas panjang sebelum mendorong pintu perlahan. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara lembut dari alat-alat medis yang terus bekerja menjaga kehidupan Romeo. Di atas ranjang rumah sakit, pria yang sangat ia cintai itu terbaring lemah dengan mata terpejam rapat. Selang oksigen menempel di hidungnya, sementara alat monitor detak jantung berdetak stabil di samping ranjang.Hati Suri terasa remuk redam. Romeo, yang selama ini selalu gagah dan penuh semangat, kini tak berdaya di bawah perawatan medis. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya yang dingin menyentuh pipi Romeo yang pucat. Sentuhan itu begitu lem
Suri menatap tajam ke arah Nyonya Valerie, matanya membara dengan keteguhan. Meski tubuhnya lemah dan tangannya dicekal oleh pria berbadan kekar, pantang baginya untuk tunduk pada ancaman sang ibu mertua.Sekuat tenaga, Suri menahan gemetar yang perlahan menjalari tubuhnya."Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu," ujar Suri tegas. "Jika Mama berani melakukan sesuatu, aku akan berteriak. Aku akan memanggil para perawat ke sini!"Nyonya Valerie menyilangkan tangannya di depan dada, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Senyum sinis tersungging di bibirnya. "Silakan saja. Pintu ruangan ini tertutup, dan di luar sana ada bodyguard yang berjaga. Tidak ada seorang pun yang bisa masuk tanpa seizinku. Tidak akan ada yang bisa menolongmu."Suri merasakan hawa dingin menjalar ke tulang belakangnya, seiring dengan rasa takut yang mulai merayap. Ia tahu Nyonya Valerie bukan orang yang bisa dianggap remeh. Wanita itu telah mengambil alih kekuasaan di keluarga Albantara, dan ia memiliki pe
Sesudah Axel keluar dari kamarnya, Suri langsung mengambil ponsel dan menghubungi Tuan Josua. Saat ini, ia sangat membutuhkan nasihat dan dukungan dari pengacaranya itu. Suri menempelkan ponsel di telinganya dengan tangan gemetar. Begitu panggilan tersambung, ia menghela napas lega."Paman..."Di seberang, suara berat dan tenang milik Tuan Josua segera menyambutnya. "Suri, aku baru saja akan menghubungimu tentang kecelakaan yang dialami Romeo. Aku ingin tahu bagaimana kronologinya dan bagaimana keadaan kalian berdua sekarang?"Suri menelan ludah, mencoba meredam getaran di suaranya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semua rentetan peristiwa—tentang mobil yang nyaris menabraknya, Romeo yang tanpa ragu menyelamatkan hidupnya, hingga harus terbaring koma. Sementara, ia sekarang harus berhadapan dengan ancaman dari sang ibu mertua.Hening sesaat. Seolah Tuan Josua sedang mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan."Keterlaluan," gumam Tuan Josua, suaranya l
Suri menatap tajam ke arah Axel, matanya yang masih sembab karena menangis menunjukkan keteguhan hatinya. "Tolong, Xel, bawa aku kembali," pintanya dengan suara bergetar. "Aku tidak mau pergi. Aku ingin tetap berada di sisi Romeo.”Axel menarik napas panjang, menatap Suri dengan kesabaran yang mulai menipis. "Suri, ini bukan tentang keinginanmu saja. Pikirkan keselamatan bayi di dalam rahimmu."Suaranya lebih lembut kali ini, penuh dengan kepedulian yang tulus. "Dokter bilang padaku, kandunganmu lemah. Jika kamu terus mengalami tekanan seperti ini, kamu berisiko mengalami keguguran. Bukankah kamu tidak ingin kehilangan anakmu?"Perlahan, Suri menggigit bibirnya. Hatinya terombang-ambing dalam dilema. Dia ingin tetap menemani Romeo, tetapi dia juga tak bisa mengabaikan kesehatan bayi yang sudah mereka nantikan dengan penuh perjuangan.Axel melanjutkan, "Jika kamu tetap berada di sekitar keluarga Romeo, terutama setelah kepergian Nyonya Miranda, kamu hanya akan dipersalahkan atas semu
Langit malam di kota Belvantis tampak bertabur cahaya, seolah menyambut kedatangan Suri, Axel, dan Nyonya Yasmin. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di apartemen yang telah disewa oleh Axel.Sepanjang malam, hati Suri dilanda kegelisahan. Ia berbaring sendiri di ranjang sementara pikirannya masih melayang pada Romeo. Ia berharap, dalam beberapa hari ke depan kondisi kesehatannya akan membaik, sehingga ia bisa kembali ke kota Velmora. Pagi harinya, Suri terbangun karena suara getar ponsel di atas meja nakas. Dengan mata masih mengantuk, ia melihat nama yang tertera di layar : Sagara."Halo, Pak Sagara, selamat pagi," sapanya dengan suara serak."Suri, di mana kamu sekarang?" suara Sagara terdengar tegas, tetapi ada nada khawatir di dalamnya. "Aku mendengar tentang kecelakaan Romeo. Bagaimana keadaannya?"Suri menarik napas panjang. "Saya minta maaf, Pak Sagara, saya berada di luar negeri. Untuk sementara, saya tidak bisa melanjutkan proyek kota mandiri. S
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak