"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan."
"Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini."
Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian.
"Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi.
Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan.
"Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania.
Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya.
"Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu.
"Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah.
Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja."
"Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisiku sedang sakit," jawab Leo.
"Memangnya kenapa?" tanya Khania heran.
Pria itu tak menjawab, hanya diam sambil menoleh ke arah lain, membuat Khania semakin bingung harus bagaimana.
"Ah ya!" Seketika dia teringat sang bibi yang merawatnya saat sakit dan memberikan obat alami. "Aku segera kembali," ujar Khania sambil melenggang pergi.
Leo melihat Khania yang berlari keluar ruangan, meski terkadang dia merasa gadis itu sangat membencinya, tapi sikap pedulinya pun begitu besar.
Beberapa saat kemudian Khania kembali. "Ini, minumlah," suruhnya sambil menyodorkan segelas minuman.
"Apa itu?" tanya Leo.
"Campuran jahe dan madu, cukup ampuh menurunkan demam," jawab Khania. "Ayo minum, enak ko."
"Hm, baiklah." Leo pun tanpa ragu langsung meminumnya.
"Ini, jangan lupa minum air putih yang banyak dan istirahat yang cukup," Khania kembali menyodorkan segelas air putih.
Leo hanya menuruti perkataan Khania tanpa bersuara.
"Setelah ini tidurlah, aku akan menemanimu," ujar Khania.
Mendengar itu Leo langsung menatap Khania. "Benarkah?"
"Eh? Maksudku tidur di sofa, kau tidur di sini, dan aku di sofa." Gadis itu menjawab dengan cepat, seolah tahu jalan pikiran pria itu.
"Tak masalah, kau tidur di sini saja," ujar Leo sambil menepuk-nepuk kasur.
"Tidak." Khania langsung menolak dan berjalan menuju sofa. Wajahnya masih merona karena perkataan Leo barusan, entah kenapa dia merasa pria itu semakin berbahaya hingga harus dihindarinya.
Leo menunjukkan wajah kecewa, namun tak lama pria itu menarik selimut dan tertidur.
"Apa-apaan ekspresinya itu?" batin Khania. Tak mau berpikir panjang, dia pun mencoba untuk tidur.
Keduanya terlelap, larut dalam mimpi masing-masing.
Keheningan menyelimuti ruangan ini, begitu sunyi hingga suara dari luar pun nyaris tidak terdengar.
TEP!
Tiba-tiba sosok hitam muncul dan melompat ke atas balkon, berjalan ke arah pintu dengan langkah waspada.
TREK! TREK!
"Emh!" Khania membuka mata saat mendengar sesuatu yang mengusik tidurnya. "Suara apa itu?" gumamnya.
TREK!
Khania menoleh saat suara itu terdengar semakin jelas, matanya terbelalak melihat bayangan hitam di balik jendela yang sedang berusaha masuk dari arah luar balkon.
"Hei!" Gadis itu langsung bangun dan berteriak.
Sosok itu kaget saat mendengar suara Khania, dia pun segera pergi dan melompat dari sana.
Khania pun tersentak melihatnya, jelas-jelas ini adalah lantai tiga.
"Ah, dimana dia?" gumam gadis itu saat memeriksa ke luar, dia tak melihat sosok itu di mana pun bahkan dibawah sana. "Apa tujuannya?"
Kecurigaan muncul dibenak Khania, mungkin saja ini ulah orang yang mengincar dirinya atau Leo.
Khania pun segera menutup pintu dan menguncinya, "Aku harap untuk malam ini semua akan baik-baik saja."
Pandangannya beralih pada sosok yang tertidur di depan sana, wajahnya begitu tenang seakan tidak terjadi apapun, padahal beberapa waktu lalu pria itu terlihat kewalahan karena demam yang tinggi.
Tangan Khania menyentuh dahi Leo. "Panasnya sudah turun, syukurlah," ujarnya sambil tersenyum.
Sungguh ironi kehidupan orang yang memiliki segala kecukupan itu, dia harus berjuang mempertahankan segalanya dengan cara apapun.
"Jangan menatapku seperti itu."
Khania terlonjak kaget mendengarnya, ternyata pria itu tidak tertidur. "Kau, jangan-jangan sudah tahu apa yang terjadi?"
"Tentu, dan itu alasan beberapa hari ini tidurku terganggu," jawab Leo tanpa membuka mata.
Alis Khania mengernyit, "Mungkinkah pelakunya ada di kediaman ini?"
Leo tersenyum kecut dan berkata, "Bahkan kau tak akan bisa menghitungnya."
Jawaban Leo membuat Khania kaget.
"Mereka seperti sekumpulan lebah yang ingin menyengatku bergantian," lanjut pria itu.
Tak disangka, ternyata Leo sudah mengetahui hal itu, dan parahnya mereka berada dalam satu tempat yang sama.
Satu hal yang membuat Khania bingung, pria itu seakan tidak peduli dan tidak menindak lanjuti kejahatan mereka.
"Hei, bisa kau ambilkan selimut lagi? Rasanya aku kedinginan," pinta Leo.
Khania yang heran mendengar itu hanya diam dan menuruti keinginan Leo, dia berjalan menuju lemari besar dan mengambil sebuah selimut.
"Ini."
"Setelah kupikir akan lebih efektif jika begini," ujar Leo sambil meraih tangan Khania.
"Akh!"
BRUGH!
Khania yang ditarik oleh Leo terjatuh tepat di atas tubuh pria itu.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan!" Khania meronta dan berusaha menjauh, namun tubuhnya bergeming. "Ugh, kenapa dia kuat sekali?" batinnya saat Leo memeluknya semakin erat.
Sesaat kemudian Khania merasa aneh, sebuah getaran begitu terasa pada tubuh pria itu.
"Dia menggigil?"
Kondisi Leo membuat Khania bingung setengah mati, demamnya sudah mereda tapi mengapa kini tubuh pria itu seakan menahan sakit hingga menggigil hebat.
"Hei, kau sungguh tidak apa-apa? Haruskah aku hubungi dokter?" Khania bertanya dalam pelukan Leo.
"Jangan, kumohon," jawab pria itu dengan napas tersengal. "Dan berjanjilah, apapun yang terjadi, kau akan mengatakan bahwa kau adalah istriku," lanjutnya.
"Apa maksudmu?" tanya Khania.
"Berjanji saja, aku percaya padamu, kumohon."
Khania tidak bisa berbuat apapun, kini pilihan satu-satunya hanya mendengar keinginan pria itu.
"Baiklah, aku janji," jawab Khania sambil menghela napas.
Entah karena simpati atau reflek, kini Khania melingkarkan tangan di tubuh Leo, sedikit menepuk-nepuk punggung pria itu seakan memberi tahu semua akan baik-baik saja.
"Tidurlah yang nyenyak, besok kau harus sembuh," ujar Khania.
Leo tidak merespon, tak lama terdengar dengkuran halus yang menandakan pria itu sudah terlelap, dan hal itu membuat Khania lega.
Rasa kantuk pun Khania rasakan, meski ingin terjaga namun matanya sudah terasa sangat berat.
"Aku berharap akan selalu bisa membantumu, Leo." Setelah mengatakan itu, Khania pun tertidur.
Keduanya kembali tertidur dengan memberikan kehangatan satu sama lain, mereka tak menyadari sedikit demi sedikit telah memberikan kepercayaan yang akan merubah hidup keduanya.
***
CIT! CIT! CIT! Suara burung begitu merdu menyambut pagi yang cerah, udara segar dan dingin pun menyeruak masuk ke salah satu ruangan besar di mansion ini, yang juga terdapat dua insan di dalamnya. "Ugh." Khania membuka mata dan mencoba untuk bangun. "Aku tidur lelap sekali," ujarnya sambil mengusap kedua mata. Saat sadar akan sesuatu, Khania segera beranjak dan menghampiri tempat tidur. "Dia belum bangun," gumam Khania. Leo masih tertidur. Tak lama Khania pun mendekati untuk memeriksa bagaimana keadaan Leo, tangan mungilnya menyentuh dahi pria itu. "Syukurlah, sepertinya gejala semalam sudah hilang," gumamnya. GREP! "Siapa kau?" Khania terkejut saat dengan tiba-tiba Leo bangun dan menatapnya tajam. SET! "Ahk!" Gadis itu merasa tenggorokannya terbakar saat Leo mencekiknya dengan cepat. Entah apa yang terjadi, tapi Khania bisa melihat tatapan kebencian pada diri pria itu. "Aku bertanya padamu!" bentak Leo. "Se- sesak," lirih Khania. Rasa sakit mulai menjalar di leher
Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. "Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja." Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi. "Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?" Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo. "Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. Khania pun menoleh. "Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu." Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalu
"Nyonya!" Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?" "Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. "Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha. Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. Khania hanya terdiam. "Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. "Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. "Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini." *** "Bagaimana mungkin?" "Tega sekali dia melakukannya." "Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana." Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang en
Leo terkejut mendengar penuturan Khania, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Cih! Lakukan saja yang kau mau, itu tidak akan berpengaruh padaku maupun keluarga ini," hardik Rebecca sambil berjalan meninggalkan ruangan. Khania melihat kepergian Rebecca yang diikuti beberapa pelayan. Leo menghela napas panjang sambil memegang kepala dengan sebelah tangan. "Maaf atas sikap bibiku padamu, dia memang seperti itu," ujarnya sambil menatap Khania. Gadis itu tersenyum dan menjawab, "Tak apa, nanti juga aku akan terbiasa." Bohong, sejujurnya gadis itu masih sangat kaget, entah apa yang akan terjadi jika dia tidak pandai membalikkan keadaan seperti tadi. "Boleh aku kembali lagi ke taman? Di sana sangat menenangkan," tanya Khania. Keinginan gadis itu mengingatkan Leo pada sang mendiang ibunya, sosok yang selalu berada di taman saat ingin menyendiri. "Tentu, mari aku antar," jawab Leo dengan sigap mengulurkan tangan pada sang istri. "Aku juga akan mengajakmu berkeliling taman." Khani
Manik hitam Khania menatap sosok Leo, yang tengah serius mengobati lukanya akibat terkilir beberapa waktu lalu. Tangan besar pria itu terasa bergetar saat menyentuh dan sedikit memijat pergelangan kaki Khania, gadis itu pun heran di buatnya. "Kenapa tanganmu bergetar?" tanya Khania, dia khawatir jika kondisi Leo akan sama seperti kemarin. "Aku, gugup," jawab pria itu. "Hah? Gugup?" tanya Khania dalam hati. Leo menatap Khania sesaat, gadis itu terlihat bingung. "Aku gugup karena mengontrol tenagaku, kau ini seperti kelinci dengan kulit dan tulang yang rapuh," lanjutnya. "Hmph! Hahaha!" Tawa Khania pecah saat mendengar penjelasan Leo, apa yang dipikirkan pria itu sungguh tidak bisa dia tebak. Yang jadi bahan tertawa Khania pun hanya terdiam dengan ekspresi datar. "Kenapa kau samakan aku dengan kelinci?" tanya Khania di sela tawanya. "Entahlah," jawab Leo sambil berpose sedang berpikir. "Mungkin karena kalian sama-sama manis." Sontak Khania terdiam. "Apa?" Leo menatap Kha
"Sesak." Khania menatap dirinya di cermin, gaun yang menurutnya aneh itu membuatnya tak nyaman, proses memakainya pun butuh waktu lama. "Icha, bolehkah aku membuka ini, apa namanya? korset," ujar Khania sambil mencoba untuk merentangkan tangan dan bergerak bebas. "Tidak boleh nyonya, itu sangat penting saat memakai gaun," jawab Icha sambil merapikan pakaian. Khania menghela napas berat dan berkata, "Jangankan untuk bergerak, bernapas juga rasanya sulit." "Maaf nyonya, anda harus tahan sampai pertemuannya selesai," ujar Icha merasa bersalah. "Karena tamu yang datang adalah bagian dari keluarga kerajaan, maka anda wajib mengikuti budaya berpakaian mereka." Hal yang sungguh merepotkan bagi Khania, dia tidak habis pikir para bangsawan itu bisa tahan dengan pakaian seperti ini. Tak hanya membuat dada terasa sesak, bergerak pun sangat sulit, alhasil gadis itu berjalan dengan langkah yang kaku. "Mari saya bantu, nyonya," ujar Icha sambil menuntun Khania dan memberi tahu sang nyonya
Khania menatap tajam ke arah Leo, apa yang dikatakan pria itu sungguh membuatnya malu. Yang dipelototi hanya mengangkat bahu seakan tidak peduli. "Begitukah? Anda memang luar biasa," puji Gabriella pada Khania. "Bu- bukan begitu ..." Khania ingin menjelaskan namun perkataannya dipotong oleh Leo. "Marquess, bagaimana kondisi perbatasan?" Rupanya Leo tidak mau larut dalam pembicaraan itu, dan mencari topik lain untuk mereka bahas, Khania pun menghela napas lega. "Sejauh ini masih baik-baik saja, meski beberapa waktu lalu para tory kembali melakukan pemberontakan," jawab Javier dengan wajah serius. "Tory? Apa itu?" tanya Khania dalam hati. Pembicaraan mereka mengarah pada politik negara, Khania hanya diam mendengarkan tanpa bisa mengerti, yang jelas ketiga kepala keluarga itu begitu serius membicarakannya. "Tuan Leo," panggil Herlan sambil sedikit mwmbungkukkan badan. "Hidangan sudah disajikan." Leo mengangguk dan berkata, "Baiklah, mari makan bersama," ajaknya diikuti ang
Siron menghampiri Khania. "Bagaimana kabarmu, Khania?" tanya pria itu sambil tersenyum. Khania tidak langsung menjawab, dia masih kaget saat tahu pria itu berada di sana. "Khania?" panggil Siron. "Eh?" gadis itu pun sadar dari lamunannya. "Ka- kabarku baik, bagaimana dengan anda?" "Kabarku juga baik," jawab Siron sambil duduk di hamparan rumput. "Dan jangan bicara terlalu formal, santai saja." Khania mengangguk ragu saat pria itu meminta demikian. Sejujurnya bukan tanpa alasan sikap Khania jadi lebih formal terhadap Siron, hal itu karena penjelasan Icha saat mereka sedang membahas tentang keluarga Leo. "Tuan Siron, dia adalah sahabat kecil tuan Leo dan merupakan anak pertama dari raja Claude, beliau menempuh pendidikan di berbagai negara untuk mempelajari kebudayaan mereka." "Pangeran!" Khania menoleh dan mendapati seorang pria berkacamata, sedang berlari menghampiri Siron. Benar, Siron adalah seorang pangeran dari negaranya yang bernama Liechtenstein, yang konon memiliki tan
Suasana malam terlihat begitu indah dengan hamparan bintang juga bulan yang bersinar terang. Pemandangan yang cukup memanjakan mata sosok yang tengah terduduk dan menatap keluar jendela kamar. Manik hitamnya menatap ke atas langit. "Indah sekali," gumamnya. "Benarkah?." Suara berat itu lantas membuat Khania terlonjak kaget, diapun segera menoleh dan melihat Leo sudah memakai piyama. Penampilan pria itu sukses membuat wajah Khania merona. Dengan rambutnya yang masih basah dan baju piyama tanpa dikancing. "Rapikan bajumu, kenapa terlihat seperti itu?," tanya Khania sambil menoleh ke arah lain. Melihat respon sang istri membuat Leo tersenyum menyeringai. "Agar lebih erotis." "Astaga, dia memang serius tentang malam pertama!" batin Khania pasrah. Dengan penuh persiapan diri dan mental, Khania pun berjalan menuju tempat tidur lalu duduk. Gadis itu menutup mata dan menunggu Leo datang menghampiri. "Kau sedang apa?" tanya Leo bingung. "Jangan banyak bicara, ayo
Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle
"Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga
"ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa
Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap
"Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann
"Silahkan," ujar Astusi sambil menyediakan beberapa makanan di atas meja makan. Leo melihat sajian di hadapannya dengan kagum, karena yang memasak semua itu adalah sang istri. Dia tidak menyangka jika Khania sangat pandai memasak makanan tradisional. Kini gadis itu masih berkutat di dapur bersama sang bibi, sedangkan Leo dan Bayu duduk manis di ruang makan. TIIN! TIIN! Seketika terdengar suara klakson di luar rumah, membuat ke empat orang di sana mengalihkan perhatian. "Akhirnya, datang juga," gumam Leo sambil beranjak berdiri. Hal itu pun membuat Bayu mengernyitkan alis. "Memangnya ada apa?" "Ikut saja dan lihatlah," jawab Leo. Mereka berdua pun berjalan keluar, betapa terkejutnya Bayu saat melihat apa yang ada di hadapannya. "Waah, i- ini ..." "Ada apa sih?" tanya Khania dan Astuti yang mengekor Bayu. Khania membelalakkan mata saat melihat beberapa mobil box dan terbuka sedang bertengger di depan halaman rumah sang paman, beberapa mobil itu membawa barang-barang elektron
"Andri, kenapa kau ke sini?" tanya Dina dengan wajah heran. Pria itu tidak mengindahkan pertanyaan Dina, dia justru menatap Khania dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Khania sudah menikah, harusnya kamu ..." "Berisik." Andri mengerlingkan mata saat Dina mencoba untuk memperingatkannya. "Ini bukan urusanmu." Khania hanya terdiam menanggapi sosok itu. "Tapi, ini menjadi urusanku," ujar Leo yang muncul di belakang Khania. Andri terlihat tidak senang dengan kedatangan Leo, tangannya mengepal kuat seakan ingin menerjang dan meluapkan kekesalannya. Hal itu pun disadari oleh Leo. "Sepertinya ada hal ingin kau sampaikan padaku," ujarnya dengan nada datar. Bukan sekedar pertanyaan, Khania tahu sang suami sedang menantang Andri saat tahu sikap pria itu yang kurang menyenangkan. "Harusnya anda tahu malu, telah merebut kekasih orang lain," ujar Andri dengan tatapan tajam. Khania terkejut dengan penuturan Andri, tak di sangka pria itu berani mengatakannya dengan penuh percaya diri. Ma
"Kau jahat, kenapa setega itu menghianati ibu?" "Maafkan aku bu, aku tidak bermaksud seperti itu." "Kau memang anak tidak berguna!" "Maaf, maafkan aku bu." "Leo." Khania mencoba menggoyangkan tubuh Leo, pria itu mengigau dan terus berkata maaf. Tak lama air mata mengalir di pipinya, membuat Khania semakin kaget. "Hei, bangunlah," ujar Khania. GYUT! Tiba-tiba tangan Leo meraih pinggang Khania dan memeluknya. "Tu-tunggu, Leo ..." "Biarkan seperti ini," pinta Leo. Khania tak bisa berbuat apapun, dia merasa pria itu sedang mencoba menenangkan diri dan tidak mau terlihat menyedihkan. Gadis itu pun menghela napas. "Baiklah, lakukan sesukamu." GYUUT! "Ta- tapi, jangan begini juga!" hardik Khania saat dengan sengaja Leo menenggelamkan wajah di atas dadanya. Pipi gadis itu memerah tak kala mendapati sikap sang suami dan tidak mengacuhkan perkataannya. "Diamlah." Sebenarnya Khania merasa kesal, tapi melihat kondisi Leo saat ini, dia hanya bisa pasrah. Manik hitam Khania melih