"Turunkan aku!"
Khania meronta dalam gendongan sosok pria dengan perawakan tinggi. Namun, pria itu terus berjalan santai tanpa menggubris ancaman yang dilayangkan gadis itu.
Langkah pria itu terdengar menyusuri lorong mansion besar ini, dan berhenti tepat di sebuah ruangan. Pria itu pun membuka pintu dengan kasar dan masuk bersama sosok yang di gendongnya.
"Kubilang turunkan aku! Ini pelecehan! Aku akan lapor polisi!"
BRUK!
Gadis berusia dua puluh tahun itu meringis saat tubuhnya dihempaskan ke atas sofa.
Melihat itu, sang pria tersenyum sinis dan berkata, "Polisi bukan apa-apa bagiku." Manik birunya menatap Khania dengan tajam. "Dan, lancang sekali kau bilang aku melakukan pelecehan. Asal kau tahu, pamanmu sudah menjualmu padaku."
Khania tersenyum miris. Lagi-lagi, pamannya berulah. Laki-laki paruh baya itu memang membuat hidup Khania selalu berada dalam masalah.
Dia berani bertaruh bahwa uang yang di dapat pamannya hanya untuk berjudi dan bersenang-senang saja.
"Ck," Khania terlihat kesal, "Berapa uang yang kau berikan pada pamanku?"
Pria itu tersenyum miring, "Satu milyar."
Mendengar itu, Khania tercengang. Dia menatap sosok itu tak percaya. "Kau gila! Kenapa kau memberinya sebanyak itu?"
Pria itu mengangkat bahu lalu duduk disamping Khania. "Itu bukan urusanmu. Yang jelas, transaksi sudah selesai dan kau sudah harus terikat kontrak denganku."
Muka Khania terlihat pucat. Dalam hati, dia membatin khawatir,"Sial, aku harus bagaimana? Apa aku kabur saja?"
"Oh iya, jangan coba-coba kabur. Aku tidak segan melakukan hal buruk padamu atau keluargamu jika itu terjadi," ancam Leo seakan tahu jalan pikiran gadis itu.
DEG!
Khania sontak teringat sang bibi, apa yang akan terjadi pada orang yang disayanginya jika memang dia melarikan diri?
BRAK!
Belum sempat memproses semua, sebuah kertas berbalut map putih kembali dilemparkan pria itu ke atas meja. "Sekarang tanda tangani perjanjiannya."
"Hei! Aku bahkan tidak mengenalmu. Bagaimana aku bisa percaya hal ini tidak membahayakanku?" ujar Khania dengan tatapan waspada.
Pria itu terdiam sesaat lalu membuka suara. "Kalau begitu perkenalkan, namaku Leo Martin, orang paling kaya di negeri ini," jawabnya bangga.
Khania melihat selebaran itu lalu beralih menatap pria yang sudah lancang menculiknya.
Tak dipungkiri, paras Leo begitu rupawan dengan kulit putih bersih, hidung mancung, dan rambut pirang lurus. Siapa pun tahu, dia berdarah blasteran.
"Apakah aku setampan itu? Sampai kau tak berkedip saat melihatku," ujar Leo dengan nada sarkastik.
Gambaran indah itu hancur seketika saat Khania mendengar penuturan Leo. "Aku menyesal telah memujinya," batinnya.
"Jangan buang waktu, segera tanda tangani itu," perintah Leo sambil menunjuk map di atas meja.
Tanpa pikir panjang, Khania menggelengkan kepala tanda dia menolak. "Aku akan membayar semua hutang pamanku," ujarnya.
Khania sendiri tak yakin dengan apa yang dikatakannya, membayar lunas? Dengan uang sebesar itu butuh berapa lama dia harus bekerja.
Leo mengernyitkan alis. "Hutang?"
"Anggap saja aku berhutang dengan uang yang kau berikan pada pamanku, dan aku akan membayarnya."
"Hey!" Leo menatap Khania tajam, "Jangan mempersulit dirimu. Baca saja perjanjiannya dan tanda tangani secepatnya. Di sana, tidak ada hal yang akan merugikanmu."
Khania terdiam. Sungguh hal yang sangat sulit bagi Khania untuk memutuskan semua secara mendadak. Khania tidak mau berurusan dengan para orang kaya yang selalu menggunakan uang sebagai jalan pintas. Namun, bagaimana keluar dari permasalahan ini? Semakin berpikir, pikiran Khania semakin buntu. Terlebih, membayangkan nasib bibinya yang terancam karena hutang paman yang tak tahu diuntung itu.
"Hufft." Khania menghela napas. Meski ragu, tangan mungil Khania tetap meraih kertas itu yang dibacanya dengan seksama.
Alisnya mengerut saat ada hal yang mengganjal.
"Pertama, aku harus menjadi bagian dari keluarga Martin?" tanya Khania dalam hati.
Khania menatap Leo bingung, tetapi pria itu hanya diam saja, seolah itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkan.
Oleh sebab itu, Khania pun menarik kesimpulan bahwa dirinya harus menjadi saudari bagi Leo.
"Mungkin, keluarganya butuh anak perempuan yang bisa diandalkan?"
Khania mengangguk sendiri dan terus membaca rangkaian perjanjian itu sampai akhir.
Benar yang dikatakan Leo, tak ada hal yang dapat merugikan dirinya jika menandatangani perjanjian itu.
Di sana juga tertulis bahwa Khania tidak perlu membayar apapun dalam bentuk uang. Sebagian besar hanya berisikan poin-poin bahwa Khania harus membantu Leo, dan semua itu berlaku hanya satu tahun.
Khania menghela napas. "Baiklah, aku setuju." Dia pun menandatangani kertas itu dan memberikannya pada Leo.
"Baiklah ... ingat, ini adalah kontrak dengan beberapa perjanjian yang sudah kau setujui secara sah. Jika melanggar walau hanya satu poin, kau tetap akan berhadapan dengan hukum." Leo menjelaskan dengan wajah serius.
"Hm...." Khania mengangguk malas, "Aku mengerti."
Leo pun tersenyum dengan senyum kemenangan, "Dengan begini, semuanya beres. Terima kasih, Khania."
PROK! PROK!
Leo kemudian menepuk tangannya seakan memberi kode. Tak lama, muncullah tiga orang memasuki ruangan itu.
Khania terkejut saat melihat "paman tak tahu diri" itu ada di antara mereka.
"Selanjutnya, pak penghulu, tolong nikahkan kami sekarang," ujar Leo pada pria lainnya.
Seketika tubuh Khania menegang. "Apa? Siapa yang akan menikah?"
Seketika, Leo menggelengkan kepala. "Kau ini tidak membacanya dengan benar, ya? Di poin pertama, jelas tertulis kau harus menjadi bagian dari keluargaku. Lantas apa maksudnya itu?"
"Bukankah itu artinya aku jadi saudarimu?" tanya Khania sambil menatap Leo, berharap yang dikatakannya benar.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Perlahan, dia mendekati Khania dan berbisik, "Saudari? Yang benar saja! Istri, kau harus menjadi is-tri-ku."
Di akhir kalimat, Khania dapat mendengar penekanan dari pria itu.
"Hah?"
***
"Kau bercanda, kan?" tanya Khania sambil menoleh--menunggu jawaban pria itu. Leo menggelengkan kepala. "Sayangnya, aku tidak suka membuang waktu, Khania. Jadi, mari kita mulai saja sekarang." Khania berdiri dan menarik kerah baju Leo. "Kau pikir pernikahan adalah hal sepele? Aku tidak mau melakukannya!" "Khania! Jaga sikapmu!" teriak sang paman tiba-tiba. Tentu saja, Khania menatap tajam sumber dari segala masalahnya itu, tetapi pria itu malah kembali menatapnya dengan tajam. "Tak apa, aku mengerti perasaanmu," ujar Leo, menghentikan perang tatapan antara paman dan keponakan itu. Tak lupa, Leo memberi kode pada orang-orangnya untuk tidak ikut campur, terutama pada "sang paman". Seketika, pria paruh baya itu pun menunduk. Menyadari betapa berkuasanya Leo, manik hitam Khania menatap tajam ke arah pria itu. "Tidak ada pernikahan! Bahkan, hal itu tidak tertulis disana!" teriaknya lantang. Leo kembali tersenyum miring. "Sebenarnya, aku tidak peduli dengan reaksimu, tapi akan kuberi
Khania terdiam dan menatap dirinya di depan cermin, penampilan yang tidak pernah dia sangka, ternyata akan dikenakannya hari ini. Gaun serba putih dengan renda yang indah, rambut cokelat sebahu yang biasa terurai kini dibentuk sanggul kecil dihiasi mutiara, dan riasan tak biasa di wajah cantiknya membuat Khania bahkan tidak mengenal dirinya. Gadis itu menghela napas saat kembali mengingat apa yang akan terjadi hari ini. Leo, pria itu tidak menarik kata-katanya saat bilang acara pernikahan mereka akan dilaksanakan hari ini. Khania pun kesal saat keinginannya untuk meminta waktu agar lebih mengenal satu sama lain tidak didengar, Leo mengatakan hal itu tidak akan berguna. TOK! TOK! "Nona, lima menit lagi anda sudah harus keluar," ujar Icha di balik pintu. "Ya, aku mengerti," jawab Khania. Sudah hampir setengah jam Khania terdiam di ruangan ini, dia tidak berani keluar karena keadaan di sana begitu asing. Banyak mata yang melihatnya aneh dan itu membuatnya tidak nyaman. "Bib
Khania tersentak. Dia melihat Leo yang juga sedang menatapnya. "Apa aku salah dengar?" tanya gadis itu dalam hati. "Khania!" Khania begitu kaget saat mendengar suara yang sangat familiar. Sontak dia melepaskan genggaman tangan Leo dan melihat sosok yang memanggilnya. "Bibi Astuti?" ujar Khania sambil memeluk sosok itu. Leo melihat betapa besar rasa rindu Khania pada sang bibi, mata gadis itu berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. "Aku kira bibi tidak akan datang," ujar Khania yang sekuat tenaga menahan tangis. Sebelum datang menemui Khania, Astuti lebih dulu berbincang dengan Leo untuk lebih mengenal calon suami keponakannya itu. Dirinya tahu dalang di balik semua ini adalah sang suami. Dengan lancangnya, pria itu mempertaruhkan Khania atas uang yang diterimanya. Jika bukan karena hak asuh Khania jatuh pada Bayu, Astuti pasti sudah pergi dan membawa Khania bersamanya. Pria itu bahkan tak tahu malu, kini dengan bangga menjadi wali bagi Khania. "Nak Leo," panggil Astuti. L
Semua orang yang melihat itu pun saling berbisik, membuat Leo terusik dan kesal karena pasti akan tersebar kabar yang merepotkan. "Leo! Kenapa kau melakukan ini padaku? Aku ini kekasihmu!" bentak wanita itu. "Tutup mulutmu, jangan bicara omong kosong," jawab Leo sambil meminta orang-orangnya untuk turun tangan. "Bawa dia pergi dari sini." "Baik tuan." Wanita itu pun meronta, memohon agar Leo mau mendengarkannya. "Leo, aku mengaku salah telah menghianatimu, maafkan aku, Leo!" Wanita itu terus menerus meronta saat dibawa pergi oleh tim keamanan. "Khania, kau terluka?" Astuti sangat kaget saat menghampiri Khania dan melihat ada darah di sudut bibir gadis itu. "Ah ini, tidak apa-apa bi," jawab Khania sambil menyentuh bagian yang luka. "Siapa wanita itu? Keterlaluan sekali dia," ujar Astuti kesal. Leo pun segera menghampiri dan melihat sudut bibir Khania yang berdarah. "Kau terluka," ujar Leo hendak menyentuh wajah Khania namun ditepis oleh gadis itu. "Ini akibat dari perlakua
"Kau demam," ujar Khania khawatir. "Aku akan panggil kepala pelayan." "Jangan," pinta Leo tanpa melepas genggaman tangannya. "Aku tidak mau orang lain tahu kondisiku saat ini." Khania terlihat bingung saat pria itu berbicara demikian. "Baiklah, biar aku yang merawatmu." Tak ada pilihan lain bagi Khania, bagaimanapun juga saat ini Leo butuh pertolongan. "Aku akan segera kembali." Khania pun melepas genggaman Leo dan melenggang pergi. Tak lama kemudian Khania kembali dengan sebuah nampan di tangan. "Aku akan mengompresmu dengan air hangat," ujar Khania. Leo hanya diam, meski dengan tatapan sayu dia tetap memperhatikan Khania yang tengah merawatnya. "Apa ada obat penurun panas?" tanya Khania sambil mencari sesuatu. "Aku tidak biasa mengonsumsi obat seperti itu," jawab Leo dengan nada rendah. Khania menepuk dahinya. "Di rumah sebesar ini tidak tersedia obat penurun panas? Yang benar saja." "Kami memiliki dokter pribadi, tapi saat ini aku tidak mau ada yang tahu bahwa kondisik
CIT! CIT! CIT! Suara burung begitu merdu menyambut pagi yang cerah, udara segar dan dingin pun menyeruak masuk ke salah satu ruangan besar di mansion ini, yang juga terdapat dua insan di dalamnya. "Ugh." Khania membuka mata dan mencoba untuk bangun. "Aku tidur lelap sekali," ujarnya sambil mengusap kedua mata. Saat sadar akan sesuatu, Khania segera beranjak dan menghampiri tempat tidur. "Dia belum bangun," gumam Khania. Leo masih tertidur. Tak lama Khania pun mendekati untuk memeriksa bagaimana keadaan Leo, tangan mungilnya menyentuh dahi pria itu. "Syukurlah, sepertinya gejala semalam sudah hilang," gumamnya. GREP! "Siapa kau?" Khania terkejut saat dengan tiba-tiba Leo bangun dan menatapnya tajam. SET! "Ahk!" Gadis itu merasa tenggorokannya terbakar saat Leo mencekiknya dengan cepat. Entah apa yang terjadi, tapi Khania bisa melihat tatapan kebencian pada diri pria itu. "Aku bertanya padamu!" bentak Leo. "Se- sesak," lirih Khania. Rasa sakit mulai menjalar di leher
Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. "Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja." Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi. "Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?" Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo. "Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. "Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. Khania pun menoleh. "Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu." Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalu
"Nyonya!" Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?" "Itu, anu," ujar Icha terbata-bata. "Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha. Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih. Khania hanya terdiam. "Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha. "Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha. "Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca. "Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini." *** "Bagaimana mungkin?" "Tega sekali dia melakukannya." "Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana." Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang en
Suasana malam terlihat begitu indah dengan hamparan bintang juga bulan yang bersinar terang. Pemandangan yang cukup memanjakan mata sosok yang tengah terduduk dan menatap keluar jendela kamar. Manik hitamnya menatap ke atas langit. "Indah sekali," gumamnya. "Benarkah?." Suara berat itu lantas membuat Khania terlonjak kaget, diapun segera menoleh dan melihat Leo sudah memakai piyama. Penampilan pria itu sukses membuat wajah Khania merona. Dengan rambutnya yang masih basah dan baju piyama tanpa dikancing. "Rapikan bajumu, kenapa terlihat seperti itu?," tanya Khania sambil menoleh ke arah lain. Melihat respon sang istri membuat Leo tersenyum menyeringai. "Agar lebih erotis." "Astaga, dia memang serius tentang malam pertama!" batin Khania pasrah. Dengan penuh persiapan diri dan mental, Khania pun berjalan menuju tempat tidur lalu duduk. Gadis itu menutup mata dan menunggu Leo datang menghampiri. "Kau sedang apa?" tanya Leo bingung. "Jangan banyak bicara, ayo
Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle
"Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga
"ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa
Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap
"Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann
"Silahkan," ujar Astusi sambil menyediakan beberapa makanan di atas meja makan. Leo melihat sajian di hadapannya dengan kagum, karena yang memasak semua itu adalah sang istri. Dia tidak menyangka jika Khania sangat pandai memasak makanan tradisional. Kini gadis itu masih berkutat di dapur bersama sang bibi, sedangkan Leo dan Bayu duduk manis di ruang makan. TIIN! TIIN! Seketika terdengar suara klakson di luar rumah, membuat ke empat orang di sana mengalihkan perhatian. "Akhirnya, datang juga," gumam Leo sambil beranjak berdiri. Hal itu pun membuat Bayu mengernyitkan alis. "Memangnya ada apa?" "Ikut saja dan lihatlah," jawab Leo. Mereka berdua pun berjalan keluar, betapa terkejutnya Bayu saat melihat apa yang ada di hadapannya. "Waah, i- ini ..." "Ada apa sih?" tanya Khania dan Astuti yang mengekor Bayu. Khania membelalakkan mata saat melihat beberapa mobil box dan terbuka sedang bertengger di depan halaman rumah sang paman, beberapa mobil itu membawa barang-barang elektron
"Andri, kenapa kau ke sini?" tanya Dina dengan wajah heran. Pria itu tidak mengindahkan pertanyaan Dina, dia justru menatap Khania dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Khania sudah menikah, harusnya kamu ..." "Berisik." Andri mengerlingkan mata saat Dina mencoba untuk memperingatkannya. "Ini bukan urusanmu." Khania hanya terdiam menanggapi sosok itu. "Tapi, ini menjadi urusanku," ujar Leo yang muncul di belakang Khania. Andri terlihat tidak senang dengan kedatangan Leo, tangannya mengepal kuat seakan ingin menerjang dan meluapkan kekesalannya. Hal itu pun disadari oleh Leo. "Sepertinya ada hal ingin kau sampaikan padaku," ujarnya dengan nada datar. Bukan sekedar pertanyaan, Khania tahu sang suami sedang menantang Andri saat tahu sikap pria itu yang kurang menyenangkan. "Harusnya anda tahu malu, telah merebut kekasih orang lain," ujar Andri dengan tatapan tajam. Khania terkejut dengan penuturan Andri, tak di sangka pria itu berani mengatakannya dengan penuh percaya diri. Ma
"Kau jahat, kenapa setega itu menghianati ibu?" "Maafkan aku bu, aku tidak bermaksud seperti itu." "Kau memang anak tidak berguna!" "Maaf, maafkan aku bu." "Leo." Khania mencoba menggoyangkan tubuh Leo, pria itu mengigau dan terus berkata maaf. Tak lama air mata mengalir di pipinya, membuat Khania semakin kaget. "Hei, bangunlah," ujar Khania. GYUT! Tiba-tiba tangan Leo meraih pinggang Khania dan memeluknya. "Tu-tunggu, Leo ..." "Biarkan seperti ini," pinta Leo. Khania tak bisa berbuat apapun, dia merasa pria itu sedang mencoba menenangkan diri dan tidak mau terlihat menyedihkan. Gadis itu pun menghela napas. "Baiklah, lakukan sesukamu." GYUUT! "Ta- tapi, jangan begini juga!" hardik Khania saat dengan sengaja Leo menenggelamkan wajah di atas dadanya. Pipi gadis itu memerah tak kala mendapati sikap sang suami dan tidak mengacuhkan perkataannya. "Diamlah." Sebenarnya Khania merasa kesal, tapi melihat kondisi Leo saat ini, dia hanya bisa pasrah. Manik hitam Khania melih