Bab43Dengan rasa terpaksa, aku memberikan bayi mungil yang tidak berdosa itu asi. Meskipun asinya tidak begitu banyak keluar.Kutatap wajah mungil yang tampan itu, dia nampak begitu bersemangat, melahap makanannya. Ada perasaan yang bergetar di dalam dada, juga perasaan nyeri menatap wajah mungil yang masih menutup matanya, namun bibirnya begitu kuat bergerak menyesap asi."Betapa mungilnya dan imutnya kamu, Nak. Entah kenapa, perasaan ini mendadak berat melepaskanmu," batinku. Mataku mulai berkaca- kaca."Baskara Tantaka ..., kuberi dia nama itu," gumam Angkasa, sambil mengusap kepala si kecil yang tertutup kain bedongan.Aku diam, tidak menanggapinya, tapi aku mendengar dengan jelas ungkapannya."Bayi tampan ini begitu mungil, dia juga begitu bersemangat mengisap asi, rasanya luar biasa, bisa menyaksikan dia lahir kedunia ini," ungkap lelaki itu, dengan senyuman kebahagiaan, yang tercetak jelas di wajahnya.Aku memandangnya sesaat, kemudian kembali kututup mataku ini, membayangkan
Bab44Bi Aya dan Nara menoleh ke depan pintu kamar, nampak Angkasa berdiri tegak, dengan tatapan dingin.Merasakan hawa yang kurang nyaman, juga tidak ingin terlibat, bi Aya pun undur diri dari hadapan mereka."Saya permisi ke belakang," lirih bi Aya sambil menunduk, dan membawa langkahnya."Ya." Angkasa menyahutnya, tapi tatapan lelaki itu masih terfokus pada Nara, yang memangku si bayi mungil mereka."Kenapa kau menganggapku seperti itu? Apakah aku terlihat seperti sedang mengasihani kamu, apakah aku nampak seperti sedang bermain- main?" tanya Angkasa pada Nara.Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar, kemudian menutu pintu.Nara masih menunduk, tanpa memberikan tanggapan apapun."Seharusnya kamu tidak berucap seperti itu, seakan- akan aku suami yang buruk. Kita memang gagal saling memahami, setidaknya kamu jangan menilaiku seperti itu," lanjut Angkasa, dan lelaki itu duduk di bibir ranjang, berhadapan dengan Nara."Kalau tidak kasihan, tidak karena tanggung jawab, lalu apa?" tanya
Bab45"Kamu nguping?" tanya nyonya Rengganis pada Nara.Nara menggeleng."Maaf," ucap Nara, kemudian dia berjongkok untuk membersihkan pecahan kaca, piring yang berisi makanan yang semula ingin dia bawa ke kamarnya."Biar saya bantu," ucap bi Aya, yang cukup terkejut ketika melihat Nara menjatuhkan piring nasi bawaannya.Angkasa hanya terdiam, melihat Nara yang nampak kecewa menatapnya tadi."Beginilah kalau kamu menikahi wanita yang besar tanpa didikan orang tua yang lengkap, ceroboh dan tidak ada yang bisa di banggakan dari dia, yang ada hanyalah menyisakan rasa malu," cibir nyonya Rengganis."Bu," tegur Angkasa, dengan raut wajah tidak suka. Nara meneteskan air mata, mendengar sindiran nyonya Rengganis.Tapi dia hanya bisa terdiam, sambil memunguti pecahan kaca.Bi Aya memusut belakang Nara, mencoba menenangkan wanita itu, wanita yang kini tubuhnya bergetar menahan marahnya, bahkan suara isak tangisnya pun dia redam kuat- kuat."Jadi bagaimana Angkasa, Ibu masih ingat omongan kamu
Bab46Wanita itu menatap Angkasa dengan mata berkaca- kaca, kemudian dia masuk dan berlari ke arah Angkasa duduk.Seketika itu juga, wanita itu menghambur memeluk Angkasa. Angkasa cukup terkejut dan refleks mendorong wanita itu, hingga dia terjungkal dan terduduk di lantai."Angkasa," lirih wanita itu, menatap Angkasa dengan tidak percaya."Kenapa jadi sekasar ini," lanjutnya dengan suara serak."Maaf," jawab Angkasa."Tolong jaga sikap, jangan menyentuhku seperti tadi, aku adalah suami dari wanita lain."Monalisa, mantan kekasih Angkasa itu cukup terkejut, mendengar ucapan Angkasa."Aku tidak perduli, aku tahu kamu hanya mencintai aku, bukan wanita itu kan?""Cinta? Bulshit! Jangan bicara tentang cinta, untuk apa? Kamu dan aku sudah berakhir, kita hanya serangkaian masa lalu, pasangan yang telah gagal dalam kesetian, juga dalam membangun hubungan," ucap Angkasa dengan tegas."Apapun perasaan yang sedang aku bangun bersama dengan istriku saat ini, selagi kami tetap bersama, itu bukan
Bab47"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Nara?" tanya Angkasa, pada wanita yang coba dia cintai.Nara masih terdiam tanpa suara, dia hanya menunduk, tanpa berani menatap Angkasa."Kupikir kamu sudah mau membangun rumah tangga bersamaku, nyatanya ...." Usai berkata, Angkasa bangkit dari duduknya dan meninggalkan Nara yang tidak bereaksi apapun.Melihat Nara hanya terdiam, membuat Angkasa merasa pupus harapan."Rupanya dia masih menyimpan rasa pada lelaki itu," gumam Angkasa, sambil duduk di taman mini, yang ada di depan kamarnya. Disaat Angkasa merenung, tiba- tiba pesan singkat dari orang tidak ada dikontak masuk ke ponselnya.Angkasa mengernyit, ketika membuka pesan itu."Ini istrimu?" Begitulah tulisan chat singkatnya, disertai beberapa gambar, yang memperlihatkan tangan Nara digenggam erat oleh Abimanyu.Mereka nampak terlihat manis di foto itu, bahkan pemandangan dari foto itu, nampak memperlihatkan mereka sedang berada di dalam sebuah kamar Hotel.Angkasa menggenggam erat pons
Bab48Angkasa menatap datar wanita yang kini berada di dalam kolam renang itu.Meskipun hari sudah malam, Angkasa tidak segan- segan melakukan hal gila pada Nara. Rasa sakit hati menutup mata lelaki itu dengan sempurna, sehingga tidak tersisa sedikitpun rasa kasihannya pada Nara, wanita yang dia anggap sebagai pengkhianat.Nara menangis di dalam kolam, dan Angkasa hanya terdiam memandanginya."Kenapa kamu begitu kejam padaku," lirih Nara."Kau pikir perbuatanmu tidak kejam?" bentak Angkasa. Lelaki itu melepaskan semua pakaiannya, dan hanya menyisakan celana pendek di tubuhnya, kemudian ikut masuk ke dalam kolam.Nara memundurkan diri, memberi jarak antara dia dan Angkasa.Namun Angkasa dengan cepat menarik tangannya, kemudian menautkan bibir mereka. Begitu kejamnya ciuman lelaki itu, hingga membuat bibir Nara bengkak, bahkan mengeluarkan darah."Ya Allah, sakit," lirih Nara, ketika ciuman itu Angkasa lepas."Itu hukuman, untuk orang yang seenaknya berbicara. Kau seharusnya sadar, aku
Bab49"Misi berhasil," bisik nyonya Rengganis pada Monalisa, ketika mereka menuruni anak tangga."Hihihi, akhirnya semua yang kita usahakan berhasil. Semoga setelah ini, Angkasa mau bersama aku lagi, Tan." Monalisa begitu bahagia. Karena rencana mereka berjalan dengan lancar dan sesuai harapan.Bi Aya mendengar sekilas ucapan mereka, namun dia berpura- pura sibuk dengan pekerjaannya, ketika nyonya Rengganis menatap ke arahnya."Kamu!! Dimana Nara?" tanya nyonya Rengganis pada bi Aya, wanita bertubuh tambun itu sengaja bertanya, seakan tidak tahu apa- apa, padahal dia lah dalang dibalik semua yang terjadi."Saya juga kurang tau, Ibu bos," jawab bi Aya dengan wajah tertunduk, tanpa berani bersitatap dengan mata nyalang wanita kaya itu."Tidak tahu bagaimana? Aneh sekali, kamu pembantu rumah ini, tapi tidak tahu kemana perginya wanita sialan itu?" "Saya baru datang hari ini, sebelumnya sudah tidak bekerja di rumah ini lagi, Bu.""Ah, nggak masuk akal," ujar nyonya Rengganis, berlalu per
Bab50"Oma tidak pernah setuju, dengan hubungan Mona dan Angkasa, Bu," jelas Mona dengan wajah yang nampak dibuat sedih.Nyonya Rengganis mengernyit."Apa alasannya?" tanya nyonya Rengganis.Monalisa menggeleng lemah."Tidak tau, Bu." Mona menunduk."Kamu tenang saja, nanti Ibu yang akan urus hal itu. Yang penting, sekarang wanita miskin itu pergi." Nyonya Rengganis tersenyum penuh kemenangan."Mona gantungkan harapan besar pada Ibu," ujar Mona. Keduanya pun tersenyum sambil menikmati hidangan yang sudah tersaji.*********"Angkasa, dimana Nara?" tanya nenek Asia, ketika memasuki rumah utama kediaman keluarga Tantaka.Angkasa, tuan Tantaka, dan nyonya Rengganis terdiam."Angkasa, ada apa? Apakah terjadi sesuatu?" tanya nenek Asia dengan curiga, sambil memindai sekeliling rumah.Perasaan wanita tua itu sudah tidak nyaman, bertahun- tahun dia merindukan Nara, tapi nomor ponsel wanita itu tidak pernah bisa dia hubungi. Demi kesembuhannya, dia harus menahan diri dan fokus pada kesehatanny
Bab60Tiba- tiba hati nyonya Rengganis merasa sakit, melihat nasib malang yang menimpa Nara."Kamu lupa tentang asalmu! Kamu juga bukan siapa- siapa, Bu. Harta dan kuasa yang saat ini kita miliki hanyalah titipan. Lihat keadaan kita sekarang, aku sakit- sakitan, kedua anak kita pergi meninggalkan rumah ini. Percuma kita punya rumah mewah, tapi di dalamnya tidak ada cinta. Entah nanti ketika aku mati, apakah kamu mampu hidup sendiri, atau aku mati tanpa ada siapapun disisiku," lirih tuan Tantaka saat itu.Membuat perasaan dihati nyonya Rengganis mulai terketuk."Wanita itu tidak salah apa- apa, tapi dia harus menderita parah dalam hidupnya. Dibuang keluarga, karena Ibu tiri dan adiknya yang gila harta. Aku yakin, dia pun tidak mau hidup begitu, Bu. Tidak sepantasnya kamu menambah luka dihidupnya. Jangan menyumbang derita di hidup orang lain," lanjut tuan Tantaka."Angkasa ...." tuan Tantaka berteriak, mendekati Angkasa yang ternyata sudah menarik rambut Nara seenaknya.Teriakkan tuan T
Bab59"Mona ...."Wanita cantik itu tersenyum dan mendekati Bram."Sudah kuduga ini kamu. Kenapa, kamu kehilangan Nara?""Kenapa kamu bisa tau?""Kamu belum tahu apa- apa, Bram. Angkasa yang membawa Nara pergi, entah pergi kemana aku juga belum tau.""Maksud kamu apa? Dan kenapa Angkasa membawa Nara pergi, jelaskan yang benar, aku nggak lagi baik- baik saja, Mon. Tolong jangan bergurau.""Siapa yang bergurau, faktanya Nara memang pergi bersama Angkasa, suami sah Nara.""Suami sah? Kamu gila, aku sudah tegasin sama kamu ya, Mon. Aku nggak lagi baik- baik saja. Kita memang kenal, tapi kita tidak dekat, jadi jangan seperti ini, aku nggak suka ya."Bramantio nampak marah dan tidak suka, mendengar informasi yang dibawakan Monalisa dengan tujuan tertentu."Angkasa itu memang suaminya, dan lelaki kecil yang saat itu bersama Angkasa, itu adalah anak mereka. Kamu tidak tahu apa- apa, kamu ditipu wanita itu, entah dengan tujuan apa, mungkin saja karena uang. Yang jelas, semua yang aku katakan f
Bab58Jam 9 malam, nyonya Rengganis pulang ke rumahnya, bersama dengan Monalisa.Seharian ini, setelah pergi dari kantor Angkasa, kedua wanita ini memilih untuk pergi shopping dan bersantai di restoran mewah.Plakkk ....1 tamparan keras mendarat di wajah nyonya Rengganis, ketika wanita itu pulang bersama dengan Monalisa."Ibu, ada apa ini? Kenapa Ibu pukul saya?" tanya nyonya Rengganis pada nenek Asia.Pak Tantaka hanya diam disofa single, sambil menatap ponselnya yang terus- menerus melakukan panggilan pada nomor Angkasa."Apa yang sudah kamu dan wanita licik ini lakukan pada cucuku? Sampai- sampai dia memilih pergi dari kota ini?" bentak nenek Asia, membuat nyonya Rengganis terkejut."Maksud Ibu siapa? Angkasa? Bukankah tadi dia ada di kantor."Nyonya Rengganis benar- benar merasa kesal atas semua perbuatan nenek Asia padanya, yang dengan teganya menampar wajahnya begitu saja.Panas, panas pukulan tangan nenek Asia, masih begitu terasa dipipi kirinya."Dasar menantu bodoh! Mau saja
Bab57"Angkasa, buka! Kamu mau Ibu mati di depan ruangan kamu?" tanya suara di depan yang mulai pelan.Angkasa menarik rambutnya dengan kesal, kemudian lelaki yang kini tubuhnya nampak kurus itu pun terlihat bimbang untuk membukakan pintu.Karena dia yakin, jika Ibunya bertemu dengan Nara, maka akan semakin ribet keadaannya.Nara melirik sejenak ke arah Angkasa, memindai wajah yang masih tampan itu. Sayangnya, tubuhnya nampak semakin kurus, tidak terawat lagi.Bahkan hal baru yang Nara mulai ketahui, kini Angkasa mulai mengisap rokok. Terlihat dari asbaknya yang ada di atas meja, dan roko serta korek api yang juga ada di sana.Padahal yang Nara tahu, dulu lelaki di depannya ini, tidak menyukai rokok sama sekali. Setelah sekian tahun terpisah, banyak perubahan Angkasa, yang mengarah ke negatif di mata Nara."Angkasa," lirih suara di depan, yang disusul suara panik lainnya."Angkasa, ibu sesak napas," pekik suara dari luar, yang mereka kenali suara Monalisa."Shiiit." Angkasa sangat kes
Bab56"Angkasa ...." Akhirnya Monalisa berteriak. Sayangnya, Angkasa tidak menghiraukannya sama sekali. Ketika memasuki ruangan, Angkasa melepaskan pergelangan tangan Nara. Nara terdiam sejenak, sembari menarik napas dalam- dalam, mencoba menghilangkan perasaan takut dan gugupnya.Telapak tangan Nara basah, ada perasaan was- was menggerogoti hatinya."Ada apa kemari? Pasti sangat begitu penting, sampai kamu datang kesini, setelah berhari- hari menghilang," ujar Angkasa membuka obrolan.Nara duduk disofa, mencoba menjawab dengan tenang, demi Baskara, anak yang telah mengobati rindu dihatinya, setelah sekian tahun menanggung perasaan sakit hati, karena merindukan anak semata wayang."Demi Baskara," lirih Nara."Aku memberanikan diri datang kemari. Demi dia, demi anakku," lanjut Nara, membuat Angkasa yang tadinya berdiri membelakangi Nara, sambil menatap ke arah dinding kaca, kini berbalik badan, melemparkan pandangan pada Nara yang duduk dengan tatapan datar.Sangat jauh dengan Nara ya
Bab55Nara berdiri, dan perlahan mundur."Ngapain kamu? Jangan mendekat," bentak Nara, dengan tatapan penuh ketidaksukaan."Nara, aku rindu, rindu sama kamu," lirih lelaki itu, yang tidak lagi lanjut melangkah."Rindu apa? Bulshit. Kamu jahat, kamu perusak kebahagiaanku," ucap Nara dengan suara bergetar."Karena kamu aku menderita, aku terbuang dari keluarga dan aku harus melewati berbagai macam kedukaan," lanjut Nara.Tatapan penuh kekecewaan bercampur luka, terpancar jelas diwajah cantik Nara.Nara yang dulu sederhana, kini menjadi Nara yang cantik, modis dan putih bersih terawat.Membuat kekaguman dimata lelaki yang kini berhadapan dengannya."Aku cinta sama kamu, Nara. Aku nggak bahagia, menyaksikan kamu berumah tangga dengan Angkasa. Kembalilah denganku, Nara. Aku janji, aku akan bahagiakan kamu," ucap lelaki itu."Jangan bicara tentang cinta, pengkhianat, penipu. Demi Allah, Abimanyu, aku benci kamu, aku jijik dan seumur hidup aku akan membenci kamu," tegas Nara."Seharusnya ki
Bab54Merasa mendapat tuduhan yang tidak mengenakkan, nenek Asia pun membantahnya."Nenek tidak mungkin melakukan hal itu, Angkasa," jawab nenek Asia dengan suara bergetar."Tapi fakta yang berkata seperti itu. Diam- diam, nenek berhubungan dengan Nara. Padahal Nenek tahu, aku nyaris gila karena dia tinggalkan. Dan Baskara ikut menanggung lukanya. Padahal, dia tidak tahu apa~apa, yang dia tahu Nara pergi dari kehidupannya." Angkasa berkata dengan suara serak, membuat tangis Baskara menjadi pecah."Nenek, Baskara mohon," lirih anak lelaki itu. Membuat dilema nenek Asia."Baiklah, Nenek minta maaf pada kalian, jika Nenek memilih diam dan menyembunyikan keberadaan Nara. Semua Nenek lakukan, atas permintaan Nara, yang tidak ingin terhubung lagi dengan kamu, Angkasa.""Dan Nenek mau menurutinya, membiarkan cucu Nenek sendiri menderita? Dan cicit Nenek menjadi anak broken home, anak malang yang terlahir dari keluarga yang berantakkan?"Nenek Asia meneteskan air mata, merasa tertekan dengan
Bab53Dengan semangat yang tersisa hanya setengah, Nara pun membukakan pintu ruang kerjanya."Ada apa, Wi?" tanya Nara, kepada pegawainya yang bernama Dwi."Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda, Bu. Apakah Ibu mau menemuinya? Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Jika Ibu menolak, dia akan meminta orang merusak restoran kita."Nara mengeryit."Siapa? Kamu sudah tanyakan namanya?""Pak Angkasa Tantaka, Bu."Mendadak tubuh Nara menjadi gemetar hebat, mendengar nama lelaki itu. Lelaki yang dia rindukan, dia benci dan sekaligus lelaki yang selalu dia hindari selama bertahun- tahun, hingga segumpal kekuatan menariknya kembali dengan berani.Sebelum Nara menjawab, tiba- tiba suara lembut terdengar."Mamah ...." suara kecil anak lelaki itu membuat Nara dan Dwi menoleh ke empu suara.Seorang anak lelaki tampan itu tersenyum, dengan mata yang berkaca- kaca, menatap ke arah Nara.Bola mata kecoklatan itu memancarkan percikkan kerinduan yang mendalam."Mamah, Baskara sudah besa
Bab52Nara terdiam membeku, ketika melihat Bramantio dengan semangatnya berjalan menuju Angkasa.Meskipun dia tahu mengenai status keluarga antara Bram dan Angkasa, tetapi dia tidak mengharapkan adanya pertemuan semacam ini."Lama tidak berjumpa, bagaimana kabar kamu?" tanya Bramantio apa adanya. Angkasa tersenyum sinis, seakan mengejek pertanyaan Bram."Kabarku baik, kamu datang ke Indonesia tanpa memberi kabar kepadaku, kupikir kamu sudah lupa, bahwa kamu mempunyai sepupu.""Kata Nenek kamu selalu sibuk dan nyaris tidak pernah ada di rumahmu. Padahal dari awal aku datang ke Indonesia, aku ingin sekali bertemu kamu, terutama jagoan kecil, Baskara."Angkasa mengernyit, dengan tatapan pertanyaan."Aku tahu dari Nenek, katanya kamu sudah menikah dan memiliki seorang anak laki- laki yang tampan. Kapan- kapan, aku ingin bertamu ke rumah kamu, makan malam gitu." Angkasa terkekeh."Tak usah, aku tidak ingin membuat kamu bahagia."Bramantio mengernyit, mendengar jawaban sarkas Angkasa."Aku