Ponselku berdering saat kami tiba di permulaan kota Bandung. Penelponnya adalah Via. Dia adalah tujuan awal yang Bee ciptakan di awal petunjuk. Tetapi semakin waktu berlari, semua plotnya berubah meski alurnya tetaplah menuju Bandung dan bertemu Via.
Dia akan menjadi jembatan antara semua kehadiran problematika dari sejak meninggalkan tanah Sulawesi hingga detik itu. Detik dimana kami bertiga mengendari mobil kepolisian. Kami duduk tanpa ketenangan di belakang, bertiga. Disopiri oleh teman polisi Bee.
“Halo? Yah, Via lagi. Kirain siapa.”
Via tertawa di ujung suaranya.
“Udah jalan malam ini, Nat? Aku udah lihat berita lo. Duh, bisa-bisanya ada tuduhan aneh begitu. Cerita aslinya gimana, sih?”
“Panjang, Vi ... belum bisa aku ceritain sekarang. Ngomong-ngomong lo lagi di mana? Enggak ketemu kita secepat mungkin? Kita udah mau sampai pusat Bandung.
“Iya, mau banget. Tapi kerjaan masih banyak. Nanti kalau sudah
“Anda sudah mengerti, kan? ucap seorang dokter pada seorang gadis. Cantik, bermata sayu, dan berkerudung seperti Warda. Motifnya zebra.“Apa dia Sheren?” tanyaku pada seseorang yang harus kami temukan sebelumnya, Cunnul.“Iya,” Nat.“Apa kalian sempat tidur di perjalan saat masih mogok?”“Harusnya aku yang nanya, Nat. Lo tiba-tiba pamit ke Bogor dan ngirim masalah besar begini.”“Panjang ceritanya, Nul. Intinya kalian bisa sampai ke Bandung dan kita semua ketemu lagi dengan selamat, adalah hal yang sudah sangat bagus.”“Tapi, kenapa harus di sini. Kenapa kita semua harus bertemu di titik kehidupan bernama rumah sakit?”“Karena semua adalah bagian dari plot masalahnya, Nul. Dan untungnya setelah aku ceritain tentang Sheren dan kasus aku melalui ponsel, lo langsung paham dan menggerakkan semuanya kemari.”“Andai waktu itu lo gak dapat masalah ini lewat media sosial, apa kita tetap akan ketemu di sini?”“Gak, Nul. Kayaknya enggak. Mungkin kita sudah berada di depan rumah Via sekarang. Me
Sebelum melanjutkan, aku ingin makan jeruk sebentar. Kita menuju ruang kisah saat Bee akhirnya menyampaikan teka-teki kebohongan padaku. Aku menerima kiriman pesan dari seseorang yang pernah pamit sementara dari persahabatan ini, Umi.Umi kembali. Bee tak mau mendengarkanku saat membaca pesan Umi di ponselku. Bee memilih untuk menarik tangan Sheren dan sikapnya memberikan perkataan tersirat, “Kita berangkat!”Kami mengikuti. Perjalanan ketiga ini akhirnya menghadirkan dua mobil. Sebut saja dua nama, rombongan Bee dan rombongan Bang Jo. Kembali ke formasi semula, bedanya aku kali ini tidak bersama mobil Om Dedi lagi. Terlanjur bersama Bee dari Bogor, aku merasa perlu bersama Sheren lebih dekat. Kami pun menuju sebuah kode baru yang Bee infokan di gendang telingaku sebagai, “Petunjuk Terakhir”.Petunjuk terakhir dari Room Nakama setelah pesan horor dan karya fiksinya yang waktu itu berjudul “Vampir Cantik dan Manusia Abstrak.” S
“Aku berkelahi dengan diriku sendiri. Dalam keadaan tidak tidur, aku memikirkan bagaimana cara menyelesaikan pertarungan dengan diriku sendiri ... terlebih lagi, dari kaca jendela mobil aku memandangi ikan-ikan itu lagi.”“Kau berfilosofi?”“Boleh, kan?”“Lanjutkan jika itu baik.”“Ikan, seperti ujaranku sebelumnya di awal, sebetulnya bukanlah bermakna berbeda. Otak manusia tak bisa menerima hal negatif. Jadi itu hanyalah makna, bukan arti sebenarnya.”“Lalu, ikan apa yang membuatmu berimajinasi ada kehidupan di dalam perut manusia?”“Tak hanya perut, tapi juga di langit.”“Ya, aku tahu. Tapi kami tak mengetahui makna kata ikan yang kaumaksud, Natalie.”“Kehidupan.”“Kehidupan semacam apa?”“Maksud Anda seperti apa?”“Aku memakai kata semacam, sebagai makna kalau kehidupan itu memiliki ragam. Benar begitu?”“Benar juga. Maafkan saya.”“Jadi, apa?”“Hanya kehidupan.”“Di langit ada kehidupan?”“Bahkan lebih banyak dari kehidupan di bumi.”“Tapi, apa hubungannya dengan kasus ini dan per
“Pertanyaan nomor ... ah, kami sampai lupa gara-gara curhatan aneh darimu di ruang umum seperti ini, Natalie. Tapi, baiklah jika kau ingin memanggilku sebagai Ben. Kau boleh tak memandangku sebagai seorang hakim pengadilan di depan matamu sekarang ini.”“Tidak perlu, itu akan jadi tak menarik.”“Hmm. Kau pandai melindungi mental rupanya.”“Jika kita terlalu sering melihat ke kiri dan ke kanan, maka kita akan muda tersandung. Kita hanya perlu fokus dan melakukan sebuah seni bersikap acuh tak acuh terhadap pedasnya lisan dunia.”“Benar, aku setuju. Lalu?”“Seperti itulah sumber lahirnya permasalahan ini. Aku begitu mulus secara mentah di ruang Persidangan ini dikarena memandang dirimu sebagai sahabat lamaku ... yang telah lama tak dijumpai lagi.”“Kau gadis yang baik, Natalie. Kau sulit membenci siapapun.”“Tidak juga, kebencianku aktif saat memben
“Perlahan-lahan jika memang perlu diakui, kau boleh berterus terang, Sheren. Kau masih mengerti bagaimana mencontoh Natalie, kan, tentang cara membuka diri?”“Aku tidak mengerti apapun. Kosong. Bagaimana caranya? Mengapa hanya aku yang harus melakukannya? Mencontoh psikologis orang lain kata kalian, apa begitu cara menjadi diri sendiri?”“Tenanglah. Kau kontras dengan sikap dinginmu sebelumnya. Apa perlu kami panggilkan seorang terakhir yang kau temui sebelum kemarin?”“Bagaimana bisa?”“Mudah.”Siapa yang tersebut?”“Dr.John”“Kalian menghubunginya?”Seseorang muncul, dia ternyata sudah berada di kursi belakang kami. Kapan waktunya aku kurang tahu saat itu. Dia tanpa suara dan aura memberikan warna berbeda bersama jaket coklat tebal dan topi lingkaran yang melebar. Seperti topi pesulap. Duduk kemudian dirinya di kursi depan, berjalan meli
“Seharusnya, pertanyaan seperti apa yang wajar bagi seorang pasien saat pertama kali bertemu dokter, Dr. John?”“Tentu saja hipnotis.”“Itu mengada-ada.”“Maksudku, refleksi diri. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang memicu ketenangan dirinya sendiri.”“Lalu kenapa kau tenang-tenang saja ketika Sheren berkata akan bunuh diri di hadapanmu, Dr. John?”“Pelepasan diri. Dia hanya membunuh hal-hal negatif di dalam dirinya. Lisannya berkata membenci hidupnya sendiri, tetapi hatinya menginginkan kasih sayang dan penghargaan. Dia hanya meluapkan emosi negatifnya saat berkata demikian. Tujuannya semata-mata agar dirinya yang biasa, kembali seperti sedia kala. Persis dirinya saat sebelum almarhuma ibunya sering meninggalkannya.”“Menurutmu Dr. John, apa yang bisa membuat seorang merasa hidupnya tidak berguna atau merasa tak ingin lagi hidup? Meski bukan psikiater, Anda juga
“Waktu yang berkualitas.”“Dari kelima bahasa cinta yang kau sebutkan, Sheren memiliki bahasa cinta berjenis pemberian waktu?”“Ya.”“Artinya itu sulit.”“Maksudnya?”“Pantas Sheren tak berubah secara sikap dan muingkin tak akan sembuh secara mental. Ibunya saja saat sebelum ia meninggal, sempat jarang memberikan waktu dan ada di sampingnya. Ditambah mendadak saat kepulangan, beliau meninggal tiba-tiba. Tak ada yang bisa menggantikan si ibu dalam memberikan bahasa cinta.”“Karena?”“Sebab anggota keluarganya yang lain ... meskipun berada di rumah lebih sering, tak juga berkesadaran memberi waktu untuk memperhitungkan Sheren.”“Benar, kau tepat sekali, Tuan hakim.”“Lalu, apa bahasa cinta Sheren selanjutnya? Kau mengatakan kalau seseorang setidaknya memiliki dua bahasa cinta, kan?”“Ya.”“Apa itu?”“Jika anggota keluarga lain tetap ada di rumah namun tak membuat Sheren sirna kesepiannya, artinya dia kemungkinan memiliki bahasa cinta pelayanan juga.”“Melayani secara apa?”“Secara waktu
“Ya, apa lagi? Hanya itu?”“Jadi itu benar. Apa kau sempat mendapatkan ancaman sebelum kau memutuskan menemui Dr. John? Pengaduan pada polisi adalah semata-mata adalah melindungi diri, apa benar ucapanku? Kau memiliki ketakutan besar secara mendadak setelah kematian ibumu di hadapanmu sendiri. Lantas kau mencari tempat berlindung, ataukah mungkin ... terancam dan terpaksa?”“Sudah?”“Sheren ...”“Sudah cukup!”“Kami semua di sini bersamamu. Tuan Bee dan teman-temannya mengejarmu ke Bandung dan membawamu kemari secara mendadak, adalah karena ingin melindungimu.”“Jadi, kalian semua sudah tahu?”“Ya, termasuk dua sepupumu di belakang sana dan juga suami Ibu Fatma. Kami melindungi mereka juga. Kami bekerjasama meminta mereka meninggalkan rumah itu dan datang kemari tanpa sepengetahuan Ibu Fatma.”“Ini alasan persidangannya seolah-
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"