"Mayitnya dibawa ke sini sekarang, ya. Biar langsung dimandikan!" perintah seorang lelaki paruh baya yang bertugas memandikan orang yang sudah meninggal. Dalam proses memandikan dan mengafani dilakukan oleh dua orang yaitu Pak Kardi dan Pak Paijo yang sudah terbiasa dalam menangani pengurusan mayit."Baik, Pak," jawab Ratmi, putri Lik Paino yang langsung melangkah ke luar gerbang untuk memberitahukan keluarga yang lainnya.Aku tidak banyak bicara. Sedari tadi hanya memikirkan tentang tempat tinggalku saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tenang dalam bayang-bayang kematian seseorang yang mayitnya diurus di rumah ini. Seperti saat ini, aku merasa gelisah ketika melihat beberapa orang yang sedang masuk ke dalam gerbang sambil membopong tubuh Lik Paino yang sudah terbujur kaku. Dari kaca jendela ruang tamu aku dapat melihatnya dengan jelas."Hati-hati!" pinta Ibu sambil menunjuk arah tempat pemandian. "Langsung diturunin tirainya!" Masih terdengar suara Ibu yang memberi instruksi.
"Ayo! Buat keluarga udah boleh lihat untuk yang terakhir kalinya, ya. Sebelum ditutup mukanya," ucap salah satu bapak yang mengurus jenazah. Tampak beberapa orang yang sudah berkerumun di luar memanggil nama-nama yang kuperkirakan adalah keluarganya. Tatapanku kini tertuju pada sosok yang sebagian besar telah terbungkus kain putih, kecuali wajah yang masih dibuka. Kehidupannya telah berakhir di dunia. Mau tidak mau, suka tidak suka, kematian pasti akan terjadi pada setiap makhluk bernyawa.Inilah hidup, tidak akan abadi. Semuanya akan berakhir dengan tubuh yang tiada daya. Terbujur kaku dengan mata terpejam, karena nyawa sudah diambil pemilik-Nya. "Ya Rabb, ampunkan segala khilafnya dan berikan tempat yang terbaik di sisi-Mu." pintaku dalam hati, memohon kebaikan untuk Lik Paino.Kembali kulihat jenazah itu. Tubuh kaku yang awalnya tak berani kulihat. Mencoba menepis ketakutan, akhirnya memberanikan diri berada di hadapan, bahkan menatap wajahnya. Wajah yang sebentar lagi menghadapi
Aku dikejutkan oleh suara pintu gerbang yang dipukul-pukul seseorang. Dari suara yang terdengar memanggil-manggil, diketahui jika orang di luar tersebut adalah laki-laki. "Budeh! Budeh! Tolong bukain pintu. Saya mau lihat bapak!" Suara berat namun terdengar serak, teriak memanggil ibu mertua. Sepertinya ia habis menangis atau bahkan masih menangis. "Budeh! Cepet, Budeh!" desaknya sambil kembali menggedor pintu pagar. "Duh, itu siapa, ya?" Aku meremas kedua telapak tangan yang mengeluarkan keringat. Seperti inilah jika cemas melanda. Saat ini aku seorang diri di rumah dan di luar sana ada orang asing yang datang."Iya, Mas, ada apa?" Akhirnya aku memutuskan keluar dan dengan langkah cepat menghampiri lelaki itu seiring dengan suara besi yang digedor semakin keras. Untung saja pagar sudah digembok."Mbak, saya mau lihat Bapak!" ucapnya dengan linangan air mata. Siapa orang ini? Usianya kuperkirakan sekitar dua puluh tahunan. Rambutnya panjang terurai berantakan, wajahnya seperti habis
"Mel, Melia, bangun!" Aku merasakan seseorang menepuk-nepuk pipi sambil memanggil. Segera kubuka mata dan langsung beringsut duduk. Kurasakan detak jantung yang berpacu cepat dengan keringat yang membanjiri tubuh. Napasku tersengal dengan dada naik turun."Alhamdulillah. Kamu sadar, Mel!" Senyum tersungging dari wajah Mas Aryo yang tampak lelah. Ia mengucapkan syukur sambil mengusap punggungku memberi ketenangan. "Ini minum dulu, Mel." Ibu menyodorkan segelas air putih, tapi aku bergeming masih shock dengan mimpi yang terasa nyata. Mas Aryo mengambil alih gelas tersebut dan mencoba membantuku untuk meminumnya."Alhamdulillah, Mel, kamu sadar!" ucap ibu. "Hampir dua jam kamu pingsan!" lanjutnya lagi."Dua jam?" Aku memastikan."Iya, Dik. Tadi sudah dipanggil dokter klinik juga. Katanya ga apa-apa, hanya kelelahan," sahut Mas Aryo. "Tapi, ya, kami khawatir juga, kamu pingsannya agak lama." Ada nada sedih dalam suaranya.Aku bergeming. Memikirkan hal yang baru kualami. Bukankah tadi aku
Aku memiringkan tubuh ke kiri dan kanan, sambil melihat pantulanku di cermin. Memastikan pakaian yang kukenakan sudah pas dan rapi. Aku sengaja memilih bahan kaos untuk saat ini agar lebih mudah menyerap keringat. Hari libur seperti ini tentunya pasar akan semakin ramai karena terdapat penjual dadakan yang menjajakan beraneka ragam barang dagangannya. Banyaknya orang yang berdesakan membuat udara menjadi lebih panas."Oke." Aku mengambil tas tangan di meja rias. Gerakan tanganku mengambang di udara ketika dari pantulan cermin, aku seperti melihat orang yang melintas. Dengan cepat aku berbalik ke belakang untuk memastikan, kemudian melangkah ke pintu dan melihat ke luar. Tidak ada siapa-siapa."Masih pagi, udah ada yang iseng aja." Aku berbicara sendiri. Menatap ke setiap sudut kamar dengan tatapan menyalang. Seolah marah, tapi entah kepada siapa.Angin berhembus melintasi ventilasi yang terbuka. Bukan rasa dingin yang menerpa
Aku berjalan agak ke depan jalan untuk mencari ojek yang biasa mangkal di pasar. Melihatku yang celingak-celinguk salah seorang pengemudi menghampiri."Ojek, Neng?" tanya lelaki bertopi hitam menawarkan."Iya, Pak. Antar ke Gang F, ya!" pintaku pada lelaki berkisar usia empat puluhan."Siap, Mbak." Aku memberikan beberapa kantung plastik untuk diletakkan di depan motor dan selebihnya aku menjijingnya di belakang. Kutengok benda bulat di pergelangan tangan. Baru pukul sembilan.Setelah posisi siap, lelaki dengan kaus biru itu mulai melajukan motor maticnya menuju arah yang yang kupinta. Letak rumah Bi Asih sebenarnya tidak jauh dari pasar hanya saja beberapa barang yang kubawa agak menyulitkan jika harus berjalan kaki. Setelah berbelok ke arah kiri aku mulai menunjukkan rumah di posisi sebelah kanan dengan cat berwarna hijau tua."Di sini, Mbak?""Iya, Pak." Dengan perlahan kuturunkan kaki sebelah kiri kemudian disusul sebelah ka
Aku menatap beberapa lauk-pauk di kotak bekal berwarna hitam. Untuk sayur kupilih membungkusnya dengan plastik agar tidak mudah tumpah. Balado teri dipadu tempe tahu goreng serta sambal kemudian dilengkapi sayur asam pasti akan membuat suamiku lahap ketika menyantapnya.Kusunggingkan senyum menatap kotak bekal yang telah siap untuk dibawa pemiliknya kemudian melirik benda persegi yang menempel di dinding. Pukul sembilan malam. Aku menghela napas memikirkan keadaan malamku hari ini yang hanya tidur di kamar sendiri. Benar kata orang lain lebih baik tidak mengetahui apapun daripada setelah banyak mendapatkan informasi jadi gelisah sendiri bahkan ketakutan karena membayangkan kebenaran berita yang di dapat. Segala informasi yang diberikan Bi Asih membangkitkan kekhawatiran dalam diri. Padahal mungkin saja informasi itu belum disampaikan seluruhnya. Akan tetapi, ketika hendak berbicara ada saja gangguan yang datang. Seperti suara pecahan kaca yang jatuh, san
"Mel, kata suamiku yang datang dalam mimpi kamu itu adalah jin." Aku membulatkan mata mendengar penuturan Nina. Semalam kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidur karena khawatir mimpi itu datang kembali. Setelah menunaikan salat subuh dan tilawah lima lembar al quran kuambil ponsel dan menekan aplikasi hijau. Nina, nama itu yang kutuju untuk menceritakan perihal yang kualami semalam. Dan sepertinya ia memberitahukan perihal tersebut pada sang suami."Masa, sih, Nin?" Ia mengangguk.Saat ini kami berada di sebuah halaman masjid. Setiap akhir pekan kami akan berkumpul untuk menimba ilmu bersama seorang perempuan yang biasa kami panggil Ummi Neti. Sebuah taman yang berdiri di pojok halaman menjadi pilihan untuk duduk bercengkrama dan mengaji bersama teman-teman lainnya. Sesekali belajar di alam terbuka membuat suasana jadi berbeda. Awalnya, kejadian aneh yang terjadi semalam ingin kuceritakan kepada ummi Neti. Meminta nasihat dan cara me
POV Tini***Aku terdiam sejenak ketika berada di depan kamar Bu Sumi. Udara di kamar terasa panas dengan aura yang membuat hati merasa tak nyaman. Bau amis menguar menyapa indera penciuman. Kesiur angin yang masuk dari jendela terbuka, menyapa kulit, tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Aku membulatkan mata dengan apa yamg terlihat di hadapan. Bukan? Yang kulihat bukan darah yang melekat ditubuh Pak Karso ataupun seprai di sekitarnya. Bukan pula Bu Sumi yang sedang menangis, khawatir dengan kondisi sang suami, melainkan sosok menyeramkan yang berada di samping mertua Melia itu.Ia menatap tajam kepadaku, ada aura permusuhan yang dikibarkan. Ketidaberhasilanku mencegah pembongkaran kamar khusus di lantai dua membuat sosok hitam besar dengan mata merah menyala itu terlihat sangat marah. Bahkan, ia mengusirku dan meminta untuk tidak memcampuri urusan keluarga ini.Aku bergeming, masih terpaku dengan apa yang diucapkan makhluk mengerikan tersebut. "Pergi!" pinta sosok tersebut. Ia me
Masih dalam balutan mukena aku mengambil mushaf dan hendak membacanya. Biasanya setiap salat fardhu aku selalu mewajibkan diri untuk tilawah minimal dua lembar sehingga ketika selesai ibadah terakhir maka aku sudah menyelesaikan satu juz. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini perasaan terasa berat ketika membuka lembaran Al-quran. Entah mengantuk atau ada saja yang tiba-tiba mengalihkan pikiran sehingga terkadang sampai tidak jadi tilawah.Setelah mendapat peringatan dari Mas Aryo, saat ini dalam kondisi apa pun aku berusaha tetap melaksanakan ibadah yang sebelumnya sudah rutin kukerjakan. Kami membuat program mengaji bersama selepas salat maghrib dan isya. Namun, saat ini Mas Aryo sedang menghadiri tahlilan Pak Tarmo. yang ke tujuh hari.Tangan kananku mulai membuka lembaran dalam kitab suci dengan sampul berwarna hitam itu dan mulai melantunkan beberapa ayat dalam surah Al Maidah. Beberapa menit membaca tengkukku terasa sangat dingin kemudian disusul kepala yan
Setelah selesai membawa Bapak ke Puskesmas Mas Aryo membersihkan tubuh lelaki yang telah membesarkannya. Bapak pun sama seperti Ibu, suka dengan kebersihan. Jadi, walaupun sakit ia selalu meminta dimandikan dua kali sehari. Tidak betah katanya jika berkeringat dan hanya dilap saja tubuhnya.Mas Aryo sangat telaten mengurus Bapak. Dengan menggunakan kursi untuk tempat duduk Bapak di kamar mandi, ia mulai memberi sabun dan sampo. Jika hari kerja Mas Aryo akan bangun lebih awal untuk memandikan Bapak sebelum berangkat. Untuk sore hari Ibu meminta bantuan suami Tini ketika datang menjemput untuk membawa ke kamar mandi dan ibu yang akan memandikan."Makan, Pak!" Aku menyodorkan sendok berisi nasi dengan lauk dan sayur yang direbus."Sudah," katanya setelah masuk tiga sendok."Lagi ya, Pak. Baru sedikit." Aku sedikit membujuk Bapak. Dalam kondisi seperti ini asupan makan Bapak harus dijaga agar tubuhnya tidak semakin lemah."Ga enak m
Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men
Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany
POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng
Pov Tini***"Gajinya beneran satu juta setengah, Mel?" Aku melebarkan senyum dengan mata berbinar mendengar beberapa penjelasan mengenai pekerjaan yang diberikan oleh sepupu jauhku. Terlebih ketika mendengar nominal pendapatan yang diberikan."Iya, Tin." Aku memandang Bi Kusri dan Melia secara berhantian. Akhirnya satu masalah dalam hidupku terselesaikan. Di saat baru menjalani pernikahan satu bulan suamiku di-PHK dari tempat kerjanya. Seluruh keluarga Mas Iwan menyalahkanku atas predikat pengangguran yang disandang anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Bahkan semua mengatakan bahwa aku sebagai pembawa sial. Enak saja mereka!Beberapa kali Mas Iwan mencoba melamar pekerjaan, tetapi selalu gagal. Akhirnya, laki-laki yang merupakan anak ke satu itu memutuskan untuk mengojek. Dan lagi-lagi aku menjadi bahan ghibahan satu keluarga yang merasa selalu benar. Memalukan kata mereka menjadi tukang ojek. Namun, aku tak mengacuhkan oc
Aku tak pernah membayangkan akan terjebak pada situasi seperti ini di tengah keluarga yang memiliki sebuah perjanjian ghaib. Aku pun belum mengetahui seperti apa isi dari janji yang sudah terucap oleh leluhur Mas Aryo. Namun, kegiatan dalam pemeliharaan janji yang dilakukan Bapak mertua cukup membuatku gelisah.Ingin rasanya aku pergi dari rumah yang penuh teka-teki ini. Akan tetapi pendapat mama terngiang di kepala. Setiap masalah harus dihadapi bukan ditinggal pergi. Aku akan berusaha untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi dan akan berusaha mengatasinya. Nina dan Ummi Neti menjadi tempat utamaku untuk berbagi dan membantu menyelesaikan permasalahan keluarga baruku."Pergi!" Suara bisikan terdengar menggema di telinga. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Walaupun baru pukul delapan pagi akan tetapi suasana rumah sudah terasa sepi. Mas Arya sudah berangkat ke kantor dan berangkat bersama ibu ke Mushola Al Iman karena melewati satu a
"Alhamdulillah, selesai!" Kulihat beberapa jenis makanan yang kumasak sudah terhidang di meja makan. Pagi ini Ibu tidak turun ke dapur sebab bergantian merawat Bapak yang terjatuh kemarin. Setelah membersihkan semua perkakas dapur, kulangkahkan kaki ke kamar untuk memanggil suamiku.Aku menengok ke arah ranjang. Tubuh yang sudah terlihat lebih segar itu sudah memejamkan mata. Padahal baru lima menit yang lalu ia masuk kamar setelah membersihkan diri. Sepertinya suamiku kelelahan karena mengurus Bapak yang masih butuh bantuan dalam setiap pergerakan. Beruntung lelaki yang telah mendidik Mas Aryo sampai sukses seperti ini tidak mengalami cidera yang berat. Bapak terjatuh dari tangga ketiga paling bawah karena merasa pusing. Jadi, hanya kakinya yang terkilir. Bersyukurlah kejadiannya bukan seperti informasi yang kudapat sebelumnya. Terjatuh dari tangga atas. Karena tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi dengan tubuh rentanya. Aku