Share

Numpang Memandikan Jenazah
Numpang Memandikan Jenazah
Author: Maya Har

Bab 1

Author: Maya Har
last update Last Updated: 2023-09-16 11:54:32

"Bu Sumi, kami numpang memandikan dan mengafani Paino di sini, ya?" Dari dapur, samar kudengar suara seseorang di ruang depan meminta izin kepada ibu. Keningku berkerut memikirkan permintaan perempuan tersebut.

"Kok mandiin sama ngafaninya di sini?" Aku bergidik ketika membayangkan jenazah orang lain yang akan diurus di rumah ini.

"Mas, siapa yang meninggal?" Kuhampiri Mas Aryo yang baru turun dari tangga.

"Lik Paino, tetangga depan yang rumahnya di ujung gang," jelas lelakiku yang saat ini mengenakan celana bahan hitam dan kaos biru muda.

"Mas ga kerja?" Aku berpikir seharusnya Mas Aryo sudah bersiap untuk berangkat kerja. Namun, ia belum mengenakan pakaian seragam kantornya.

"Mas izin ga masuk, Dik. Mau ikut bantu nguburin." Aku mengangguk mengerti, mungkin karena masih satu gang jadi laki-laki yang baru menikahiku dua bulan ini meliburkan diri. Rumah mertuaku berada di dalam gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh satu motor. Posisinya pun paling pojok. Meskipun paling terpencil tetapi tempat tinggal mereka yang paling besar dan memiliki halaman.

"Aryo!" Obrolan kami terhenti seiring suara ibu yang memanggil. Mas Aryo melangkah ke depan menghampiri perempuan yang sudah melahirkannya tiga puluh tahun yang lalu. Kuikuti langkahnya menuju ruang depan.

"Yo, kamu tolong angkatin kursi dan meja ke dapur, ya! Gotongan berdua Haris! Ruangannya mau dipakai mengafani Lik Paino," titah ibu mertua sambil menunjuk beberapa barang yang harus diungsikan. "Nanti kamu pinggirin aja di samping tangga, supaya ga menghalangi jalan." titahnya lagi.

"Iya, Bu," sahut Mas Aryo dan Haris bersamaan Dengan segera kedua kakak beradik itu melakukan permintaan sang ibu. Sedangkan, aku menatap pemandangan di ruang tamu yang telah dipenuhi barang-barang yang akan digunakan untuk mengurus jenazah.

Sebuah tikar yang terbuat dari anyaman bambu diletakkan di bawah jendela, kemudian di sebelahnya telah tersedia kain kafan, minyak wangi, kapas, bedak, dan kapur barus. Melihat semua peralatan itu tubuhku meremang. Terlebih seperti ada angin yang bertiup dan membuat tengkukku terasa dingin. "Mel, kamu lagi apa?" panggil ibu.

Aku terkesiap mendengar suara ibu, kemudian menoleh dan mendapati perempuan yang sudah berusia enam puluh tahun itu sedang membawa kantong plastik di tangan kiri dan kanannya. "Ibu kapan keluar beli sarapan?" Terakhir aku melihat ibu sedang sibuk mengatur, tetapi di tangannya sudah terdapat makanan.

"Ini Resti yang beli tadi," jawab ibu menyebut kakak iparku. "Ayo, Mel ke dapur!" pintanya sambil terus melangkah.

"Sekarang Mbak Resti kemana, Bu?" Aku mengambil beberapa kantong plastik yang dipegang ibu.

"Mbakmu lagi belanja bahan mentah buat makan siang yang nguburin," sahut ibu. Tangannya sibuk membuka bungkusan nasi yang aku letakkan di atas meja. "Mbakmu nanti masak di rumah depan. Kamu di sini aja, ya. Jaga rumah!" pintanya.

"Iya, Bu." Aku mengiyakan sambil menuang air ke dalam gelas.

"Mel, ini sarapan dulu sebelum banyak orang. Ibu menyodorkan satu bungkus nasi uduk kepadaku. Ia juga menyajikan untuk dirinya sendiri. Masih tersisa tiga bungkus untuk Mas Arya, Haris, dan Mbak Resti.

"Bu, Lik Paino punya anak berapa?" Aku menarik kursi dan duduk di hadapan ibu yang sudah mulai mengunyah.

"Ada tiga, yang dua udah nikah, satunya lagi masih bujang," jawabnya setelah menelan suapan pertama.

"Meninggal kenapa, Bu?" Aku mulai menyuapkan nasi ke mulut dengan pandangan ke arah ibu yang tengah menenggak air putih.

"Diabet kata anaknya. Udah komplikasi juga," jawab ibu kemudian kembali memasukan tempe goreng ke mulutnya.

"Oh, iya, Bu. Kenapa mayitnya diurus di sini?" Akhirnya keluar juga pertanyaan yang membuatku penasaran sejak tadi. Karena setahuku rumah tetangga tersebut masih cukup untuk membereskan orang yang telah meninggal tersebut.

"Biar lebih gampang, Mel. Soalnya sekalian dimandikan. Tahu sendiri, kan, gang kita ini sempit banget. Jadi kalau mandinya di sini, terus diberesin di rumahnya. Kasihan yang mengangkutnya, kejauhan." Kepalaku mengangguk pelan. Tetap merasa heran.

Aku membatin, kenapa tidak di luar gang saja dimandikannya? Bukankah rumah yang meninggal itu berada di ujung gang yang otomatis langsung keluar jalanan. Aku rasa jalanan depan yang bisa dilalui dua mobil itu tidak akan menimbulkan kemacetan jika dipakai sedikit untuk tempat memandikan jenazah? Bibirku hampir terbuka ingin bertanya langsung, tetapi kuurungkan.

Ah, sudahlah. Toh ibu mertuaku juga mengizinkan. Mengapa aku yang penghuni baru harus bimbang? Melihat gerakan tanganku yang berhenti menyuap dengan wajah bingung, ibu memberi penjelasan lagi.

"Lagipula ini udah biasa, Mel. Dari dulu kalau ada tetangga sekitar gang sini yang meninggal pasti dikafani dan dimandikan di sini." Kedua mataku membulat mendengar penuturan perempuan paruh baya di depanku. Sudah biasa? Jantungku berpacu lebih cepat. Setiap detaknya membuat pikiranku melayang-melayang, berpikir yang aneh-aneh.

Kutatap kembali wajah perempuan yang telah menerimaku menjadi bagian keluarganya. "Beneran, Bu?" Aku mencoba memastikan.

"Iya," jawabnya mantab. Tak terbayang olehku. Rumah yang aku tinggali kini sering ditumpangi untuk memandikan dan mengafani jika ada tetangga yang meninggal.

Terdengar suara orang memanggil dari depan, membuat ibu menghentikan makannya dan gegas menghampiri ke ruang depan. Aku pun mengikuti langkah ibu.

"Budeh, ini tempat pemandiannya taruh dimana?" Seorang pemuda bertanya di ambang pintu hendak memastikan letak barang yang dibawa bersama ketiga temannya. Perempuan berusia hampir enam puluh tahun itu melangkah ke luar melihat benda yang disebutkan.

"Taruh di situ aja, Man!" tunjuk ibu mertua ke arah halaman yang biasa dipakai untuk memarkirkan motor.

"Ya, Budeh." Dengan segera keempat lelaki berusia sekitar dua puluhan itu menggotong tempat pemandian ke arah yang sudah ditentukan, kemudian keluar lagi setelah menginformasikan akan mengambil tempat penampung air yang dikhususkan untuk memandikan jenazah.

"Haris, ambilin selang yang panjang buat nanti ngisi airnya," perintah ibu mertua sambil terus menyuruh ini dan itu kepada orang-orang di sekitar untuk mempersiapkan proses pemandian.

Semuanya berjalan sesuai petunjuk ibu. Karena sibuk mengarahkan, ibu sampai lupa jika belum menghabiskan makananya. Aku yang melihat dari depan pintu hendak memghampiri untuk mengingatkan. Namun, terlihat seorang pemuda datang bersama dua orang lelaki paruh baya.

"Budeh, ini orang yang mau memandikan mayitnya sudah datang." Dengan sigap ibu mertua meminta dua orang yang memakai baju koko putih untuk masuk ke ruang tamu dan langsung mempersilahkan untuk mempersiapkan proses pengafanan.

Aku beranjak ke dapur, menyiapkan minuman untuk tamu yang datang. "Silahkan diminum, Pak!" Kusodorkan dua cangkir kopi hitam dan sepiring kue di dekat mereka.

"Makasih, Neng," jawab salah seorang dari mereka dan memindahkannya ke meja setelah disesap sedikit. Terlihat mereka tengah merentangkan tali-tali pengikat, kemudian merentangkan kain kafan, membalurinya dengan wewangian, lalu meletakkan lagi kain berwarna putih itu sesuai tempat yang menurut mereka sudah pas, setelah itu melakukan hal yamg sama pada kain ketiga. Sebelumnya, mereka juga sudah menyiapkan kapas, kapur barus dan sisir.

"Mayitnya bisa dibawa kesini sekarang, ya. Biar langsung kami mandikan!"

*****

Related chapters

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 2

    "Mayitnya dibawa ke sini sekarang, ya. Biar langsung dimandikan!" perintah seorang lelaki paruh baya yang bertugas memandikan orang yang sudah meninggal. Dalam proses memandikan dan mengafani dilakukan oleh dua orang yaitu Pak Kardi dan Pak Paijo yang sudah terbiasa dalam menangani pengurusan mayit."Baik, Pak," jawab Ratmi, putri Lik Paino yang langsung melangkah ke luar gerbang untuk memberitahukan keluarga yang lainnya.Aku tidak banyak bicara. Sedari tadi hanya memikirkan tentang tempat tinggalku saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tenang dalam bayang-bayang kematian seseorang yang mayitnya diurus di rumah ini. Seperti saat ini, aku merasa gelisah ketika melihat beberapa orang yang sedang masuk ke dalam gerbang sambil membopong tubuh Lik Paino yang sudah terbujur kaku. Dari kaca jendela ruang tamu aku dapat melihatnya dengan jelas."Hati-hati!" pinta Ibu sambil menunjuk arah tempat pemandian. "Langsung diturunin tirainya!" Masih terdengar suara Ibu yang memberi instruksi.

    Last Updated : 2023-09-16
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 3

    "Ayo! Buat keluarga udah boleh lihat untuk yang terakhir kalinya, ya. Sebelum ditutup mukanya," ucap salah satu bapak yang mengurus jenazah. Tampak beberapa orang yang sudah berkerumun di luar memanggil nama-nama yang kuperkirakan adalah keluarganya. Tatapanku kini tertuju pada sosok yang sebagian besar telah terbungkus kain putih, kecuali wajah yang masih dibuka. Kehidupannya telah berakhir di dunia. Mau tidak mau, suka tidak suka, kematian pasti akan terjadi pada setiap makhluk bernyawa.Inilah hidup, tidak akan abadi. Semuanya akan berakhir dengan tubuh yang tiada daya. Terbujur kaku dengan mata terpejam, karena nyawa sudah diambil pemilik-Nya. "Ya Rabb, ampunkan segala khilafnya dan berikan tempat yang terbaik di sisi-Mu." pintaku dalam hati, memohon kebaikan untuk Lik Paino.Kembali kulihat jenazah itu. Tubuh kaku yang awalnya tak berani kulihat. Mencoba menepis ketakutan, akhirnya memberanikan diri berada di hadapan, bahkan menatap wajahnya. Wajah yang sebentar lagi menghadapi

    Last Updated : 2023-09-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 4

    Aku dikejutkan oleh suara pintu gerbang yang dipukul-pukul seseorang. Dari suara yang terdengar memanggil-manggil, diketahui jika orang di luar tersebut adalah laki-laki. "Budeh! Budeh! Tolong bukain pintu. Saya mau lihat bapak!" Suara berat namun terdengar serak, teriak memanggil ibu mertua. Sepertinya ia habis menangis atau bahkan masih menangis. "Budeh! Cepet, Budeh!" desaknya sambil kembali menggedor pintu pagar. "Duh, itu siapa, ya?" Aku meremas kedua telapak tangan yang mengeluarkan keringat. Seperti inilah jika cemas melanda. Saat ini aku seorang diri di rumah dan di luar sana ada orang asing yang datang."Iya, Mas, ada apa?" Akhirnya aku memutuskan keluar dan dengan langkah cepat menghampiri lelaki itu seiring dengan suara besi yang digedor semakin keras. Untung saja pagar sudah digembok."Mbak, saya mau lihat Bapak!" ucapnya dengan linangan air mata. Siapa orang ini? Usianya kuperkirakan sekitar dua puluh tahunan. Rambutnya panjang terurai berantakan, wajahnya seperti habis

    Last Updated : 2023-09-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 5

    "Mel, Melia, bangun!" Aku merasakan seseorang menepuk-nepuk pipi sambil memanggil. Segera kubuka mata dan langsung beringsut duduk. Kurasakan detak jantung yang berpacu cepat dengan keringat yang membanjiri tubuh. Napasku tersengal dengan dada naik turun."Alhamdulillah. Kamu sadar, Mel!" Senyum tersungging dari wajah Mas Aryo yang tampak lelah. Ia mengucapkan syukur sambil mengusap punggungku memberi ketenangan. "Ini minum dulu, Mel." Ibu menyodorkan segelas air putih, tapi aku bergeming masih shock dengan mimpi yang terasa nyata. Mas Aryo mengambil alih gelas tersebut dan mencoba membantuku untuk meminumnya."Alhamdulillah, Mel, kamu sadar!" ucap ibu. "Hampir dua jam kamu pingsan!" lanjutnya lagi."Dua jam?" Aku memastikan."Iya, Dik. Tadi sudah dipanggil dokter klinik juga. Katanya ga apa-apa, hanya kelelahan," sahut Mas Aryo. "Tapi, ya, kami khawatir juga, kamu pingsannya agak lama." Ada nada sedih dalam suaranya.Aku bergeming. Memikirkan hal yang baru kualami. Bukankah tadi aku

    Last Updated : 2023-09-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 6

    Aku memiringkan tubuh ke kiri dan kanan, sambil melihat pantulanku di cermin. Memastikan pakaian yang kukenakan sudah pas dan rapi. Aku sengaja memilih bahan kaos untuk saat ini agar lebih mudah menyerap keringat. Hari libur seperti ini tentunya pasar akan semakin ramai karena terdapat penjual dadakan yang menjajakan beraneka ragam barang dagangannya. Banyaknya  orang yang berdesakan membuat udara menjadi lebih panas."Oke." Aku mengambil tas tangan di meja rias. Gerakan tanganku mengambang di udara ketika dari pantulan cermin, aku seperti melihat orang yang melintas. Dengan cepat aku berbalik ke belakang untuk memastikan, kemudian melangkah ke pintu dan melihat ke luar. Tidak ada siapa-siapa."Masih pagi, udah ada yang iseng aja." Aku berbicara sendiri. Menatap ke setiap sudut kamar dengan tatapan menyalang. Seolah marah, tapi entah kepada siapa.Angin berhembus melintasi ventilasi yang terbuka. Bukan rasa dingin yang menerpa

    Last Updated : 2023-10-13
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 7

    Aku berjalan agak ke depan jalan untuk mencari ojek yang biasa mangkal di pasar. Melihatku yang celingak-celinguk salah seorang pengemudi menghampiri."Ojek, Neng?" tanya lelaki bertopi hitam menawarkan."Iya, Pak. Antar ke Gang F, ya!" pintaku pada lelaki berkisar usia empat puluhan."Siap, Mbak." Aku memberikan beberapa kantung plastik untuk diletakkan di depan motor dan selebihnya aku menjijingnya di belakang. Kutengok benda bulat di pergelangan tangan. Baru pukul sembilan.Setelah posisi siap, lelaki dengan kaus biru itu mulai melajukan motor maticnya menuju arah yang yang kupinta. Letak rumah Bi Asih sebenarnya tidak jauh dari pasar hanya saja beberapa barang yang kubawa agak menyulitkan jika harus berjalan kaki. Setelah berbelok ke arah kiri aku mulai menunjukkan rumah di posisi sebelah  kanan dengan cat berwarna hijau tua."Di sini, Mbak?""Iya, Pak." Dengan perlahan kuturunkan kaki sebelah kiri kemudian disusul sebelah ka

    Last Updated : 2023-10-14
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 8

    Aku menatap beberapa lauk-pauk di kotak bekal berwarna hitam. Untuk sayur kupilih membungkusnya dengan plastik agar tidak mudah tumpah. Balado teri dipadu tempe tahu goreng serta sambal kemudian dilengkapi sayur asam pasti akan membuat suamiku lahap ketika menyantapnya.Kusunggingkan senyum menatap kotak bekal yang telah siap untuk dibawa pemiliknya kemudian melirik benda persegi yang menempel di dinding. Pukul sembilan malam. Aku menghela napas memikirkan keadaan malamku hari ini yang hanya tidur di kamar sendiri. Benar kata orang lain lebih baik tidak mengetahui apapun daripada setelah banyak mendapatkan informasi jadi gelisah sendiri bahkan ketakutan karena membayangkan kebenaran berita yang di dapat. Segala informasi yang diberikan Bi Asih membangkitkan kekhawatiran dalam diri. Padahal mungkin saja informasi itu belum disampaikan seluruhnya. Akan tetapi, ketika hendak berbicara ada saja gangguan yang datang. Seperti suara pecahan kaca yang jatuh, san

    Last Updated : 2023-10-15
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 9

    "Mel, kata suamiku yang datang dalam mimpi kamu itu adalah jin." Aku membulatkan mata mendengar penuturan Nina. Semalam kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidur karena khawatir mimpi itu datang kembali. Setelah menunaikan salat subuh dan tilawah lima lembar al quran kuambil ponsel dan menekan aplikasi hijau. Nina, nama itu yang kutuju untuk menceritakan perihal yang kualami semalam. Dan sepertinya ia memberitahukan perihal tersebut pada sang suami."Masa, sih, Nin?" Ia mengangguk.Saat ini kami berada di sebuah halaman masjid. Setiap akhir pekan kami akan berkumpul untuk menimba ilmu bersama seorang perempuan yang biasa kami panggil Ummi Neti. Sebuah taman yang berdiri di pojok halaman menjadi pilihan untuk duduk bercengkrama dan mengaji bersama teman-teman lainnya. Sesekali belajar di alam terbuka membuat suasana jadi berbeda. Awalnya, kejadian aneh yang terjadi semalam ingin kuceritakan kepada ummi Neti. Meminta nasihat dan cara me

    Last Updated : 2023-10-17

Latest chapter

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 18

    POV Tini***Aku terdiam sejenak ketika berada di depan kamar Bu Sumi. Udara di kamar terasa panas dengan aura yang membuat hati merasa tak nyaman. Bau amis menguar menyapa indera penciuman. Kesiur angin yang masuk dari jendela terbuka, menyapa kulit, tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Aku membulatkan mata dengan apa yamg terlihat di hadapan. Bukan? Yang kulihat bukan darah yang melekat ditubuh Pak Karso ataupun seprai di sekitarnya. Bukan pula Bu Sumi yang sedang menangis, khawatir dengan kondisi sang suami, melainkan sosok menyeramkan yang berada di samping mertua Melia itu.Ia menatap tajam kepadaku, ada aura permusuhan yang dikibarkan. Ketidaberhasilanku mencegah pembongkaran kamar khusus di lantai dua membuat sosok hitam besar dengan mata merah menyala itu terlihat sangat marah. Bahkan, ia mengusirku dan meminta untuk tidak memcampuri urusan keluarga ini.Aku bergeming, masih terpaku dengan apa yang diucapkan makhluk mengerikan tersebut. "Pergi!" pinta sosok tersebut. Ia me

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 17

    Masih dalam balutan mukena aku mengambil mushaf dan hendak membacanya. Biasanya setiap salat fardhu aku selalu mewajibkan diri untuk tilawah minimal dua lembar sehingga ketika selesai ibadah terakhir maka aku sudah menyelesaikan satu juz. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini perasaan terasa berat ketika membuka lembaran Al-quran. Entah mengantuk atau ada saja yang tiba-tiba mengalihkan pikiran sehingga terkadang sampai tidak jadi tilawah.Setelah mendapat peringatan dari Mas Aryo, saat ini dalam kondisi apa pun aku berusaha tetap melaksanakan ibadah yang sebelumnya sudah rutin kukerjakan. Kami membuat program mengaji bersama selepas salat maghrib dan isya. Namun, saat ini Mas Aryo sedang menghadiri tahlilan Pak Tarmo. yang ke tujuh hari.Tangan kananku mulai membuka lembaran dalam kitab suci dengan sampul berwarna hitam itu dan mulai melantunkan beberapa ayat dalam surah Al Maidah. Beberapa menit membaca tengkukku terasa sangat dingin kemudian disusul kepala yan

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 16

    Setelah selesai membawa Bapak ke Puskesmas Mas Aryo membersihkan tubuh lelaki yang telah membesarkannya. Bapak pun sama seperti Ibu, suka dengan kebersihan. Jadi, walaupun sakit ia selalu meminta dimandikan dua kali sehari. Tidak betah katanya jika berkeringat dan hanya dilap saja tubuhnya.Mas Aryo sangat telaten mengurus Bapak. Dengan menggunakan kursi untuk tempat duduk Bapak di kamar mandi, ia mulai memberi sabun dan sampo. Jika hari kerja Mas Aryo akan bangun lebih awal untuk memandikan Bapak sebelum berangkat. Untuk sore hari Ibu meminta bantuan suami Tini ketika datang menjemput untuk membawa ke kamar mandi dan ibu yang akan memandikan."Makan, Pak!" Aku menyodorkan sendok berisi nasi dengan lauk dan sayur yang direbus."Sudah," katanya setelah masuk tiga sendok."Lagi ya, Pak. Baru sedikit." Aku sedikit membujuk Bapak. Dalam kondisi seperti ini asupan makan Bapak harus dijaga agar tubuhnya tidak semakin lemah."Ga enak m

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 15

    Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 14

    Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 13

    POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 12

    Pov Tini***"Gajinya beneran satu juta setengah, Mel?" Aku melebarkan senyum dengan mata berbinar mendengar beberapa penjelasan mengenai pekerjaan yang diberikan oleh sepupu jauhku. Terlebih ketika mendengar nominal pendapatan yang diberikan."Iya, Tin." Aku memandang Bi Kusri dan Melia secara berhantian. Akhirnya satu masalah dalam hidupku terselesaikan. Di saat baru menjalani pernikahan satu bulan suamiku di-PHK dari tempat kerjanya. Seluruh keluarga Mas Iwan menyalahkanku atas predikat pengangguran yang disandang anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Bahkan semua mengatakan bahwa aku sebagai pembawa sial. Enak saja mereka!Beberapa kali Mas Iwan mencoba melamar pekerjaan, tetapi selalu gagal. Akhirnya, laki-laki yang merupakan anak ke satu itu memutuskan untuk mengojek. Dan lagi-lagi aku menjadi bahan ghibahan satu keluarga yang merasa selalu benar. Memalukan kata mereka menjadi tukang ojek. Namun, aku tak mengacuhkan oc

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 11

    Aku tak pernah membayangkan akan terjebak pada situasi seperti ini di tengah keluarga yang memiliki sebuah perjanjian ghaib. Aku pun belum mengetahui seperti apa isi dari janji yang sudah terucap oleh leluhur Mas Aryo. Namun, kegiatan dalam pemeliharaan janji yang dilakukan Bapak mertua cukup membuatku gelisah.Ingin rasanya aku pergi dari rumah yang penuh teka-teki ini. Akan tetapi pendapat mama terngiang di kepala. Setiap masalah harus dihadapi bukan ditinggal pergi. Aku akan berusaha untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi dan akan berusaha mengatasinya. Nina dan Ummi Neti menjadi tempat utamaku untuk berbagi dan membantu menyelesaikan permasalahan keluarga baruku."Pergi!" Suara bisikan terdengar menggema di telinga. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Walaupun baru pukul delapan pagi akan tetapi suasana rumah sudah terasa sepi. Mas Arya sudah berangkat ke kantor dan berangkat bersama ibu ke Mushola Al Iman karena melewati satu a

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 10

    "Alhamdulillah, selesai!" Kulihat beberapa jenis makanan yang kumasak sudah terhidang di meja makan. Pagi ini Ibu tidak turun ke dapur sebab bergantian merawat Bapak yang terjatuh kemarin. Setelah membersihkan semua perkakas dapur, kulangkahkan kaki ke kamar untuk memanggil suamiku.Aku menengok ke arah ranjang. Tubuh yang sudah terlihat lebih segar itu sudah memejamkan mata. Padahal baru lima menit yang lalu ia masuk kamar setelah membersihkan diri. Sepertinya suamiku kelelahan karena mengurus Bapak yang masih butuh bantuan dalam setiap pergerakan. Beruntung lelaki yang telah mendidik Mas Aryo sampai sukses seperti ini tidak mengalami cidera yang berat. Bapak terjatuh dari tangga ketiga paling bawah karena merasa pusing. Jadi, hanya kakinya yang terkilir. Bersyukurlah kejadiannya bukan seperti informasi yang kudapat sebelumnya. Terjatuh dari tangga atas. Karena tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi dengan tubuh rentanya. Aku

DMCA.com Protection Status