Aku berjalan agak ke depan jalan untuk mencari ojek yang biasa mangkal di pasar. Melihatku yang celingak-celinguk salah seorang pengemudi menghampiri.
"Ojek, Neng?" tanya lelaki bertopi hitam menawarkan."Iya, Pak. Antar ke Gang F, ya!" pintaku pada lelaki berkisar usia empat puluhan."Siap, Mbak." Aku memberikan beberapa kantung plastik untuk diletakkan di depan motor dan selebihnya aku menjijingnya di belakang. Kutengok benda bulat di pergelangan tangan. Baru pukul sembilan.Setelah posisi siap, lelaki dengan kaus biru itu mulai melajukan motor maticnya menuju arah yang yang kupinta. Letak rumah Bi Asih sebenarnya tidak jauh dari pasar hanya saja beberapa barang yang kubawa agak menyulitkan jika harus berjalan kaki. Setelah berbelok ke arah kiri aku mulai menunjukkan rumah di posisi sebelah kanan dengan cat berwarna hijau tua."Di sini, Mbak?""Iya, Pak." Dengan perlahan kuturunkan kaki sebelah kiri kemudian disusul sebelah kanan. Setelah dalam posisi sempurna, aku melangkah ke arah rumah yang pintunya tertutup."Bentar, ya, Pak!" Sengaja aku meminta Bapak tersebut untuk menunggu sebentar.Rumah kontrakan yang terdiri dari tiga ruang itu tampak sepi. Sebelah kanan kiri tetangganya juga tak kelihatan ada orang. Terbersit keraguan untuk singgah, takut sang empunya tidak ada di rumah. Namun, kucoba mengetuk pintu, hendak memastikan apakah Bik Asih ada di dalamnya."Assalamu'alaikum. Bi Asih!" Kuucapkan salam dengan sedikit mengencangkan suara. Udara yang panas, terlebih membawa beban yang berat membuat tubuhku berkeringat dan kerongkongan terasa kering. Karena terburu-buru aku lupa memberi minuman."Bi Asih, Assalamu'alaikum." Karena belum mendengar jawaban, aku mencoba memanggil sekali lagi. "Apa lagi ga di rumah, ya?" Aku melirik ke sekitar mencari seseorang yang mungkin saja bisa memberi informasi. Namun, sepi."Lagi pergi kali, Neng," ucap lelaki yang masih menungguku."Iya mungkin, Pak. Ya udah besok aja ke sini lagi." Aku hendak berbalik badan. Namun, langkah kaki yang terdengar dari dalam diiringi jawaban salam mengurungkan niatku. Aku menyunggingkan senyum."Wa'alaikummussalam. Eh, Neng Melia. Habis belaja mingguan, ya?" tanya Bi Asih setelah membuka pintu. Aku mengangguk. "Maaf, tadi Bibi habis nidurin cucu.""Ga apa-apa, Bi." Aku tersenyum tidak mempermasalahkan. "Bi, saya mau mampir sebentar, boleh?" Dua alis hitam Bi Asih bertaut. Sedetik kemudian ia tersenyum dan mengangguk."Boleh, Neng." Setelah mendapat persetujuan. Kuletakkan beberapa kantong plastik di lantai kemudian menghampiri lelaki yang masih menunggu di sepeda motornya, lalu kuambil beberapa belanjaan yang diletakkan di depan setelah menyerahkan sebuah lembaran berwarna hijau. "Kembalinya, Mbak.""Ga usah, Pak. Ambil aja.""Makasih, Mbak." "Iya, Pak."Bi Asih sudah lama bekerja di rumah Ibu. Selama ini ia bekerja dengan sangat baik. Oleh karena itu mertuaku sangat berat melepas asisten rumah tangganya itu. Hal yang disukai Ibu, katanya Bi Asih tidak macam-macam juga tidak banyak menuntut serta bisa menjaga rahasia tentang kondisi di rumah.Pekerjaannya pun sangat sesuai dengan keinginan Ibu yang memiliki standar kebersihan yang begitu apik. Berdasarkan informasi dari Mas Aryo, beberapa kali Ibu tidak cocok dengan orang yang bekerja di rumahnya. Sehingga jika bukan karena Ibu yang memberhentikan, para pekerja itu yang berhenti sendiri karena tidak sanggup mengikuti standar kebersihan mertuaku ituMelihat Bi Asih berhenti secara tiba-tiba membuatku sedikit curiga. Namun, kutepis ketika perempuan yang kini tinggal dengan anak bungsunya itu mengatakan alasannya. Akan tetapi setelah mendengar penuturan kedua orang yang kutemui di pasar membuat keingintahuanku kembali bergejolak. Sebenarnya ada apa di rumah itu? Akupun sering merasakan hal-hal yang aneh."Bi, coba jelaskan yang sebenarnya!" Aku menceritakan tentang kejadian di pasar. Tampak Bi Asih salah tingkah."Pasti itu si Encum." Bi Asih menghela napas. "Bibi ga pernah cerita sama Encum, sepertinya ia mendengar ketika Bibi berbicara dengan Ifa." Karena merasa tak enak Bi Asih menjelaskan permasalahannya terlebih dahulu. Mungkin agar tidak terjadi salah paham.Sebenarnya aku sempat merasa tidak suka karena Bi Asih berbicara pada orang lain tentang kondisi rumah yang berakhir menjadi bahan ghibah. Ternyata aku telah salah menduga."Iya, Bi, ga apa-apa." Aku kembali menyunggingkan senyum dan meminta maaf atas kesalahpahaman yang sempat terlintas di hati. Kemudian, aku mulai menanyakan kembali kondisi rumah yang saat ini kutempati kini. Terlihat wajah Bibi agak berubah, seperti orang yang ketakutan. Sejenak, ia melihat ke ke arah pintu yang terbuka lalu menutupnya sebelum bercerita."Dulu, Neng, banyak yang bilang rumah Bu Sumi banyak dedemitnya. Memang udah ada yang pernah lihat. Beberapa kali malahan." Bi Sumi menjeda."Ada yang pernah lihat pas lagi jemur malam. Orang itu bilang, melihat sosok seperti bantal sedang melompat. Terus di depan gerbang ada yang sedang berdiri memakai gaun putih dengan rambut panjang. Ada oranng seperti menir di zaman Belanda, sosok hitam tinggi besar, dan ada beberapa cerita lainnya." Mataku tak berkedip mendengar penjelasan Bi Asih.Kurasakan bulu-bulu halus di tubuh berdiri, terlebih ketika hembusan angin menyentuh kulit yang membuat hawa terasa dingin. Kegelisahan mulai merambati hati mengingat tempat yang kutinggali dihuni selain keluarga suami. "Tapi Bibi waktu itu ga ambil pusing, Neng. Bibi butuh uang buat biaya sekolah si bontot. Dan kebetulan Bu Sumi lagi nyari orang. Ya mau ga mau, Bibi berusaha masa bodo dengan berita yang beredar.""Awalnya Bibi agak takut juga. Cuma ya terpaksa. Jadinya diberaniin." Bi Asih menghela napas. " Cuma jadi takut lagi pas ada yang numpang ngurusin jenazah. Untung aja pas ngeberesin dibantu Ibu sama yang lainnya, jadi lama-lama terbiasa juga.""Alhamdulillah Bibi selama dua tahun itu ga pernah dikasih lihat aneh-aneh. Kalau merasa ada yang ngawasin atau ngikutin sih sering. Cuma ya Bibi baca doa aja dalam hati. Tapi-." Bibik terlihat ragu untuk bicara."Kenapa, Bi?" Aku merubah posisi duduk lebih mendekat dengan perempuan yang wajahnya kini terlihat pucat.Aku menuang air putih di gelas dan memberikannya pada Bi Asih agar lebih tenang. Dengan perlahan Bi Asih mulai menceritakan kejadian yang dialaminya."Kemarin itu Bibi pertama kalinya ditampakin wujudnya, Neng. Rambutnya panjang, bajunya putih. Tapi Bibi ga lihat mukanya soalnya ia ngebelakangin Bibi." Kulihat bulu-bulu halus di tangan Bi Asih mulai berdiri setelah menceritakan sosok perempuan yang menampakkan diri ketika ia sedang membersihkan lantai dua."Itu orang lain mungkin, Bi." Aku berusaha mencari beberapa kemungkinan."Atuh, bukan, Neng. Di rumah waktu itu cuma ada Bibi sama Ibu. Makanya waktu itu langsung tegang, Bibi sampe istighfar berkali-kali dan langsung turun ke bawah.""Barangkali ada tamu yang datang, terus Bibi ga tahu.""Nah, itu, Neng. udahannya Bibi sempat kepikiran gitu. Eh, pas tanya Ibu, katanya ga ada," jelas Bi Asih antusia."Apa karena itu Bi Asih minta berhenti bekerja?" Kulihat kesedihan di wajah tua yang usianya lebih muda dari Ibu. Mungkin sekitar 50 tahun.Bi Asih menggeleng."Yang bikin Bibi minta berhenti itu, Neng. Karena-."Prang ...Aku menatap beberapa lauk-pauk di kotak bekal berwarna hitam. Untuk sayur kupilih membungkusnya dengan plastik agar tidak mudah tumpah. Balado teri dipadu tempe tahu goreng serta sambal kemudian dilengkapi sayur asam pasti akan membuat suamiku lahap ketika menyantapnya.Kusunggingkan senyum menatap kotak bekal yang telah siap untuk dibawa pemiliknya kemudian melirik benda persegi yang menempel di dinding. Pukul sembilan malam. Aku menghela napas memikirkan keadaan malamku hari ini yang hanya tidur di kamar sendiri. Benar kata orang lain lebih baik tidak mengetahui apapun daripada setelah banyak mendapatkan informasi jadi gelisah sendiri bahkan ketakutan karena membayangkan kebenaran berita yang di dapat. Segala informasi yang diberikan Bi Asih membangkitkan kekhawatiran dalam diri. Padahal mungkin saja informasi itu belum disampaikan seluruhnya. Akan tetapi, ketika hendak berbicara ada saja gangguan yang datang. Seperti suara pecahan kaca yang jatuh, san
"Mel, kata suamiku yang datang dalam mimpi kamu itu adalah jin." Aku membulatkan mata mendengar penuturan Nina. Semalam kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidur karena khawatir mimpi itu datang kembali. Setelah menunaikan salat subuh dan tilawah lima lembar al quran kuambil ponsel dan menekan aplikasi hijau. Nina, nama itu yang kutuju untuk menceritakan perihal yang kualami semalam. Dan sepertinya ia memberitahukan perihal tersebut pada sang suami."Masa, sih, Nin?" Ia mengangguk.Saat ini kami berada di sebuah halaman masjid. Setiap akhir pekan kami akan berkumpul untuk menimba ilmu bersama seorang perempuan yang biasa kami panggil Ummi Neti. Sebuah taman yang berdiri di pojok halaman menjadi pilihan untuk duduk bercengkrama dan mengaji bersama teman-teman lainnya. Sesekali belajar di alam terbuka membuat suasana jadi berbeda. Awalnya, kejadian aneh yang terjadi semalam ingin kuceritakan kepada ummi Neti. Meminta nasihat dan cara me
"Alhamdulillah, selesai!" Kulihat beberapa jenis makanan yang kumasak sudah terhidang di meja makan. Pagi ini Ibu tidak turun ke dapur sebab bergantian merawat Bapak yang terjatuh kemarin. Setelah membersihkan semua perkakas dapur, kulangkahkan kaki ke kamar untuk memanggil suamiku.Aku menengok ke arah ranjang. Tubuh yang sudah terlihat lebih segar itu sudah memejamkan mata. Padahal baru lima menit yang lalu ia masuk kamar setelah membersihkan diri. Sepertinya suamiku kelelahan karena mengurus Bapak yang masih butuh bantuan dalam setiap pergerakan. Beruntung lelaki yang telah mendidik Mas Aryo sampai sukses seperti ini tidak mengalami cidera yang berat. Bapak terjatuh dari tangga ketiga paling bawah karena merasa pusing. Jadi, hanya kakinya yang terkilir. Bersyukurlah kejadiannya bukan seperti informasi yang kudapat sebelumnya. Terjatuh dari tangga atas. Karena tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi dengan tubuh rentanya. Aku
Aku tak pernah membayangkan akan terjebak pada situasi seperti ini di tengah keluarga yang memiliki sebuah perjanjian ghaib. Aku pun belum mengetahui seperti apa isi dari janji yang sudah terucap oleh leluhur Mas Aryo. Namun, kegiatan dalam pemeliharaan janji yang dilakukan Bapak mertua cukup membuatku gelisah.Ingin rasanya aku pergi dari rumah yang penuh teka-teki ini. Akan tetapi pendapat mama terngiang di kepala. Setiap masalah harus dihadapi bukan ditinggal pergi. Aku akan berusaha untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi dan akan berusaha mengatasinya. Nina dan Ummi Neti menjadi tempat utamaku untuk berbagi dan membantu menyelesaikan permasalahan keluarga baruku."Pergi!" Suara bisikan terdengar menggema di telinga. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Walaupun baru pukul delapan pagi akan tetapi suasana rumah sudah terasa sepi. Mas Arya sudah berangkat ke kantor dan berangkat bersama ibu ke Mushola Al Iman karena melewati satu a
Pov Tini***"Gajinya beneran satu juta setengah, Mel?" Aku melebarkan senyum dengan mata berbinar mendengar beberapa penjelasan mengenai pekerjaan yang diberikan oleh sepupu jauhku. Terlebih ketika mendengar nominal pendapatan yang diberikan."Iya, Tin." Aku memandang Bi Kusri dan Melia secara berhantian. Akhirnya satu masalah dalam hidupku terselesaikan. Di saat baru menjalani pernikahan satu bulan suamiku di-PHK dari tempat kerjanya. Seluruh keluarga Mas Iwan menyalahkanku atas predikat pengangguran yang disandang anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Bahkan semua mengatakan bahwa aku sebagai pembawa sial. Enak saja mereka!Beberapa kali Mas Iwan mencoba melamar pekerjaan, tetapi selalu gagal. Akhirnya, laki-laki yang merupakan anak ke satu itu memutuskan untuk mengojek. Dan lagi-lagi aku menjadi bahan ghibahan satu keluarga yang merasa selalu benar. Memalukan kata mereka menjadi tukang ojek. Namun, aku tak mengacuhkan oc
POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng
Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany
Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men