Share

Bab 5

Penulis: Maya Har
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-17 16:07:12

"Mel, Melia, bangun!" Aku merasakan seseorang menepuk-nepuk pipi sambil memanggil. Segera kubuka mata dan langsung beringsut duduk. Kurasakan detak jantung yang berpacu cepat dengan keringat yang membanjiri tubuh. Napasku tersengal dengan dada naik turun.

"Alhamdulillah. Kamu sadar, Mel!" Senyum tersungging dari wajah Mas Aryo yang tampak lelah. Ia mengucapkan syukur sambil mengusap punggungku memberi ketenangan.

"Ini minum dulu, Mel." Ibu menyodorkan segelas air putih, tapi aku bergeming masih shock dengan mimpi yang terasa nyata. Mas Aryo mengambil alih gelas tersebut dan mencoba membantuku untuk meminumnya.

"Alhamdulillah, Mel, kamu sadar!" ucap ibu. "Hampir dua jam kamu pingsan!" lanjutnya lagi.

"Dua jam?" Aku memastikan.

"Iya, Dik. Tadi sudah dipanggil dokter klinik juga. Katanya ga apa-apa, hanya kelelahan," sahut Mas Aryo. "Tapi, ya, kami khawatir juga, kamu pingsannya agak lama." Ada nada sedih dalam suaranya.

Aku bergeming. Memikirkan hal yang baru kualami. Bukankah tadi aku sudah sadar dan mendengarkan pembicaraan mereka. Lalu, tiba-tiba ada yang membekap wajahku dengan bantal. Dan rupanya itu hanya mimpi. Apa artinya obrolan yang aku dengarkan itu juga mimpi.

"Duh!" Aku meringis merasakan sakit di kepala. Kupijit pelipusku mencoba meredakan nyeri yang mendera sekaligus mengaburkan pikiran yang membuat lelah.

"Kenapa, Mel?" Mas Aryo beringsut mendekat. "Pusing, ya?" Aku memgangguk.

"Mungkin karena belum makan istrimu, Yo. Kamu terakhir makan pas sarapan aja, ya, Mel?" tanya Ibu. Aku mengangguk.

"Nah, kan, Melia kecapean itu, Yo, terus perutnya kosong, makanya pusing," ucap ibu lagi. "Lain kali ga usah bebenah sendirj, Mel. Nunggu yang lain aja. Untung aja tadi Aryo bawa kunci cadangan. Coba kalau ga bawa kunci. Kamu bisa ngegelatak aja sampe pagi di sini." Aku tersenyum getir, mendengar ibu bicara panjang lebar dengan nada menyalahkan membuat hatiku teriris.

"Ya udah, kamu makan dulu ya, Mel. Mas ambilkan nasinya." Melihat air mukaku yang terlihat muram, Mas Aryo mengambil alih obrolan.

"Udah biar ibu yang ambil! Kamu jagain Melia aja di sini!" Perempuan paruh baya itu segera berbalik badan dan melangkah keluar.

"Maafin Ibu, ya, Mel!" ucap Mas Aryo terlihat tak enak hati. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Jam berapa sekarang, Mas?" Aku teringat jika belum salat Dzuhur.

"Jam tiga, Mel." Aku mengaduh tertahan. Sudah hampir masuk waktu Ashar.

"Mas aku mau salat dulu, ya." Kugerakkan kaki untuk turun ranjang. Mas Aryo sigap membantu.

"Ayo, Mas anter ke kamar mandi. Kamu masih lemes." Aku hanya mengangguk.

Setelah salat dan makan, ingin rasanya menceritakan yang kualami hari ini, tetapi ragu karena ada bapak dan ibu. Mungkin nanti saja jika sedang berdua.

***

Hembusan angin malam langsung menerpa wajah ketika kubuka jendela. Kupandangi guratan indah di angkasa yang menampilkan kilauan bintang-bintang yang terletak tak tentu arah, tetapi tetap terlihat indah. Sinar yang terpancar di antara pekatnya malam seolah menyihir mata yang memandangnya. Aku merasakan kedamaian ketika memandangnya.

"Dik, kamu belum tidur?" Aku tersentak mendapat sentuhan di punggung. Menoleh ke arah suara, ternyata Mas Aryo. Sejak kapan ia ada di belakang. Apa karena aku terlalu terpesona dengan angkasa di malam hari sampai suara pergerakan suamiku yang turun dari ranjang tak terdengar.

"Eh, belum, Mas." Kutampilkan senyum semanis mungkin menghalau rasa gugup yang mendera.

"Ngelamun, ya. Ga baik loh anak gadis ngelamun tengah malam. Mana jendela dibuka. Entar masuk angin!" Keningku berlipat mendengar ucapannya.

"Aku, kan, bukan gadis lagi, Mas!" Kunaik- turunkan alis. Menggodanya. Tangan kekarnya mengacak lembut rambutku.

"Ish, ini bocah." Selalu seperti itu ucapannya. Perbedaan usia sepuluh tahun membuat ia selalu menganggapku masih bocah. Namun, memang hal ini yang kuinginkan, menikah dengan lelaki dewasa. Mungkin karena dilahirkan sebagai anak pertama aku ingin memiliki suami yang usianya jauh lebih tua. Berharap suamiku menyayangi dengan tulus menuntun ke arah kebaikan, peduli terhadap keluarga dan sekitar, soleh, dan baik hati. Bersyukur aku mendapatkannya dari Mas Aryo.

"Dik, Mas laper, nih!" Kulirik benda persegi yang menempel di atas ranjang. Pukul satu malam.

"Ya, udah, Mas. Aku bikinin susu dan roti bakar, ya!" Mungkin tidur Mas Aryo terganggu karena perutnya yang lapar, sebab tadi makan malam hanya terisi sedikit makanan.

"Oke." Kuambil karet di meja dan mengikat rambut yang terurai. Mas Aryo terlihat membuka laptop. Sambil menunggu sepertinya ia akan menonton.

Kutuntun kedua kaki ini menuju ke arah dapur. Namun, ketika baru saja menutup pintu kamar, kulihat bapak mertua yang sedang menaiki tangga sambil membawa nampan. Netraku tak dapat melihat jelas apa yang ada dibawa. "Apa itu, ya, yang di dalam nampan?" Aku mencoba menyipitkan mata, tapi tetap tak terlihat.

Aku hendak menyapa tetapi, melihat gelagat bapak yang mencurigakan membuatku urung untuk memanggilnya. Sebenarnya ada keperluan apa bapak di tengah malam seperti ini ke lantai dua.

Dengan langkah pelan kudekati tangga setelah bapak tiba di atas. Menimbang apa yang harus kulakukan? Mengikuti atau berusaha tak peduli? Ah, mana bisa! Rasa ingin tahuku begitu dalam. Akhirnya aku mengendap-endap menaiki tangga. Kuedarkan pandangan menyusuri setiap sudut ruangan. "Kok merinding!" Aku mengusap lengan yang terasa dingin.

Lantai dua cukup luas, ada aula yang bisa digunakan untuk berkumpul dan menonton televisi, terdapat empat kamar dan dua kamar mandi. Dan di depan ada balkon untuk bersantai sambil memandangi kondisi di luar. Lantai dua ini -menurut ibu- memang dibangun untuk keluarga besar yang sedang berkumpul di Jakarta. Biasanya setahun dua kali. Karena ibu anak pertama dari sembilan bersaudara, jadi adik-adiknya sepakat jika hari raya berkumpul di rumah anak tertua.

Meskipun jarang ditempati. Namun, lantai dua tetap terlihat bersih dan terawat karena ada Bik Asih yang membersihkan tiga kali seminggu. Tetapi sepertinya sudah beberapa hari ini aku tak melihat keberadaannya. "Kemana ya Bik Asih?" Aku bergumam dalam hati.

Indera penciumanku mulai merasakan aroma yang menyengat. Kulangkahkan kaki mulai menyusuri kamar. Pandanganku terhenti pada ruangan paling belakang. Pintunya terbuka dan dari arah sana juga keluar asap. Ah, rasanya aku tahu bau ini. "Ini, kan, bau kemenyan. Untuk apa bapak membakar benda itu di tengah malam seperti ini." Aku tak habis pikir dengan perilaku mertuaku saat ini.

Bulu-bulu halus di tubuhku tiba-tiba meremang. Sedikit bergetar akhirnya aku memilih untuk turun ke bawah dengan perlahan. Untung saja bapak tidak menyadari jika aku mengikutinya.

"Mas, ini rotinya." Kusodorkan segelas susu dan dua buah roti diolesi selai cokelat.

"Loh, ga jadi bikin roti bakar?" Aku menggeleng. Setelah turun tadi aku memutuskan membuat susu dari air panas yang masih ada di termos dan membuat roti tanpa dibakar. Aku khawatir jika menyalakan kompor bapak akan menyadari jika aku di dapur.

"Kok, lama, sih?" tanya Mas Aryo sambil mengunyah roti pertama.

"Maaf, Mas, tadi mules." Aku berbicara sambil menatap ke sembarang arah. Hatiku gusar. Mau berbicara sejujurnya atau tidak. Apa mungkin nunggu waktu yang tepat?

"Mas, di atas itu bukannya ada empat kamar, ya. Kok tadi pagi aku lihat ada lima kamar. Memang, sih, yang satunya lebih kecil." Aku berbohong lagi. Aku baru menyadari di lantai dua ada ruang yang lebih kecil baru malam ini.

Gerakan memasukkan roti kedua terhenti. Alisnya bertaut memikirkan sesuatu. "Oh, ruangan itu. Itu ruangan bapak. Ruangannya digembok dan hanya bapak yang punya kuncinya. Lagipula, bapak juga melarang kita untuk masuk ke sana." Mas Arya menghabiskan roti dan mulai meminum susunya.

"Kenapa dilarang masuk ke ruangan itu, Mas?" Mas Arya membersihkan sisa-sisa susu yang menempel di sekitar bibirnya dengan tisue setelah menandaskam cairan berwarna cokelat itu.

"Kata bapak, sih, itu tempat penyimpanan barang-barang berharga bapak." Aku menggigit bibir. Andaikan aku tak melihat sendiri, mungkin aku akan percaya saja dengan alasan itu. Tapi melihat kejadian tadi, ada keraguan yang menyusup. Apa yang sebenarnya bapak sembunyikan?

Bab terkait

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 6

    Aku memiringkan tubuh ke kiri dan kanan, sambil melihat pantulanku di cermin. Memastikan pakaian yang kukenakan sudah pas dan rapi. Aku sengaja memilih bahan kaos untuk saat ini agar lebih mudah menyerap keringat. Hari libur seperti ini tentunya pasar akan semakin ramai karena terdapat penjual dadakan yang menjajakan beraneka ragam barang dagangannya. Banyaknya  orang yang berdesakan membuat udara menjadi lebih panas."Oke." Aku mengambil tas tangan di meja rias. Gerakan tanganku mengambang di udara ketika dari pantulan cermin, aku seperti melihat orang yang melintas. Dengan cepat aku berbalik ke belakang untuk memastikan, kemudian melangkah ke pintu dan melihat ke luar. Tidak ada siapa-siapa."Masih pagi, udah ada yang iseng aja." Aku berbicara sendiri. Menatap ke setiap sudut kamar dengan tatapan menyalang. Seolah marah, tapi entah kepada siapa.Angin berhembus melintasi ventilasi yang terbuka. Bukan rasa dingin yang menerpa

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-13
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 7

    Aku berjalan agak ke depan jalan untuk mencari ojek yang biasa mangkal di pasar. Melihatku yang celingak-celinguk salah seorang pengemudi menghampiri."Ojek, Neng?" tanya lelaki bertopi hitam menawarkan."Iya, Pak. Antar ke Gang F, ya!" pintaku pada lelaki berkisar usia empat puluhan."Siap, Mbak." Aku memberikan beberapa kantung plastik untuk diletakkan di depan motor dan selebihnya aku menjijingnya di belakang. Kutengok benda bulat di pergelangan tangan. Baru pukul sembilan.Setelah posisi siap, lelaki dengan kaus biru itu mulai melajukan motor maticnya menuju arah yang yang kupinta. Letak rumah Bi Asih sebenarnya tidak jauh dari pasar hanya saja beberapa barang yang kubawa agak menyulitkan jika harus berjalan kaki. Setelah berbelok ke arah kiri aku mulai menunjukkan rumah di posisi sebelah  kanan dengan cat berwarna hijau tua."Di sini, Mbak?""Iya, Pak." Dengan perlahan kuturunkan kaki sebelah kiri kemudian disusul sebelah ka

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-14
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 8

    Aku menatap beberapa lauk-pauk di kotak bekal berwarna hitam. Untuk sayur kupilih membungkusnya dengan plastik agar tidak mudah tumpah. Balado teri dipadu tempe tahu goreng serta sambal kemudian dilengkapi sayur asam pasti akan membuat suamiku lahap ketika menyantapnya.Kusunggingkan senyum menatap kotak bekal yang telah siap untuk dibawa pemiliknya kemudian melirik benda persegi yang menempel di dinding. Pukul sembilan malam. Aku menghela napas memikirkan keadaan malamku hari ini yang hanya tidur di kamar sendiri. Benar kata orang lain lebih baik tidak mengetahui apapun daripada setelah banyak mendapatkan informasi jadi gelisah sendiri bahkan ketakutan karena membayangkan kebenaran berita yang di dapat. Segala informasi yang diberikan Bi Asih membangkitkan kekhawatiran dalam diri. Padahal mungkin saja informasi itu belum disampaikan seluruhnya. Akan tetapi, ketika hendak berbicara ada saja gangguan yang datang. Seperti suara pecahan kaca yang jatuh, san

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-15
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 9

    "Mel, kata suamiku yang datang dalam mimpi kamu itu adalah jin." Aku membulatkan mata mendengar penuturan Nina. Semalam kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidur karena khawatir mimpi itu datang kembali. Setelah menunaikan salat subuh dan tilawah lima lembar al quran kuambil ponsel dan menekan aplikasi hijau. Nina, nama itu yang kutuju untuk menceritakan perihal yang kualami semalam. Dan sepertinya ia memberitahukan perihal tersebut pada sang suami."Masa, sih, Nin?" Ia mengangguk.Saat ini kami berada di sebuah halaman masjid. Setiap akhir pekan kami akan berkumpul untuk menimba ilmu bersama seorang perempuan yang biasa kami panggil Ummi Neti. Sebuah taman yang berdiri di pojok halaman menjadi pilihan untuk duduk bercengkrama dan mengaji bersama teman-teman lainnya. Sesekali belajar di alam terbuka membuat suasana jadi berbeda. Awalnya, kejadian aneh yang terjadi semalam ingin kuceritakan kepada ummi Neti. Meminta nasihat dan cara me

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 10

    "Alhamdulillah, selesai!" Kulihat beberapa jenis makanan yang kumasak sudah terhidang di meja makan. Pagi ini Ibu tidak turun ke dapur sebab bergantian merawat Bapak yang terjatuh kemarin. Setelah membersihkan semua perkakas dapur, kulangkahkan kaki ke kamar untuk memanggil suamiku.Aku menengok ke arah ranjang. Tubuh yang sudah terlihat lebih segar itu sudah memejamkan mata. Padahal baru lima menit yang lalu ia masuk kamar setelah membersihkan diri. Sepertinya suamiku kelelahan karena mengurus Bapak yang masih butuh bantuan dalam setiap pergerakan. Beruntung lelaki yang telah mendidik Mas Aryo sampai sukses seperti ini tidak mengalami cidera yang berat. Bapak terjatuh dari tangga ketiga paling bawah karena merasa pusing. Jadi, hanya kakinya yang terkilir. Bersyukurlah kejadiannya bukan seperti informasi yang kudapat sebelumnya. Terjatuh dari tangga atas. Karena tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi dengan tubuh rentanya. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 11

    Aku tak pernah membayangkan akan terjebak pada situasi seperti ini di tengah keluarga yang memiliki sebuah perjanjian ghaib. Aku pun belum mengetahui seperti apa isi dari janji yang sudah terucap oleh leluhur Mas Aryo. Namun, kegiatan dalam pemeliharaan janji yang dilakukan Bapak mertua cukup membuatku gelisah.Ingin rasanya aku pergi dari rumah yang penuh teka-teki ini. Akan tetapi pendapat mama terngiang di kepala. Setiap masalah harus dihadapi bukan ditinggal pergi. Aku akan berusaha untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi dan akan berusaha mengatasinya. Nina dan Ummi Neti menjadi tempat utamaku untuk berbagi dan membantu menyelesaikan permasalahan keluarga baruku."Pergi!" Suara bisikan terdengar menggema di telinga. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Walaupun baru pukul delapan pagi akan tetapi suasana rumah sudah terasa sepi. Mas Arya sudah berangkat ke kantor dan berangkat bersama ibu ke Mushola Al Iman karena melewati satu a

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 12

    Pov Tini***"Gajinya beneran satu juta setengah, Mel?" Aku melebarkan senyum dengan mata berbinar mendengar beberapa penjelasan mengenai pekerjaan yang diberikan oleh sepupu jauhku. Terlebih ketika mendengar nominal pendapatan yang diberikan."Iya, Tin." Aku memandang Bi Kusri dan Melia secara berhantian. Akhirnya satu masalah dalam hidupku terselesaikan. Di saat baru menjalani pernikahan satu bulan suamiku di-PHK dari tempat kerjanya. Seluruh keluarga Mas Iwan menyalahkanku atas predikat pengangguran yang disandang anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Bahkan semua mengatakan bahwa aku sebagai pembawa sial. Enak saja mereka!Beberapa kali Mas Iwan mencoba melamar pekerjaan, tetapi selalu gagal. Akhirnya, laki-laki yang merupakan anak ke satu itu memutuskan untuk mengojek. Dan lagi-lagi aku menjadi bahan ghibahan satu keluarga yang merasa selalu benar. Memalukan kata mereka menjadi tukang ojek. Namun, aku tak mengacuhkan oc

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-17
  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 13

    POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-17

Bab terbaru

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 18

    POV Tini***Aku terdiam sejenak ketika berada di depan kamar Bu Sumi. Udara di kamar terasa panas dengan aura yang membuat hati merasa tak nyaman. Bau amis menguar menyapa indera penciuman. Kesiur angin yang masuk dari jendela terbuka, menyapa kulit, tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Aku membulatkan mata dengan apa yamg terlihat di hadapan. Bukan? Yang kulihat bukan darah yang melekat ditubuh Pak Karso ataupun seprai di sekitarnya. Bukan pula Bu Sumi yang sedang menangis, khawatir dengan kondisi sang suami, melainkan sosok menyeramkan yang berada di samping mertua Melia itu.Ia menatap tajam kepadaku, ada aura permusuhan yang dikibarkan. Ketidaberhasilanku mencegah pembongkaran kamar khusus di lantai dua membuat sosok hitam besar dengan mata merah menyala itu terlihat sangat marah. Bahkan, ia mengusirku dan meminta untuk tidak memcampuri urusan keluarga ini.Aku bergeming, masih terpaku dengan apa yang diucapkan makhluk mengerikan tersebut. "Pergi!" pinta sosok tersebut. Ia me

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 17

    Masih dalam balutan mukena aku mengambil mushaf dan hendak membacanya. Biasanya setiap salat fardhu aku selalu mewajibkan diri untuk tilawah minimal dua lembar sehingga ketika selesai ibadah terakhir maka aku sudah menyelesaikan satu juz. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini perasaan terasa berat ketika membuka lembaran Al-quran. Entah mengantuk atau ada saja yang tiba-tiba mengalihkan pikiran sehingga terkadang sampai tidak jadi tilawah.Setelah mendapat peringatan dari Mas Aryo, saat ini dalam kondisi apa pun aku berusaha tetap melaksanakan ibadah yang sebelumnya sudah rutin kukerjakan. Kami membuat program mengaji bersama selepas salat maghrib dan isya. Namun, saat ini Mas Aryo sedang menghadiri tahlilan Pak Tarmo. yang ke tujuh hari.Tangan kananku mulai membuka lembaran dalam kitab suci dengan sampul berwarna hitam itu dan mulai melantunkan beberapa ayat dalam surah Al Maidah. Beberapa menit membaca tengkukku terasa sangat dingin kemudian disusul kepala yan

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 16

    Setelah selesai membawa Bapak ke Puskesmas Mas Aryo membersihkan tubuh lelaki yang telah membesarkannya. Bapak pun sama seperti Ibu, suka dengan kebersihan. Jadi, walaupun sakit ia selalu meminta dimandikan dua kali sehari. Tidak betah katanya jika berkeringat dan hanya dilap saja tubuhnya.Mas Aryo sangat telaten mengurus Bapak. Dengan menggunakan kursi untuk tempat duduk Bapak di kamar mandi, ia mulai memberi sabun dan sampo. Jika hari kerja Mas Aryo akan bangun lebih awal untuk memandikan Bapak sebelum berangkat. Untuk sore hari Ibu meminta bantuan suami Tini ketika datang menjemput untuk membawa ke kamar mandi dan ibu yang akan memandikan."Makan, Pak!" Aku menyodorkan sendok berisi nasi dengan lauk dan sayur yang direbus."Sudah," katanya setelah masuk tiga sendok."Lagi ya, Pak. Baru sedikit." Aku sedikit membujuk Bapak. Dalam kondisi seperti ini asupan makan Bapak harus dijaga agar tubuhnya tidak semakin lemah."Ga enak m

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 15

    Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 14

    Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 13

    POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 12

    Pov Tini***"Gajinya beneran satu juta setengah, Mel?" Aku melebarkan senyum dengan mata berbinar mendengar beberapa penjelasan mengenai pekerjaan yang diberikan oleh sepupu jauhku. Terlebih ketika mendengar nominal pendapatan yang diberikan."Iya, Tin." Aku memandang Bi Kusri dan Melia secara berhantian. Akhirnya satu masalah dalam hidupku terselesaikan. Di saat baru menjalani pernikahan satu bulan suamiku di-PHK dari tempat kerjanya. Seluruh keluarga Mas Iwan menyalahkanku atas predikat pengangguran yang disandang anak lelaki satu-satunya di keluarga mereka. Bahkan semua mengatakan bahwa aku sebagai pembawa sial. Enak saja mereka!Beberapa kali Mas Iwan mencoba melamar pekerjaan, tetapi selalu gagal. Akhirnya, laki-laki yang merupakan anak ke satu itu memutuskan untuk mengojek. Dan lagi-lagi aku menjadi bahan ghibahan satu keluarga yang merasa selalu benar. Memalukan kata mereka menjadi tukang ojek. Namun, aku tak mengacuhkan oc

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 11

    Aku tak pernah membayangkan akan terjebak pada situasi seperti ini di tengah keluarga yang memiliki sebuah perjanjian ghaib. Aku pun belum mengetahui seperti apa isi dari janji yang sudah terucap oleh leluhur Mas Aryo. Namun, kegiatan dalam pemeliharaan janji yang dilakukan Bapak mertua cukup membuatku gelisah.Ingin rasanya aku pergi dari rumah yang penuh teka-teki ini. Akan tetapi pendapat mama terngiang di kepala. Setiap masalah harus dihadapi bukan ditinggal pergi. Aku akan berusaha untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi dan akan berusaha mengatasinya. Nina dan Ummi Neti menjadi tempat utamaku untuk berbagi dan membantu menyelesaikan permasalahan keluarga baruku."Pergi!" Suara bisikan terdengar menggema di telinga. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Walaupun baru pukul delapan pagi akan tetapi suasana rumah sudah terasa sepi. Mas Arya sudah berangkat ke kantor dan berangkat bersama ibu ke Mushola Al Iman karena melewati satu a

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 10

    "Alhamdulillah, selesai!" Kulihat beberapa jenis makanan yang kumasak sudah terhidang di meja makan. Pagi ini Ibu tidak turun ke dapur sebab bergantian merawat Bapak yang terjatuh kemarin. Setelah membersihkan semua perkakas dapur, kulangkahkan kaki ke kamar untuk memanggil suamiku.Aku menengok ke arah ranjang. Tubuh yang sudah terlihat lebih segar itu sudah memejamkan mata. Padahal baru lima menit yang lalu ia masuk kamar setelah membersihkan diri. Sepertinya suamiku kelelahan karena mengurus Bapak yang masih butuh bantuan dalam setiap pergerakan. Beruntung lelaki yang telah mendidik Mas Aryo sampai sukses seperti ini tidak mengalami cidera yang berat. Bapak terjatuh dari tangga ketiga paling bawah karena merasa pusing. Jadi, hanya kakinya yang terkilir. Bersyukurlah kejadiannya bukan seperti informasi yang kudapat sebelumnya. Terjatuh dari tangga atas. Karena tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi dengan tubuh rentanya. Aku

DMCA.com Protection Status