"Cepatlah, Paman! Jangan lambat!"
"Kamu yang lambat. Ikat dulu tali sepatumu!"
"Nanti saja di mobil."
Dave dan Taylor masuk ke mobil bersamaan. Duduk bersebelahan. Dave memakai sabuk pengaman, sedangkan Taylor mengikat tali sepatu sambil menggigit roti.
"Lepas dulu rotimu. Sini, biar kupegang." Dave mengambil roti Taylor. "Apa kamu selalu seperi ini, jika ingin berangkat sekolah?"
"Tidak. Ini karena Paman lambat, jadi aku sedikit kesiangan," tuduh Taylor sambil memakai sabuk pengaman.
Dave mengembalikan roti Taylor dengan wajah masam. "Bisanya menuduhku saja. Nanti pulang kabari aku, biar kujemput."
"Tidak perlu," balas Taylor sambil mengunyah. "Setelah sekolah, aku ada tugas kelompok dengan teman-teman di rumah teman."
Sambil menyetir, Dave menoleh sesekali pada Taylor dengan curiga. "Siapa temanmu? Brian?"
Seketika, salah satu ujung bibir Taylor terangkat. Sengaja membuat Dave kesal. "Ya. Ada tugas kelompok. Aku dan dia harus bekerja sama di rumahnya, entah sampai jam berapa. Tugas itu harus selesai malam ini." Seperti biasa, tatapan Taylor menatap ke arah lain.
Dave tahu, jika Taylor berbohong. Maka dari itu, Dave mencubit pipi Taylor, sehingga Taylor memukul lengan kekar Dave berkali-kali.
Sampai di sekolah, Taylor langsung keluar dari mobil Dave tanpa sepatah kata pun. Akan tetapi, Dave memanggil Taylor untuk memberi sesuatu.
"Gadis dingin." Merasa dipanggil, Taylor pun menoleh. Sesuatu yang diberikan adalah kecupan dari jarak jauh, dan mata genit.
"Dih, menjijikan," guman Taylor, setelah membuang wajah ke arah lain dan meninggalkan Dave. "Dasar, tidak ingat umur," lanjutnya bergumam. Namun, salah satu ujung bibir Taylor terangkat lagi.
***
"Apa? Mengundurkan diri? Kenapa?" Dave terkejut mendengar pernyataan wanita yang duduk di depan meja kerjanya.
Wanita dengan pakaian ketat dan minim adalah model dari perusahaan parfum milik Dave Jo, Madonna Ellenoir, yang biasa dipanggil Donna. Sudah bekerja selama dua tahun lebih. Dan sekarang, ingin mengundurkan diri.
"Kamu tidak bisa melakukan ini. Parfumku laris juga karenamu. Aku sudah membayarmu mahal. Akan kubayar tiga kali lipat, asalkan kamu tidak keluar." Dave berusaha mempertahankan wanita yang berhasil membuat perusahaannya lancar.
Donna berjalan mendekati Dave dengan menggoda, juga membelai pipi Dave dengan lembut. "Selain uang, aku juga ingin yang lain. Sudah lama kita tidak melakukannya."
Apa yang Dave katakan pada Taylor kemarin, berbanding terbalik. Nyatanya, ada yang menyukai Dave.
Bahkan, Dave dan Donna sudah pernah melakukan hubungan intim, entah itu berapa kali. Sayangnya, status mereka hanya sebatas CEO dan model.
Yang namanya napsu, jika tidak bisa ditahan, maka larangan pun dilawan. Dave tergoda dengan Donna, sehingga Dave menaruh Donna tiba-tiba di atas meja kerja.
Bibir mereka saling bertemu. Sudah lama tidak melakukan hubungan intim, napsu mereka terlihat sangat membara. Dave maupun Donna, mereka sama-sama menginginkan kehangatan.
Di tambah lagi, menara sutet Dave pernah terbangun karena Taylor yang berontak. Membuat Dave ingin meniduri kembali menara sutet yang tercekik di celana.
Donna melepas jas Dave tanpa sabaran. Begitu juga dengan Dave, yang menyingkap baju Donna.
Untung ruangan Dave kedap suara, jika tidak, maka para pegawai pasti mendengar suara erangan mereka.
Hasil hubungan intim mereka pun keluar, bahkan tercecer di lantai.
Mereka merapikan pakaian menjadi rapi, supaya tidak ada yang curiga.
"Donna, kumohon, jangan pergi. Caramu mengiklankan produk parfum yang kubuat, selalu bisa menarik perhatian, dan banyak peminat. Sangat sulit mencari yang sepertimu." Dave sesekali mengecup pundak Donna.
Senyuman Donna terpancar. Kedua lengannya melingkar di leher Dave. "Kalau begitu, nikahi aku."
Seketika, Dave menatap Donna terkejut. Permintaan Donna membuat Dave tidak bisa berpikir.
"Menikah? Aku ... Aku tidak tahu-"
"Dave, sampai kapan tidak tahu? Aku sangat mencintaimu, bahkan rela memberi tubuh padamu," potong Donna yang sedikit kecewa.
Dave melepas lengan Donna, ketika bertanya, "Kamu menjebakku?"
"Itu bukan jebakan, sayang. Itu tanda cintaku padamu," jawab Donna dengan memegang dagu pria yang dicintai. "Lagipula, kamu juga tidak bisa kehilanganku, 'kan? Gunakan aku untuk produk parfummu dan untuk anak kita di masa depan."
Bingung menjawab, Dave mengusap wajah. "Akan kupikirkan."
"Baiklah. Kuberi waktu sebulan. Lebih dari itu, aku sungguh akan mengundurkan diri," balas Donna dengan memberi kecupan di bibir Dave, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Dave membersihkan hasil hubungan intim yang begitu liar. Setelah itu, duduk di kursi kebesaran sambil menghela napas.
Sulit bagi Dave untuk memenuhi permintaan Donna, tetapi Donna adalah sumber keuangan.
Alasan Dave belum ingin menikah sampai sekarang adalah belum ada wanita yang mampu membuatnya tertarik. Tidak hanya suka pada fisik, tetapi dari hati yang terdalam.
Dave mengaku, jika banyak wanita yang menyukainya. Namun, Dave belum tertarik dan ragu. Apakah para wanita yang menyukainya itu sungguh dari hati, atau sekedar ucapan?
"Astaga. Tidak ada wanita satu pun yang menyukaimu? Omong kosong. Biar kucarikan." Tiba-tiba Dave teringat ucapan Taylor.
Suara dering ponsel membuat Dave terkejut. "Kenapa, gadis dinginku?" Panjang umur, Taylor.
"Paman Jo, aku bukan Taylor. Asma Taylor kambuh, dan inhaler-nya habis. Sekarang Taylor ada di UKS sekolah."
"Aku segera ke sana!" Dave langsung mematikan panggilan, dan meninggalkan perusahaan dengan terburu-buru.
Jika terjadi sesuatu pada Taylor, maka Tina, sahabat Dave, Mamanya Taylor, akan memarahi Dave habis-habisan. Dan Johan, Papanya Taylor, juga akan memarahi Dave dari langit.
***
Taylor terbaring di UKS sekolah dengan wajah pucat dan tubuh lemas. Kepala Taylor diberi sampai tiga bantal, supaya pernapasannya kembali berjalan normal.
"Aku sudah menghubungi pamanmu. Dia akan datang." Siswi dengan rambut ikal menaruh ponsel Taylor di nakas. "Biar kutebak, pasti kamu belum sarapan, 'kan?"
"Aku sarapan ...," jawab Taylor dengan lemah.
"Riley, lebih baik kamu kembali ke kelas. Taylor akan kujaga." Dokter wanita cantik bernama Elsa baru saja mengisi data murid yang masuk ke UKS.
Sebagai sahabat, Riley tidak ingin meninggalkan Taylor, walaupun ada Dokter Elsa yang menjaga. Namun, Riley sehat bugar, dan harus melanjutkan pelajaran.
Beberapa detik saat Riley keluar, Dave masuk dengan wajah cemas.
"Anda pasti Pamannya Taylor," sahut Dokter Elsa. "Saya ingin menyampaikan, kalau inhaler Taylor habis. Tadinya saya pikir, tidak ada inhaler di sini, karena jarang sekali murid yang terkena asma. Untung ada satu," jelasnya.
"Terima kasih, sudah membantu Taylor." Dave berterima kasih pada dokter, sambil memegang dan mengusap wajah Taylor.
Sebagai dokter, Elsa harus tahu apa yang terjadi pada Taylor. "Kalau boleh saya tahu, apa Taylor sudah sarapan?"
Sambil menatap sang dokter, Dave menjawab, "Hanya sarapan roti, dok."
"Jangan dibiasakan, Pak. Sepertinya, Taylor tidak bisa hanya sarapan roti di pagi hari. Wajahnya terlihat pucat. Selagi anda ada di sini, biar saya belikan sarapan untuk Taylor. Saya juga ingin beli sesuatu. Saya permisi." Dengan baik hati, Dokter Elsa rela mengeluarkan uang untuk Taylor.
Dave menatap Taylor, yang sedang menatap ke arah lain. "Kenapa tidak bilang, kalau inhaler-mu habis? Bisa kubelikan kemarin. Mamamu belum tahu?"
"Kupikir, inhaler-ku masih ada. Ternyata tidak, jadi aku tidak bilang," jawab Taylor sambil menutup mata.
Helaan napas Dave keluar. Ini bukan waktunya untuk marah. "Ingin lanjut belajar, atau pulang? Aku akan mengantarmu. Pelayan di rumah akan mengurusmu."
Jawaban Taylor adalah gelengan kepala. "Masih ingin belajar. Tolong belikan aku inhaler saja," pintanya sambil menatap mata Dave.
Sepertinya Dave lupa, jika mata Taylor sangat tajam. Jadi, apa pun yang terjadi pada orang yang ditatap Taylor, pasti Taylor bisa menebak. Ditambah lagi, Taylor juga hapal gerak-gerik Dave selama ini.
"Ada apa? Paman berkeringat, padahal di sini AC menyala."
Tidak ingin Taylor tahu apa yang terjadi di ruang kerja, Dave berusaha menetralkan diri. "Aku panik, setelah mendengar kabarmu. Jadi, aku berlari, dan berkeringat."
Taylor pun menganggukkan kepala, tanda percaya.
Taylor sudah membaik, karena inhaler dari Dokter Elsa, juga sarapan yang disuapi Dave. Padahal, tangan Taylor masih bisa bergerak, tetapi Dave keras kepala. Membuat Dokter Elsa tertawa melihat perilaku dua orang di depan.Sekarang, Taylor sudah siap untuk pergi ke rumah teman kelas untuk mengerjakan tugas kelompok."Tay, sepertinya kamu pulang saja. Aku takut asmamu tiba-tiba kambuh." Fanny menggendong tas dengan wajah khawatir."Tugasnya dikumpul besok. Lagipula, aku sudah ada inhaler dari Dokter Elsa. Santai saja," kekeh Taylor yang ingin ikut. Demi mendapat nilai tambahan, kerjasama memang harus. Apalagi, guru yang mengajar telah mengatakan, yang hanya menumpang nama tidak akan mendapat nilai.Rudy yang satu kelompok dengan Taylor, menyetujui ucapan Fanny. Namun, wajah Rudy terlihat tidak suka. "Fanny benar. Kamu pulang saja. Kalau ditengah tugas tiba-tiba kamu kambuh, tapi inhaler tidak berfungsi, percuma saja, 'kan?"Entah kenapa, Taylor merasa ada
"Apa Donna membuatmu tak nyaman?"Pagi hari sudah membuat Taylor malas bicara. Kenapa harus membicarakan tentang orang asing? "Paman tahu sendiri, kalau aku tidak nyaman dengan orang asing.""Kalau begitu, apa kamu sudah nyaman denganku?" tanya Dave dengan senyum miring.Taylor mendecakkan lidah. Menyesal menjawab pertanyaan yang menjebak. "Jangan lambat, Paman Jo! Aku ingin berangkat sekarang. Tugas kelompok tinggal sedikit lagi selesai, akan kulanjut di sekolah saja."Dave meminum kopi dengan cepat. Memperhatikan Taylor yang asal memakai sepatu, Dave kembali bersuara. "Ikat tali sepatumu dulu dengan benar.""Nanti saja di mobil." Taylor mulai bergerak keluar dari rumah.Sebelum itu, Dave menghalangi jalan Taylor untuk mengikat tali sepatu. Membuat Taylor merasa sedikit tidak nyaman. "Kalau kamu jatuh sebelum masuk mobil, jangan salahkan aku. Tinggal diikat seperti ini saja, tidak sulit, 'kan?.""Terima kasih." Taylor pun memasuki mobil den
Ini ketiga kalinya Taylor mendecakkan lidah. Sudah lelah berpikir karena tugas, sekarang lelah menunggu Dave yang katanya sedang berangkat menjemput. Cuaca semakin lama semakin gelap.Brian datang duduk di sebelah Taylor, yang sedang duduk di tangga sekolah. Menemani dengan setia."Sepertinya, pamanmu akan datang terlambat. Mungkin macet. Ini sudah sore, jam pulang orang kerja," imbuh Brian sambil menonton beberapa murid yang bermain basket."Mungkin," balas singkat Taylor. "Kamu tidak pulang?" Kembali Taylor mengabari Dave melalui pesan."Bagaimana bisa aku meninggalkan perempuan yang telah mengungkapkan perasaannya di kantin?"Candaan Brian membuat Taylor malu. Taylor sengaja menyenggol lengan Brian, sambil berbisik, "Menyebalkan."Jika Taylor sudah mengungkapkan perasaan di kantin, kini giliran Brian yang akan mengungkapkan perasaan di tangga sekolah. Ini momen bagus. Selagi Brian duduk berdua dengan Taylor, tanpa ada murid yang mengganggu.
Kembali pada pagi hari, di mana Taylor harus sekolah, dan Dave harus bekerja. Namun, Taylor melihat ada yang berbeda dari Dave. Wajah Dave seperti kurang tidur. Apakah Dave begadang?"Paman Jo terlihat seperti manusia panda. Kalau mengantuk, lebih baik tidur saja. Aku tidak perlu diantar," celetuk Taylor yang baru saja selesai sarapan."Tidak. Aku akan tetap mengantarmu," balas Dave yang tidak sengaja menghirup wangi tubuh Taylor, ketika Taylor menaruh piring kotor di wastafel. "Kamu tidak ingin memberitahuku, apa rahasia tubuh wangimu?""Kalau Paman Jo mengantuk di tengah jalan, lalu kita kecelakaan, itu tidak lucu." Taylor menatap Dave sekilas, lalu meminum minum air putih. "Sekali rahasia, tetaplah rahasia."Taylor gadis yang tidak pernah berbohong, tetapi masalah rahasia, Taylor pandai menyimpan dengan erat. Akan sulit bagi Dave untuk mengetahui rahasia Taylor."Kamu saja yang menyetir."Terkejut mendengar ucapan Dave, Taylor mencubit pelan le
"Kamu perebut calon suamiku!""Kamu sengaja tidur di sofa, supaya Dave tergoda, 'kan?""Dave itu milikku! Jangan berani kamu dekati dia!"Sudah cukup. Pegangan tangan Taylor pada gelas berisikan susu semakin kencang. Peristiwa kemarin malam sungguh membuatnya tidak bisa tidur.Tidak ada yang suka dituduh, ditambah tanpa adanya bukti. Seperti Donna yang menuduh Taylor habis-habisan, mempermalukan Taylor di depan Dave.Bisa saja Taylor melaporkan hal tersebut karena pencemaran nama baik, tetapi Dave juga nemiliki salah. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada wanita yang suka, dan itu Dave sendiri yang mengatakan itu. Taylor berpikir, itu tidak mungkin, karena pasti banyak pegawai wanita yang mudah terpesona. Akan tetapi, Taylor tidak menyangka ada yang seperti ini.Menurut Taylor, diam itu lebih bagus untuk tidak mudah terpancing. Akan tetapi, bukan berarti diam itu lemah.Setelah memperlakukan Taylor dengan puas, Donna masih sempat bermesraan de
Pagi menjelang siang. Taylor masih belum keluar dari kamar. Kali ini, Dave sungguh menyesal dengan kecerobohan yang telah diperbuat.Kemari malam, setelah Dave diusir, Taylor sungguh tidak keluar dari kamar. Bahkan saat Dave mengajak bicara, Taylor malah diam dengan berpura-pura tidur.Menyesal sudah membuat Taylor marah dua kali. Kali ini, Dave akan meminta maaf. Sekaligus meminta penjelasan atas apa yang Brian lakukan pada Taylor. Semoga saja akan berjalan dengan lancar.Dave sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu tidak dikunci, sesuai dengan peraturan rumah. Takut peristiwa kemarin terulang, Dave membuka pintu kamar dengan perlahan.Ternyata si gadis dingin masih tertidur pulas, dengan posisi yang sama, miring ke arah kanan. Terlihat sangat tenang sekali, hingga Dave tidak berani membangunkan.Salah satu tangan Dave terurai untuk mengusap kepala Taylor. Lagi, lagi, dan lagi, wangi dari tubuh Taylor masih saja tercium.Tidak, Dave
Taylor termenung di depan pintu kamar Dave, ragu ingin meminta pertolongan. Selagi kaki Taylor belum sembuh, Taylor tidak bisa pergi ke mana-mana, kecuali harus ke sekolah."Sedang apa di sini?" tanya Dave sedikit terkejut. Tiba-tiba, rasa takut muncul. Apa Taylor mendengar Dave mendesahkan nama Taylor?"Paman, kakiku belum sembuh total. Jadi, bolehkah aku meminjam ponselmu untuk belanja?" Kedua tangan Taylor menarik ujung baju sendiri. Takut ditolak oleh Dave.Dave mengelus dada, ketika mendengar jawaban Taylor yang berbeda. Ponsel pun diambil dari meja, bersiap membuka aplikasi belanja. "Ingin belanja apa?"Ponsel Dave langsung direbut oleh Taylor. "Ini perlengkapan perempuan, dan laki-laki tidak boleh tahu." Setelah diijinkan, Taylor menjauh dari kamar Dave.Sedang asik memilih, notifikasi pesan muncul dari Madonna. Salah satu model yang pernah menuduh Taylor.Kesopanan nomor satu, tetapi rasa penasaran lebih besar. Tanpa sepengetahuan Dave, Ta
Dave berniat ingin membangunkan Taylor di pagi hari, tetapi pintu kamarnya sudah terbuka lebar. Tidak biasanya Taylor bangun pagi, mungkin alarm dinyalakan.Melihat Taylor sedang menulis sesuatu, Dave mendekat untuk memperhatikan. "Tulis apa kamu?" tanyanya dengan seksama.Ada lima inhaler yang Dave beli saat itu. Taylor berniat menandai inhaler dengan stiker yang telah diberi nama. "Kalau inhaler-ku hilang, orang yang menemukan ini bisa langsung mencariku.""Orang di mana? Bagaimana mereka tahu wajahmu?" tanya Dave sambil memakai sticker nama di dahi."Maksudku, orang yang di sekolah- Apa yang Paman Jo lakukan?" Taylor heran dengan perilaku Dave yang terlihat seperti anak-anak. Sticker namanya tertempel di dahi Dave. Apa Dave berubah haluan menjadi sebuah barang?Sambil menunjuk ke arah sticker di dahi dan tersenyum, Dave meminta hal aneh, "Tulis namamu. Supaya semua orang tahu, kalau aku milikmu."Taylor terkekeh sambil menggelengkan kepal
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.
Gaun seksi yang sempat dilempar, terpasang kembali di tubuh Taylor. Gaun berwarna hijau gelap, ditambah dengan tas kecil hitam, sepatu hak tinggi hitam, serta rambut yang diikat tinggi. Terlihat sangat seksi, menurut Dave. Berdiri sendiri di tengah keramaian membuat Taylor sedikit kebingungan. Taylor datang demi Dave. Akan tetapi, tidal ada yang dikenal. Walaupun tidak ada yang Taylor kenal, kaki jenjangnya tetap berjalan ke tengah acara. Namun, langkahnya terhenti, karena ada beberapa model wanita yang sedang membicarakan Donna. "Aku kasihan dengan Tuan Dave. Seharusnya, Tuan Dave tidak menikahi Donna. Aku saja ragu, Donna hamil atau tidak." Wanita dengan rambut merah berbicara. "Dia bilang, dia hamil anak Tuan Dave. Tapi, menurutku, Donna berbohong. Entah dia berbohong atau tidak. Yang aku tahu, dia bermain tidak hanya dengan Tuan Dave." Giliran wanita berkacamata berbicara. Wajah terkejut terlihat dari wanita rambut merah. "Donna bermain de
"Begitukah?"Taylor mengangguk, setelah bercerita tentang apa yang Taylor dengar.Dua buku menu ada di tangan mereka masing-masing. Selagi mata mereka ke arah gambar menu, bibir mereka tetap bergerak.Salah satu pelayan wanita datang dengan note dan pulpen. Seragamnya terlihat terlalu melekat pada tubuh. Tidak lupa dengan senyum nakal, serta pulpen yang sengaja digigit. Semua bertujuan supaya Dave terpikat.Gadis yang duduk di depan Dave menatap Dave dengan tajam, ketika Dave tersenyum pada pelayan."Makanan terenak apa saja?" tanya Dave yang ingin tahu. Dave berencana membayar makanan untuk sang kekasih. Murah ataupun mahal, Dave siap."Kami memiliki Wild King Salmon dan Yellowfin Tuna. Kedua makanan itu selalu digemari para pelanggan," jelas pelayan bernama Aline. "Dan, Wild King Salmon adalah makanan kesukaanku."Dave sempat melirik kembali ke buku menu, sebelum matanya kembali menatap Aline. "Kesukaanmu? Sepertinya patut dicoba. B
Menunggu tidaklah menyenangkan. Sama seperti Taylor yang sedang duduk di mobil, menunggu Dave yang mendadak melakukan rapat."Jangan keluar, sebelum aku keluar." Seperti itulah pesan terakhir yang Dave sampaikan.Betapa membosankan hanya duduk diam di mobil. Radio pun terdengar kurang mendukung. Tidur? Taylor sudah banyak tidur, setelah peristiwa tidak menyenangkan terjadi.Peristiwa di ruang makan teringat kembali. Taylor sampai memegang bibir dan tersenyum sendiri."Cukup, Taylor. Aku tidak ingin gila seperti Si Jo menyebalkan itu," gumam Taylor dengan menoleh ke ara gedung perusahaan Dave. "Baru kali ini menjadi orang ketiga. Kenapa tidak aku menolak tadi?" Helaan napas keluar.Melihat ada lelaki muda yang berdiri dengan pakaian trendi, membuat Taylor berpikir dua kali.Menjadi kekasih dari Dave Jo, bukankah terdengar menggelikan?Semua orang akan mengira mereka hanyalah papa dan anak. Umur mereka juga terpaut jauh.Seharusn