Pantulan tubuh di depan cermin menampilkan sebuah pembuktian besar. Terdapat makhluk kecil, yang telah tumbuh cukup lama menjadi bagian dari raga dan kehidupannya.
Senyum singkat Rose tersemat tatkala usapan pada perut rata menciptakan sensasi hangat. Dia mengambil napas dalam, pelan – pelan semakin menerima kondisi kacau, meski dia tidak pernah berharap akan merawat darah daginnya seorang diri.Rose sempat berpikir dia benar – benar bernasib sama seperti Bridgette, yang harus menanggung kesakitan. Mencari arah hingga begitu putus asa, dan tak bisa mengontrol perasaan hancur maupun kecewa. Seharusnya mereka berbeda. Rose menyakinkan hal itu agar tidak terjerumus dari keinginan mengakhiri hidup. Teriakan Bridgette ketika mengetahui kenyataan—sedang mengandung atas aksi pemerkosaan Xelle, masih membayang di pikiran Rose. dia tak ingin hal demikian juga berakhir padanya. Cukup di rumah sakit dia bertingkah seperti orang bodoh. SelebihnyTiga minggu membiarkan ego menang di atas kerinduan, seperti memaksa Theo jatuh ke dasar jurang—ada begitu banyak semak belukar yang melilitnya tanpa bisa melakukan perlawanan.Theo duduk bergeming di depan laptop. Hari demi hari, hanya bisa memantau gerakan Rose dari cctv yang sudah diretas.Video tanpa suara yang tersaji di hadapannya, terkadang menghantui Theo untuk melakukan satu hal—pergi dan temui, meski itu tidak tidak pernah terjadi. Dia masih menunggu Rose menghubunginya, sekadar mendengar kelembutan yang menjadi candu. Masih menunggu, tidak peduli betapa mudah baginya meretas ponsel Rose, demi menyiram sedikit kegersangan di dalam hati.Masih setia menunggu, tidak peduli sekalipun kesabarannya tak membuahkan hasil. Wanita yang begitu diharapkan tidak pernah memenuhi ekspektasi.Semua berada di luar nalar. Seharusnya, sudah sejauh ini, apa lagi yang Theo pegang dari kata – katanya? ‘Buka pintu sekali saja, karena setelah keluar dari gedung ini. I swear to you, you’ll never
Persiapan yang sudah begitu jauh, memupuk harapan bagi mereka yang telah berjuang, melawan hakikatnya klausa—ada yang bersimbah darah, ada yang memelihara nanah hingga bersimpuh, tersaruk – saruk sekadar bisa bahagia.Secara sederhana, takdir telah mengukur sejauh mana kemampuan bertahan seseorang dengan menciptakan dua elemen gila antara singgah dan berpisah ... ketika memilih salah satu, yang lainnya akan menyebut itu sebagai keegoisan. Namun, apabila memilih keduanya, tidak sedikit ada yang mengatakan itu adalah kesusahan.Seperti hari ini, tepat satu bulan janji yang Rose ucapkan. Dia akan mempersembahkan sebuah kejutan manis kepada temannya, setelah sempat mengalami penolakan Oracle.Rose sudah berhasil. Sekarang anak itu sudah siap. Lebih dari siap saat mendengar kabar akan dijemput. Bahkan saat ini juga dia tengah berdiri beberapa meter dari ambang pintu, menghadap lurus ke arah luar. Wajah sumringah dengan raut tidak sabarnya benar – benar membuat Rose seperti manusia beruntu
“Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Bridgette memeluk erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan darinya. “Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundak Bridgette pelan. “Katakan, harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Bukan hanya Xelle, Bridgette juga tidak tahan sampai yakin suaranya terdengar begitu getir. Tidak tega dia mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Bridgette tak punya pilihan. Jika dia membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Bridgette juga tidak ingin membuat Xelle dan Oracle kembali terpisah, seperti yang dulu pernah dia lakukan—menyembunyikan identitas asli Oracle hingga menimbukan konflik besar antara dia dan pria yang kini bestatus sebagai suaminya. Bridgette pernah memisahkan ayah dan anak itu sejak Oracle masih dalam kandungan. Dia tidak mau mengulang kesalahan di masa lalu. Dan kalau harus jujur,
Datang. Selamatkan aku, sebelum aku jatuh sangat jauh.________________________Setelah lama berdiam diri di balik pintu kamar Rose, menunggu perpisahan yang tersaji di depannya benar – benar bubar. Theo melangkah keluar dengan derap memenuhi keheningan, mengikuti keberadaan seseorang yang kini tenggelam ditelan badan sofa.Theo menipiskan bibir, jemarinya mengetat di tumpuan kepala sandaran sofa tempat Rose memunggungi. Sorot abu – abu yang sempat membidik Rose tajam, berubah teduh saat dia menyaksikan sendiri bagaimana tubuh ringkih itu meringkuk, menahan kesedihan dengan pandangan setengah kosong—sama sekali tidak menyadari kehadirannya di belakang.“Oracle.”Gumaman itu tanpa sadar berlomba – lomba menyadarkan Theo akan sesuatu. Rose lebih terlihat seperti pualam, yang harus diperlakukan dengan baik atau akan pecah menjadi keping – keping.Embusan napas Theo mengudara pelan. Tanpa mengatakan apa pun dia menegakkan tubuh, kemudian mengulurkan lengan demi menyentuh surai pirang Ros
Are you here for me at all?________________________ “Aku sudah memintamu untuk tidak membayar utang itu, tapi kau masih saja melakukannya!”Rose memutar tubuh Theo begitu para pria yang tak diharapkan keberadaannya pergi menyisakan manik yang saling menyorot tajam dan menuding satu sama lain.Atsmofer berselimut kalbu telah membara liar di antara mereka. Terutama satu wajah yang semula damai tampak membeku, menatap Rose dengan kelam tanpa perasaan. Rose bergerak mundur saat selangkah demi selangkah, manusia yang sering berubah sikap tanpa alasan mendekat. Terus menerus seperti itu hingga tubuh Rose menyentak dinding di belakang cukup keras.Rose diam tak bisa mengatakan apa pun, ketika terasa sapuan tangan menyugar helaian anak rambutnya ke belakang. Wajah itu memang terlampau dingin, tapi sentuhannya sungguh berbanding terbalik—penuh kelembutan dan begitu hati – hati.“Several days ago, I was so mad at you. No, not only you gave me back my money without my permission.”“Tapi aku me
“Cuma melelehkan cokelat, bukan besi. Kenapa lama sekali, Lion?” Nada tidak sabaran berulang kali memecah konsentrasi pria yang sedang sibuk mengaduk dan menekan tumpukan cokelat batang yang ditim di atas didihnya air. Ada 10 batang telah dihancurkan menjadi keping – keping untuk memudahkan kegiatan Lion. Dia membutuhkan beberapa waktu lagi menunggu sampai cokelat itu benar – benar meleleh agar bisa disajikan. Tadi, sebelum akhirnya berada di dapur. Lion mendapat panggilan mendadak yang harus diterima tanpa bisa dibantah. Pergi mencari makanan apa saja yang berbau cokelat dalam jumlah banyak. Bukan kali ini saja dia mendapat perintah tidak masuk akal, karena keanehan luar biasa yang ditemui belakangan ini sungguh membuatnya kelimpungan. Beberapa kali sempat terjadi, salah satunya tempo hari lalu dan itu berlangsung di tengah malam buta. Lion diminta pergi mencari makanan yang nyaris tak pernah tersedia di restoran Italia yang beroperasi selama 24 jam. Kala itu, Lion harus bisa mene
“Keep going, Rose.”Erangan kenikmatan terus berpacu dengan pernyatuan yang beradu cepat. Tekanan naik turun, hingga reaksi mengetat dan melonggar menciptakan sensasi menggelitik pada insan yang tengah bercinta.Jemari besar itu meraih puncak dada yang menantang, memelintirnya secara bersamaan tatkala sang wanita masih bergerak liar.“Ah.” Desahan meraung bebas dari bibir ranum yang tampak begitu menggoda ketika tangan besar dari prianya meremas bongkahan dada yang dia miliki dengan kuat.“Hold on.”Pernyatuan dari keduanya berlanjut semakin kasar. Pria yang berada di posisi bawah, menyentak kuat tubuh seksi yang selalu memuaskannya di atas ranjang. Semakin dia bergerak secara beringas, semakin dekat gelenyar aneh membelainya sampai ke awang – awang.“Keluar bersama.” “Oh. Rose.”Hentakkan itu tertahan saat semburan magma melumasi daging di dalamnya. Napas mereka kian saling memburu dengan sosrot saling menyatu. Netra sebiru samudra menatap teduh wanita pemilik aksa hazel yang hanya
“Sekarang katakan apa maksudmu tadi, Sugar.” Theo menarik pinggang Rose, mendekap erat – erat tubuh ideal yang sangat pas dengan posturnya. Lantas memainkan helaian rambut Rose hingga menjadi acak.“Lepaskan dulu.” Rose berusaha menarik lepas lengan kokoh yang tak terganggu gugat, sesekali dia menepuk dan memberi cubitan kuat. Namun, hasilnya tetap sama, nihil. Hanya senyum yang tampak mengejek.“Just let me know, and I’ll let you go.” Bisikan sensual disertai jilatan di cuping telinga membuat Rose bergidik menjauhkan wajah. “Kau harus janji tidak akan marah setelah mendengar ini,” ucapnya sembari melotot dan mendorong dada bidang Theo sebagai pemisah.“Ya. Aku janji tidak akan marah. Katakan, apa maksudmu ‘demi anakku’?”Jemari Rose bergerak menutup bibir Theo yang saat ini terkatup rapat. Dia mencoba menahan tawa yang akhirnya melengkungkan senyum lebar.“Tunggu. Biarkan aku bernapas dulu. Aku ingin terta—“ Suara Rose tercekat. Kemudian dia menutup wajah dengan kedua tangan. Terden
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk