“Undangan sebanyak ini siapa saja yang akan hadir di acara kita?”Perhatian Rose tertuju pada Theo dan selembar kertas berbahan concorde di tangannya. Sesekali dia berpaling ke belakang untuk memastikan keberadaan setumpuk undangan tersusun bertingkat – tingkat yang sebagiannya berada di bagasi mobil dengan sisa menduduk di kursi penumpang.Warna keemasan pada hampir keseluruhan kertas undangan memberi kesan mewah, apalagi bingkaian tulisan yang timbul di permukaan menambah sisi elegan. Rose suka ketika sedang meraba bagian dari huruf – huruf yang mencuak keluar. Rasanya dia baru saja memanjakan jari – jari tangan.“Namamu sudah benar di situ?”Namun alih – alih menjawab pertanyaan Rose, Theo sebaliknya menanyakan satu hal itu padanya.“Sudah.” Sesaat Rose kembali memperhatikan kertas undangan.O’Douglas.Netranya menelisik lamat – lamat nama yang tersemat di belakang. Rose tak pernah diizinkan untuk menyandang sebutan ‘O’Douglas’ selama sisa hidupnya, tetapi kali ini Rose mengambil
“Datang sama siapa?”Rose merasakan sentuhan di puncak kepalanya segera melepaskan diri dari dekapan Bridgette. Xelle tersenyum ke arahnya dan sepertinya saat pria itu baru pulang dari kantor. Kemeja biru panjang di tubuh itu sedikit teracak dengan separuh kancing terbuka, sehingga bekas kemerahan di kulit dada Xelle samar – samar mencuak.Rose mengerti ... dia baru saja salah menduga.“Aku rasa kedatanganku mengganggu kesenangan kalian,” ucapnya tidak langsung menjawab pertanyaan Xelle, tetapi di waktu bersamaan Rose mendapat cubitan ringan di lengan sekaligus perlototan Bridgette yang merupakan isyarat ‘diam’.“Aku akan membawa Rose ke dalam. Jangan lupa setelah ini mandi, Axe. Kau sangat berantakan. Dan satu lagi, katakan pada Edward satu jam lagi untuk jemput Oracle dan Campel di sekolah.”Sudah selangkah Rose mengikuti ke mana Bridgette menuntunnya, seketika dia membekukan diri mengingat Theo di dalam mobil.“Aku tidak bisa lama, Bridgette. Theo sudah menungguku.”“Jadi bajingan
Siapa sangka dua minggu sejak hari itu akan terasa singkat selama pelbagai perjalanan sibuk selesai Rose lalui. Semua seakan dalam sekejap berakhir, hingga di bawah naungan gedung besar nan mewah dia berdiri. Tersenyum di hadapan suaminya yang tampan dengan surai hitam telah tumbuh tersisir rapi. Begitu pula alis tebal dan manik mata kelabu menjadi perpaduan sempurna, ditambah sentuhan panas dari bibir yang terkadang membalas senyumnya, dan demikian membisik kata – kata nakal yang nanti akan pria itu rencanakan setelah pesta digelar.Harusnya tak ada lagi yang perlu Rose cemaskan saat ini. Hanya menjalankan sisa terakhir dari rencana yang akan membawanya pada keluarga utuh, lalu menunggu bagaimana Theo akan memperjuangkan kebahagiaan mereka bersama. Namun selama dia di sana. Sesekali menggerakkan kaki teratur—maju mundur bergiliran dengan lengan merangkul erat di lingkar leher suaminya. Rose tak menemukan satu pun yang sekiranya masih membekas samar – samar rupa kedua orang tuanya di
"Dia sangat pintar dalam penjiwaan.” Rose berbisik pelan di wajah Bridgette yang baru terlihat setelah pentas drama dimulai. Tidak perlu Rose tanya ke mana saja wanita itu, dia bisa menduga apa yang sudah dilakukan pasangan yang sedang duduk di sampingnya dari penampilan sedikit kacau beberapa saat lalu.“Ya. Pantas saja dia menjadi pemeran utamanya. Dia sangat cantik.”Rose mengangguk setuju saat Bridgette turut berbisik. Para mahasiswa yang direktrut untuk memerankan drama di atas panggung pernikahannya benar – benar piawai. Pelafalan dan intonasi begitu pas dan sesuai, terutama saat mereka melakukan blocking. Rose ingat hal – hal seperti itu yang sering kali ayahnya komentari ketika menonton teater jalanan. Sampai detik ini Rose belum menemukan keberadaan ayahnya. Rose menatap Theo sesaat. Suaminya terlalu fokus menyaksikan drama teater. Tatapan tajam dan bibir terkatup rapat itu sangat panas. Rose ingin menyentuh Theo urung oleh kedatangan pelayan yang menghampirinya. Pelayan yan
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar