“Sean! Ada yang mencarimu.” Charlotte menggebrak pintu rawat rumah sakit secara tiba – tiba, lantas menutup pintu itu kembali. Napasnya terengah mendekati Sean yang terbaring di atas blankar. Membuat pria yang berusaha memejam, kembali membuka mata lebar – lebar.“Siapa?” tanya Sean pelan, masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya.“Tidak tahu. Penampilan orang itu seperti bukan orang sembarangan dan terlihat sangat berkelas.”“Di mana dia sekarang?”“Tadi ada di meja resepsionis. Aku sempat mendengarnya bertanya pada suster di mana ruangan kau dirawat.”Dahi Sean berulang kali berkerut heran. Dia menatap langit – langit rumah sakit. Bertanya dalam hati, siapa kira – kira orang yang mencarinya. Belum usai pikiran Sean melanglang buana. Suara pintu terbuka secara tidak langsung menarik perhatian dua orang di dalam kamar rawat. Sean dan Charlotte berpandangan ke arah yang sama. Ambang pintu di mana seseorang tengah berdiri dengan pelawakan angkuh. Gigi Sean sontak bergemelatuk penuh
Netra cokelat itu mengerjap, berusaha membiasakan diri dari cahaya lampu yang menyorot wajahnya. Asing. Tidak tahu sedang berada di mana ... Rose benar – benar dibangunkan rasa pusing, setelah ditidurkan oleh sesuatu yang menusuk daging.Dia berpaling, menemukan seorang pria tampan sedang di sampingnya dengan mata terpejam. Wajah adonis itu terlihat murni, polos seperti tanpa dosa saat sedang terlelap.Tanpa sadar lengan Rose terulur, jemarinya menyentuh dahi Theo sebagai permulaan—dilanjut dari sentuhan batang hidung hingga ke bibir bawah yang bagian tengahnya sedikit terbelah. Lama kegiatan itu berlangsung, tiba – tiba tubuh Rose tersentak ketika sebuah tangan mencekal pergelengannya.“Sudah puas?” Suara khas bangun tidur terdengar begitu seksi. Wajah Rose memerah menahan rasa malu setelah sorot abu – abu Theo terbuka, menatapnya dengan kerlingan nakal.Rose melotot. “Lepaskan tanganku,” ucapnya sembari berusaha melepaskan diri dari genggaman Theo.“Tidak akan. Aku mau tahu, tadi
“Dan, satu lagi. Apa kau bisa mencukur bulu – bulumu yang menjijikkan ini? Mereka sangat menggangguku.”Rose merasakan gerakan kecil Theo yang memisahkan tubuh mereka. Masih dengan sentuhan di bahu, pria itu menyorot wajahnya, seakan sedang menantang dan meremehkan ... terlihat dari sudut bibir yang melengkung tinggi.“Sepertinya ada sesuatu yang beda. Aku rasa kemarin kau tidak terlalu mempermasalahkan tentang bulu dada. Aku terlanjang di depanmu pun kau tidak protes. Kenapa sekarang tiba – tiba kau memintaku mencukurnya?”Theo menyugar beberapa helaian rambut pirang Rose ke belakang. Jemarinya lagi – lagi menggenggam sisa surai yang ada di pundak wanita memesona itu dengan satu kepalan tangan. “Berikan aku alasan lebih jelas. Nanti aku akan coba pertimbangkan, menuruti keinginanmu atau tidak,” ucapnya seraya menunduk. Bibir Rose yang tampak terbuka dan tertutup—ragu ingin mengatakan sesuatu, benar – benar menarik rasa penasaran Theo lebih dalam. Sebelah lengannya terulur mengusap ku
“Bagaimana bisa Anda menyembunyikan hal penting seperti ini dari tuan, Nona? Sebelum membawa Anda kemari, tuan sempat membius Anda secara total. Dan itu sangat berisiko bagi janin yang sedang Anda kandung. Apalagi kehamilan Anda masih berada di trimester pertama.” Travis menjeda sebentar, berdecak tidak habis pikir. Semoga saja Theo tidak marah besar ketika mendengar hal demikian.Berat hati Travis menarik napas dalam – dalam dan mengembuskannya kasar. “Maafkan saya, Nona. Tapi setelah tuan kembali, saya akan memberitahu beliau bahwa Anda sedang mengandung.”Rose berpaling cepat. Tidak ada yang lebih berarti dari pernyataan panjang kali lebar Travis, kecuali kalimat terakhir yang pria itu lontarkan. Travis tidak bisa bersikap seperti itu. Sungguh. Dengan yakin Rose menggeleng, berusaha menenangkan perasaan yang mendadak kacau. “Aku mohon padamu, Dokter. Jangan katakan ini pada tuanmu. Jangan sekarang, aku belum siap.”Hati – hati Rose mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menatap Trav
“Lion,” panggil Rose sayup – sayup. Berulang kali menyebut nama yang sama.Suatu kebetulan Lion berlalu melewati depan pintu kamar Theo, saat Rose tak punya pilihan selain bertahan di posisinya—urung beranjak keluar usai menyadari betapa besar gedung tempatnya bernaung. Rose sempat menutup pintu yang masih dipegang ganggangnya. Namun, suara derap kaki Lion yang terjeda setelah dihentikan memberi peluang kecil. Rose menenggelamkan separuh tubuh di balik pintu. Dia melambaikan tangan—meminta Lion untuk mendekat. Sesekali Rose berpaling ke arah ranjang. Bersyukur Theo masih bergelut dengan lelap di sana. Rose akan gencarkan pembalasan dendam.“Ada apa, Nona?” tanya Lion disertai kernyitan heran.“Sstt. Bicara pelan – pelan,” ucap Rose seraya meletakkan jari telunjuk di depan bibir. “Come here, aku butuh bantuanmu.”Isyarat memintanya untuk menunduk Lion ikuti. Dia mendekatkan wajah, mendengar dengan saksama penuturan di balik bisikan Rose. Permintaan Rose terasa aneh. Lion sedikit menja
Gelap.Theo tidak bisa menyaksikan setitik cahaya. Pandangannya tertutup kain hitam tipis. Dia berpaling, berusaha memahami situasi dengan menangkap bunyi sekecil apa pun dari pergerakan Rose. Terasa Rose kembali menaiki ranjang.“Dalam kegelapan kau tampak seperti wonder woman.” Theo bicara saat merasakan sentuhan di dadanya. “Kau sedang apa, Sugar?” Sensasi lengket tak urung menciptakan rasa penasaran. Theo ingin tahu apa yang saat ini Rose kerjakan.“Barusan tadi kau bilang apa. Aku tampak seperti wonder woman. Sekarang aku mau membasmi bulu – bulu menyebalkan ini.”Tidak ada yang tersisa dari adonan waxing, yang kini mangkuknya Rose letakkan di atas nakas. Tinggal menunggu lelehan lilin itu membeku, Rose bisa menariknya lepas dari arah berlawanan di mana bulu dada Theo tumbuh.Mengurut berdasarkan hitungan terbesar. Rose nyaris menepuk tulang rusuk Theo setelah menyadari betapa adonan waxing darinya makin mengeras. Negara api sebentar lagi akan menyerang. Dia sudah tidak sabar.“
Langkah Rose terhenti. Tubuhnya beku saat pertama kali memasuki ruangan besar yang dipenuhi rak – rak tinggi dan fungsionalitas. Segala pakaian beserta perlengkapan jenis lainnya terorganisir sempurna. Pada masing – masing titik tidak terlewat satu pun kekosongan. Setiap rak terisi rapi, memudahkan pencarian di tengah keterlambatan.Di sana, di pertengahan ruangan, Rose mendapati Theo sibuk mengenakan dasi berwarna dongker. Sangat kontras dengan kemeja biru langit yang membalut tubuh besarnya. Penampilan pria itu nyaris sempurna. Sementara Rose, masih berusaha mencari di mana letak pakaian wanita. Sorotnya berpendar jauh. Namun, tak satu pun perlengkapan bisa Rose temukan. Walk in closet yang dia masuki hanya menyediakan keperluan Theo.“Kau letakkan di mana semua pakaianku?” tanya Rose sedikit kesal. Dia menuding Theo dengan tatapan tajam. Mendekat sembari memeluk bathrobe kebesaran di tubuhnya.“Pakaianmu tidak ada di sini. Yang aku bawa kemari hanya tubuh dan ponselmu, selebihnya
“Bangun, Sugar. We should go now.”Theo mengendus leher jenjang memabukkan itu. Pulang – pulang, masuk ke dalam kamar, dia harus mendapati Rose tertidur membelakangi posisinya saat ini—yang bersimpuh, menunggu Rose membuka mata.“Sugar.” Segala jenis serangan halus Theo gencarkan tanpa henti. Namun, usahanya tak cukup sekadar menarik Rose kembali dari alam bawah sadar.Sedikit menggeram Theo melentangkan tubuh Rose. Gerakan kecil dari kelopak yang memejam itu membuatnya mengernyit heran. “Kau pura – pura tidur ya?”Theo menjauh dengan perasaan setengah dongkol. Bibirnya menipis saat Rose hanya mencebik, dan memosisikan diri bersandar di kepala ranjang.“Aku baru bangun. Kau menggangguku saja,” gerutu Rose disusul tatapan tajam yang menyorot wajah adonis di hadapannya.“Kita harus pergi sekarang. Gunakan waktumu seefisien mungkin. Aku cuma punya waktu dua jam untuk menemanimu berbelanja.”Mendengar itu Rose mengerjap cepat. Apa yang bisa dia dapatkan sesingkat dua jam berbelanja? Rose
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk