“Bangun, Sugar. We should go now.”Theo mengendus leher jenjang memabukkan itu. Pulang – pulang, masuk ke dalam kamar, dia harus mendapati Rose tertidur membelakangi posisinya saat ini—yang bersimpuh, menunggu Rose membuka mata.“Sugar.” Segala jenis serangan halus Theo gencarkan tanpa henti. Namun, usahanya tak cukup sekadar menarik Rose kembali dari alam bawah sadar.Sedikit menggeram Theo melentangkan tubuh Rose. Gerakan kecil dari kelopak yang memejam itu membuatnya mengernyit heran. “Kau pura – pura tidur ya?”Theo menjauh dengan perasaan setengah dongkol. Bibirnya menipis saat Rose hanya mencebik, dan memosisikan diri bersandar di kepala ranjang.“Aku baru bangun. Kau menggangguku saja,” gerutu Rose disusul tatapan tajam yang menyorot wajah adonis di hadapannya.“Kita harus pergi sekarang. Gunakan waktumu seefisien mungkin. Aku cuma punya waktu dua jam untuk menemanimu berbelanja.”Mendengar itu Rose mengerjap cepat. Apa yang bisa dia dapatkan sesingkat dua jam berbelanja? Rose
Langkah angkuh Magdalena melaju fokus melewati beberapa orang di sekitarnya. Tatapan wanita itu hanya tertuju pada seorang pria, yang tengah sibuk memainkan ponsel dengan posisi bersandar di samping dinding pembatas restroom wanita.“Dasar bajingan!”Satu tamparan berhasil Magdalena berikan saat posisinya tak lagi berjarak. Wajah tampan itu ditatap penuh dendam. Semua bukti yang diberikan lawan pengacaranya kepada hakim menyudutkan Magdalena sebagai pihak bersalah. Sidang perceraian sebentar lagi akan mencapai titik akhir, dan dia tidak tahu harus dengan apa mempertahankan pernikahannya yang terancam bubar.“Kau benar – benar tega, T! Bersikeras ingin menceraikanku, kenapa? Karena wanita lain?”Magdalena tidak peduli bagaimana tatapan heran dari beberapa pengunjung mall yang tak pernah lepas, terus menyorotnya. Dia hanya ingin melampiaskan kemarahan tak terbendung, ketika mengetahui wanita lain tinggal di mansion besar yang pernah ditempati. Haruskah dengan cara seperti itu Theo menyi
“Apa lihat – lihat?” tanya Rose dengan posisi duduk di sofa yang terbentang di sandaran dinding—tidak jauh dari posisi Theo yang saat ini masih bergelut bersama beberapa berkas penting.Di atas meja kerjanya, Theo membolak – balikan dokumen secara asal. Tidak fokus memeriksa isi yang tertera di sana saat aksanya tak henti – henti menyorot wajah Rose, yang kian dipolesi make-up tipis. Sedikit perlengkapan yang baru saja dibeli ketika berada di mall.“Pekerjaanmu tidak akan selesai, jika kau terus melihatku seperti pria bodoh,” sindir Rose sembari memoleskan lipstik di bibir.Kegiatan kecil demikian memaksa Theo mengernyit dalam selama memperhatikan sentuhan jemari Rose. “Aku tidak mengerti. Itu bibir, atau tanaman aglaonema suksom, huh? Merah menyala seperti ingin perang.” Jeda sesaat. Theo memasukkan file hardcopy di tangan ke dalam map, menyimpannya di laci. Kemudian kembali menatap Rose dengan kerlingan nakal. “Kau ingin bakar apa dengan warna bibir seperti itu, Sugar?” tanyanya set
Sudut bibir itu melengkung, menambah aksen manis pada wajah memesona yang menyorot dua mainan kecil di tangan dengan tatapan sendu. Perjalanan yang telah jauh, membelah kerinduan yang tak pernah sama. Bayangan akan panggilan hangat dan beberapa pertanyaan polos terus menggema, merasuki ketenangan yang terbenam dalam keheningan. Seteringat itu Rose pada potongan manik yang membulat penuh rasa ingin tahu.Bagaimana kabarnya sekarang?Rose terkekeh pelan. Pertanyaan retoris tidak seharusnya berkumandang memenuhi isi kepala. Dia tahu jawaban seperti apa yang begitu tepat melengkapi rumpang di benaknya.Baik – baik saja.Tidak ada yang lebih sempurna dari pernyataan tersebut. Pelukan hangat seorang ibu dan perlindungan sang ayah, sudah lebih dari cukup sekadar mengingatkan Rose untuk tetap mengikhlaskan. Meskipun, dia tidak sanggup harus terjebak dengan pusara rasa yang kian mencekik. Mainan yang sengaja dibeli saat Theo mempersilakannya memilih apa saja yang Rose inginkan, hanya untuk sa
Kepalan jari – jari Rose menggenggam erat pulpen trim emas di tangannya. Pilihan yang berakhir tak bisa ditolak, membuatnya membumbui tinta hitam di atas kertas sebagai bentuk formalitas. Ntah hal itu akan berlansung sejauh mana, satu tahun yang Theo janjikan cukup memberi Rose harapan terbebas dari hubungan terkontrak.Sungguh. Menjadi seorang sugar baby tak pernah terlintas sama sekali di sepanjang hidup Rose. Bahkan harus berurusan dengan tindakan yang bersifat hukum, memberi rasa waspada secara berkala. Bagaimana jika suatu saat nanti Rose merasa tidak betah dan melakukan pelanggaran?Sampai kapan pun dia tak akan bisa mundur. Bukti dari kesepakatan yang terjadi telah direkam dan diarsipkan sebagai dokumen penting. Celakalah Rose. Semoga saja dia tidak mengambil tindakan yang akan menjerumuskannya ke dalam hal – hal negatif. Jelas Theo tidak akan membiarkan segela keputusannya terasa mudah.Rose mendengus. Meletakkan pulpen yang digenggam ke atas meja. Dia bangkit, mendorong kurs
‘This video has been removed’.Kepalang tanggung, Theo turut menargetkan beberapa aplikasi yang menjadi kanal unggahan video dirinya bersama Magdalena tersebar. Melakukan serangan DDoS, yang bertujuan untuk melemahkan dan membuat sistem kelebihan beban dengan membanjiri lalu lintas palsu ke dalam server atau alamat IP.Keseluruhan pengguna akan kehilangan akses ke aplikasi dalam kurung waktu tertentu. Yang mana pemulihan DNS (domain name server) tidak akan berpengaruh, sekalipun para progammer mencoba melakukan perbaikan. Mereka tidak akan bisa mengerjakannya secara kilat.Keluar dari tampilan hacking. Theo meraih ponselnya yang berdering beberapa kali. Mendapati nama Lion tertera di sana.“Ada apa?” Dia bertanya sembari mengarahkan kursor ke jendela berbeda. Membuka sindikat program Dor D’Murder miliknya.[Sudah kami temukan penyebar video itu, Tuan].“Good. Where’s he now?”[Kami berada di ruang bawah tanah, Tuan].Theo memutuskan sambungan secara sepihak. Gemercik amarah tertuang l
Perjamuan yang dilakukan tetua dunia gelap dan beberapa anggota lainnya berlangsung penuh penghormatan. Satu di antara mereka merupakan tamu undangan yang keberadaannya begitu dihargai.Di sana tidak ada percakapan selama garpu dan sendok masih berdenting di atas piring. Hanya tatap penuh waspada, saling melirik, terkadang fokus pada santapan masing – masing.Berselang lama, salam pengakhiran ditutup dengan gelas – gelas yang bersulang di udara. Mr. Alejandro mengambil sapu tangan di atas pangkuan, mengusap bibirnya hingga mengering. Dia tersenyum begitu sorot abu – abu dan miliknya bersirobok. Pria yang ingin ditemui, akhirnya berada satu ruang makan bersamanya.“Bagaimana rasa icewine yang membakar tenggorokanmu? Kau menyukainya?” “Tentu saja. Kau tidak pernah membuatku kecewa.”Kekehan keduanya saling bersahut, disusul percakapan sisa anggota lain. Verasco memberi isyarat pada lawan bicaranya. Mencari tempat lain untuk membicarakan hal lebih penting.“Ada apa? Kenapa kau mengajakku
Elusan ringan terus berulang dari puncak menuju bagian belakang kepala. Senyum memuja seorang wanita tak pernah henti, dipandangi wajah yang begitu melemahkan kewarasannya. Wajah tampan yang baru kali ini bisa ditelusuri dari jarak dekat. Betapa indah rupa pria yang dia kagumi dalam diam. Bisakah suatu saat nanti dia memiliki pria itu?Gurat lelah tampak begitu kentara. Wanita yang kini menjatuhkan jemari lentiknya pada rahang yang terasa kasar, untuk saat ini tidak ingin melakukan kegiatan lain. Dia takut membangunkan pria yang jatuh tertidur di atas meja bar dengan posisi kurang nyaman.Sempat bersembunyi. Wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana Theo menghabiskan sisa potongan buah dalam keadaan setengah melamun. Sebuah keuntungan baginya saat Theo tidak memilih pergi. Kapan seharusnya dia bisa muncul di hadapan Theo sebagai seseorang yang begitu ingin dicintai?Dia menggeleng tidak yakin. Ada sebuah konsekuensi yang akan diterima apabila harapan demikian terjadi. Tahan ... sebaikn
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk