“Kau sepertinya baru di sini?”Rose menatap ragu seorang wanita cantik, yang turut mengantre di samping. Wanita berpenampilan bak seorang model itu kian memperhatikan nampan di tangan Rose. Merasa heran dengan dua cup gelato yang terletak di sana.“Dari tadi aku melihatmu sendiri, tapi kau akan membayar gelato untuk dua orang,” gumamnya tanpa sadar.“Ini satunya lagi untuk temanku.” Rose tersenyum kaku, tidak mungkin menyebut Theo dengan panggilan sesungguhnya. Wanita yang Rose sangka, merupakan salah satu staff di kantor. Bisa saja melihat Rose dan Theo bersama dan akan berpikiran buruk mengenai hubungan mereka.“Di mana temanmu? Aku tidak melihatnya.” Wanita itu menoleh ke segala arah. Mencari ‘teman’ yang Rose maksud.“Dia masih sibuk kerja.”“Bukannya sudah jam istirahat?” timpal lawan bicaranya kebingungan.Rose diam, fokus membayar pesanan begitu tiba gilirannya. Dua gelato rasa cokelat dibungkus rapi dengan tambahan toping chocco chip. Rose sudah tidak sabar untuk mencicipi. Na
“Ini dokumen pentingmu, Sugar. Malam itu aku lupa mengembalikannya.” Netra cokelat Rose memicing. Map persis miliknya tersuguh oleh lengan yang terulur panjang. Dari bentuk ukuran tebal, mungkin berkas daripada map tersebut masih terisi utuh. Tapi bagaimana dengan foto masa kecilnya? Rose merenggut asal benda persegi panjang dari tangan Theo. Membongkar sebagian isi dan meletakkannya di atas ranjang. Dia tahu pada dokumen mana secarik kertas yang dicarinya terselip.Namun, tidak ditemukan kenangan yang tersisa dari masa lalu. Hanya ada kekosongan di sana. Rose menipiskan bibir. “Pasti kau pelakunya. Di mana foto masa kecilku? Kembalikan!”“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” Theo melipat kedua tangan di depan dada. Menantang dengan senyum kepuasan saat Rose memandangnya sinis.“Aku akan ambil foto masa kecilmu. Di mana? Berikan padaku!”Ntah salah bicara atau tidak, ekspresi Rose turut berubah begitu riak wajah Theo mendadak muram. Lipatan lengan yang mengendur dan jemari yang mengepal
Berlari. Memacu kaki menuju pintu terbuka. Sesekali Rose menoleh ke belakang, mendapati langkah Theo makin melambat—tertinggal jauh dari posisi Rose saat ini. Bahu lebar itu tampak naik turun. Tangan Theo terus mengepal erat di dada. Kesulitan bernapas dengan sesuatu terasa menusuk saraf otot.Gerakan Theo terhenti. Sebelah lengannya merambat, berusaha menarik benda tajam—sejenis panah yang tertancap di sisi kanan punggungnya.Seseorang, ntah siapa, menembakkan dart berukuran 10 gauge berdiameter cukup lebar dan berisi cairan bening yang sudah berkurang.Theo melempar asal benda itu ke tanah, kembali ingin melanjutkan langkah. Namun, pandangannya mendadak buram—hampir menggelap. Kalau saja seseorang tidak mencegah tubuhnya ambruk.“Theo.”Sayup – sayup suara Rose masih tertangkap samar. “Ma—masuk.” Theo bicara putus-putus. Bukan kondisinya yang dia pikirkan, tetapi Rose yang menjadi sasaran utama. Serangan bisa kembali terjadi kapan saja pada Rose. Theo tidak bisa memastikan dia dapat
The Lagos’s Mansion. Deepest Forest in Milan.“Aku ikut.”“No, Baby girl. Aku hanya sebentar ke sana. Setelah itu kita ke Kanada. Kau atasi dulu kecemasanmu yang tidak penting itu. Aku sudah bilang padamu ‘kan? Rose pasti baik – baik saja. Ponselnya tidak tersambung, bukan berarti kau tidak bisa menemui Rose secara langsung.” Xelle beranjak cepat membuka pintu mobil. Kehamilan Bridgette yang baru diketahui setelah berbagai persoalan yang telah mereka lalui, makin menambah sisi possesifnya. Dengan keamanan mansion yang begitu ketat, Xelle tidak akan membawa Bridgette dan Oracle ke manapun jika bukan untuk kepentingan mendesak.“Aku pergi dulu,” pamitnya sejenak menunduk, memberi sentuhan ringan di perut rata Bridgette. “Jangan nakal selama aku pergi, okay?” Xelle mengecup singkat bibir wanita yang begitu dicintai. Kemudian masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin—sesekali menatap Bridgette dengan senyum hangat.“Jangan terlalu lama.”“Iya.”Pedal gas diinjak. Mobil berlalu meninggalkan
Aku tak berharap kau akan menjadi cintaku.________________________ Satu jam perjalanan. Penjuru tampilan luar yang dipenuhi pasukan bersenjata, berjejer seperti hamparan medan perang. Di setiap sudut terisi beberapa tembakan peledak. Dan sisi sayap kiri-kanan mansion, beberapa penjaga berlalu lalang dengan cekatan.Xelle menarik diri dari dalam mobil. Berjalan cepat menghampiri Lion yang tak kalah gesit mendekatinya.“Pagi, Tuan.” Sapaan hangat mendapat anggukan pelan. “Apa yang terjadi di sini?” tanya Xelle tanpa basa-basi. Wajah Lion disorot sengit, saat pria itu menunduk tak ingin menjawab.“Aku bertanya padamu. What the hell is going on here?”“A little accident, Tuan.”“What kind of accident?”Suara serak dan dalamnya terdengar dingin. Ekor mata Xelle memicing waspada. Mencari keberadaan Theo yang tak terlihat sejak pertama kali Xelle menginjakkan kaki di halaman luas tersebut.“Di mana bajingan itu? Dia tidak membalas pesanku. Biasanya dia orang pertama yang akan menyambutku s
Satu pukulan terakhir mendarat bertepatan derap kaki masuk ke dalam ruangan yang sama. Bunyi dentingan benda jatuh dan serpihan kaca menyebar ke beberapa titik, menjeda keadaan darurat yang berlangsung beberapa saat lalu.Travis maupun Xelle membeku menatap kehadiran Rose yang menyorot keduanya dengan reaksi tertahan. Pandangan tidak fokus disertai wajah memerah, perlahan mendekat—dari langkah pelan menuju gerakan cepat.Napas Rose menggebu kasar. “Dia sedang tidak sadarkan diri, kau malah memukulnya!” tuding Rose tak henti mencecar. Mendorong Xelle sejauh mungkin—memisahkan pria itu dari jangkauan siapa pun.“Tidak sadarkan diri apa? Dia sudah tidak ada di sana! Aku akan menghajarnya sampai dia kembali!” “Berhenti!” ucap Rose, menahan tubuh yang hendak beranjak. “Dia tidak ada di sana? maksudmu ....” Kalimatnya menggantung di udara. Gendang telinga Rose seakan terisi suara berdenging setelah memaknai pernyataan Xelle yang sarat akan kekecewaan.“Ya. Just like that. He was dead." D
Don’t make me close one more door. I don’t wanna hurt anymore.-Whitney Houston-...“Dara ....” Sayup – sayup suara dari dalam kamar terdengar gamang. Rose berdiri di depan pintu. Baru kembali setelah membersihkan sisa kekacauan pecahan kaca dan pancake yang terbuang sia-sia. Dia hanya meninggalkan Theo sebentar. Namun, ketika masuk ke dalam ruangan. Pergerakan kecil dari tubuh yang membentang di atas ranjang, menimbulkan gejolak rasa yang tidak bisa Rose mengerti.Theo tak henti menggumamkan nama wanita lain. Bulir keringat dingin mencuak ke permukaan. Terlihat tidak tenang, tenggelam dalam mimpi buruk paling menyakitkan.“Dara ...,” lirih Theo makin jelas tatkala posisi Rose tak lagi berjarak.Bersimpuh dengan berbagai rasa ingin tahu. Ada berapa banyak wanita yang pernah singgah di kehidupan Theo, selain salah satunya digadang sebagai mantan istri.Mungkinkah Dara ...?“Theo.”Tidak berani sepenuhnya menepuk wajah yang dipenuhi memar. Hanya bisa memanggil, berharap netra abu –
Bukan siapa – siapa ....Dengan kondisi lemah seperti itu, tidak bisa dimungkiri kebohongan Theo tersirat begitu jelas. Rose mendesah, tidak ingin membahas masalah yang akan memperburuk kondisi pria di hadapannya.Dia tersenyum singkat, seolah menegaskan—permbicaraan cukup sampai selimut tebal ditarik, menutup separuh tubuh besar yang terkulai di sandaran ranjang. Siapa pun masa lalu Theo, Rose tidak ingin terlibat apalagi peduli. “Kau harus istirahat. Mungkin sebentar lagi Travis akan datang memeriksa keadaanmu,” ucap Rose, bersikap tenang. “Aku kenapa?”“Kau kenapa? Kau pingsan dari semalam. Membuat semua orang di sini cemas, termasuk teman konyolmu yang hampir membuat wajahmu hancur. Tapi aku rasa memang sudah hancur.” Rose meringis, memperhatikan memar di beberapa bagian dan luka sobek di sudut bibir Theo. Tidakkah pria itu merasa kesakitan setelah apa yang diterima? Dia terlihat santai, meski sesekali kalimatnya terjeda dengan menyentuh rahang dengan pelan.“Siapa teman konyol
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk