Perjamuan yang dilakukan tetua dunia gelap dan beberapa anggota lainnya berlangsung penuh penghormatan. Satu di antara mereka merupakan tamu undangan yang keberadaannya begitu dihargai.Di sana tidak ada percakapan selama garpu dan sendok masih berdenting di atas piring. Hanya tatap penuh waspada, saling melirik, terkadang fokus pada santapan masing – masing.Berselang lama, salam pengakhiran ditutup dengan gelas – gelas yang bersulang di udara. Mr. Alejandro mengambil sapu tangan di atas pangkuan, mengusap bibirnya hingga mengering. Dia tersenyum begitu sorot abu – abu dan miliknya bersirobok. Pria yang ingin ditemui, akhirnya berada satu ruang makan bersamanya.“Bagaimana rasa icewine yang membakar tenggorokanmu? Kau menyukainya?” “Tentu saja. Kau tidak pernah membuatku kecewa.”Kekehan keduanya saling bersahut, disusul percakapan sisa anggota lain. Verasco memberi isyarat pada lawan bicaranya. Mencari tempat lain untuk membicarakan hal lebih penting.“Ada apa? Kenapa kau mengajakku
Elusan ringan terus berulang dari puncak menuju bagian belakang kepala. Senyum memuja seorang wanita tak pernah henti, dipandangi wajah yang begitu melemahkan kewarasannya. Wajah tampan yang baru kali ini bisa ditelusuri dari jarak dekat. Betapa indah rupa pria yang dia kagumi dalam diam. Bisakah suatu saat nanti dia memiliki pria itu?Gurat lelah tampak begitu kentara. Wanita yang kini menjatuhkan jemari lentiknya pada rahang yang terasa kasar, untuk saat ini tidak ingin melakukan kegiatan lain. Dia takut membangunkan pria yang jatuh tertidur di atas meja bar dengan posisi kurang nyaman.Sempat bersembunyi. Wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana Theo menghabiskan sisa potongan buah dalam keadaan setengah melamun. Sebuah keuntungan baginya saat Theo tidak memilih pergi. Kapan seharusnya dia bisa muncul di hadapan Theo sebagai seseorang yang begitu ingin dicintai?Dia menggeleng tidak yakin. Ada sebuah konsekuensi yang akan diterima apabila harapan demikian terjadi. Tahan ... sebaikn
“Kau sepertinya baru di sini?”Rose menatap ragu seorang wanita cantik, yang turut mengantre di samping. Wanita berpenampilan bak seorang model itu kian memperhatikan nampan di tangan Rose. Merasa heran dengan dua cup gelato yang terletak di sana.“Dari tadi aku melihatmu sendiri, tapi kau akan membayar gelato untuk dua orang,” gumamnya tanpa sadar.“Ini satunya lagi untuk temanku.” Rose tersenyum kaku, tidak mungkin menyebut Theo dengan panggilan sesungguhnya. Wanita yang Rose sangka, merupakan salah satu staff di kantor. Bisa saja melihat Rose dan Theo bersama dan akan berpikiran buruk mengenai hubungan mereka.“Di mana temanmu? Aku tidak melihatnya.” Wanita itu menoleh ke segala arah. Mencari ‘teman’ yang Rose maksud.“Dia masih sibuk kerja.”“Bukannya sudah jam istirahat?” timpal lawan bicaranya kebingungan.Rose diam, fokus membayar pesanan begitu tiba gilirannya. Dua gelato rasa cokelat dibungkus rapi dengan tambahan toping chocco chip. Rose sudah tidak sabar untuk mencicipi. Na
“Ini dokumen pentingmu, Sugar. Malam itu aku lupa mengembalikannya.” Netra cokelat Rose memicing. Map persis miliknya tersuguh oleh lengan yang terulur panjang. Dari bentuk ukuran tebal, mungkin berkas daripada map tersebut masih terisi utuh. Tapi bagaimana dengan foto masa kecilnya? Rose merenggut asal benda persegi panjang dari tangan Theo. Membongkar sebagian isi dan meletakkannya di atas ranjang. Dia tahu pada dokumen mana secarik kertas yang dicarinya terselip.Namun, tidak ditemukan kenangan yang tersisa dari masa lalu. Hanya ada kekosongan di sana. Rose menipiskan bibir. “Pasti kau pelakunya. Di mana foto masa kecilku? Kembalikan!”“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” Theo melipat kedua tangan di depan dada. Menantang dengan senyum kepuasan saat Rose memandangnya sinis.“Aku akan ambil foto masa kecilmu. Di mana? Berikan padaku!”Ntah salah bicara atau tidak, ekspresi Rose turut berubah begitu riak wajah Theo mendadak muram. Lipatan lengan yang mengendur dan jemari yang mengepal
Berlari. Memacu kaki menuju pintu terbuka. Sesekali Rose menoleh ke belakang, mendapati langkah Theo makin melambat—tertinggal jauh dari posisi Rose saat ini. Bahu lebar itu tampak naik turun. Tangan Theo terus mengepal erat di dada. Kesulitan bernapas dengan sesuatu terasa menusuk saraf otot.Gerakan Theo terhenti. Sebelah lengannya merambat, berusaha menarik benda tajam—sejenis panah yang tertancap di sisi kanan punggungnya.Seseorang, ntah siapa, menembakkan dart berukuran 10 gauge berdiameter cukup lebar dan berisi cairan bening yang sudah berkurang.Theo melempar asal benda itu ke tanah, kembali ingin melanjutkan langkah. Namun, pandangannya mendadak buram—hampir menggelap. Kalau saja seseorang tidak mencegah tubuhnya ambruk.“Theo.”Sayup – sayup suara Rose masih tertangkap samar. “Ma—masuk.” Theo bicara putus-putus. Bukan kondisinya yang dia pikirkan, tetapi Rose yang menjadi sasaran utama. Serangan bisa kembali terjadi kapan saja pada Rose. Theo tidak bisa memastikan dia dapat
The Lagos’s Mansion. Deepest Forest in Milan.“Aku ikut.”“No, Baby girl. Aku hanya sebentar ke sana. Setelah itu kita ke Kanada. Kau atasi dulu kecemasanmu yang tidak penting itu. Aku sudah bilang padamu ‘kan? Rose pasti baik – baik saja. Ponselnya tidak tersambung, bukan berarti kau tidak bisa menemui Rose secara langsung.” Xelle beranjak cepat membuka pintu mobil. Kehamilan Bridgette yang baru diketahui setelah berbagai persoalan yang telah mereka lalui, makin menambah sisi possesifnya. Dengan keamanan mansion yang begitu ketat, Xelle tidak akan membawa Bridgette dan Oracle ke manapun jika bukan untuk kepentingan mendesak.“Aku pergi dulu,” pamitnya sejenak menunduk, memberi sentuhan ringan di perut rata Bridgette. “Jangan nakal selama aku pergi, okay?” Xelle mengecup singkat bibir wanita yang begitu dicintai. Kemudian masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin—sesekali menatap Bridgette dengan senyum hangat.“Jangan terlalu lama.”“Iya.”Pedal gas diinjak. Mobil berlalu meninggalkan
Aku tak berharap kau akan menjadi cintaku.________________________ Satu jam perjalanan. Penjuru tampilan luar yang dipenuhi pasukan bersenjata, berjejer seperti hamparan medan perang. Di setiap sudut terisi beberapa tembakan peledak. Dan sisi sayap kiri-kanan mansion, beberapa penjaga berlalu lalang dengan cekatan.Xelle menarik diri dari dalam mobil. Berjalan cepat menghampiri Lion yang tak kalah gesit mendekatinya.“Pagi, Tuan.” Sapaan hangat mendapat anggukan pelan. “Apa yang terjadi di sini?” tanya Xelle tanpa basa-basi. Wajah Lion disorot sengit, saat pria itu menunduk tak ingin menjawab.“Aku bertanya padamu. What the hell is going on here?”“A little accident, Tuan.”“What kind of accident?”Suara serak dan dalamnya terdengar dingin. Ekor mata Xelle memicing waspada. Mencari keberadaan Theo yang tak terlihat sejak pertama kali Xelle menginjakkan kaki di halaman luas tersebut.“Di mana bajingan itu? Dia tidak membalas pesanku. Biasanya dia orang pertama yang akan menyambutku s
Satu pukulan terakhir mendarat bertepatan derap kaki masuk ke dalam ruangan yang sama. Bunyi dentingan benda jatuh dan serpihan kaca menyebar ke beberapa titik, menjeda keadaan darurat yang berlangsung beberapa saat lalu.Travis maupun Xelle membeku menatap kehadiran Rose yang menyorot keduanya dengan reaksi tertahan. Pandangan tidak fokus disertai wajah memerah, perlahan mendekat—dari langkah pelan menuju gerakan cepat.Napas Rose menggebu kasar. “Dia sedang tidak sadarkan diri, kau malah memukulnya!” tuding Rose tak henti mencecar. Mendorong Xelle sejauh mungkin—memisahkan pria itu dari jangkauan siapa pun.“Tidak sadarkan diri apa? Dia sudah tidak ada di sana! Aku akan menghajarnya sampai dia kembali!” “Berhenti!” ucap Rose, menahan tubuh yang hendak beranjak. “Dia tidak ada di sana? maksudmu ....” Kalimatnya menggantung di udara. Gendang telinga Rose seakan terisi suara berdenging setelah memaknai pernyataan Xelle yang sarat akan kekecewaan.“Ya. Just like that. He was dead." D