“Apa lihat – lihat?” tanya Rose dengan posisi duduk di sofa yang terbentang di sandaran dinding—tidak jauh dari posisi Theo yang saat ini masih bergelut bersama beberapa berkas penting.Di atas meja kerjanya, Theo membolak – balikan dokumen secara asal. Tidak fokus memeriksa isi yang tertera di sana saat aksanya tak henti – henti menyorot wajah Rose, yang kian dipolesi make-up tipis. Sedikit perlengkapan yang baru saja dibeli ketika berada di mall.“Pekerjaanmu tidak akan selesai, jika kau terus melihatku seperti pria bodoh,” sindir Rose sembari memoleskan lipstik di bibir.Kegiatan kecil demikian memaksa Theo mengernyit dalam selama memperhatikan sentuhan jemari Rose. “Aku tidak mengerti. Itu bibir, atau tanaman aglaonema suksom, huh? Merah menyala seperti ingin perang.” Jeda sesaat. Theo memasukkan file hardcopy di tangan ke dalam map, menyimpannya di laci. Kemudian kembali menatap Rose dengan kerlingan nakal. “Kau ingin bakar apa dengan warna bibir seperti itu, Sugar?” tanyanya set
Sudut bibir itu melengkung, menambah aksen manis pada wajah memesona yang menyorot dua mainan kecil di tangan dengan tatapan sendu. Perjalanan yang telah jauh, membelah kerinduan yang tak pernah sama. Bayangan akan panggilan hangat dan beberapa pertanyaan polos terus menggema, merasuki ketenangan yang terbenam dalam keheningan. Seteringat itu Rose pada potongan manik yang membulat penuh rasa ingin tahu.Bagaimana kabarnya sekarang?Rose terkekeh pelan. Pertanyaan retoris tidak seharusnya berkumandang memenuhi isi kepala. Dia tahu jawaban seperti apa yang begitu tepat melengkapi rumpang di benaknya.Baik – baik saja.Tidak ada yang lebih sempurna dari pernyataan tersebut. Pelukan hangat seorang ibu dan perlindungan sang ayah, sudah lebih dari cukup sekadar mengingatkan Rose untuk tetap mengikhlaskan. Meskipun, dia tidak sanggup harus terjebak dengan pusara rasa yang kian mencekik. Mainan yang sengaja dibeli saat Theo mempersilakannya memilih apa saja yang Rose inginkan, hanya untuk sa
Kepalan jari – jari Rose menggenggam erat pulpen trim emas di tangannya. Pilihan yang berakhir tak bisa ditolak, membuatnya membumbui tinta hitam di atas kertas sebagai bentuk formalitas. Ntah hal itu akan berlansung sejauh mana, satu tahun yang Theo janjikan cukup memberi Rose harapan terbebas dari hubungan terkontrak.Sungguh. Menjadi seorang sugar baby tak pernah terlintas sama sekali di sepanjang hidup Rose. Bahkan harus berurusan dengan tindakan yang bersifat hukum, memberi rasa waspada secara berkala. Bagaimana jika suatu saat nanti Rose merasa tidak betah dan melakukan pelanggaran?Sampai kapan pun dia tak akan bisa mundur. Bukti dari kesepakatan yang terjadi telah direkam dan diarsipkan sebagai dokumen penting. Celakalah Rose. Semoga saja dia tidak mengambil tindakan yang akan menjerumuskannya ke dalam hal – hal negatif. Jelas Theo tidak akan membiarkan segela keputusannya terasa mudah.Rose mendengus. Meletakkan pulpen yang digenggam ke atas meja. Dia bangkit, mendorong kurs
‘This video has been removed’.Kepalang tanggung, Theo turut menargetkan beberapa aplikasi yang menjadi kanal unggahan video dirinya bersama Magdalena tersebar. Melakukan serangan DDoS, yang bertujuan untuk melemahkan dan membuat sistem kelebihan beban dengan membanjiri lalu lintas palsu ke dalam server atau alamat IP.Keseluruhan pengguna akan kehilangan akses ke aplikasi dalam kurung waktu tertentu. Yang mana pemulihan DNS (domain name server) tidak akan berpengaruh, sekalipun para progammer mencoba melakukan perbaikan. Mereka tidak akan bisa mengerjakannya secara kilat.Keluar dari tampilan hacking. Theo meraih ponselnya yang berdering beberapa kali. Mendapati nama Lion tertera di sana.“Ada apa?” Dia bertanya sembari mengarahkan kursor ke jendela berbeda. Membuka sindikat program Dor D’Murder miliknya.[Sudah kami temukan penyebar video itu, Tuan].“Good. Where’s he now?”[Kami berada di ruang bawah tanah, Tuan].Theo memutuskan sambungan secara sepihak. Gemercik amarah tertuang l
Perjamuan yang dilakukan tetua dunia gelap dan beberapa anggota lainnya berlangsung penuh penghormatan. Satu di antara mereka merupakan tamu undangan yang keberadaannya begitu dihargai.Di sana tidak ada percakapan selama garpu dan sendok masih berdenting di atas piring. Hanya tatap penuh waspada, saling melirik, terkadang fokus pada santapan masing – masing.Berselang lama, salam pengakhiran ditutup dengan gelas – gelas yang bersulang di udara. Mr. Alejandro mengambil sapu tangan di atas pangkuan, mengusap bibirnya hingga mengering. Dia tersenyum begitu sorot abu – abu dan miliknya bersirobok. Pria yang ingin ditemui, akhirnya berada satu ruang makan bersamanya.“Bagaimana rasa icewine yang membakar tenggorokanmu? Kau menyukainya?” “Tentu saja. Kau tidak pernah membuatku kecewa.”Kekehan keduanya saling bersahut, disusul percakapan sisa anggota lain. Verasco memberi isyarat pada lawan bicaranya. Mencari tempat lain untuk membicarakan hal lebih penting.“Ada apa? Kenapa kau mengajakku
Elusan ringan terus berulang dari puncak menuju bagian belakang kepala. Senyum memuja seorang wanita tak pernah henti, dipandangi wajah yang begitu melemahkan kewarasannya. Wajah tampan yang baru kali ini bisa ditelusuri dari jarak dekat. Betapa indah rupa pria yang dia kagumi dalam diam. Bisakah suatu saat nanti dia memiliki pria itu?Gurat lelah tampak begitu kentara. Wanita yang kini menjatuhkan jemari lentiknya pada rahang yang terasa kasar, untuk saat ini tidak ingin melakukan kegiatan lain. Dia takut membangunkan pria yang jatuh tertidur di atas meja bar dengan posisi kurang nyaman.Sempat bersembunyi. Wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana Theo menghabiskan sisa potongan buah dalam keadaan setengah melamun. Sebuah keuntungan baginya saat Theo tidak memilih pergi. Kapan seharusnya dia bisa muncul di hadapan Theo sebagai seseorang yang begitu ingin dicintai?Dia menggeleng tidak yakin. Ada sebuah konsekuensi yang akan diterima apabila harapan demikian terjadi. Tahan ... sebaikn
“Kau sepertinya baru di sini?”Rose menatap ragu seorang wanita cantik, yang turut mengantre di samping. Wanita berpenampilan bak seorang model itu kian memperhatikan nampan di tangan Rose. Merasa heran dengan dua cup gelato yang terletak di sana.“Dari tadi aku melihatmu sendiri, tapi kau akan membayar gelato untuk dua orang,” gumamnya tanpa sadar.“Ini satunya lagi untuk temanku.” Rose tersenyum kaku, tidak mungkin menyebut Theo dengan panggilan sesungguhnya. Wanita yang Rose sangka, merupakan salah satu staff di kantor. Bisa saja melihat Rose dan Theo bersama dan akan berpikiran buruk mengenai hubungan mereka.“Di mana temanmu? Aku tidak melihatnya.” Wanita itu menoleh ke segala arah. Mencari ‘teman’ yang Rose maksud.“Dia masih sibuk kerja.”“Bukannya sudah jam istirahat?” timpal lawan bicaranya kebingungan.Rose diam, fokus membayar pesanan begitu tiba gilirannya. Dua gelato rasa cokelat dibungkus rapi dengan tambahan toping chocco chip. Rose sudah tidak sabar untuk mencicipi. Na
“Ini dokumen pentingmu, Sugar. Malam itu aku lupa mengembalikannya.” Netra cokelat Rose memicing. Map persis miliknya tersuguh oleh lengan yang terulur panjang. Dari bentuk ukuran tebal, mungkin berkas daripada map tersebut masih terisi utuh. Tapi bagaimana dengan foto masa kecilnya? Rose merenggut asal benda persegi panjang dari tangan Theo. Membongkar sebagian isi dan meletakkannya di atas ranjang. Dia tahu pada dokumen mana secarik kertas yang dicarinya terselip.Namun, tidak ditemukan kenangan yang tersisa dari masa lalu. Hanya ada kekosongan di sana. Rose menipiskan bibir. “Pasti kau pelakunya. Di mana foto masa kecilku? Kembalikan!”“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” Theo melipat kedua tangan di depan dada. Menantang dengan senyum kepuasan saat Rose memandangnya sinis.“Aku akan ambil foto masa kecilmu. Di mana? Berikan padaku!”Ntah salah bicara atau tidak, ekspresi Rose turut berubah begitu riak wajah Theo mendadak muram. Lipatan lengan yang mengendur dan jemari yang mengepal