Raline mendorong pintu rumah lesu. Ingatan akan kata-kata Axel pada Erick perihal ayahnya yang sakit, membuat Raline sedih. Ingin membantu, ia tidak punya uang. Terus menerus menerima bantuan Axel, ia juga sungkan. Istimewa ia sudah sesumbar bahwa ia akan menolak bantuan dana dari Axel. Tapi apa mau dikata. Terkadang dalam hidup sesekali harus menjilat ludah sendiri juga. "Kamu sudah pulang, Line? Hari ini kantormu memenangkan tender apa sampai perusahaan mengirim bonusmu untuk Ayah?" Pak Adjie yang sedang menonton televisi menoleh ketika putri semata wayangnya pulang bekerja."Tender... tender proyek, Yah." Raline menjawab terbata-bata. Jikalau harus berbohong dadakan ia memang cenderung gelagapan. Soalnya ia kurang mahir mengarang bebas."Ya pasti tender proyeklah. Nama proyeknya apa maksud Ayah? Entah proyek hotel perumahan, hotel, jalan tol atau apa kek." Pak Adjie beringsut dari kursi. "Eh... eh... eh..." Pak Adjie kembali terduduk. Lututnya mendadak sakit saat berdiri."Ayah
Tingkah laku Raline membuat Pak Adjie tersenyum pasrah. Jikalau dulu ia sangat kesal apabila putrinya ini bertingkah konyol alih-alih cerdas seperti keinginanya, kini tidak lagi. Seseorang telah memberinya pencerahan dengan beberapa patah kata yang sangat keras namun tidak terbantahkan kebenarannya. Yaitu bahwa putrinya ada di dunia, itu karena perbuatannya. Pun jikalau karakter putrinya tidak seperti yang ia inginkan, itu juga bukan salah putrinya. Putrinya tidak pernah minta dilahirkan. Sebagai orang tua harusnya ia mensyukuri dan menerima apapun keadaan putrinya. Jikalau bukan dirinya sebagai orang tua yang mencintai putrinya, lantas siapa lagi? "Kamu tidak mimpi Raline. Ayah salah, Ibu salah kamu juga salah. Namun yang membuatmu salah adalah Ayah dan Ibu. Kami berdua tidak bisa mendidikmu dengan baik."Hati kami berdua tidak cukup besar menerimamu ada adanya, seperti kamu menerima kami berdua tanpa kata tapi."Beberapa hari lalu Ayah dan Ibu sudah berjanji untuk memperbaiki diri
"Kamu sudah datang, Sur? Wah, ada biduan baru ya?" Pak Dadang tersenyum ramah pada Raline."Iya, Pak. Biar orkesnya tambah rame. Kenalkan ini Neng Saroh, temannya Entin. Kalau ini Entin dan Wuri. Pak Dadang sudah kenal kan? Warga kampung kita juga," Kang Mansyur memperkenalkan Raline berikut Entin dan Wuri pada Pak Dadang. Raline memang mengganti namanya menjadi Maisaroh, selama bergabung dalam orkes dangdut Swara Nusantara ini. Jati dirinya benar-benar ingin ia sembunyikan."Selamat sore, Pak. Kenalkan, nama saya Maisaroh. Panggil saja saya Saroh." Raline mengulurkan tangan pada Pak Dadang. Memperkenalkan dirinya dengan sopan."Saya, Pak Dadang Sudrajat. Lurah di kampung ini." Pak Dadang merangkapkan kedua tangan di dada. Sebagai isyarat ia menerima perkenalan Raline namun menolak untuk berjabat tangan."Kalau kalian berdua, Bapak sih sudah kenal." Pak Dadang mengalihkan perhatian pada Entin dan Wuri. "Kamu Entin adiknya si Entis bukan?" tanya Pak Dadang pada Entin. "Benar, Pak. Ka
"Baik, Kang," jawab Raline dan Entin bersamaan. Setelah Kang Mansyur dan Wuri berlalu, Raline segera mengeluarkan ponselnya."Coba kamu lihat video ini, Tin." Raline memutar video pertemuan antara Pak Dadang dengan beberapa pemuda tadi. Setelahnya ia menyerahkan ponsel pada Entin."Apaan ini, Non?" Walau heran, Entin menerima juga ponsel yang disodorkan Raline."Lihat aja, Tin. Ntar lo pasti mengerti tanpa gue perlu capek-capek menjelaskan. Sana lihat."Bingung, Entin menonton juga video di mana para pemerannya adalah orang-orang yang ia kenal. Air mukanya berubah seketika setelah mendengar dialog para pemerannya. Satu pengertian masuk dalam benaknya. Pak Dadang ternyata tidak seperti yang dirinya dan banyak orang pikirkan. Pak Dadang ini jahat!"Pantas saja Pak Dadang cepat sekali menjadi kaya. Begitu juga para bapak-bapak muda di kampung ini. Rupanya seperti ini pekerjaan mereka." Entin menatap ponsel dengan tatapan tidak percaya. Jika tidak melihat dengan mata dan kepalanya sendir
"Kenapa lo diem? Katanya lo mau nyium gue?" Axel menaikkan satu alisnya. Ia ingin tahu sampai di mana keberanian calon istrinya ini."Itu... anu..." Raline kesulitan bicara. Membayangkan ia harus mencium mafia galak seperti Axel menciutkan nyalinya."Bodoh amat gue. Niat mau ngancem tapi ancemannya rugi di gue," keluh Raline bingung sendiri. Ia mondar mandir di halaman, tapi tidak berani mendekati Axel."Heh, ditanya malah ngedumel sendiri. Punya mulut kagak?" Axel menghampiri Raline yang tidak berani mendekatinya."Punya dong. Ini apaan?" Raline menyilangkan jari telunjuk di bibirnya sambil minggir-minggir. Ia keder ditodong secara langsung begini."Nah ada 'kan? Ayo cium. Lo tahu arti peribahasa bagaikan menjilat air ludah sendiri bukan? Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Itu namanya orang yang punya integritas. Jangan cuma ngebacot doang," tantang Axel lagi.Mampus gue!"Gimana gue mau nyium lo kalo gaya lo kayak tuan tanah lagi nagih upeti begitu?" Raline kian gelisah.
"Non dan Akang mafia jadi pulang tidak? Saya teh takut kalau aksi Non dan Akang dipergoki warga. Apa Non Raline mau dikawinkan paksa oleh warga?" Entin terpaksa menghentikan adegan ala-ala film dewasa mantan nona mudanya dan pacar mafianya. Nama baik keluarganya tentu saja harus ia jaga."Ya ja--jadi dong, Tin." Raline menjawab pertanyaan Entin tergagap. Gelombang besar baru saja melemparkannya ke daratan. Ia masih linglung karena masih terbawa arus panasnya api asmara."Kalau jadi, ayo sana pulang, Non. Jangan main cium-ciuman di sini. Bahaya," tegur Entin lagi."Ayo, calon istri, kita pulang." Axel yang lebih dulu tersadar merangkul bahu Raline menuju mobil. Detik berikutnya mereka telah melaju ke jalan raya.***"Kenapa lo tadi mencium bibir gue? Gue bukan nggak suka lo melakukannya. Gue hanya ingin tahu aja alasannya." Kendaran baru berjalan sekitar enam menit. Namun Axel sudah tidak tahan ingin mengetahui jawabannya."Karena gue penasaran." Raline menjawab sesuai dengan kenyataan
Waktu telah menunjukkan pukul 18.05 WIB tatkala Raline tiba di rumah Bang Ali. Waktunya untuk menyetor uang sewa sekaligus mengembalikan kostum. Di halaman rumah Bang Ali telah ramai oleh rekan-rekannya sesama pencari nafkah jalanan. Pengamen, badut hingga para penjual rokok dan minuman selalu tumpah ruah pada jam-jam seperti ini.Raline dan Randy duduk berselonjor di teras rumah. Mereka sengaja menunggu hingga giliran terakhir agar bisa berbicara secara pribadi dengan Bang Ali. Raline ingin mulai membayar cicilan pertamanya untuk mengganti kostum yang ia hilangkan tempo hari."Rand, kalau Kakak membayar dengan uang segini, kira-kira Bang Ali marah nggak ya?" Raline memperlihatkan lima lembar uang sepuluh ribuan di tangannya.Randy yang tengah duduk melamun tidak menjawab. Kepalanya menengadah menatap langit bersaput awan kelabu dengan air muka nelangsa."Heh, Randy. Lo kenapa? Bengong aja dari tadi." Raline menyenggol bahu Randy dengan bahunya sendiri. Semenjak bekerja di rumahnya k
"Nggak tahu sih gue. Tadi ada anak pengamen yang nganterin. Katanya dia dihadang dua orang laki-laki yang nemuin itu kostum. Mereka nanya, kostum itu milik siapa? Terus anak pengamen itu bilang, punya gue yang biasa disewa si badut sedih. Terus dibalikin."Dua orang laki-laki? Jangan-jangan yang menemukan kostum itu adalah anak buah Pak Fandy alias ayah Randy! Sepertinya mereka ingin mencari orang yang menolong Axel waktu itu. Ia harus hati-hati mulai sekarang. "Syukurlah kalau begitu, Bang. Berarti gue nggak perlu pusing-pusing lagi memikirkan uang ganti kostum." Raline pura-pura tersenyum senang, padahal hatinya ketar-ketir. Ia juga takut membahayakan Randy. Karena anak-anak pengamen itu menyebut bahwa kostum itu disewa oleh si badut sedih. Jahat sekali rasanya kalau ia mengorbankan Randy yang tidak tahu apa-apa."Emang lo nggak perlu ganti. Tapi gue ada satu permintaan. Semoga lo mau mengabulkan permintaan gue." Bang Ali kini menatap Raline harap-harap cemas."Permintaan apa tuh,
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta