Rani berjalan mengikuti langkah Aji dan Ardian menuju lift. Meski kaki itu senantiasa bergerak, tapi mulutnya tak sekecap pun bicara. Lidahnya terlalu kelu, hatinya sakit. Luka yang dirasa kini begitu dalam. Bahkan paling dalam selama ia hidup.
Dikhianati? Siapa orangnya yang tetap tenang karena itu?
Otaknya tak berhenti bertanya dan terus menerus memikirkan situasi yang menyebabkan hubungan ini akhirnya harus kandas.
Ketiganya kini akan memasuki area parkir. Namun, Rani berpamitan sebentar ke toilet.
"Mas dan Ardian duluan saja. Aku tak akan lama." Rani mempersilakan dua orang yang menemaninya untuk pergi lebih dulu.
"Masuklah. Kami akan berjaga di sini sampai kamu selesai." Aji menyahut. Ia tak mungkin meninggalkan Rani sendiri apalagi setelah kejadian tadi. Posisinya terancam.
Bisa saja Heru yang masih dendam, tak terima dengan keputusan Rani nekad menyakitinya. Ia pasti akan terus mencari kesempatan.
Rani mengangguk pelan.
"Sungguh satu dusta akan melahirkan banyak dusta lain."***Setelah menutup pintu toilet. Rani tidak membuang air, sekadar mencuci muka atau hal lain yang dilakukan ketika berada di kamar mandi.Wanita itu langsung meluruhkan tubuhnya di dinding, lalu menangis tersedu-sedu.Pikirannya kalut. Dunianya telah runtuh meski ia berusaha terlihat kuat dan tegar di depan Heru. Semua itu semata-mata ia tak ingin tampak lemah dan direndahkan di depan pasangan kumpul kebo itu.Cukup lama. Dan membuat orang yang menunggu di luar mulai tak sabar.Bahkan ketika suara panggilan ditujukan padanya, Rani masih belum mengontrol emosinya dan terus menangis. Ia merasa hanya dirinya wanita paling malang di dunia ini.Sudahlah anaknya diperkosa dan dinikahkan dengan cara tidak hormat. Sekarang suaminya ketahuan selingkuh, dan rumah tangganya benar-benar telah berskhir. Dia tak mungkin kembali pada Heru bahkan jika lelaki itu menyembah-nyembah ingin kembali.
"Kenapa kamu tega sih, Mas?" Serak suara Rani meratap. Hatinya belum lagi rela kehilangan Heru. Semakin mengingat banyak hal yang telah mereka lalui, semakin ia tak kuat menerima kenyataan."Nggak! Dia harus jelasin kenapa sampai melakukan ini!" Rani mengusap kasar jejak air mata di pipi, lalu bangkit dengan pikiran gilanya ingin kembali menemui Heru.Langkahnya berhenti sejenak di depan pintu toilet, menatap dua orang yang tertidur kelelahan dan sedang menungguinya.'Maafkan aku Mas Aji. Aku sudah gagal di pernikahan pertamaku, dan aku tak mau gagal di pernikahan keduaku. Kalau memang Mas Heru ingin berubah dan memberiku kesempatan, aku akan memberikannya.'Rani menghela. Menarik napas dalam dan mengembusnya perlahan. Seolah ingins sesak di dadanya hilang dan berganti kekuatan yang memberinya keberanian untuk datang pada Heru.Sampai di lantai atas di mana kamar Heru berada, Rani tak membuang waktu memencet bel.Sementara di dalam kamar, He
"Darah?!" Mata Rani melebar. Memeriksa apa yang Ardian temukan dan ikut memastikan apakah benar itu darah?Aji pun sama. Ia segera berjongkok. Lalu melihatnya dengan menempelkan ujung jari ke titik-titik merah di lantai parkir. Kemudian mendekatkan ke indra penciumnya.'Amis,' batin Aji. Itu memang darah. Ia menatap pada Ardian dan Rani secara bergantian."Ini benar darah." Pria itu mengatakan dengan keyakinannya."Tapi benar kan ini tadi tempat Mas Heru memarkirkan mobil?" Rani tak habis pikir. Karena darah itu pikirannya jadi berkelana ke mana-mana."Apa yang sebenarnya dibawa dalam koper itu?" tanyanya lagi."Dia bawa koper, Ran?" tanya Aji kemudian."Benar. Sebuah koper yang sangat besar." Rani menjawab."Hem. Aku jadi curiga." Ardian pun sama memiliki pemikiran mengerikan tentang Heru. Langkahnya bergerak maju, mendekat ke titik darah yang masih tampak segar di lantai. Ikut berjongkok di samping Aji."Benar. Di sini
"Mas, aku harus mengambil pakaianku dulu." Rani mengucap pelan."Hem ya. Aku mengerti." Aji mengangguk. Sejak awal memang rumah Heru lah yang ditujunya sekarang. Rani memang harus keluar dari rumah berbahaya itu. Tak ada yang menjamin Heru tak akan melakukan perzinahan lagi, tak ada yang menjamin juga jika dia bukan orang berbahaya, setelah mereka menemukan darah di parkiran hotel tadi."Kamu sebaiknya ikut aku, Ran. Aku punya kenalan wanita yang tinggal di kostan. Katanya kostannya ada yang kosong, tadi aku sudah menghubunginya. Maaf kalau aku lancang, tapi aku tak bisa menutup mata melihat kesulitan bundanya Laila." Aji beralasan. Ia tak mau dianggap mencari kesempatan untuk merebut hati Rani lagi.Pria itu sudah cukup sadar diri, siapa dirinya. Pria miskin yang tak punya harta untuk membahagiakan Rani.Rani menoleh. Menatap pada Aji dengan mata yang basah."Maaf, ya. Mas," ucapnya serak."Loh, kok malah minta maaf?" Aji mengerutkan kening
Aris keluar rumah dengan perasaan tak menentu. Ia terus memikirkan hal yang bisa saja terjadi setelah melaporkan kasus Laila ke kantor polisi. Berdiri sejenak untuk berpikir lebih matang."Apa aku perlu bertanya pada Papa dan Mama?" gumamnya disertai desahan. Seolah sudah lelah menghadapi ini."Ahrg!" Aris mengacak rambut kasar karena merasa frustasi.Tentu tak mudah maju seorang diri, sementara Laila akan jadi korban lagi dan lagi. Korban fisik atau pun batinnya yang pasti terhujam berkali-kali. Aris yang hanya korban fitnah saja, sudah stres apalagi Laila?"Hah! Sial! Kenapa juga aku harus merasa kasihan gadis karena gadis itu tertekan?"Pemuda itu akhirnya berjalan meninggalkan rumah orang tuanya. Ia harus masuk kelas pagi jika tak ingin mendapat nilai C dari dosen killer yang mengisi.Langkahnya bergerak menuju mobil sport hadiah dari sang papa. Satu-satunya mobil kesayangan yang mengantar ke mana saja kala waktu-waktu terdesak seperti s
Heru turun dari mobil begitu selesai memarkirkan dan mematikan mesin mobil di halaman rumahnya.Matanya menyipit melihat hal aneh pada pintu rumah. Di mana anak kunci masih menancap di pintu tersebut."Jadi jalang itu sudah pulang?" Satu sudut bibir pria itu naik.Ia pun memutar kunci dan berniat masuk ke dalam sana. Namun, belum lagi memasuki rumah, seorang wanita tergopoh datang mendekat."Pak Heru.""Ya?" Heru memutar tubuh melihat siapa yang datang. Begitu melihat wajahnya, rupanya seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga sebelah rumah."Saya melihat istri Bapak tadi ikut laki-laki naik mobil pick up, mana bawa koper lagi." Wanita itu menjelaskan apa yang dilihatnya.Heru terdiam. Tak mengerti harus menjawab apa. Ia hanya bisa marah dan mengepalkan tangan. Dari awal, pria itu sudah menduga, bahwa Rani pasti akan kabur darinya."Ya ... Lalu?""Hem?" Wanita di depannya tampak bingung. Kenapa reaksi Heru tak ka
"Apa kamu sudah memastikannya?" tanya Aji pada Ardian. "Maksudku, bisa saja selingkuhan Heru masih ada di Hotel.""Iya. Aku juga sudah ke sana. Semua tempat yang berhubungan sudah aku datangi. Itu kenapa, tak bisa hadir kerja hari ini." Ardian menyahut."Hem. Heru sangat mengerikan. Dia monster. Bukan manusia.""Itu kenapa kita harus melaporkannya pada polisi.""Ya, ya. Cepatlah!" Aji berteriak pada pria yang duduk membonceng motor di depannya.Dahi Aji mengerut saat matanya menangkap bayangan di spion motor. "Apa mereka mengikuti kita?""Hem? Ada apa Mas?""Nggak ini aneh. Mereka sudah lebih setengah jam ada di belakang kita.""Siapa sih?" Ardian pun akhirnya menatap ke arah spion. Tampak dua buah motor yang setiap motornya dikendarai dua orang berada persis di belakang mereka."Ini aneh sekali."Tanpa mereka tahu, salah satu penumpang di motor itu sedang bertelepon dengan seseorang."Ya, Bos. Kami sudah m
asa Ini SalahLintang memperhatikan sikap sang Kakak. Meski dia masih belum bisa menerima Laila, tapi dia juga tak rela gadis yang sudah menjadi korban perkosaan kakaknya itu, diperlakukan tak semestinya oleh Aris.Bukankah seharusnya pemuda itu memperbaiki sikap, setelah mengecewakan semua orang. Dia menyesal telah percaya pada kata-kata kakaknya itu tempo hari saat di mobil. Kenyataannya setelah melihat isi ponselnya, Laila korbanya."Jangan melihatku seperti itu, nanti matamu copot," ucap Aris sambil meggerakkan sendok di atas piring. Ia merasa ketika adiknya menatapnya tak berkedip."Huft." Lintang mengembus berat. Dia harus berpura-pura tak melihat dan tak boleh terlalu ikut campur, karena bukan lagi urusannya.Yah, Lintang ingin pura-pura terus tak peduli tapi tak bisa. Semua tampak jelas di depan mata.Saat pria itu hendak masuk ke kamar, Lintang menarik tangan Aris menjauh dari kamar."Apa, sih?" protes Aris