Aris keluar rumah dengan perasaan tak menentu. Ia terus memikirkan hal yang bisa saja terjadi setelah melaporkan kasus Laila ke kantor polisi. Berdiri sejenak untuk berpikir lebih matang.
"Apa aku perlu bertanya pada Papa dan Mama?" gumamnya disertai desahan. Seolah sudah lelah menghadapi ini.
"Ahrg!" Aris mengacak rambut kasar karena merasa frustasi.
Tentu tak mudah maju seorang diri, sementara Laila akan jadi korban lagi dan lagi. Korban fisik atau pun batinnya yang pasti terhujam berkali-kali. Aris yang hanya korban fitnah saja, sudah stres apalagi Laila?
"Hah! Sial! Kenapa juga aku harus merasa kasihan gadis karena gadis itu tertekan?"
Pemuda itu akhirnya berjalan meninggalkan rumah orang tuanya. Ia harus masuk kelas pagi jika tak ingin mendapat nilai C dari dosen killer yang mengisi.
Langkahnya bergerak menuju mobil sport hadiah dari sang papa. Satu-satunya mobil kesayangan yang mengantar ke mana saja kala waktu-waktu terdesak seperti s
Heru turun dari mobil begitu selesai memarkirkan dan mematikan mesin mobil di halaman rumahnya.Matanya menyipit melihat hal aneh pada pintu rumah. Di mana anak kunci masih menancap di pintu tersebut."Jadi jalang itu sudah pulang?" Satu sudut bibir pria itu naik.Ia pun memutar kunci dan berniat masuk ke dalam sana. Namun, belum lagi memasuki rumah, seorang wanita tergopoh datang mendekat."Pak Heru.""Ya?" Heru memutar tubuh melihat siapa yang datang. Begitu melihat wajahnya, rupanya seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga sebelah rumah."Saya melihat istri Bapak tadi ikut laki-laki naik mobil pick up, mana bawa koper lagi." Wanita itu menjelaskan apa yang dilihatnya.Heru terdiam. Tak mengerti harus menjawab apa. Ia hanya bisa marah dan mengepalkan tangan. Dari awal, pria itu sudah menduga, bahwa Rani pasti akan kabur darinya."Ya ... Lalu?""Hem?" Wanita di depannya tampak bingung. Kenapa reaksi Heru tak ka
"Apa kamu sudah memastikannya?" tanya Aji pada Ardian. "Maksudku, bisa saja selingkuhan Heru masih ada di Hotel.""Iya. Aku juga sudah ke sana. Semua tempat yang berhubungan sudah aku datangi. Itu kenapa, tak bisa hadir kerja hari ini." Ardian menyahut."Hem. Heru sangat mengerikan. Dia monster. Bukan manusia.""Itu kenapa kita harus melaporkannya pada polisi.""Ya, ya. Cepatlah!" Aji berteriak pada pria yang duduk membonceng motor di depannya.Dahi Aji mengerut saat matanya menangkap bayangan di spion motor. "Apa mereka mengikuti kita?""Hem? Ada apa Mas?""Nggak ini aneh. Mereka sudah lebih setengah jam ada di belakang kita.""Siapa sih?" Ardian pun akhirnya menatap ke arah spion. Tampak dua buah motor yang setiap motornya dikendarai dua orang berada persis di belakang mereka."Ini aneh sekali."Tanpa mereka tahu, salah satu penumpang di motor itu sedang bertelepon dengan seseorang."Ya, Bos. Kami sudah m
asa Ini SalahLintang memperhatikan sikap sang Kakak. Meski dia masih belum bisa menerima Laila, tapi dia juga tak rela gadis yang sudah menjadi korban perkosaan kakaknya itu, diperlakukan tak semestinya oleh Aris.Bukankah seharusnya pemuda itu memperbaiki sikap, setelah mengecewakan semua orang. Dia menyesal telah percaya pada kata-kata kakaknya itu tempo hari saat di mobil. Kenyataannya setelah melihat isi ponselnya, Laila korbanya."Jangan melihatku seperti itu, nanti matamu copot," ucap Aris sambil meggerakkan sendok di atas piring. Ia merasa ketika adiknya menatapnya tak berkedip."Huft." Lintang mengembus berat. Dia harus berpura-pura tak melihat dan tak boleh terlalu ikut campur, karena bukan lagi urusannya.Yah, Lintang ingin pura-pura terus tak peduli tapi tak bisa. Semua tampak jelas di depan mata.Saat pria itu hendak masuk ke kamar, Lintang menarik tangan Aris menjauh dari kamar."Apa, sih?" protes Aris
"Heh! Oke tak perlu lakukan itu! Tanpa kamu memberi tahu aku bisa melacak keberadaanmu sekarang!"Heru berteriak sambil menutup ponselnya."Apa?" Rani terkejut. Apa Heru sekarang serius bisa mencarinya? Dalam sekejap wanita yang tadi berani bicara dengan lantang, nyali nya ciut seketika."Apa maksudnya? Apa dia menyadap ponselku selama ini?" Rani kalang kabut."Apa dari ponsel ini?" Wanita itu melihat ponsel dalam genggamannya. Dengan perasaan yang dipenuhi takut, ia segera menghubungi Aji. Meminta pertimbangan pria itu."Halo, Assalaamualaikum. Mas." sapa Rani pada orang di ujung telepon."Waalaikumsalam, Ran. Kamu kenapa? Kok suaranya gemetaran gitu?" tanya Aji khawatir."Mas, barusan Mas Heru nelpon aku. Minta kasih tahu aku di mana?" adu wanita itu panik."Duh, terus kamu kasih tahu, Ran?" Sontak saja Aji juga panik mendengar itu. Dia khawatir Heru akan datang dan melakukan sesuatu yang tak diinginkan.Mereka saja, b
Rani berlari membawa tas kecil di tangan. Ia terpaksa meninggalkan ponsel yang sudah terlacak keberadaannya oleh Heru untuk menghindari pria gila itu."Siapa sangka kamu seburuk ini, Mas," keluh wanita itu di sela langkah cepatnya. Dipandang sesaat sambil membuang napas kasar, rumah yang baru saja dicarikan Aji untuknya.Di perjalanan, tepatnya di persimpangan jalan, langkahnya terhenti. Tubuh yang tadi energik penuh semangat mencari keselamatan, seketika gemetar. Beberapa pria dengan penampilan nakal, kekar dan bertato menghadang langkahnya."Ya?" Suara Rani nyaris tak terdengar. Ia mempertanyakan keperluan orang-orang menyeramkan itu menghentikan langkahnya.'Apa mereka kiriman Mas Heru untuk menangkapku?' batinnya takut.Salah seorang di antara mereka memperhatikan Rani dari atas hingga bawah."Kenal orang ini?" tanya pria tersebut memperlihatkan gambar di ponselnya.Mata Rani membeliak, menatap foto dirinya ada di ponsel tersebut.
Rani menaiki mobil taksi yang dipesan, dengan gelisah. Beberapa kali melihat ke belakang, takut kalau-kalau orang-orang suruhan Heru cepat sadar dan berhasil mengejarnya.Ia bersyukur, bisa membeli ponsel di depan kompleks sehingga bisa memesan mobil itu dalam waktu dekat. Membawa harta yang sudah menjadi haknya saat menikah dnegan Heru adalah pilihan tepat."Agak cepat, Pak," pinta Rani pada sopir."Baik, Mbak. Tapi sepertinya kita perlu lewat jalur lain, agak lama. Hanya saja lebih cepat untuk sekarang dibanding menunggu evakuasi di depan sana."Evakuasi?" tanya Rani tak mengerti."Benar, ada kecelakaan di depan sana. Jalan yang sempit akan menyulitkan proses." Sopir taksi menjelaskan.Sebelum mencapai tempat di mana penumpangnya itu menunggu, sopir tadi melihat kecelakaan di depan matanya. Bagaimana mobil-mobil menabrak mobil di depan mereka karena satu orang yang melaju, tiba-tiba mengerem mendadak."Oh, begitu. Apa ada yang menin
Setelah taksi sampai lokasi, Rani langsung turun. Sebelum masuk gedung ia membaca lebih dulu peraturan agar bisa masuk ke dalam dengan leluasa. Begitu merasa semua aman, dan memenuhi syarat, Rani pun melangkah masuk.Ia bersyukur akhirnya sampai Duta Mall dengan selamat, ia kemudian melangkahkan kaki menuju lobi. Di mana Ardian dan Aji menunggu. Rani celingukan ke sana ke mari, tapi belum juga menemukan sosok dua pria yang setia menolongnya itu."Apa mereka belum datang?" tanya Rani heran. Namun, ia tak menyerah dan terus mencari mereka.Langkahnya terus bergerak semakin ke dalam, tapi belum lagi matanya menangkap sosok yang dicari keamanan menghampirinya."Permisi." Salah seorang dari dua orang pria berseragam menyapanya.Rani menoleh. Ia terkejut sebentar. Karena takut jika yang menghampiri adalah utusan Heru. Namun, saat melihat bahwa itu petugas, Rani punerasa lega. Sesuai pesan Aji bahwa dia tak boleh jauh-jauh dari pihak keamanan."Ya?
"Di mana dia?" gumam Aji sambil celingukan, mencari sosok Rani dalam kerumunan di lobi Mall. Bahkan lobi mulai sepi karena akan tutup sebentar lagi."Bukannya ucapanku sudah sangat tegas, kalau dia harus menunggu di sini." Ardian memandangi nomor kontak atas nama Rani. Ingin sekali ia menghubungi nomor tersebut. Tapi pasti akan meninggalkan jejak di sana dan akan dicurigai Heru atau orang suruhannya. Yang kemudian posisi mereka akan terlacak."Mana bisa menghubunginya kalau ponselnya saja ditinggal di kompleks." Ardian mengomel. Kesal. Seolah buntu. Bagaimana jika mereka tak bertemu Rani, dan wanita itu malah tertangkap oleh Heru dalam pelariannya."Coba saja kita punya uang, pasti kita bisa melawan Heru dengan bantuan mafia juga. Ck. Keren sekali hidup dia," keluh Ardian meratapi kemiskinan hidupnya. Hingga merasa sulit untuk bergerak, mau pun bersaing dengan orang lain yang punya banyak uang."Bahkan setelah membunuh orang dan menguntit kita pun bisa le
Acara lamaran Lintang berlangsung sangat khidmat. Senyum tak lepas dari bibir gadis itu. Akhirnya pemuda yang selama hampir tiga tahun dekat dengannya ini, membuktikan keseriusannya.Begitu juga dengan Aris, kedua sahabat ini pernah berkelakar bahwa mereka akan jadi sodara ipar. Fanno berkali-kali pernah menawarkan diri untuk jadi adik ipar sahabatnya ini.Ternyata benar, ucapan itu adalah doa, maka ucapkanlah yang baik-baik agar menjadi doa yang baik-baik pula.Selesai acara lamaran, semua yang hadir menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Ajeng.Fanno mendekati sahabat sekaligus calon Abangnya itu."Gimana kerjaan lu?""Sopan dikit kek, sekarang gue udah jadi calon Abang lu. Masa masih manggil seperti itu?" Aris protes."Oke, Bang, gue ralat. Gimana sekarang kerjaan lu, Bang?""Tetap aja, ya, tapi gapapa lah gue maklum.""Lagian, begitu aja jadi masalah. Pertanyaan gue kagak dijawab juga.""Lu kepo aja uru
Ekstra Part 19Menuju AkhirAris berusaha untuk menikmati pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Meski bayaran yang dia terima tidak sebanyak ketika bekerja di kantor Papanya David. Tetap saja ia syukuri.Dua hari sudah waktu yang David janjikan untuk membawa Zara kepada keluarga Aris. Tapi belum ada tanda-tanda pria itu akan menepati janjinya."Gue cuma mau ngingetin, ini sudah hampir 2 x 24 jam, Dav," kata Aris lewat sambungan telepon."Gue usahain nanti malam, Ris.""Bener, ya?""Bener. Entar gue kirim alamatnya.""Lu datang ke rumah gue saja.""Enggak bisa, Ris. Lu tahu Zara seperti apa? Ini juga gue enggak yakin.""Lah, gue pikir udah deal.""Tadi 'kan gue bilang mau usahain.""Oke, gue tunggu kabar selanjutnya."Aris memutus sambungan telepon. Ia berharap David bisa membuktikan ucapannya.***Selepas magrib David mengirimkan alamat pad
Malam itu juga Aris pergi ke rumah David. Tidak sulit baginya untuk menemukan alamat orang kaya dan terkenal seperti keluarga David.Sebelumnya Aris mengirim pesan terlebih dahulu pada pria berambut klimis itu kalau dia sedang dalam perjalanan ke rumahnya.[Gue lagi di luar, Ris. Besok aja, ya, kita ketemu di kantor.]David beralasan.[Tanggung gue udah di jalan. Enggak apa-apa kalau lu enggak ada, gue ketemu Bokap lu aja.]Tulis Aris sambil tersenyum.[Oke, gue balik. Lu tunggu gue, jangan ngadu macem-macem sama bokap gue!]Aris tersenyum membaca balasan dari David. Pria itu ternyata sangat sayang dengan jabatannya, sehingga dia sangat takut kehilangan.Ternyata Aris sampai terlebih dahulu dari tuan rumah. Dia menunggu di dekat pos satpam. Kata Pak satpam barusan, David belum sampai ke rumah.Berselang lima belas menit, mobil David memasukkan pintu gerbang. Ia langsung mengajak Aris masuk melalui pintu samping dan duduk
"Mama tidak menyangka kamu tega mencoreng muka Mama dan Papa. Memberikan kesan buruk pada keluarga kita, Ris. Maksudnya apa ini?" Ajeng mengetuk-ngetuk layar ponselnya."Itu fitnah, Ma. Aris dijebak, Mama tahu 'kan wanita itu yang mengacau di acara wisudaku beberapa bulan ke belakang.""Iya, Mama tahu. Tapi ini tidak bisa dikatakan fitnah. Sedangkan jelas orang di dalam poto ini adalah kamu. Mama tidak bisa membayangkan kalau Papa sampai tahu." Ajeng merasa terpukul.Lagipula, Aris tak habis pikir, dari mana wanita itu mendapat nomor Ajeng."Aku bisa jelaskan, Ma.""Apa lagi yang mau dijelaskan? Semuanya sudah jelas, kamu tidak bisa beralasan." Ajeng berpaling."Adegan dalam poto ini rekayasa, Ma.""Tidak mungkin, kamu tidak bisa membodohi Mama. Kalau kamu tidak mau harusnya berontak dan menolak. Dari segi mana itu dibilang rekayasa. Atau kamu mau bilang itu adegan poto untuk kepentingan komersial? Kalaupun ia, Mama tidak setuju!"
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Laila maupun Aris tidak banyak bicara. Keduanya bingung harus bersikap, secara dari semalam Laila masih belum bersikap manis pada suaminya.Aris ingin segera menunjukkan video itu pada Laila. Tapi sepertinya waktunya tidak tepat jika sekarang.Laila pun tak tahu harus bagaimana memulai untuk minta maaf pada Aris. Ia merasa canggung karena dari semalam dia tidak bersikap baik pada suaminya.Keduanya hanya bersikap biasa ketika berbicara dengan Ariel. Selebihnya seperti dua orang asing yang baru saja bertemu.Kaku.Di rumah sakit, untung saja Laila segera datang, karena ternyata Rani sendirian. Beberapa menit yang lalu, Aji pamit pulang dulu untuk mengambil sesuatu di rumah. Itu kata Rani, wanita itu tidak mau berterus terang bahwa Aji sedang mencari pinjaman uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Tabungan mereka belum cukup untuk melunasi semua biaya. Aji sedang menemui beberapa teman kerjanya siapa tahu
"Ini surat pengunduran diri saya." Aris meletakkan surat itu dihadapan Pak Jani, pria yang dulu menerimanya bekerja."Saya perlu tahu, kenapa kamu ingin berhenti bekerja di sini. Padahal kamu termasuk karyawan terbaik meski baru dua bulan bergabung bersama kami. Apa kamu ada masalah dengan salah satu karyawan di sini?" Pak Jani bersandar pada kursinya sambil memperhatikan Aris."Saya tidak ada masalah, Pak. Selama bekerja di sini saya sangat senang. Tapi saat ini, saya ingin mencoba mengembangkan usaha sendiri meski kecil-kecilan." Aris beralasan."Saya sangat menyayangkan saja, Ris. Harus kehilangan karyawan baik seperti kamu. Next kalau kamu ingin bergabung kembali dengan kami, jangan sungkan, ya. Pintu selalu terbuka buat kamu.""Baik, Pak. Terima kasih telah memberikan kesempatan buat saya bekerja di sini. Saya permisi." Aris bangkit dan mengulurkan tangannya."Terima kasih juga sudah pernah bergabung bersama kami," jawab Pak Jani sambil meneri
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Aris seperti kesetanan mengemudikan mobilnya. Ia terus merutuki kebodohannya, kenapa harus menuruti David. Bukankah ia sudah punya janji dengan Laila dan Ariel.Kenapa pula ia harus terus menerus merasa tidak enak pada David, bukankah ia juga punya hak untuk menolak."Sial. Seharusnya aku sudah berhenti kerja setelah tahu David itu sepupuan dengan Zara. Sebab aku tahu Zara itu licik dan nekad." Aris memukul setir.Berkali-kali ia menekan klakson karena ada yang menghalangi jalannya. Hingga satu ketika mobilnya oleng dan hampir saja menabrak pembatas jalan."Astaghfirullah," ucapan sambil memelankan mobilnya.Ia usap wajahnya berkali-kali, lalu membuang nafas perlahan. Ini salah, melampiaskan kekesalan dengan cara ugal-ugalan saat menyetir, memang tidak dibenarkan. Bisa membahayakan dirinya juga pengendara lain. Bukannya mengurangi masalah malah akan manambah masalah jadinya."Papa?!" Matanya membola keti
Ekstra Part 13Hati WanitaLaila mondar mandir sambil terus mengotak-atik ponselnya. Dari tadi ia menghubungi Aris tapi tidak diangkat. Akhir pekan ini, pria halalnya itu berjanji akan pulang cepat demi mengajak Ariel jalan-jalan."Habis ashar kamu dan Ariel langsung siap-siap, ya. Supaya aku tidak nunggu lama dan kita punya banyak waktu untuk mengajak Ariel jalan-jalan." Itu pesan Aris beberapa jam yang lalu lewat telepon.Tapi sampai saat ini suaminya itu belum juga datang. Laila mencoba menghubunginya, tapi tak satupun panggilan darinya diangkat."Mungkin Kak Aris terjebak macet, maklum ini sudah masuk akhir pekan jadi banyak yang ke luar untuk liburan," guman Laila menghibur diri.Matanya tak lepas dari layar ponsel yang masih menyala."Tapi ... kalau memang iya terjebak macet, kenapa sampai tidak bisa menjawab telepon?"Laila bangkit dari duduknya lalu melihat ke luar rumah melalui kac
"Lepaskan aku! Kalian tidak punya hak menangkapku!"Helen terus meronta ketika dua orang sipir memegangi tangannya. Kedua pria itu membawa Helen ke luar sel tersebut."Lepaskan!!" Helen mencoba mengayunkan tangannya agar terlepas, tapi sia-sia karena tenaga dua orang pria itu tentu saja lebih kuat.Tiba-tiba wanita itu berhenti. Ia berusaha mundur ketika dua orang berseragam itu menariknya."Aku bilang lepaskan! Kalian akan membawa aku kemana?""Tindakanmu barusan itu membahayakan penghuni lain. Kamu harus dipisahkan," ujar salah satunya."Tidak mau! Aku tidak mau sendirian! Aku mau bersama dengan yang lain. Lepas, aku bilang lepas!!"Lama-lama tenaga Helen terkuras sia-sia karena terus meronta. Wanita yang dulu selalu berpenampilan bak artis ibu kota itu akhirnya harus pasrah ketika dirinya dimasukkan ke sel terpisah tanpa teman."Heeyy! Lepaskan aku!! Kalian tidak tahu pacarku kaya, banyak duitnya. Sebentar lagi dia akan data