Share

Merasa Hina

Penulis: Valend
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-27 21:35:15

Aluna memegang kepalanya yang masih terasa berat, masih ada sedikit rasa mual. Namun tidak separah sebelumnya. Mata Aluna terbelalak melihat tubuhnya tertutup selimut tanpa sehelai pakaian pun di atas ranjang hotel. Air matanya mengalir, dadanya terasa sesak, bahkan rasanya sulit untuk bernapas. Hari ini, kehormatan yang ia jaga selama dua puluh tiga tahun musnah begitu saja.

"Ya Allah, kenapa ini semua terjadi kepadaku? Apa dosaku ya, Allah, sehingga aku harus diuji dengan ujian seperti ini?"

Gadis bermata bulat itu mengambil selembar kain hitam penutup wajahnya. Ia meremas kain itu kuat-kuat, Aluna tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada kedua orang tua dan calon suaminya nanti. Dengan langkah gontai, Aluna berjalan menuju balkon hotel, tangannya mencengkeram erat pagar besi setinggi dada orang dewasa. Ia pun memejamkan mata, memantapkan diri untuk menyudahi segalanya.

"Mungkin ini jalan terbaik, aku tidak mampu menanggung semua ini."

Dengan berbalut selimut putih, Aluna mengangkat sebelah kakinya untuk memanjat pagar besi. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit di bagian berharga miliknya. Air matanya masih saja tidak berhenti mengalir. Ia merasa ujian ini terlalu berat.

“Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....” Gema suara adzan berkumandang. Tangan Aluna gemetar, ia pun menurunkan kakinya dan duduk lemas bersabar pada pagar. Tubuhnya tersungkur meringkuk di atas lantai balkon hotel.

“Ya Allah, seandainya aku mati sebelum ini, aku tidak perlu takut menghadapi hari esok. Aku sudah kotor, menjijikan, dan ternoda. Ya Rabbi, apakah engkau benar-benar ada? Kenapa engkau limpahkan ini padaku? Dosa apa yang membuat-Mu mengujiku dengan ujian seberat ini? Aku menghamba kepada-Mu, aku hamba-Mu, aku mencintai-Mu, tapi apa yang engkau takdirkan padaku? Aku menjaganya karena-Mu, tapi kenapa engkau mengijinkan seseorang menodaiku?” Aluna berbicara pelan dengan terisak, ia terus saja menyalahkan takdir yang menimpanya. Bahkan ia tidak terlalu yakin jika Tuhan benar-benar ada dan peduli dengannya. Hidupnya kini sudah hancur, sudah tidak ada lagi harapan. Ia yakin, Hamzah tidak akan menerimanya, dan keluarganya mungkin akan mengusirnya karena malu.

Gerimis pun turun membasahi tubuh Aluna yang masih meringkuk di atas lantai dengan berbalut selimut hotel. Langit sepertinya ikut bersedih dengan apa yang dialami gadis itu. Rasa dingin mulai menusuk tubuh mungil Aluna, gadis itu pun menyerah dan kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah yang sedikit gontai. Ia berjalan pelan, menahan rasa sakit setiap kali kakinya melangkah. Bahkan, sore itu, langit pun ikut menangis.

Aluna melepaskan selimut basah yang membalut tubuhnya. Ia berjalan masuk ke kamar mandi kemudian menyalakan shower. Gadis itu hanya terdiam di bawah guyuran air panas, yang semakin lama semakin panas. Uang air panas membuat kaca kamar mandi menjadi buram. Namun, gadis itu tidak peduli sama sekali dengan keadaan itu. Padahal sebelumnya ia selalu membuat goresan di permukaan kaca yang berembun. Ia masih tidak bisa menerima dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Aluna menatap kedua belah telapak tangannya yang mulai keriput, kemudian mengepalkannya kuat-kuat. “Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!” bisiknya dengan senyum penuh kemarahan tersungging di bibir Aluna.

Gadis itu pun bertekad untuk membalas dendam dengan semua yang terjadi kepadanya hari ini. Namun sayangnya, ia pun tidak tahu kepada siapa ia harus menuntut balas. Apakah kepada Hendra? Atau kepada siapa?

“Selamat malam!” ucap seseorang dari luar kamarnya diikuti suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Suara itu membuat Aluna segera bangkit dan menyambar handuk yang ada di bagian luar kabin mandi. Ia segera berpakaian rapi, lengkap dengan cadar yang menutupi wajah cantiknya.

Aluna berjalan menuju pintu kamar hotel dan membukanya. Seorang petugas hotel berdiri di depan pintu dengan sebuah buket bunga dan coklat kesukaannya di tangan kiri. Perempuan paruh baya itu tampak cantik dengan seragam hotel yang berwarna hitam, membuat wajah sawo matangnya tampak lebih bercahaya. Cepol harnet membuat rambut wanita itu tampak sangat rapi.

“Iya selamat malam, ada apa?” tanya Aluna tegas. Gadis itu menyembunyikan kehancurannya. Ia tidak ingin jika orang lain melihatnya lemah. Bahkan orang yang tidak ia kenal sekalipun.

“Ada seorang laki-laki menitipkan ini kepada saya untuk Anda!” ucap perempuan paruh baya yang masih saja berdiri di depan pintu. Aluna tidak mempersilahkan petugas itu masuk sama sekali.

“Siapa?” Aluna menerima buket bunga yang disodorkan oleh wanita berbaju hitam itu.

“Saya tidak tau, hanya saja laki-laki itu bilang, ada surat di sana. Mungkin Anda bisa melihat nama pengirimnya di surat itu. Sepertinya dia sangat perhatian kepada Anda. Beliau meminta saja membantu Anda jika ada yang dibutuhkan. Apa ada yang perlu saya bantu?” tanya petugas hotel dengan intonasi cara yang jelas dan lembut. Aluna hanya menjawab dengan menggelrng kepala. “ Oh, ya sudah, saya pamit dulu, Nona!” lanjutnya. Wanita paruh baya itu pun bergegas pergi meninggalkan kamar Aluna.

“Bu ...,” ucapnya pelan. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk memanggil petugas hotel yang memberikan buket bunga pada beberapa detik lalu. Ia pun bingung, apalagi yang akan ia tanyakan kepada wanita paruh baya itu. Apalagi dia baru saja menolak tawaran bantuan darinya.

Aluna berjalan pelan sambil menahan rasa sakit. Ia meletakan buket bunga di atas meja, kemudian gadis itu duduk di atas sofa dan mengambil sebuah surat yang dibalut dengan amplop berwarna biru muda. Warna yang paling ia sukai. Aroma amplo itu sama persis dengan aroma parfum yang ia pakai setiap hari, lembut, dan menenangkan.

Aluna membuka surat itu dan membacanya pelan, “Manis coklat ini memang tak semanis madumu yang kuteguk semalam, bahkan kamu tidak memberikan perlawanan. Aku yakin, semalam kamu pasti menikmatinya. Aku melihat guratan senyum dari wajahmu, walau kamu selalu menutup mata saat kita melakukannya. Lun, aku yakin kamu saat itu sedang menahan rasa sakit karena perbuatan kita semalam. Namun, rasa sakit yang kamu rasakan saat ini, aku pun ikut merasakannya. Hanya aku yang berhak membahagiakanmu, jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada satu orang pun yang boleh menerimamu. Maafkan aku Aluna, aku sangat mencintaimu.”

Suara gemeretak gigi beradu terdengar cukup keras. Aluna mengambil buket bunga itu dan melemparkannya ke atas lantai dengan sekuat tenaga. “Iblis kau!” teriak Aluna.

Aluna kembali duduk dan membolak-balik kertas dan amplop biru muda itu, tidak ada keterangan apa pun. Ia tidak tau siapa pengirimnya, apalagi surat itu tidak ditulis tangan.

“Ya Allah, siapa yang berbuat semua ini?” ucap Aluna diikuti isak tangis. “Apa Hendra yang melakukannya padaku? Tapi kenapa? Ini tidak mungkin.” Gadis itu kembali tersungkur di atas lantai kamar hotel. Setelah membaca surat itu, kini perasaannya semakin hancur. Aluna mengambil kembali buket bunga itu dan kembali melemparkannya sekuat tenaga, hingga cokelat-cokelat itu berantakan di atas lantai.

"Manusia Biadab!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ahmad Rivaldi
hendra kamu kenapa si
goodnovel comment avatar
Radens
Aluna terlalu naif kayaknya ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Hampir Mati

    Sudah dua hari Aluna hanya berdiam di kamar hotel, bahkan ia tidak mengijinkan petugas kebersihan hotel untuk membereskan kamarnya. Ia juga tidak makan apa pun, Aluna pun mematikan ponselnya. Gadis itu tidak ingin ada orang yang menanyakan kabarnya. Ia baru menyadari, tidak ada petugas hotel yang menanyakan tentang kapan dia akan cek out. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Aluna langsung bergegas keluar kamar hotel. Gadis itu menyempatkan diri bertanya ke petugas hotel yang sedang berjaga di meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang memesan kamar yang ia tempati dua hari ini. “Selamat pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan dengan tatanan rambut yang sangat rapi, sama seperti wanita paruh baya yang waktu itu mengantarkan buket bunga di depan kamar. Senyumnya pun memaksa Aluna ikut tersenyum dari balik cadar hitam yang ia kenakan. “Saya Aluna yang menempati kamar 503 di lantai dua. Boleh saya tau siapa yang memesan kamar itu?” tanya Aluna kepada petu

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-28
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Tenang Sejenak

    “Mari kami bantu masuk!” ucap seorang perempuan yang lebih muda. “Untuk apa?” tanya Aluna sedikit curiga. Aluna memang orang yang scaptis, dia tidak percaya dengan kebaikan orang yang tidak ia kenal. Ia yakin, jika semua orang mempunyai tujuan tertentu dibalik kebaikannya. Apalagi dia baru saja mengalami kejahatan yang luar biasa. “Kamu terlihat sangat lelah, mari beristirahat sebentar. Kami memiliki beberapa makanan halal yang bisa kamu makan. Setelah kebaktian selesai, Pendeta Brian akan menemuimu lagi.” Suster itu mencoba merayu Aluna agar gadis itu mau mengikuti keduanya. “Baik lah.” Aluna yang sudah benar-benar lemas pun pasrah dan menuruti ajakan kedua suster itu. Mereka bertiga berbincang dengan hangat, beberapa jamaat gereja terlihat tertegun menatap ke arah Aluna. Penampilan gadis itu pasti sangat mengundang penasaran para jamaat. Mereka bertiga berjalan masuk ke area yang lebih dalam, hingga ke belakang gereja. Ada asrama khusus suster dan biara wari di sana. Suster yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-28
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Bertemu Hamzah

    Aluna menundukkan kepala, ia berharap Hamzah tidak melihatnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan sejenak memejamkan mata agar bisa berpikir dengan tenang. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya lagi, sepertinya Brian mulai khawatir. “Hem, apa kamu mau membantuku sekali lagi?” pinta Aluna dengan ragu. “Katakan saja, jika bisa aku pasti akan membantumu.” Sebenarnya Brian agak ragu dengan jawabannya kali ini. “Antarkan aku kembali ke gas masuk depan, di Jalan Bungur Besar. Lebih baik aku berjalan kaki saja dari sana. Aku takut terjadi fitnah nanti jika ada rekan kerja yang melihatku turun dari mobil seorang laki-laki.” Aluna berbicara dengan setengah berbohong. “Oh, kirain apaan, ya, Tuhan.” Brian mengembuskan napas lega. Ternyata yang diminta oleh Aluna bukan hal yang sulit. ***“Kamu yakin akan turun di sini?” tanya Brian setelah sampai di tempat yang diminta oleh Aluna. “Iyah, terima kasih atas semua bantuanmu!” Aluna menatap ke arah Brian yang juga sedang melihat ke arah wajahny

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-29
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Apakah Hendra Pelakunya?

    "Apa lagi yang bisa kita bicarakan sekarang, Lun? Kamu benar-benar sudah membuatku kecewa. Kamu tau aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu curangi aku seperti ini? Wallahi, Lun, aku tidak pernah menyentuh perempuan sama sekali. Bahkan aku menjagamu, tapi kenapa kamu merusaknya dengan orang lain?" Hamzah menyeka air matanya yang turun begitu saja. Ini adalah kali pertama ia menangis setelah dewasa . Hatinya benar-benar hancur, wanita yang selama ini ia muliakan, ternyata melakukan hal yang rendah di belakangnya. "Mas, aku dijebak, Mas. Aku tidak tau apa-apa, Mas. Sungguh." Aluna mencoba membela diri. "Tapi Mas jangan khawatir, tidak terjadi apa-apa malam itu. Mas sayang sama aku kan? Percayalah padaku, Mas, aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan dengan laki-laki setelah ini. Kalau sampai aku melakukannya, Mas boleh meninggalkan aku dan aku tidak akan memohon-mohon seperti ini lagi. Aku berjanji, Mas!" Aluna memohon kepada Hamzah sambil terus menangis. Gadis cantik itu b

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Maaf, Aku Sudah tidak Mampu

    "Sebenarnya setelah itu harusnya ada dokter yang datang untuk memeriksamu, aku menghubungi Riko saat itu untuk mengurus semua itu," papar Hendra kepada Aluna dan Umar yang mendengarkan penjelasannya dengan seksama. "Riko?" tanya Aluna bingung. "Iya, cleaning service yang biasanya mengganti galon di ruangan ini." Hendra masih mengelus pipinya yang sedikit terasa sakit dan panas akibat tamparan Aluna. "Lun! Kamu mau ke mana?" tanya Umar sambil mengikuti gadis bercadar itu keluar dari ruangan kantornya. "Bertemu Mira!" jawab Luna ketus. "Pasti dia tau tentang semua ini!" "Aku ikut denganmu!" Umar berjalan mendampingi Aluna yang melaju dengan cepat. bahkan gadis itu setengah berlari ke arah sahabatnya yang baru saja datang. "Mir! Aku mau bicara serius sama kamu!" ucap Aluna sambil menarik tangan Mira dan menyeretnya ke arah ruangan Umar. Walau dalam keadaan emosi, tapi Aluna masih memikirkan nama baiknya dan nama baik orang-orang terdekatnya. "Ada apa, Lun? Apa aku melakukan kesalah

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Aluna Bingung di Rumah Sakit

    "Astagfirullah!" teriak Aluna sambil melempar pisau cutter yang ada di tangan kanannya. Aluna dengan sepontan melepas kain penutup wajahnya untuk menutup luka sayatan di nadi tangan Umar. "Maafkan aku, Umar!" ucap Aluna yang ketakutan ketika melihat darah yang mengalir dengan sangat cepat dari nadi tangan kiri Umar yang entah bagaimana bisa tersayat saat ia berusaha mencegah Aluna menyayat nadinya sendiri. Kejadian itu sangat cepat. "Jangan panik, aku baik-baik saja, antar aku ke rumah sakit!" Umar yang memiliki kelainan darah pun segera meminta Aluna mengantarnya ke rumah sakit. Ia memiliki penyakit hemofilia, sehingga ia harus mendapatkan penanganan yang tepat dari petugas medis. Di dalam mobil Aluna terus saja berdoa sambil menekan luka sayatan di tangan Umar menggunakan es batu yang di balut dengan kain. Saat itu wajah Umar sudah tampak sedikit pucat dan lemas. Kali ini Aluna sudah merasa sangat bodoh. "Umar bertahanlah! Aku mohon! Aku tidak akan memaafkan diriku jika kamu kenap

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Memiliki Perasaan yang Sama

    "Lun, pulang lah, sepertinya keadaanmu sedang kurang baik!" ucap Ummu Mariyah dengan lembut. "Biar Kholah yang nungguin Umar!" lanjut wanita paruh baya itu. "Tidak, Luna baik-baik saja, kok!" ucap Aluna. Ada kesedihan yang menggelayut di dadanya. Keramahan dan kebaikan Ummu Mariyah membuat Aluna merasa semakin bersalah dan rendah. Gadis itu kali ini merasa menjadi manusia paling curang, ia mencari aman dengan berbohong. Andai saja Aluna berbicara jujur, mungkin dia akan lebih tenang, tapi sayangnya gadis itu tidak mampu. Sepertinya ia takut jika bibinya itu menyalahkannya. "Sudah biarkan saja! Nanti Kholah panggilkan petugas kebersihan untuk membereskan!" "Tidak apa, biar Luna aja!" Umar melihat ke arah Aluna yang sedang membereskan pecahan gelas. Laki-laki itu yakin jika Aluna sedang ketakutan. Ia pun mulai berbohong kepada ibunya sendiri hanya untuk melindungi Aluna. "Ini hanya kecelakaan saja, Mi. Hanya karena aku ceroboh. Sudahlah Mi, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. J

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04
  • Noda di Balik Cadar Aluna   Terlalu Mengada-ada

    "Sudah lah, itu bukan hal yang lucu untuk dibercandakan, Umar!" ucap Aluna sambil kembali menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulut Umar. Aluna melakukan itu semata-mata karena ia merasa sangat bersalah. "Aku serius!" ucap Umar. Aluna meninggalkan Umar dan meletakan piring bekas makan di nampan yang ada di ata meja kaca. "Sebaiknya kita tidak membicarakan ini, atau aku akan memutuskan untuk tidak lagi berbicara denganmu!" ancam Aluna tanpa melihat ke arah Umar sama sekali. Gadis itu langsung duduk di sofa, tanpa mengambilkan minum untuk Umar. "Tapi, Lun, kalo Hamzah tidak menerimamu, kamu masih ada waktu untuk membatalkan pernikahan kalian!" Aluna mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja dan menenggaknya hingga nyaris habis. "Sudah lah, berhenti membicarakan itu lagi!" ucap Aluna sambil mengembuskan napas panjang. Saat ini gadis itu merasa sedang berada di tempat yang salah. Seharunya di menuruti saja perintah ibunya untuk berdiam saja di rumah. "Pernikahan itu bukan se

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06

Bab terbaru

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Pendarahan

    Aluna mencoba menghalangi kopernya agar tidak terlihat oleh Hamzah. Wanita itu menyibukkan diri memainkan ponselnya, mengecek pesan yang mungkin terlewat saat dia salat Subuh tadi. "Lun, aku akan segera ke sana jam enam, tunggu di situ, jangan kemana-mana, aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara!" Aluna membaca pesan dari Umar. Laki-laki itu memang selalu tampil menjadi malaikat penyelemat dalam hidup Aluna. Aluna melihat ke arah langit yang sudah mulai menguning, dan tersenyum dalam tangisnya. Aluna mengabaikan Hamzah yang pergi meninggalkan masjid dengan menaiki mobil pribadinya, di belakang mobil laki-laki itu, ada sebuah mobil pengawal pribadinya yang memang hampir setiap hari mengikutinya kemana pun ia pergi, kecuali memang Hamzah menolak. Aluna duduk di tangga yang untuk naik ke teras masjid, perempuan itu melihat ke arah mobil yang bagus saja datang. Dari bentuk dan warna mobilnya saja, Aluna sudah paham sapa yang datang. Aluna langsung bangkit dari tempatnya duduk dan

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Subuh Buta

    Aluna yang enggan berbicara lagi tentang urusan perasaan pun lahirnya memilih untuk kembali ke kamar Matilda dan Sonya untuk beristirahat. Setelah sampai di kamar, Aluna mendapati Matilda yang sedang beribadah. Saat itu, Aluna pun sontak merasa tertohok, seharusnya, dalam masa sulit seperti ini ia mencari Tuhan, bukan mencari orang lain untuk berlindung. "Ya Allah, maafkan atas segala kebodohanku, aku sudah terlalu banyak menyakiti diriku sendiri!" ucap Aluna pelan kepada Tuhannya. "Hi Lun, tidur lah, aku sudah menyiapkan tempat tidur untukmu. Aku tidur bersama Sonya." Matilda menyapa Aluna yang masih melamun di depan pintu sambil berdiri. "Eh, iya, Da. Maaf aku merepotkanmu!" ucap Aluna yang masih dalam kekacauan pikiran. Kali ini ia merasa sedikit gugup, ia merasa kedatangannya ketempat ini, justru menambah masalah baru, setelah dia tau jika Brian ternyata jatuh hati kepadanya. "Jangan sungkan, sudah sewajarnya kita saling menolong satu sama lain. Kita sama-sama diciptakan oleh

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Brian Menyukai Aluna

    Aluna menyeret kopernya, berjalan tanpa tau arah mana yang akan dia tuju. Wanita bercadar itu merasa malam itu langit kembali runtuh, gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia bahkan nyaris hampir tidak bisa bernapas. "Ya Allah, kuatkan aku!" ucapnya lirih. Air matanya kembali mengalir ketika mengingat betapa banyak kenangan yang ia lalui bersama suaminya. Ia bahkan ingat sekali, betapa bahagianya rencana masa depan mereka berdua. Bahkan dulu Hamzah selalu memohon kepadanya untuk tetap tinggal dan tidak boleh pergi. Namun saat ini, justru Hamzah lah yang mengusirnya. Aluna sejenak berhenti dan jongkok di pinggir jalan, sekedar berteriak tanpa suara, mencoba meluapkan emosinya yang sedari tadi ia coba tahan. Wanita itu sejenak menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang. Ia berpikir, akan kemana dia kali ini. Aluna membuka ponselnya, hanya ada pesan dari Umar. Ia membuka pesan laki-laki itu. Banyak hal yang ia tanyakan kepada Aluna, terutama keadaannya dan di mana dia saat ini. Nam

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Harus Pergi ke Mana

    "Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Sedikit Bercerita Kepada Sofiyah

    Umar mengangkat telpon dari pamannya. Musa mengatakan bahwa sudah menghubungi HRD perihal keadaan Aluna saat ini. Umar sebenarnya sangat menyayangkan kenapa Musa harus bercerita kepada HRD tentang semua yang terjadi, padahal tanpa memberi tahu alasan yang sebenarnya pun, Aluna tidak masalah tidak masuk kerja hari itu. "Bagaiman Umar?" tanya Mira lagi. Wanita itu tau betul bagaiman sifat ayah mertua Aluna. pasalnya gadis itu sudah pernah bersangkutan langsung dengan orang itu saat ia mendekati Hamzah saat SMA dulu. "Kacau!" ucap Umar sambil memukul mejanya. "Kacau kanapa, coba bicarain pelan-pelan!" pinta Mira kepada Umar. "Musa malah cerita semau aib Aluna ke HRD, aku khawatir kalau cerita itu bakal jadi konsumsi publik di kantor ini." Umar tampak sangat gusar. "Astaga, kenapa itu orang nggak mikir dulu sebelum ngomong." Mira pun merasa sangat kesal kepada Ayah Hamzah. "Gini aja deh, lebih baik kamu kabarin Aluna dulu aja!" pinta Mira kepada Hamzah, ia berpikir bahwa ketidak hadir

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Sudah Enggan

    Aluna menelpon orang taunya, dan memintanya untuk segera datang saat itu juga. Sayangnya orang tua Aluna sedang dalam perjalanan dari luar kota. Mereka akan segera datang setelah sampai di Jakarta. "Bi, orang tuaku belum bisa datang sekarang, paling nanti kalau sudah sampai jakarta, mereka akan segera ke sini," ucap Aluna dengan nada gemetar. "Selama orang tuaku belum datang, kamu tidak boleh keluar kamar sama sekali! Nanti Sofiyah akan mengantarkan semau urusanmu!" ucap Abu Hamzah kepada menantunya. "Tapi, Luna harus bekerja, Abi!" "Tidak, aku akan telpon Umar, hari ini kamu tidak boleh melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Aku akan memgembalikanmu kepada orang tuamu. Aku tidak Sudi memiliki menantu rendahan sepertimu." Aluna membuka matanya lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pasalnya selama ini ayahnya Hamzah selalu bersikap lemah lembut dan sangat menyayanginya. Saat ini, Aluna baru menyadari, ternyata perubahan drastis Hamzah, sama persis sepert

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Sarapan yang Kacau

    Hari berlalu dengan bisu, tidak ada pembicaraan apa pun di antara Hamzah dan Aluna meskipun mereka masih tinggal di dalam kamar yang sama. Kalo ini Hamzah sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tidur terpisah di dalam satu kamar yang sama. Hamzah tidur di atas sofa, sedangkan Aluna di atas ranjang. Mereka bahkan tidak saling menyentuh sama sekali. Jam sudah menunjukan pukul empat pagi, Aluna melihat ke arah sofa, sudah tidak ada Hamzah di sana. Seperti biasa, Hamzah sepertinya sudah berangkat ke masjid untuk salat malam di sana. Sebenarnya Aluna rindu salat sunah berjamaah dengan Hamzah, tapi wanita itu sadar, bahwa kurang sebulan lagi, mereka sudah bukan lagi suami istri. Aluna menjalankan ritual paginya, setelah salat malam, ia pun berdzikir untuk menenangkan diri, setelah itu ia pun menunaikan Salat Subuh. Hidupnya kali ini seolah hanya menunggu matahari terbit di pagi hari, dan tenggelam di malam hari. Hampa. "Huuok! Huuok!" Aluna berhen

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Keputusan yang Sudah Bulat

    "Aku baik-baik saja, Mir. Tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi kepada kami." "Aku tidak bodoh, Lun. Aku sangat mengenalmu. Kita kenal bukan setahun atau dua tahun, Lun. Puluhan tahun. Kamu tidak seceria dulu." Mira mencoba menyadarkan Aluna agar perempuan itu bisa berbicara dengan jujur kepadanya. Namun sepertinya, usahanya ini gagal karena Aluna tetap saja tidak mau berbicara apa pun tentang urusan rumah tangganya. "Aku sudah selesai makan, aku harus segera pulang sekarang sebelum magrib!" Aluna meminta ijin kepada Mira untuk segera pulang. Ia tidak mau jika akan ada masalah lagi hanya karena ia terlambat pulang. "Maaf, ya, aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Aku titip salam untuk adikmu, semoga dia lekas sembuh dan tetap semangat." Aluna memeluk Mira sesaat sebelum ia pergi. Aluna keluar restoran cepat saji itu, di belakangnya berjalan dua laki-laki bertubuh tegap mengikutinya. Aluna sadar jika dia memang diawasi oleh orang-orang suruhan Hamzah. "Nyonya, maaf! Tuan me

  • Noda di Balik Cadar Aluna   Teman Bicara

    "Tidak, aku tidak akan mempertimbangkannya lagi, aku sudah bulat dengan keputusanku. Aku tidak memiliki alasan untuk mempertimbangkan apa pun untuk masalah ini." Umar tersenyum kaku kepada Mira yang masih menatap tajam tak percaya kepada Umar. Gadis itu masih tidak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya itu mengambil keputusan konyol yang tidak masuk akal. "Keputusan yang bodoh!" hardik Mira kepada Umar. Perempuan itu kembali duduk di atas sofa, kemudian meneguk air mineral dingin yang ia ambil dari lemari es beberapa menit yang lalu. "Di mana letak kebodohan dari keputusan yang aku ambil?" Umar masih berdiri memunggungi Mira, laki-laki itu menerawang jauh ke luar jendela. "Apa kamu tidak sadar, Aluna adalah mata tombak di perusahaan ini, dia adalah orang yang bisa dibilang sangat penting, mungkin tanpa kamu, kalau ada dia, perusahan akan tetap berjalan dengan baik. Yang ke dua, apa kamu tidak memiliki rasa kemanusiaan? Di saat dia kacau, dia butuh tempat untuk sejenak melupakan masa

DMCA.com Protection Status