"Lun, pulang lah, sepertinya keadaanmu sedang kurang baik!" ucap Ummu Mariyah dengan lembut. "Biar Kholah yang nungguin Umar!" lanjut wanita paruh baya itu. "Tidak, Luna baik-baik saja, kok!" ucap Aluna. Ada kesedihan yang menggelayut di dadanya. Keramahan dan kebaikan Ummu Mariyah membuat Aluna merasa semakin bersalah dan rendah. Gadis itu kali ini merasa menjadi manusia paling curang, ia mencari aman dengan berbohong. Andai saja Aluna berbicara jujur, mungkin dia akan lebih tenang, tapi sayangnya gadis itu tidak mampu. Sepertinya ia takut jika bibinya itu menyalahkannya. "Sudah biarkan saja! Nanti Kholah panggilkan petugas kebersihan untuk membereskan!" "Tidak apa, biar Luna aja!" Umar melihat ke arah Aluna yang sedang membereskan pecahan gelas. Laki-laki itu yakin jika Aluna sedang ketakutan. Ia pun mulai berbohong kepada ibunya sendiri hanya untuk melindungi Aluna. "Ini hanya kecelakaan saja, Mi. Hanya karena aku ceroboh. Sudahlah Mi, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. J
"Sudah lah, itu bukan hal yang lucu untuk dibercandakan, Umar!" ucap Aluna sambil kembali menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulut Umar. Aluna melakukan itu semata-mata karena ia merasa sangat bersalah. "Aku serius!" ucap Umar. Aluna meninggalkan Umar dan meletakan piring bekas makan di nampan yang ada di ata meja kaca. "Sebaiknya kita tidak membicarakan ini, atau aku akan memutuskan untuk tidak lagi berbicara denganmu!" ancam Aluna tanpa melihat ke arah Umar sama sekali. Gadis itu langsung duduk di sofa, tanpa mengambilkan minum untuk Umar. "Tapi, Lun, kalo Hamzah tidak menerimamu, kamu masih ada waktu untuk membatalkan pernikahan kalian!" Aluna mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja dan menenggaknya hingga nyaris habis. "Sudah lah, berhenti membicarakan itu lagi!" ucap Aluna sambil mengembuskan napas panjang. Saat ini gadis itu merasa sedang berada di tempat yang salah. Seharunya di menuruti saja perintah ibunya untuk berdiam saja di rumah. "Pernikahan itu bukan se
Mira dan Aluna masuk ke dalam ruangan Umar. Saat itu ada Hendra yang sudah bersiap untuk keluar kantor, tapi laki-laki itu memilih untuk tinggal. Sepertinya laki-laki itu khawatir jika terjadi pertengkaran yang berujung petaka di antara keduanya. "Duduk lah!" ucap Aluna dengan suara yang datar dan sedikit lesu. Sebenarnya kali ini hatinya sudah tidak memiliki gairah untuk memperjuangkan keadilan atas miliknya yang telah hilang. Mira yang merasa bersalah pun duduk di sofa panjang, Aluna pun duduk di ujung yang lain. Hendra hanya terdiam, menyimak apa yang akan meraja perbincangkan. "Aku sangat berharap kamu bisa berbicara jujur kepadaku, Mir!" "Apa yang harus aku katakan jika memang aku tidak mengetahui apa pun di belakang ini semua, Lun? Demi Tuhan, Lun. Aku pun merasa sedih atas segala keburukan yang menimpamu. Jika saja aku memiliki mesin waktu, aku akan menahanmu untuk tidak pergi, walau harus berkelahi hingga aku mati. Tatapan matamu padaku sangat menyakitkan, Lun!" Mira kembal
"Warna henanya samar!" ucap Bibi yang membantu melukis hena di tangan Luna. "Emang kenapa, Ammah?" tanya Aluna yang memang tidak paham dengan cerita adat istiadat dari sukunya. Ayah dan ibunya tidak pernah menceritakan apa pun tentang hena. "Jika hena itu tebal dan tegas, itu menandakan pernikahan kalian akan awet dan bahagia, tapi kalau samar, maka sebaliknya." Ucapan wanita itu sebenarnya sedikit menggoyahkan keyakinannya apa kah ia akan bahagia dengan Hamzah, atau justru benar apa yang dikatakan oleh wanita pelukis hena itu."Apa itu pasti terjadi? Atau hanya sebuah mitos saja?" tanya Aluna yang memang tidak percaya dengan cerita mitos atau pun ramalan. "Itu cerita turun temurun di budaya kita, Nona!" "Anda bisa menimpanya lagi?" tanya Aluna santai. Gadis cantik itu sepertinya tidak mengambil pusing dengan cerita mitos itu. Aluna meraih ponselnya yang berdering di atas meja rias dengan tangan kirinya. "Hallo malam, Brian! Ada apa?Nggak biasanya telpon malam-malam begini!" ucap
"Apa kamu bahagia dengan Hamzah?" tanya Sofiyah kepada Aluna. Aluna yang tidak menyangka jika Sofiyah menanyakan hal itu pun mengeryitkan dahinya. Awalnya ia berpikir mungkin Sofiyah akan menanyakan tentang kejadian di Hotel kemarin. "Tentu saja, kenapa kamu menanyakan itu?" Aluna mengambil sepotong kueh kering yang ada di dalam toples yang ada di depannya. "Aku tidak terlalu mengenal Hamzah, kami bukan Kaka adik yang dekat. Kamu tau sendiri kan aku dan dia beda ibu. Aku sangat berharap jika nanti setelah Hamzah menikah denganmu, dia akan bisa lebih dekat denganku dan menerima keberadaan ummiku di rumah. "Iya, doain aku biar bisa menjadi wasilah kedekatan kalian." Perbincangan siang itu berlangsung sangat hangat. Aluna memang sangat baik, walau dia sedikit ketus kepada orang yang baru ia kenal. Namun, setelah saling mengenal, dia adalah orang yang sangat peduli dan tidak enakkan kepada orang lain. ***Hari pun berlalu begitu saja, Umar sudah sehari di rumahnya. Ia sudah pulang dar
Suara teriakan Umar menyita beberapa pengunjung yang mendengarnya. Umar pun masuk ke dalam gedung, sebagai keluarga yang cukup dekat, Abu Umar pun langsung mendekati Hamzah dan Ja'far, begitu juga Umar ia mengikuti ayahnya. "Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khairin." Umar menjabat tangan Hamzah sambil berdo'a. Laki-Laki itu memaksakan dirinya untuk tersenyum dan menampakan kebahagiaan, walau sebenarnya hatinya merasakan kehancuran yang luar biasa. "Aamiin, terima kasih, Umar!" ucap Hamzah sambil menepuk tangan Umar dengan tangan kirinya. Setelah berbincang sejenak, Umar pun memilih untuk berada di kursi tamu bersama Hendra, sekretaris pribadinya. Mereka berdua duduk berdampingan, padahal sebenarnya, harusnya Umar menjadi salah satu anggota kerabat yang ikut prosesi adat temu pengantin. Namun karena dia baru pulang dari rumah sakit, ayahnya pun membiarkannya duduk di kursi tamu. Semua orang bertepuk tangan dan bersolawat saat tirai penutup pengantin perempua
"Maaf ini acara sakral keluarga saya yang sekaligus adalah marketing kepercayaan saya. Saya tidak mungkin meninggalkan acara ini, jika Anda mau, sekretaris saya bisa mengantarkan Anda sekarang juga!" Umar menolak permintaan Raflesia dengan sangat tegas, tanpa rasa tidak enak sama sekali. "Hendra, tolong antarkan Nona Raflesia ke Hotel Kencana," lanjutnya kepada Hendra yang masih duduk di sampingnya. "Baik, Tuan!" ucap Hendra kepada bosnya. Saat itu wajah Rafflesia terlihat sedikit murung seketika. Rasa kecewanya terlihat sangat jelas dan tidak dapat ia sembunyikan. Umar yang enggan menanggapi gadis itu pun berpamitan untuk bergabung dengan keluarga besarnya. "Saya pamit dulu ke sana!" ucap Umar sambil menunjuk ke arah ibunya. Laki-Laki itu sepertinya sudah memiliki firasat yang kurang baik jika dia menuruti permintaan Raflesia. "Mari saya antar!" ucap Hendra kepada Raflesia yang menghilangkan senyum manis di wajahnya. "Maafkan Tuan Umar, beliau baru saja pulang dari rumah sakit, mun
Hamzah menunggu beberapa detik, kemudian mengulangi salamnya. Laki-laki itu pun masuk ke dalam ruang rias. ia melihat istrinya sudah berganti pakaian dan terlihat tergesa-gesa berjalan ke arah pintu belakang. "Lun!" panggil Hamzah kepada istrinya, di ruangan itu sudah tidak ada siapa pun, termasuk Ummu Habibah, ibunya Aluna. "Eh, iya Mas!" jawab Aluna, gadis itu membelalakkan matanya karena kaget. "Kenapa lewat situ?" tanya Umar lagi sambil mendekati istrinya. "Eh, aku pengen buru-buru ke kamar, Mas, capek banget!" "Kamar kita ke arah depan, Sayang!" Hamzah memeluk mesra istrinya dari belakang. Laki-laki itu kini merasa sangat leluasa menyentuh Aluna. Ia pun membalikan badan Aluna ke arahnya. "Jangan sekarang, Mas! Aku takut ada orang lain yang melihat!" ucap Aluna sambil menundukkan wajahnya. "Kenapa? Apa kamu malu padaku? Aku suamimu, Sayang!" Hamzah menaikan dagu Aluna dengan tangan kanannya. Laki-laki itu tampak sangat tampan dan menawan. Tok ... Tok ...."Astagfirullah!" S
Aluna mencoba menghalangi kopernya agar tidak terlihat oleh Hamzah. Wanita itu menyibukkan diri memainkan ponselnya, mengecek pesan yang mungkin terlewat saat dia salat Subuh tadi. "Lun, aku akan segera ke sana jam enam, tunggu di situ, jangan kemana-mana, aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara!" Aluna membaca pesan dari Umar. Laki-laki itu memang selalu tampil menjadi malaikat penyelemat dalam hidup Aluna. Aluna melihat ke arah langit yang sudah mulai menguning, dan tersenyum dalam tangisnya. Aluna mengabaikan Hamzah yang pergi meninggalkan masjid dengan menaiki mobil pribadinya, di belakang mobil laki-laki itu, ada sebuah mobil pengawal pribadinya yang memang hampir setiap hari mengikutinya kemana pun ia pergi, kecuali memang Hamzah menolak. Aluna duduk di tangga yang untuk naik ke teras masjid, perempuan itu melihat ke arah mobil yang bagus saja datang. Dari bentuk dan warna mobilnya saja, Aluna sudah paham sapa yang datang. Aluna langsung bangkit dari tempatnya duduk dan
Aluna yang enggan berbicara lagi tentang urusan perasaan pun lahirnya memilih untuk kembali ke kamar Matilda dan Sonya untuk beristirahat. Setelah sampai di kamar, Aluna mendapati Matilda yang sedang beribadah. Saat itu, Aluna pun sontak merasa tertohok, seharusnya, dalam masa sulit seperti ini ia mencari Tuhan, bukan mencari orang lain untuk berlindung. "Ya Allah, maafkan atas segala kebodohanku, aku sudah terlalu banyak menyakiti diriku sendiri!" ucap Aluna pelan kepada Tuhannya. "Hi Lun, tidur lah, aku sudah menyiapkan tempat tidur untukmu. Aku tidur bersama Sonya." Matilda menyapa Aluna yang masih melamun di depan pintu sambil berdiri. "Eh, iya, Da. Maaf aku merepotkanmu!" ucap Aluna yang masih dalam kekacauan pikiran. Kali ini ia merasa sedikit gugup, ia merasa kedatangannya ketempat ini, justru menambah masalah baru, setelah dia tau jika Brian ternyata jatuh hati kepadanya. "Jangan sungkan, sudah sewajarnya kita saling menolong satu sama lain. Kita sama-sama diciptakan oleh
Aluna menyeret kopernya, berjalan tanpa tau arah mana yang akan dia tuju. Wanita bercadar itu merasa malam itu langit kembali runtuh, gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia bahkan nyaris hampir tidak bisa bernapas. "Ya Allah, kuatkan aku!" ucapnya lirih. Air matanya kembali mengalir ketika mengingat betapa banyak kenangan yang ia lalui bersama suaminya. Ia bahkan ingat sekali, betapa bahagianya rencana masa depan mereka berdua. Bahkan dulu Hamzah selalu memohon kepadanya untuk tetap tinggal dan tidak boleh pergi. Namun saat ini, justru Hamzah lah yang mengusirnya. Aluna sejenak berhenti dan jongkok di pinggir jalan, sekedar berteriak tanpa suara, mencoba meluapkan emosinya yang sedari tadi ia coba tahan. Wanita itu sejenak menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang. Ia berpikir, akan kemana dia kali ini. Aluna membuka ponselnya, hanya ada pesan dari Umar. Ia membuka pesan laki-laki itu. Banyak hal yang ia tanyakan kepada Aluna, terutama keadaannya dan di mana dia saat ini. Nam
"Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan
Umar mengangkat telpon dari pamannya. Musa mengatakan bahwa sudah menghubungi HRD perihal keadaan Aluna saat ini. Umar sebenarnya sangat menyayangkan kenapa Musa harus bercerita kepada HRD tentang semua yang terjadi, padahal tanpa memberi tahu alasan yang sebenarnya pun, Aluna tidak masalah tidak masuk kerja hari itu. "Bagaiman Umar?" tanya Mira lagi. Wanita itu tau betul bagaiman sifat ayah mertua Aluna. pasalnya gadis itu sudah pernah bersangkutan langsung dengan orang itu saat ia mendekati Hamzah saat SMA dulu. "Kacau!" ucap Umar sambil memukul mejanya. "Kacau kanapa, coba bicarain pelan-pelan!" pinta Mira kepada Umar. "Musa malah cerita semau aib Aluna ke HRD, aku khawatir kalau cerita itu bakal jadi konsumsi publik di kantor ini." Umar tampak sangat gusar. "Astaga, kenapa itu orang nggak mikir dulu sebelum ngomong." Mira pun merasa sangat kesal kepada Ayah Hamzah. "Gini aja deh, lebih baik kamu kabarin Aluna dulu aja!" pinta Mira kepada Hamzah, ia berpikir bahwa ketidak hadir
Aluna menelpon orang taunya, dan memintanya untuk segera datang saat itu juga. Sayangnya orang tua Aluna sedang dalam perjalanan dari luar kota. Mereka akan segera datang setelah sampai di Jakarta. "Bi, orang tuaku belum bisa datang sekarang, paling nanti kalau sudah sampai jakarta, mereka akan segera ke sini," ucap Aluna dengan nada gemetar. "Selama orang tuaku belum datang, kamu tidak boleh keluar kamar sama sekali! Nanti Sofiyah akan mengantarkan semau urusanmu!" ucap Abu Hamzah kepada menantunya. "Tapi, Luna harus bekerja, Abi!" "Tidak, aku akan telpon Umar, hari ini kamu tidak boleh melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Aku akan memgembalikanmu kepada orang tuamu. Aku tidak Sudi memiliki menantu rendahan sepertimu." Aluna membuka matanya lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pasalnya selama ini ayahnya Hamzah selalu bersikap lemah lembut dan sangat menyayanginya. Saat ini, Aluna baru menyadari, ternyata perubahan drastis Hamzah, sama persis sepert
Hari berlalu dengan bisu, tidak ada pembicaraan apa pun di antara Hamzah dan Aluna meskipun mereka masih tinggal di dalam kamar yang sama. Kalo ini Hamzah sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tidur terpisah di dalam satu kamar yang sama. Hamzah tidur di atas sofa, sedangkan Aluna di atas ranjang. Mereka bahkan tidak saling menyentuh sama sekali. Jam sudah menunjukan pukul empat pagi, Aluna melihat ke arah sofa, sudah tidak ada Hamzah di sana. Seperti biasa, Hamzah sepertinya sudah berangkat ke masjid untuk salat malam di sana. Sebenarnya Aluna rindu salat sunah berjamaah dengan Hamzah, tapi wanita itu sadar, bahwa kurang sebulan lagi, mereka sudah bukan lagi suami istri. Aluna menjalankan ritual paginya, setelah salat malam, ia pun berdzikir untuk menenangkan diri, setelah itu ia pun menunaikan Salat Subuh. Hidupnya kali ini seolah hanya menunggu matahari terbit di pagi hari, dan tenggelam di malam hari. Hampa. "Huuok! Huuok!" Aluna berhen
"Aku baik-baik saja, Mir. Tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi kepada kami." "Aku tidak bodoh, Lun. Aku sangat mengenalmu. Kita kenal bukan setahun atau dua tahun, Lun. Puluhan tahun. Kamu tidak seceria dulu." Mira mencoba menyadarkan Aluna agar perempuan itu bisa berbicara dengan jujur kepadanya. Namun sepertinya, usahanya ini gagal karena Aluna tetap saja tidak mau berbicara apa pun tentang urusan rumah tangganya. "Aku sudah selesai makan, aku harus segera pulang sekarang sebelum magrib!" Aluna meminta ijin kepada Mira untuk segera pulang. Ia tidak mau jika akan ada masalah lagi hanya karena ia terlambat pulang. "Maaf, ya, aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Aku titip salam untuk adikmu, semoga dia lekas sembuh dan tetap semangat." Aluna memeluk Mira sesaat sebelum ia pergi. Aluna keluar restoran cepat saji itu, di belakangnya berjalan dua laki-laki bertubuh tegap mengikutinya. Aluna sadar jika dia memang diawasi oleh orang-orang suruhan Hamzah. "Nyonya, maaf! Tuan me
"Tidak, aku tidak akan mempertimbangkannya lagi, aku sudah bulat dengan keputusanku. Aku tidak memiliki alasan untuk mempertimbangkan apa pun untuk masalah ini." Umar tersenyum kaku kepada Mira yang masih menatap tajam tak percaya kepada Umar. Gadis itu masih tidak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya itu mengambil keputusan konyol yang tidak masuk akal. "Keputusan yang bodoh!" hardik Mira kepada Umar. Perempuan itu kembali duduk di atas sofa, kemudian meneguk air mineral dingin yang ia ambil dari lemari es beberapa menit yang lalu. "Di mana letak kebodohan dari keputusan yang aku ambil?" Umar masih berdiri memunggungi Mira, laki-laki itu menerawang jauh ke luar jendela. "Apa kamu tidak sadar, Aluna adalah mata tombak di perusahaan ini, dia adalah orang yang bisa dibilang sangat penting, mungkin tanpa kamu, kalau ada dia, perusahan akan tetap berjalan dengan baik. Yang ke dua, apa kamu tidak memiliki rasa kemanusiaan? Di saat dia kacau, dia butuh tempat untuk sejenak melupakan masa