Sudah dua hari Aluna hanya berdiam di kamar hotel, bahkan ia tidak mengijinkan petugas kebersihan hotel untuk membereskan kamarnya. Ia juga tidak makan apa pun, Aluna pun mematikan ponselnya. Gadis itu tidak ingin ada orang yang menanyakan kabarnya.
Ia baru menyadari, tidak ada petugas hotel yang menanyakan tentang kapan dia akan cek out. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Aluna langsung bergegas keluar kamar hotel. Gadis itu menyempatkan diri bertanya ke petugas hotel yang sedang berjaga di meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang memesan kamar yang ia tempati dua hari ini.“Selamat pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan dengan tatanan rambut yang sangat rapi, sama seperti wanita paruh baya yang waktu itu mengantarkan buket bunga di depan kamar. Senyumnya pun memaksa Aluna ikut tersenyum dari balik cadar hitam yang ia kenakan.“Saya Aluna yang menempati kamar 503 di lantai dua. Boleh saya tau siapa yang memesan kamar itu?” tanya Aluna kepada petugas cantik yang ada di depannya. Gadis itu berbicara dengan nada yang ramah, seperti tidak terjadi apa pun dengannya.Aluna mengawasi desain interior hotel yang sangat mewah, pantas saja hotel itu memiliki bintang lima. Ini bukan pertama kali Aluna datang ke tempat itu. Setiap kali perusahaannya meeting besar dengan perusahaan luar negeri, pasti menggunakan layanan dari tempat itu.“Baik, sebentar saya periksa!” Petugas hotel mulai mengetik untuk mencari informasi di layar komputer miliknya. “Aluna Aisyah, pemesanan via aplikasi online. Booking selama tiga hari.” Petugas itu menatap Aluna dengan tatapan sedikit aneh. “Ibu Aluna juga termasuk tamu prioritas, ya, di tempat ini.” Petugas itu kembali tersenyum manis kepada Aluna.Mata Aluna membulat, ia merasa sangat keget dengan apa yang ia dengar. Apa benar ia memesan kamar itu sendiri? Apa dia lupa, atau ada orang yang merekayasa semau ini, agar semua menjadi sangat rumit dan sulit untuk dimengerti. “Hah, Ibu yakin?” Aluna mempertanyakan keterangan petugas tersebut. Gadis cantik itu tidak percaya dengan semua informasi yang ia dengar.“Ibu sendiri yang memesan kamar, sekalian dengan beberapa kamar, dan ruang meeting dua hari yang lalu.” Petugas hotel itu menambahkan. Dari cara bicaranya, petugas hotel itu sangat yakin jika informasi yang sedang ia baca adalah benar.Aluna yang masih bingung pun akhirnya dengan pasrah menyelesaikan proses cek out. Gadis itu berjalan keluar hotel dengan langkah yang cukup lemas karena tidak makan selama hampir dua hari, bahkan gadis itu tidak menyentuh coklat di dalam buket bunga sama sekali. Ia lebih baik kelaparan daripada makan pemberian laki-laki jahanam itu. Ia hanya membawa selembar surat yang tersemat di dalam buket itu sebagai barang bukti suatu hari nanti. Aluna sudah sangat yakin, ia pasti bisa menuntut balas kepada laki-laki yang sudah menghancurkan kehormatannya.Aluna merogoh tasnya, ia mengambil ponselnya yang ternyata sudah mati, ia sudah mencoba menyalakannya berulang kali, tapi gagal. Gadis itu memang tidak membawa charger ataupun power bank. Aluna menghela napas panjang dan meletakan kembali ponselnya ke dalam tas. Padahal ia berniat memesan taksi online untuk mengantarnya pulang ke rumah. Sialnya, ia pun lupa tidak membawa dompet. Andai saja kemarin ia menuruti calon suaminya, Hamzah, hal seperti ini akan akan terjadi.Aluna berjalan keluar area hotel yang bukan jalur angkutan umum. Halte busway cukup jauh dari tempat itu. Ia harus berjalan sampai ke pelataran Monas. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Pagi itu dia akan kembali ke kantor, untuk meminjam uang kepada satpam yang selalu berjaga meski hari libur, untuk pulang.Matahari pagi itu cukup terik. Aluna terus berjalan kaki dengan pelan, ia menahan rasa sakit setiap kali kakinya melangkah. Air matanya kembali mengalir, Aluna merasa sangat takut, gadis itu tidak atau apa yang harus ia katakan kepada keluarganya dan Hamzah. Sedangkan pernikahannya kurang lima hari lagi. Ia takut apa yang akan dia katakan saat malam pertama kepada Hamzah. Apakah calon suaminya itu akan percaya? Apa jika dia mengatakan kepadanya sekarang, apakah Hamzah akan menerimanya? Bagaimana jika tidak? Ia takut keluarganya akan malu jika acara pernikahan mereka dibatalkan sepihak oleh keluarga Hamzah karena keadaan dirinya saat ini. Keluarga Hamzah adalah keluarga yang terpandang serta sangat menjunjung tinggi norma agama. Kesucian adalah hal yang sangat dijunjung tinggi dalam keluarga merekaAluna berjalan dengan pikiran yang terus saja berputar ke sana kemari. Suara klakson membuat gadis itu kaget, ternyata ia sudah berjalan ke tengah jalan raya. Untung saja saat itu jalanan sangat sepi.Aluna yang kaget pun jatuh tersungkur di jalan raya dengan tubuh gemetaran. Untung saja pengemudi mobil itu mengerem tepat waktu. Andai saja tidak, mungkin dia sudah mati tergilas. Atau mungkin justru itu yang ia harapkan saat itu?“Apa kamu baik-baik saja?” tanya seorang laki-laki tampan berwajah oriental yang baru menutup pintu mobil dan berlari ke arahnya. “Mari saya bantu berdiri!” ucap laki-laki itu ragu-ragu. Aluna mengangkat tangannya memberikan isyarat bahwa dia bisa melakukannya sendiri. Walau dia sudah merasa sangat kotor, tapi ia tidak mau ada laki-laki ajnabi yang menyentuhnya.“Apa kamu perlu ke rumah sakit?” tanya laki-laki itu lagi. Kali ini pria tampan itu jongkok di samping Aluna yang sedang berusaha bangkit dari aspal jalan raya yang terasa hangat.“Tidak perlu. Saya hanya lemas dan sedikit lapar.” Aluna berbicara dengan sangat malu. Sebelumnya ia tidak pernah mengeluh kepada siapa pun, dia adalah perempuan yang kuat dan cerdas, bahkan sebagian rekan kerjanya mengatakan ia adalah perempuan yang sedikit sombong dan sok.“Tunggu sebentar, biar suster yang membantu kamu masuk ke dalam. Setelah kebaktian, saya antar kamu pulang ke rumah.” Senyum manis melebar di wajah laki-laki berwajah oriental itu sambil meletakan ponsel di telinga sebelah kanannya.“Astagfirullah,” bisik Aluna kepada dirinya sendiri. Gadis itu kembali menundukkan pandangannya. Aluna duduk di trotoar, dua orang suster keluar dari Gereja Katedral mendekati mereka berdua.Aluna merasa sangat kaget dan bingung. Apa yang akan dilakukan oleh perempuan berpakaian suster dengan kalung salip yang menggantung di leher mereka. Seumur hidupnya, ia belum pernah sama sekali berkomunikasi dengan pemuka agama lain. Jantungnya berdetak lebih cepat saat dua wanita berkalung salip itu melihat ke arahnya.“Ya Allah, apa yang akan terjadi padaku? Apakah semua ini karena aku meninggalkan salat selama dua hari? Aku hanya kecewa dengan hidupku ya Allah!” tanya Aluna dalam hati sambil memejamkan matanya.“Mari kami bantu masuk!” ucap seorang perempuan yang lebih muda. “Untuk apa?” tanya Aluna sedikit curiga. Aluna memang orang yang scaptis, dia tidak percaya dengan kebaikan orang yang tidak ia kenal. Ia yakin, jika semua orang mempunyai tujuan tertentu dibalik kebaikannya. Apalagi dia baru saja mengalami kejahatan yang luar biasa. “Kamu terlihat sangat lelah, mari beristirahat sebentar. Kami memiliki beberapa makanan halal yang bisa kamu makan. Setelah kebaktian selesai, Pendeta Brian akan menemuimu lagi.” Suster itu mencoba merayu Aluna agar gadis itu mau mengikuti keduanya. “Baik lah.” Aluna yang sudah benar-benar lemas pun pasrah dan menuruti ajakan kedua suster itu. Mereka bertiga berbincang dengan hangat, beberapa jamaat gereja terlihat tertegun menatap ke arah Aluna. Penampilan gadis itu pasti sangat mengundang penasaran para jamaat. Mereka bertiga berjalan masuk ke area yang lebih dalam, hingga ke belakang gereja. Ada asrama khusus suster dan biara wari di sana. Suster yang
Aluna menundukkan kepala, ia berharap Hamzah tidak melihatnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan sejenak memejamkan mata agar bisa berpikir dengan tenang. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya lagi, sepertinya Brian mulai khawatir. “Hem, apa kamu mau membantuku sekali lagi?” pinta Aluna dengan ragu. “Katakan saja, jika bisa aku pasti akan membantumu.” Sebenarnya Brian agak ragu dengan jawabannya kali ini. “Antarkan aku kembali ke gas masuk depan, di Jalan Bungur Besar. Lebih baik aku berjalan kaki saja dari sana. Aku takut terjadi fitnah nanti jika ada rekan kerja yang melihatku turun dari mobil seorang laki-laki.” Aluna berbicara dengan setengah berbohong. “Oh, kirain apaan, ya, Tuhan.” Brian mengembuskan napas lega. Ternyata yang diminta oleh Aluna bukan hal yang sulit. ***“Kamu yakin akan turun di sini?” tanya Brian setelah sampai di tempat yang diminta oleh Aluna. “Iyah, terima kasih atas semua bantuanmu!” Aluna menatap ke arah Brian yang juga sedang melihat ke arah wajahny
"Apa lagi yang bisa kita bicarakan sekarang, Lun? Kamu benar-benar sudah membuatku kecewa. Kamu tau aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu curangi aku seperti ini? Wallahi, Lun, aku tidak pernah menyentuh perempuan sama sekali. Bahkan aku menjagamu, tapi kenapa kamu merusaknya dengan orang lain?" Hamzah menyeka air matanya yang turun begitu saja. Ini adalah kali pertama ia menangis setelah dewasa . Hatinya benar-benar hancur, wanita yang selama ini ia muliakan, ternyata melakukan hal yang rendah di belakangnya. "Mas, aku dijebak, Mas. Aku tidak tau apa-apa, Mas. Sungguh." Aluna mencoba membela diri. "Tapi Mas jangan khawatir, tidak terjadi apa-apa malam itu. Mas sayang sama aku kan? Percayalah padaku, Mas, aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan dengan laki-laki setelah ini. Kalau sampai aku melakukannya, Mas boleh meninggalkan aku dan aku tidak akan memohon-mohon seperti ini lagi. Aku berjanji, Mas!" Aluna memohon kepada Hamzah sambil terus menangis. Gadis cantik itu b
"Sebenarnya setelah itu harusnya ada dokter yang datang untuk memeriksamu, aku menghubungi Riko saat itu untuk mengurus semua itu," papar Hendra kepada Aluna dan Umar yang mendengarkan penjelasannya dengan seksama. "Riko?" tanya Aluna bingung. "Iya, cleaning service yang biasanya mengganti galon di ruangan ini." Hendra masih mengelus pipinya yang sedikit terasa sakit dan panas akibat tamparan Aluna. "Lun! Kamu mau ke mana?" tanya Umar sambil mengikuti gadis bercadar itu keluar dari ruangan kantornya. "Bertemu Mira!" jawab Luna ketus. "Pasti dia tau tentang semua ini!" "Aku ikut denganmu!" Umar berjalan mendampingi Aluna yang melaju dengan cepat. bahkan gadis itu setengah berlari ke arah sahabatnya yang baru saja datang. "Mir! Aku mau bicara serius sama kamu!" ucap Aluna sambil menarik tangan Mira dan menyeretnya ke arah ruangan Umar. Walau dalam keadaan emosi, tapi Aluna masih memikirkan nama baiknya dan nama baik orang-orang terdekatnya. "Ada apa, Lun? Apa aku melakukan kesalah
"Astagfirullah!" teriak Aluna sambil melempar pisau cutter yang ada di tangan kanannya. Aluna dengan sepontan melepas kain penutup wajahnya untuk menutup luka sayatan di nadi tangan Umar. "Maafkan aku, Umar!" ucap Aluna yang ketakutan ketika melihat darah yang mengalir dengan sangat cepat dari nadi tangan kiri Umar yang entah bagaimana bisa tersayat saat ia berusaha mencegah Aluna menyayat nadinya sendiri. Kejadian itu sangat cepat. "Jangan panik, aku baik-baik saja, antar aku ke rumah sakit!" Umar yang memiliki kelainan darah pun segera meminta Aluna mengantarnya ke rumah sakit. Ia memiliki penyakit hemofilia, sehingga ia harus mendapatkan penanganan yang tepat dari petugas medis. Di dalam mobil Aluna terus saja berdoa sambil menekan luka sayatan di tangan Umar menggunakan es batu yang di balut dengan kain. Saat itu wajah Umar sudah tampak sedikit pucat dan lemas. Kali ini Aluna sudah merasa sangat bodoh. "Umar bertahanlah! Aku mohon! Aku tidak akan memaafkan diriku jika kamu kenap
"Lun, pulang lah, sepertinya keadaanmu sedang kurang baik!" ucap Ummu Mariyah dengan lembut. "Biar Kholah yang nungguin Umar!" lanjut wanita paruh baya itu. "Tidak, Luna baik-baik saja, kok!" ucap Aluna. Ada kesedihan yang menggelayut di dadanya. Keramahan dan kebaikan Ummu Mariyah membuat Aluna merasa semakin bersalah dan rendah. Gadis itu kali ini merasa menjadi manusia paling curang, ia mencari aman dengan berbohong. Andai saja Aluna berbicara jujur, mungkin dia akan lebih tenang, tapi sayangnya gadis itu tidak mampu. Sepertinya ia takut jika bibinya itu menyalahkannya. "Sudah biarkan saja! Nanti Kholah panggilkan petugas kebersihan untuk membereskan!" "Tidak apa, biar Luna aja!" Umar melihat ke arah Aluna yang sedang membereskan pecahan gelas. Laki-laki itu yakin jika Aluna sedang ketakutan. Ia pun mulai berbohong kepada ibunya sendiri hanya untuk melindungi Aluna. "Ini hanya kecelakaan saja, Mi. Hanya karena aku ceroboh. Sudahlah Mi, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. J
"Sudah lah, itu bukan hal yang lucu untuk dibercandakan, Umar!" ucap Aluna sambil kembali menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulut Umar. Aluna melakukan itu semata-mata karena ia merasa sangat bersalah. "Aku serius!" ucap Umar. Aluna meninggalkan Umar dan meletakan piring bekas makan di nampan yang ada di ata meja kaca. "Sebaiknya kita tidak membicarakan ini, atau aku akan memutuskan untuk tidak lagi berbicara denganmu!" ancam Aluna tanpa melihat ke arah Umar sama sekali. Gadis itu langsung duduk di sofa, tanpa mengambilkan minum untuk Umar. "Tapi, Lun, kalo Hamzah tidak menerimamu, kamu masih ada waktu untuk membatalkan pernikahan kalian!" Aluna mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja dan menenggaknya hingga nyaris habis. "Sudah lah, berhenti membicarakan itu lagi!" ucap Aluna sambil mengembuskan napas panjang. Saat ini gadis itu merasa sedang berada di tempat yang salah. Seharunya di menuruti saja perintah ibunya untuk berdiam saja di rumah. "Pernikahan itu bukan se
Mira dan Aluna masuk ke dalam ruangan Umar. Saat itu ada Hendra yang sudah bersiap untuk keluar kantor, tapi laki-laki itu memilih untuk tinggal. Sepertinya laki-laki itu khawatir jika terjadi pertengkaran yang berujung petaka di antara keduanya. "Duduk lah!" ucap Aluna dengan suara yang datar dan sedikit lesu. Sebenarnya kali ini hatinya sudah tidak memiliki gairah untuk memperjuangkan keadilan atas miliknya yang telah hilang. Mira yang merasa bersalah pun duduk di sofa panjang, Aluna pun duduk di ujung yang lain. Hendra hanya terdiam, menyimak apa yang akan meraja perbincangkan. "Aku sangat berharap kamu bisa berbicara jujur kepadaku, Mir!" "Apa yang harus aku katakan jika memang aku tidak mengetahui apa pun di belakang ini semua, Lun? Demi Tuhan, Lun. Aku pun merasa sedih atas segala keburukan yang menimpamu. Jika saja aku memiliki mesin waktu, aku akan menahanmu untuk tidak pergi, walau harus berkelahi hingga aku mati. Tatapan matamu padaku sangat menyakitkan, Lun!" Mira kembal
Aluna mencoba menghalangi kopernya agar tidak terlihat oleh Hamzah. Wanita itu menyibukkan diri memainkan ponselnya, mengecek pesan yang mungkin terlewat saat dia salat Subuh tadi. "Lun, aku akan segera ke sana jam enam, tunggu di situ, jangan kemana-mana, aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara!" Aluna membaca pesan dari Umar. Laki-laki itu memang selalu tampil menjadi malaikat penyelemat dalam hidup Aluna. Aluna melihat ke arah langit yang sudah mulai menguning, dan tersenyum dalam tangisnya. Aluna mengabaikan Hamzah yang pergi meninggalkan masjid dengan menaiki mobil pribadinya, di belakang mobil laki-laki itu, ada sebuah mobil pengawal pribadinya yang memang hampir setiap hari mengikutinya kemana pun ia pergi, kecuali memang Hamzah menolak. Aluna duduk di tangga yang untuk naik ke teras masjid, perempuan itu melihat ke arah mobil yang bagus saja datang. Dari bentuk dan warna mobilnya saja, Aluna sudah paham sapa yang datang. Aluna langsung bangkit dari tempatnya duduk dan
Aluna yang enggan berbicara lagi tentang urusan perasaan pun lahirnya memilih untuk kembali ke kamar Matilda dan Sonya untuk beristirahat. Setelah sampai di kamar, Aluna mendapati Matilda yang sedang beribadah. Saat itu, Aluna pun sontak merasa tertohok, seharusnya, dalam masa sulit seperti ini ia mencari Tuhan, bukan mencari orang lain untuk berlindung. "Ya Allah, maafkan atas segala kebodohanku, aku sudah terlalu banyak menyakiti diriku sendiri!" ucap Aluna pelan kepada Tuhannya. "Hi Lun, tidur lah, aku sudah menyiapkan tempat tidur untukmu. Aku tidur bersama Sonya." Matilda menyapa Aluna yang masih melamun di depan pintu sambil berdiri. "Eh, iya, Da. Maaf aku merepotkanmu!" ucap Aluna yang masih dalam kekacauan pikiran. Kali ini ia merasa sedikit gugup, ia merasa kedatangannya ketempat ini, justru menambah masalah baru, setelah dia tau jika Brian ternyata jatuh hati kepadanya. "Jangan sungkan, sudah sewajarnya kita saling menolong satu sama lain. Kita sama-sama diciptakan oleh
Aluna menyeret kopernya, berjalan tanpa tau arah mana yang akan dia tuju. Wanita bercadar itu merasa malam itu langit kembali runtuh, gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia bahkan nyaris hampir tidak bisa bernapas. "Ya Allah, kuatkan aku!" ucapnya lirih. Air matanya kembali mengalir ketika mengingat betapa banyak kenangan yang ia lalui bersama suaminya. Ia bahkan ingat sekali, betapa bahagianya rencana masa depan mereka berdua. Bahkan dulu Hamzah selalu memohon kepadanya untuk tetap tinggal dan tidak boleh pergi. Namun saat ini, justru Hamzah lah yang mengusirnya. Aluna sejenak berhenti dan jongkok di pinggir jalan, sekedar berteriak tanpa suara, mencoba meluapkan emosinya yang sedari tadi ia coba tahan. Wanita itu sejenak menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang. Ia berpikir, akan kemana dia kali ini. Aluna membuka ponselnya, hanya ada pesan dari Umar. Ia membuka pesan laki-laki itu. Banyak hal yang ia tanyakan kepada Aluna, terutama keadaannya dan di mana dia saat ini. Nam
"Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan
Umar mengangkat telpon dari pamannya. Musa mengatakan bahwa sudah menghubungi HRD perihal keadaan Aluna saat ini. Umar sebenarnya sangat menyayangkan kenapa Musa harus bercerita kepada HRD tentang semua yang terjadi, padahal tanpa memberi tahu alasan yang sebenarnya pun, Aluna tidak masalah tidak masuk kerja hari itu. "Bagaiman Umar?" tanya Mira lagi. Wanita itu tau betul bagaiman sifat ayah mertua Aluna. pasalnya gadis itu sudah pernah bersangkutan langsung dengan orang itu saat ia mendekati Hamzah saat SMA dulu. "Kacau!" ucap Umar sambil memukul mejanya. "Kacau kanapa, coba bicarain pelan-pelan!" pinta Mira kepada Umar. "Musa malah cerita semau aib Aluna ke HRD, aku khawatir kalau cerita itu bakal jadi konsumsi publik di kantor ini." Umar tampak sangat gusar. "Astaga, kenapa itu orang nggak mikir dulu sebelum ngomong." Mira pun merasa sangat kesal kepada Ayah Hamzah. "Gini aja deh, lebih baik kamu kabarin Aluna dulu aja!" pinta Mira kepada Hamzah, ia berpikir bahwa ketidak hadir
Aluna menelpon orang taunya, dan memintanya untuk segera datang saat itu juga. Sayangnya orang tua Aluna sedang dalam perjalanan dari luar kota. Mereka akan segera datang setelah sampai di Jakarta. "Bi, orang tuaku belum bisa datang sekarang, paling nanti kalau sudah sampai jakarta, mereka akan segera ke sini," ucap Aluna dengan nada gemetar. "Selama orang tuaku belum datang, kamu tidak boleh keluar kamar sama sekali! Nanti Sofiyah akan mengantarkan semau urusanmu!" ucap Abu Hamzah kepada menantunya. "Tapi, Luna harus bekerja, Abi!" "Tidak, aku akan telpon Umar, hari ini kamu tidak boleh melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Aku akan memgembalikanmu kepada orang tuamu. Aku tidak Sudi memiliki menantu rendahan sepertimu." Aluna membuka matanya lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pasalnya selama ini ayahnya Hamzah selalu bersikap lemah lembut dan sangat menyayanginya. Saat ini, Aluna baru menyadari, ternyata perubahan drastis Hamzah, sama persis sepert
Hari berlalu dengan bisu, tidak ada pembicaraan apa pun di antara Hamzah dan Aluna meskipun mereka masih tinggal di dalam kamar yang sama. Kalo ini Hamzah sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tidur terpisah di dalam satu kamar yang sama. Hamzah tidur di atas sofa, sedangkan Aluna di atas ranjang. Mereka bahkan tidak saling menyentuh sama sekali. Jam sudah menunjukan pukul empat pagi, Aluna melihat ke arah sofa, sudah tidak ada Hamzah di sana. Seperti biasa, Hamzah sepertinya sudah berangkat ke masjid untuk salat malam di sana. Sebenarnya Aluna rindu salat sunah berjamaah dengan Hamzah, tapi wanita itu sadar, bahwa kurang sebulan lagi, mereka sudah bukan lagi suami istri. Aluna menjalankan ritual paginya, setelah salat malam, ia pun berdzikir untuk menenangkan diri, setelah itu ia pun menunaikan Salat Subuh. Hidupnya kali ini seolah hanya menunggu matahari terbit di pagi hari, dan tenggelam di malam hari. Hampa. "Huuok! Huuok!" Aluna berhen
"Aku baik-baik saja, Mir. Tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi kepada kami." "Aku tidak bodoh, Lun. Aku sangat mengenalmu. Kita kenal bukan setahun atau dua tahun, Lun. Puluhan tahun. Kamu tidak seceria dulu." Mira mencoba menyadarkan Aluna agar perempuan itu bisa berbicara dengan jujur kepadanya. Namun sepertinya, usahanya ini gagal karena Aluna tetap saja tidak mau berbicara apa pun tentang urusan rumah tangganya. "Aku sudah selesai makan, aku harus segera pulang sekarang sebelum magrib!" Aluna meminta ijin kepada Mira untuk segera pulang. Ia tidak mau jika akan ada masalah lagi hanya karena ia terlambat pulang. "Maaf, ya, aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Aku titip salam untuk adikmu, semoga dia lekas sembuh dan tetap semangat." Aluna memeluk Mira sesaat sebelum ia pergi. Aluna keluar restoran cepat saji itu, di belakangnya berjalan dua laki-laki bertubuh tegap mengikutinya. Aluna sadar jika dia memang diawasi oleh orang-orang suruhan Hamzah. "Nyonya, maaf! Tuan me
"Tidak, aku tidak akan mempertimbangkannya lagi, aku sudah bulat dengan keputusanku. Aku tidak memiliki alasan untuk mempertimbangkan apa pun untuk masalah ini." Umar tersenyum kaku kepada Mira yang masih menatap tajam tak percaya kepada Umar. Gadis itu masih tidak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya itu mengambil keputusan konyol yang tidak masuk akal. "Keputusan yang bodoh!" hardik Mira kepada Umar. Perempuan itu kembali duduk di atas sofa, kemudian meneguk air mineral dingin yang ia ambil dari lemari es beberapa menit yang lalu. "Di mana letak kebodohan dari keputusan yang aku ambil?" Umar masih berdiri memunggungi Mira, laki-laki itu menerawang jauh ke luar jendela. "Apa kamu tidak sadar, Aluna adalah mata tombak di perusahaan ini, dia adalah orang yang bisa dibilang sangat penting, mungkin tanpa kamu, kalau ada dia, perusahan akan tetap berjalan dengan baik. Yang ke dua, apa kamu tidak memiliki rasa kemanusiaan? Di saat dia kacau, dia butuh tempat untuk sejenak melupakan masa