Aluna pun menangis sendirian di kamar. Akhirnya hal yang ia takutkan pun terjadi. Benar apa yang ia pikirkan, jika memang tidak akan ada orang yang bisa menerimanya, jika orang itu tau bagaimana keadaannya sebenarnya. Aluna menengok ke belakang saat ia mendengar suara pintu kamar hotel yang terbuka. Wanita cantik itu melihat suaminya yang baru saja masuk kamar. Ia pun langsung berlari ke arah Hamzah. "Mas dari mana? Aku cariin?" tanya Aluna sambil bersiap memeluk suaminya, tapi sayangnya, belum sempat wanita itu memeluk Hamzah, laki-laki itu langsung menyingkir. "Mas kenapa? Mas marah sama aku?" Aluna berdiri terdiam sambil melihat punggung suaminya yang terus berjalan masuk ke kamar tanpa mempedulikannya. "Mas!" ucap Aluna sambil mendekati suaminya, duduk di atas sofa yang beru sore tadi menjadi saksi betapa romantisnya hubungan mereka berdua. "Aku cape, Lun!" Hamzah menghela napas panjang. Dari caranya berbicara, Aluna tau pasti jika suaminya saat ini benar-benar dalam keadaan
"Aku tidak tau, Lun. Aku pun sebenarnya belum siap kehilangan kamu, tapi apa aku mampu mengingat hari ini?" "Demi Allah, aku tidak pernah berselingkuh darimu, Mas!" ucap Aluna sambil memegang kedua belah tangan Hamzah. "Sudah lah, Lun. Jangan terlalu banyak bersumpah. Baiklah, aku akan mencoba untuk kembali mencintaimu, tapi apa kamu bisa membantuku menumbuhkan cinta lagi kepadaku?" Hamzah menatap wanitanya dengan tatapan mata penuh tanya. "Aku akan sabar menemani, Mas. Aku janji." "Tapi ini berat!" Hamzah memaksakan diri untuk tersenyum kepada wanita yang saat ini masih memegangi kedua belah tangannya. "Aku tau, Mas. Tapi aku mohon, aku tidak ingin bercerai, Mas." Aluna kembali memohon kepada suaminya agar dia tidak diceraikan hari itu juga. Ini adalah permohonan yang kedua kalinya. "Sudah lah, sebaiknya besok kita segera pulang ke Jakarta. Di rumah banyak orang, mungkin itu bisa menghilangkan pikiranku untuk terus mengingat tentang itu. Kita juga akan sibuk dengan pekerjaan ma
"Tidak Mas, aku jalan-jalan sendiri aja, ke sekitaran sini aja naik bentor, aku liat kemarin banyak bentor di jalanan. Sebelum ke Jakarta, aku pengen keliling Jogja naik becak motor." Aluna berbicara sambil tersenyum kepada suaminya yang tidak melihat ke arahnya sama sekali. "Everything is okay!" bisik Aluna pada dirinya sendiri sambil berjalan ke arah kopernya untuk berganti pakaian. Setelah berganti pakaian, Aluna pun berpamitan kepada Hamzah. Hamzah hanya menjawab sekadarnya saja. Aluna pun keluar kamar hotel dengan langkah yang sedikit gontai. Wanita cantik itu terus berjalan lurus tanpa menengok ke arah belakang sama sekali, ia yakin sekali jika Hamzah tidak mungkin mengejarnya. Aluna masuk ke dalam lift yang kosong, ia baru menyadari jika ternyata ada orang di belakangnya, takut wanita cantik itu tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan ia pun tidak melihat ke arah orang itu, Aluna hanya melihat kakinya saja. Laki-laki itu ternyata tidak sendiri, ada empat orang laki-laki lai
"Kok Mas tiba-tiba ada di sini?" tanya Aluna kaget. Wanita itu tidak merasa diikuti dari tadi sama sekali. Ia pun tidak melihat pengawal Hamzah mengikutinya. "Kenapa? Kamu kaget, ya?" Dari gaya dan nada bicara Hamzah, Aluna sudah faham betul bahwa laki-laki itu sedang marah dan emosi kepadanya. "Ya, nggak papa kaget aja, sih, aku yakin Mas pasti udah salah paham, deh." "Salah paham? Di bagian mana aku salah paham? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kamu sedang berjalan dengan laki-laki lain, ini salah paham? Apanya lagi yang salah? Apa orang ini pelakunya?" Hamzah mencengkeram kerah baju Brian. "Jangan, Mas! Bukan dia, Mas!" ucap Aluna sambil menghalangi pukulan kepalan tangan Hamzah yang hampir saja melesat ke arah wajah Hamzah. Kali ini Hamzah benar-benar marah kepada Aluna dan Brian. Hamzah berpikir akhirnya Hamzah bisa bertemu dengan laki-laki selingkuhan Aluna dan mengambil kesucian istrinya tanpa pernikahan. "Dia siapa?" teriak Hamzah tepat di samping telinga Aluan.
"Mas mau apa, sih? Igh!" Aluna mendorong tubuh Hamzah dengan sekuat tenaga, tapi Hamzah hanya bergerak mundur satu langkah saja. "Bukankah kamu sudah biasa melayani laki-laki itu? Kenapa kamu menolak denganku, bukankah aku suamimu?" Hamzah memegang tangan sebelah kanan Aluna dengan cengkraman yang sangat keras. Aluna tidak pernah membayangkan jika dia akan direncanakan seperti itu hanya karena dia tidak berkata jujur tentang keadaan dirinya yang sebenranya. "Mas, tolong jangan begini!" Aluna memohon kepada suaminya agar bertingkah lebih lembut dan baisa saja. Hamzah menarik cadar Aluna hingga benar-benar terlepas. Perempuan itu pun mulai menangis, dan terus memohon kepada suaminya agar berhenti. Namun, sepertinya rengekan Aluna itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Hamzah. Ia seperti orang lain, jauh sekali dari Hamzah yang dikenal oleh Aluna saat ini. Kelembutan, kesopanan, dan rasa hormat kepada perempuan, kini telah hilang dari diri Hamzah. Aluna tau, jika Hamzah memang sudah k
"Apa kamu ragu padaku?" tanya Sofia sambil menggenggam tangan Aluna. Gadis itu sepertinya sangat mengerti jika keadaan Aluna saat ini sedang tidak baik-baik saja. "Tidak, tapi aku hanya butuh waktu untuk tidak membicarakan tentang itu, Sof. Aku harap kamu mengerti," ucap Aluna lirih sambil meneteskan air matanya. "Iyah, aku bisa mengerti!" Sofiyah memeluk Aluna. "Ingat, kamu tidak sendiri, ya! Kamu orang yang sangat baik, semua pasti akan baik-baik saja." Sofiyah mengecup kedua telapak tangan Kaka iparnya. "Terima kasih!" Aluna tersenyum menahan sakit di dalam hatinya. Saat ini ia merasa seperti sedang berdiri di dalam kegelapan tanpa cahaya dan ia hanya berjalan sendiri di tepi jurang. "Jika kamu mau, aku bisa mengantarmu!" "Tidak perlu, aku bisa diantar sopir, kok. Ya udah aku berangkat dulu, ya!" Aluna berpamitan kepada Sofia untuk segera berangkat ke kantor Umar. Sampai saat ini dia masih bekerja di tempat itu. Setelah menikah, Aluna selalu diawasi oleh pengawal Hamzah tanpa s
"Apa kalian digaji di sini untuk bergosip?" tanya Umar sambil melipat kedua belah tangannya di depan dada. Beberapa kariawan di sana saling menatap dan berbisik satu sama lain, mereka saling menerka-nerka kira-kira setelah ini apa yang akan terjadi kepada Mira dan Aluna. Akan tetapi, karyawan yang sudah lama bekerja di sana mengatakan bahwa, tidak akan terjadi apa pun kepada dua perempuan itu. Semua itu tentu saja karena Mira dan Aluna bukan hanya sekedar karyawan baisa. "Maaf, Bos, kami kelepasan karena saking bahagianya!" ucap Aluna sambil mendongak ke atas, melihat ke arah Hamzah berdiri. Laki-laki itu berdiri tepat di samping kanan meja Aluna. "Untuk hukumannya, setelah jam istirahat, kalian harus ikut sama aku!" "Siapa?" tanya Aluna dengan nada bicara sedikit di tekan. "Kalian berdua, lah. Pagi-pagi udah gibah!" ucap Umar. Pagi itu Aluna di UK bekerja dan dibantu oleh Mira, saat itu Mira menang tidak banyak pekerjaan, tidak semangat pekerjaan Aluna yang menumpuk karena libur
Aluna hampir saja tersedak mendengar ucapan Hamzah. Umar yang menyadari ketidak nyamanan Aluna pun langsung mencoba untuk menenangkan keadaan. Setelah kejadian itu, Hamzah memang selalu saja menaruh curiga kepada laki-laki mana pun yang kenal dengan Aluna. Dia menjadi tidak memiliki rasa percaya dan over protektif kepada Aluna. "Bukan, orang yang ada janji makan siang sama aku tiba-tiba ada kepentingan keluarga yang sangat urgent, so aku malu jika harus menghubungi Raflesia dan mengatakan bahwa seseorang sudah membatalkan janji temu denganku." Umar yang takut jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada Aluna pun berbohong. "Oh, begitu. Kok malu segala, bukanya kalian punya hubungan khusus? Kenapa malu?" Hamzah yang tidak percaya kepada Umar pun mencoba mendesak laki-laki itu. "Sudah lah, itu tidak terlalu penting. Oya, aku sudah selesai makan siang. Aku pamit dulu lanjut ada meeting dengan PT Baja Sejah Tera." Umar berpamitan kepada Hamzah, setelah itu ia pun pergi meninggal Hamzah da
Aluna mencoba menghalangi kopernya agar tidak terlihat oleh Hamzah. Wanita itu menyibukkan diri memainkan ponselnya, mengecek pesan yang mungkin terlewat saat dia salat Subuh tadi. "Lun, aku akan segera ke sana jam enam, tunggu di situ, jangan kemana-mana, aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara!" Aluna membaca pesan dari Umar. Laki-laki itu memang selalu tampil menjadi malaikat penyelemat dalam hidup Aluna. Aluna melihat ke arah langit yang sudah mulai menguning, dan tersenyum dalam tangisnya. Aluna mengabaikan Hamzah yang pergi meninggalkan masjid dengan menaiki mobil pribadinya, di belakang mobil laki-laki itu, ada sebuah mobil pengawal pribadinya yang memang hampir setiap hari mengikutinya kemana pun ia pergi, kecuali memang Hamzah menolak. Aluna duduk di tangga yang untuk naik ke teras masjid, perempuan itu melihat ke arah mobil yang bagus saja datang. Dari bentuk dan warna mobilnya saja, Aluna sudah paham sapa yang datang. Aluna langsung bangkit dari tempatnya duduk dan
Aluna yang enggan berbicara lagi tentang urusan perasaan pun lahirnya memilih untuk kembali ke kamar Matilda dan Sonya untuk beristirahat. Setelah sampai di kamar, Aluna mendapati Matilda yang sedang beribadah. Saat itu, Aluna pun sontak merasa tertohok, seharusnya, dalam masa sulit seperti ini ia mencari Tuhan, bukan mencari orang lain untuk berlindung. "Ya Allah, maafkan atas segala kebodohanku, aku sudah terlalu banyak menyakiti diriku sendiri!" ucap Aluna pelan kepada Tuhannya. "Hi Lun, tidur lah, aku sudah menyiapkan tempat tidur untukmu. Aku tidur bersama Sonya." Matilda menyapa Aluna yang masih melamun di depan pintu sambil berdiri. "Eh, iya, Da. Maaf aku merepotkanmu!" ucap Aluna yang masih dalam kekacauan pikiran. Kali ini ia merasa sedikit gugup, ia merasa kedatangannya ketempat ini, justru menambah masalah baru, setelah dia tau jika Brian ternyata jatuh hati kepadanya. "Jangan sungkan, sudah sewajarnya kita saling menolong satu sama lain. Kita sama-sama diciptakan oleh
Aluna menyeret kopernya, berjalan tanpa tau arah mana yang akan dia tuju. Wanita bercadar itu merasa malam itu langit kembali runtuh, gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia bahkan nyaris hampir tidak bisa bernapas. "Ya Allah, kuatkan aku!" ucapnya lirih. Air matanya kembali mengalir ketika mengingat betapa banyak kenangan yang ia lalui bersama suaminya. Ia bahkan ingat sekali, betapa bahagianya rencana masa depan mereka berdua. Bahkan dulu Hamzah selalu memohon kepadanya untuk tetap tinggal dan tidak boleh pergi. Namun saat ini, justru Hamzah lah yang mengusirnya. Aluna sejenak berhenti dan jongkok di pinggir jalan, sekedar berteriak tanpa suara, mencoba meluapkan emosinya yang sedari tadi ia coba tahan. Wanita itu sejenak menatap langit malam yang kelabu tanpa bintang. Ia berpikir, akan kemana dia kali ini. Aluna membuka ponselnya, hanya ada pesan dari Umar. Ia membuka pesan laki-laki itu. Banyak hal yang ia tanyakan kepada Aluna, terutama keadaannya dan di mana dia saat ini. Nam
"Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan
Umar mengangkat telpon dari pamannya. Musa mengatakan bahwa sudah menghubungi HRD perihal keadaan Aluna saat ini. Umar sebenarnya sangat menyayangkan kenapa Musa harus bercerita kepada HRD tentang semua yang terjadi, padahal tanpa memberi tahu alasan yang sebenarnya pun, Aluna tidak masalah tidak masuk kerja hari itu. "Bagaiman Umar?" tanya Mira lagi. Wanita itu tau betul bagaiman sifat ayah mertua Aluna. pasalnya gadis itu sudah pernah bersangkutan langsung dengan orang itu saat ia mendekati Hamzah saat SMA dulu. "Kacau!" ucap Umar sambil memukul mejanya. "Kacau kanapa, coba bicarain pelan-pelan!" pinta Mira kepada Umar. "Musa malah cerita semau aib Aluna ke HRD, aku khawatir kalau cerita itu bakal jadi konsumsi publik di kantor ini." Umar tampak sangat gusar. "Astaga, kenapa itu orang nggak mikir dulu sebelum ngomong." Mira pun merasa sangat kesal kepada Ayah Hamzah. "Gini aja deh, lebih baik kamu kabarin Aluna dulu aja!" pinta Mira kepada Hamzah, ia berpikir bahwa ketidak hadir
Aluna menelpon orang taunya, dan memintanya untuk segera datang saat itu juga. Sayangnya orang tua Aluna sedang dalam perjalanan dari luar kota. Mereka akan segera datang setelah sampai di Jakarta. "Bi, orang tuaku belum bisa datang sekarang, paling nanti kalau sudah sampai jakarta, mereka akan segera ke sini," ucap Aluna dengan nada gemetar. "Selama orang tuaku belum datang, kamu tidak boleh keluar kamar sama sekali! Nanti Sofiyah akan mengantarkan semau urusanmu!" ucap Abu Hamzah kepada menantunya. "Tapi, Luna harus bekerja, Abi!" "Tidak, aku akan telpon Umar, hari ini kamu tidak boleh melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Aku akan memgembalikanmu kepada orang tuamu. Aku tidak Sudi memiliki menantu rendahan sepertimu." Aluna membuka matanya lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pasalnya selama ini ayahnya Hamzah selalu bersikap lemah lembut dan sangat menyayanginya. Saat ini, Aluna baru menyadari, ternyata perubahan drastis Hamzah, sama persis sepert
Hari berlalu dengan bisu, tidak ada pembicaraan apa pun di antara Hamzah dan Aluna meskipun mereka masih tinggal di dalam kamar yang sama. Kalo ini Hamzah sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tidur terpisah di dalam satu kamar yang sama. Hamzah tidur di atas sofa, sedangkan Aluna di atas ranjang. Mereka bahkan tidak saling menyentuh sama sekali. Jam sudah menunjukan pukul empat pagi, Aluna melihat ke arah sofa, sudah tidak ada Hamzah di sana. Seperti biasa, Hamzah sepertinya sudah berangkat ke masjid untuk salat malam di sana. Sebenarnya Aluna rindu salat sunah berjamaah dengan Hamzah, tapi wanita itu sadar, bahwa kurang sebulan lagi, mereka sudah bukan lagi suami istri. Aluna menjalankan ritual paginya, setelah salat malam, ia pun berdzikir untuk menenangkan diri, setelah itu ia pun menunaikan Salat Subuh. Hidupnya kali ini seolah hanya menunggu matahari terbit di pagi hari, dan tenggelam di malam hari. Hampa. "Huuok! Huuok!" Aluna berhen
"Aku baik-baik saja, Mir. Tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi kepada kami." "Aku tidak bodoh, Lun. Aku sangat mengenalmu. Kita kenal bukan setahun atau dua tahun, Lun. Puluhan tahun. Kamu tidak seceria dulu." Mira mencoba menyadarkan Aluna agar perempuan itu bisa berbicara dengan jujur kepadanya. Namun sepertinya, usahanya ini gagal karena Aluna tetap saja tidak mau berbicara apa pun tentang urusan rumah tangganya. "Aku sudah selesai makan, aku harus segera pulang sekarang sebelum magrib!" Aluna meminta ijin kepada Mira untuk segera pulang. Ia tidak mau jika akan ada masalah lagi hanya karena ia terlambat pulang. "Maaf, ya, aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Aku titip salam untuk adikmu, semoga dia lekas sembuh dan tetap semangat." Aluna memeluk Mira sesaat sebelum ia pergi. Aluna keluar restoran cepat saji itu, di belakangnya berjalan dua laki-laki bertubuh tegap mengikutinya. Aluna sadar jika dia memang diawasi oleh orang-orang suruhan Hamzah. "Nyonya, maaf! Tuan me
"Tidak, aku tidak akan mempertimbangkannya lagi, aku sudah bulat dengan keputusanku. Aku tidak memiliki alasan untuk mempertimbangkan apa pun untuk masalah ini." Umar tersenyum kaku kepada Mira yang masih menatap tajam tak percaya kepada Umar. Gadis itu masih tidak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya itu mengambil keputusan konyol yang tidak masuk akal. "Keputusan yang bodoh!" hardik Mira kepada Umar. Perempuan itu kembali duduk di atas sofa, kemudian meneguk air mineral dingin yang ia ambil dari lemari es beberapa menit yang lalu. "Di mana letak kebodohan dari keputusan yang aku ambil?" Umar masih berdiri memunggungi Mira, laki-laki itu menerawang jauh ke luar jendela. "Apa kamu tidak sadar, Aluna adalah mata tombak di perusahaan ini, dia adalah orang yang bisa dibilang sangat penting, mungkin tanpa kamu, kalau ada dia, perusahan akan tetap berjalan dengan baik. Yang ke dua, apa kamu tidak memiliki rasa kemanusiaan? Di saat dia kacau, dia butuh tempat untuk sejenak melupakan masa