Aluna hampir saja tersedak mendengar ucapan Hamzah. Umar yang menyadari ketidak nyamanan Aluna pun langsung mencoba untuk menenangkan keadaan. Setelah kejadian itu, Hamzah memang selalu saja menaruh curiga kepada laki-laki mana pun yang kenal dengan Aluna. Dia menjadi tidak memiliki rasa percaya dan over protektif kepada Aluna. "Bukan, orang yang ada janji makan siang sama aku tiba-tiba ada kepentingan keluarga yang sangat urgent, so aku malu jika harus menghubungi Raflesia dan mengatakan bahwa seseorang sudah membatalkan janji temu denganku." Umar yang takut jika sesuatu yang buruk akan terjadi pada Aluna pun berbohong. "Oh, begitu. Kok malu segala, bukanya kalian punya hubungan khusus? Kenapa malu?" Hamzah yang tidak percaya kepada Umar pun mencoba mendesak laki-laki itu. "Sudah lah, itu tidak terlalu penting. Oya, aku sudah selesai makan siang. Aku pamit dulu lanjut ada meeting dengan PT Baja Sejah Tera." Umar berpamitan kepada Hamzah, setelah itu ia pun pergi meninggal Hamzah da
"Terserah aku tidak peduli!" ucap Aluna kepada suaminya. Aluna bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkan Hamzah begitu saja. Laki-laki itu merasa sangat kesal dan membanting sumpit di atas meja. Hal itu tentu saja membuat beberapa pengunjung di restoran cepat itu melihat ke arahnya. Setalah itu, ia pun langsung pergi meninggalkan kantornya. Namun, dia tidak mengejar Aluna sama sekali, ia membiarkan istrinya kembali ke tempat kerjanya. Di dalam mobil, di parkiran, Hamzah memukul kemudi mobilnya. Ia merasa sangat kesal kepada istrinya yang menurutnya sulit untuk diatur. Kali ini ia berpikir bahwa Aluna sudah sangat berubah kepadanya. ***"Hai Lun! Is Everything good?" Mira meletakan tiga lembar kertas yang berisi data penjualan bulan ini kepada Aluna. "Yah, tentu saja." Hembusan napas panjang membuat Mira tidak terlalu percaya dengan pernyataan Aluna. Namun, gadis itu pun tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan keluarga Aluna dengan Hamzah. Keadaannya akan serba salah jika
"Tidak, aku tidak akan mempertimbangkannya lagi, aku sudah bulat dengan keputusanku. Aku tidak memiliki alasan untuk mempertimbangkan apa pun untuk masalah ini." Umar tersenyum kaku kepada Mira yang masih menatap tajam tak percaya kepada Umar. Gadis itu masih tidak habis pikir bagaimana bisa sahabatnya itu mengambil keputusan konyol yang tidak masuk akal. "Keputusan yang bodoh!" hardik Mira kepada Umar. Perempuan itu kembali duduk di atas sofa, kemudian meneguk air mineral dingin yang ia ambil dari lemari es beberapa menit yang lalu. "Di mana letak kebodohan dari keputusan yang aku ambil?" Umar masih berdiri memunggungi Mira, laki-laki itu menerawang jauh ke luar jendela. "Apa kamu tidak sadar, Aluna adalah mata tombak di perusahaan ini, dia adalah orang yang bisa dibilang sangat penting, mungkin tanpa kamu, kalau ada dia, perusahan akan tetap berjalan dengan baik. Yang ke dua, apa kamu tidak memiliki rasa kemanusiaan? Di saat dia kacau, dia butuh tempat untuk sejenak melupakan masa
"Aku baik-baik saja, Mir. Tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi kepada kami." "Aku tidak bodoh, Lun. Aku sangat mengenalmu. Kita kenal bukan setahun atau dua tahun, Lun. Puluhan tahun. Kamu tidak seceria dulu." Mira mencoba menyadarkan Aluna agar perempuan itu bisa berbicara dengan jujur kepadanya. Namun sepertinya, usahanya ini gagal karena Aluna tetap saja tidak mau berbicara apa pun tentang urusan rumah tangganya. "Aku sudah selesai makan, aku harus segera pulang sekarang sebelum magrib!" Aluna meminta ijin kepada Mira untuk segera pulang. Ia tidak mau jika akan ada masalah lagi hanya karena ia terlambat pulang. "Maaf, ya, aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit. Aku titip salam untuk adikmu, semoga dia lekas sembuh dan tetap semangat." Aluna memeluk Mira sesaat sebelum ia pergi. Aluna keluar restoran cepat saji itu, di belakangnya berjalan dua laki-laki bertubuh tegap mengikutinya. Aluna sadar jika dia memang diawasi oleh orang-orang suruhan Hamzah. "Nyonya, maaf! Tuan me
Hari berlalu dengan bisu, tidak ada pembicaraan apa pun di antara Hamzah dan Aluna meskipun mereka masih tinggal di dalam kamar yang sama. Kalo ini Hamzah sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tidur terpisah di dalam satu kamar yang sama. Hamzah tidur di atas sofa, sedangkan Aluna di atas ranjang. Mereka bahkan tidak saling menyentuh sama sekali. Jam sudah menunjukan pukul empat pagi, Aluna melihat ke arah sofa, sudah tidak ada Hamzah di sana. Seperti biasa, Hamzah sepertinya sudah berangkat ke masjid untuk salat malam di sana. Sebenarnya Aluna rindu salat sunah berjamaah dengan Hamzah, tapi wanita itu sadar, bahwa kurang sebulan lagi, mereka sudah bukan lagi suami istri. Aluna menjalankan ritual paginya, setelah salat malam, ia pun berdzikir untuk menenangkan diri, setelah itu ia pun menunaikan Salat Subuh. Hidupnya kali ini seolah hanya menunggu matahari terbit di pagi hari, dan tenggelam di malam hari. Hampa. "Huuok! Huuok!" Aluna berhen
Aluna menelpon orang taunya, dan memintanya untuk segera datang saat itu juga. Sayangnya orang tua Aluna sedang dalam perjalanan dari luar kota. Mereka akan segera datang setelah sampai di Jakarta. "Bi, orang tuaku belum bisa datang sekarang, paling nanti kalau sudah sampai jakarta, mereka akan segera ke sini," ucap Aluna dengan nada gemetar. "Selama orang tuaku belum datang, kamu tidak boleh keluar kamar sama sekali! Nanti Sofiyah akan mengantarkan semau urusanmu!" ucap Abu Hamzah kepada menantunya. "Tapi, Luna harus bekerja, Abi!" "Tidak, aku akan telpon Umar, hari ini kamu tidak boleh melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Aku akan memgembalikanmu kepada orang tuamu. Aku tidak Sudi memiliki menantu rendahan sepertimu." Aluna membuka matanya lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Pasalnya selama ini ayahnya Hamzah selalu bersikap lemah lembut dan sangat menyayanginya. Saat ini, Aluna baru menyadari, ternyata perubahan drastis Hamzah, sama persis sepert
Umar mengangkat telpon dari pamannya. Musa mengatakan bahwa sudah menghubungi HRD perihal keadaan Aluna saat ini. Umar sebenarnya sangat menyayangkan kenapa Musa harus bercerita kepada HRD tentang semua yang terjadi, padahal tanpa memberi tahu alasan yang sebenarnya pun, Aluna tidak masalah tidak masuk kerja hari itu. "Bagaiman Umar?" tanya Mira lagi. Wanita itu tau betul bagaiman sifat ayah mertua Aluna. pasalnya gadis itu sudah pernah bersangkutan langsung dengan orang itu saat ia mendekati Hamzah saat SMA dulu. "Kacau!" ucap Umar sambil memukul mejanya. "Kacau kanapa, coba bicarain pelan-pelan!" pinta Mira kepada Umar. "Musa malah cerita semau aib Aluna ke HRD, aku khawatir kalau cerita itu bakal jadi konsumsi publik di kantor ini." Umar tampak sangat gusar. "Astaga, kenapa itu orang nggak mikir dulu sebelum ngomong." Mira pun merasa sangat kesal kepada Ayah Hamzah. "Gini aja deh, lebih baik kamu kabarin Aluna dulu aja!" pinta Mira kepada Hamzah, ia berpikir bahwa ketidak hadir
"Lun, orang tuamu sudah datang!" panggil ibu mertuanya. Wanita itu hanya membuka sedikit pintu kamar Hamzah, ia bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. "Iya, Ummi!" ucap Aluna sambil berjalan keluar, kali ini dia sudah memiliki sedikit tenaga tambahan setelah menghabiskan roti maryam dan kari pemberian Sofiyah."Ukh, maaf aku tidak bisa menemanimu, aku takut!" Sofiyah memeluk Kaka iparnya. Ia memilih kembali ke kamarnya sendiri dan mengurung diri. Gadis itu tidak berani, ia takut jika akan ada pertengkaran di antara mereka. "Doakan yang terbaik untuk Ukhti, ya!" "Pasti, Ukh, apa pun yang terjadi, aku akan terus menyayangimu. Inni Ukhi buki fillah, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Tangan Sofiyah sedikit gemetar dan dingin, ia merasa sangat takut jika akan ada sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi kepada Aluna. "Doakan aku akan baik-baik saja!" Aluna berjalan keluar kamar, ia sebenarnya merasa takut, lututnya terasa lemas dan kakinya gemetaran. Ia berjalan